Share

Bab 5

"Sakit ….!"

"Aku sangat marah padamu, bagaimana bisa kau melakukan ini? Sudah separah ini kau mengabaikannya begitu saja, apa kau bodoh!"

Mia meringis menahan rasa sakit pada kakinya yang siang ini sudah membengkak bahkan warnanya mulai membiru. Perawat yang mengobatinya tidak berhenti bicara, dia memarahi Mia seperti gadis itu putrinya saja.

"Yang lebih bodoh lagi, kau tetap pergi bekerja! Apa di kepalamu hanya ada uang, perhatikan kesehatanmu!"

Mia menangis keras, Perawat itu mengobatinya dengan kasar karena terlalu emosi. Namun tidak lama karena kemarahan sang Perawat hanya sebentar, dia mengobati kaki Mia dengan lembut.

"Terima kasih, Suster Sarah."

Suster Sarah menghela nafas, dia seharusnya tahu Mia gadis yang keras kepala. Sarah sudah seperti Ibu bagi Mia dan Fia, selama 4 tahun ini dia yang merawat Fia di Rumah Sakit.

"Sekarang kau harus dirawat inap, aku melarangmu beraktivitas. Kakimu harus benar-benar pulih, kau mengerti?"

"Tapi aku harus bekerja, Bos ku akan memecatku kalau aku tidak masuk kerja atau dia akan memotong gajiku!"

"Pikirkan Fia, kalau dia tahu keadaanmu itu akan membuatnya sedih. Istirahatlah sampai kakimu membaik selama itu biaya pengobatanmu dan Fia akan kutanggung."

"Tapi … Suster Sarah …."

"Tidak gratis, kau harus membayarnya nanti." Sarah menepuk puncak kepala Mia lalu dia keluar dari ruang rawat gadis itu.

"Terima kasih, Bibi!" seru Mia sebelum sang Perawat benar-benar keluar dari kamar rawat.

Mia tersenyum, "Apa yang sudah kau lakukan padaku dan Fia, mungkin membutuhkan waktu seumur hidup untuk membalas kebaikanmu."

Mia teringat hari di mana dia kehilangan orang tuanya, saat itu Sarah datang memberi pertolongan dan perlindungan. Sarah memberi tempat tinggal, makan, dan kepedulian layaknya keluarga kepada Mia dan Fia yang masih sangat muda. Mia tidak berani membayangkan seperti apa keadaannya dan Fia saat hari itu kalau mereka tidak bertemu Sarah Wijaya.

***

Selama satu minggu Mia menghuni ruang itu, perlahan kakinya yang terkilir mulai pulih. Selama itu pula Mia tidak mengunjungi adiknya dengan alasan ada pekerjaan, karena tidak ingin membuat cemas, meskipun mereka selalu berkomunikasi dengan ponsel tapi Mia sangat merindukan Fia. Hari ini dia ingin mengunjungi adiknya.

Dengan langkah kaki tertatih Mia berjalan di lobi Rumah Sakit. Mia melihat pintu kamar Fia sedikit terbuka, saat akan memasuki ruangan dia melihat Fia bersama dengan seseorang.

"Evan Flavel Elard, menjauh dari adikku!"

Suara pintu yang dibuka paksa mengejutkan dua orang didalam ruangan. Namun, pria bersurai panjang diikat yang berdiri di dekat Fia masih bisa terlihat tenang.

"Mia lama tidak bertemu, aku datang untuk mengunjungi Fia dan …."

"Kami tidak membutuhkan rasa simpatimu, pergi dari sini atau security yang akan menjemput dan mengantarmu keluar!" Mia lekas menghampiri adiknya, kehadiran kakak sepupunya tersebut membuat luka hatinya kembali terbuka.

"Apa kalian masih membenci kami? Kedatanganku kesini ingin membawa kembali kalian pulang ke Keluarga Elard dan biaya pengobatan Fia akan kami tanggung semua itu. Maafkan kesalahanku dan Ayahku, Mia. Pulanglah ke rumah …."

"Sudah selesai? Sekarang pergilah!"

Evan keluar dari kamar rawat Fia meninggalkan kakak beradik yang berpelukan erat.

"Kak Mia, kenapa kita tidak pulang ke rumah Keluarga Elard saja?"

"Kita tidak akan kembali ke tempat itu, Fia. Tempat itu sudah membuat kita banyak menangis."

"Ayo kita pulang! Kakak tidak akan mengalami kesulitan lagi, Uncle dan Kak Evan akan membantu kita! Kakak tidak perlu bekerja sampai kelelahan! Lalu aku … kalau kakak baik-baik saja aku juga akan senang!"

Mia tersenyum rupanya sang adik begitu mengkhawatirkan dirinya.

"Jangan cemas Fia, kakakmu ini sangat kuat karena demi Fia kakakmu bisa melewati apapun!"

Fialova menangis keras, dia memeluk Mia dengan erat. Mia membalas pelukan adiknya. Setelah kepergian kedua orang tua mereka, mereka adalah kakak beradik yang harus saling menjaga, mereka saling memiliki.

"Kak Mia … kau kakak yang paling terbaik di dunia. Setelah aku sembuh, aku yang akan mengurus Kakak. Kakak tidak perlu bekerja lagi! Aku janji Kak!"

Mia mengangguk terharu dengan ucapan adiknya. Dia juga berharap Fia lekas sehat.

Fia tidur dengan nyenyak di tempat tidur Rumah Sakit. Efek obat mulai bekerja yang membuatnya tertidur. Padahal diluar sana matahari masih bersinar terang. Mia mengingat masa kecilnya, dulu saat cuaca panas seperti sekarang ini dia dan Fia biasa bermain pistol air. Saling tembak menembak berlarian di taman dan rumah. Hingga membuat Mama mereka marah karena sudah membuat isi rumah berantakan, lalu berakhir dengan hukuman--berdiri di sudut sambil menghadap dinding. Tapi saat Papa mereka datang, secercah harapan muncul karena bagi dua gadis itu Papa adalah pelindung baik hati.

Mia tersenyum mengingat kenangan itu. Dunia diibaratkan sebagai panggung sandiwara. Dunia memaksa dirinya menjadi pemainnya di atas panggung. Ini adalah panggungnya, Mia harus tetap tegar.

Suara merdu mengalun dengan indah, Mia menyanyikan sebuah lagu. Lagu cinta yang dipersembahkan untuk keluarganya. Angin yang berhembus dari jendela seperti nada yang mengiringi lagunya.

Di sebelah kamar rawat Fia, ada sebuah kamar yang sama fungsinya untuk merawat pasien. Peralatan medis terpasang pada tubuh Amayra yang saat ini terbaring di tempat tidur. Amayra membuka matanya, suara merdu dari kamar sebelah membangunkan dirinya. Amayra ingin bangun tapi tubuhnya sangat lemah, jadi dia hanya bisa menikmati lagu itu dari kamarnya saja.

Dengan perlahan Mia menutup pintu setelah melihat Fia sudah tertidur. Perempuan itu tidak ingin menunda waktu, dia pergi ke tempat kerjanya yang lain meski dengan berjalan tertatih.

Sementara itu di ruang Dokter Penyakit Dalam, terlihat Raymond dan Daniela berbicara serius dengan sang Dokter. Mereka baru saja mengetahui sebuah kenyataan, tentang penyakit mematikan yang menyerang Amayra. Demi keselamatan Amayra, operasi pengangkatan rahim harus segera dilakukan.

"Aku tidak percaya, bagaimana mungkin Gray dan Amayra menyembunyikan ini dari kita?! Terlebih Amayra, temanku sendiri!" Daniela berteriak merasa sedih dan sesak, wanita itulah yang menemukan Amayra tergeletak pingsan dan membawanya ke Rumah Sakit.

Ray mencoba menenangkan istrinya, "Tenanglah, aku akan menghubungi Gray." Ray mengambil gawainya dan mencoba menghubungi adiknya tapi nihil, sepertinya Gray sengaja tidak mengangkat teleponnya.

Tapi Ray tidak menyerah, dia terus menghubungi adiknya disertai dengan umpatan yang keluar dari mulutnya.

Tidak ada yang memahami perasaannya, selain dirinya sendiri. Gray menatap gelas berisi cairan merah di genggaman tangannya. Seperti hati yang selalu terombang-ambing tidak menentu. Dia mengutuk takdir hidupnya yang seperti ini.

Gray mendengar ponselnya berdering, tapi dia mengabaikan panggilan itu. Gray terlalu kecewa dengan istrinya, dia meninggalkan rumah selama beberapa hari. Saat ini dia tidak ingin diganggu.

Rasa panas terasa membakar kerongkongannya ketika minuman keras itu dia minum. Ada seseorang yang mengatakan minuman keras bisa menghilangkan masalahmu. Namun hati nuraninya berkata lain.

Gray memutuskan menghubungi kakaknya, hanya beberapa detik sudah bisa membuat tubuhnya gemetar. Pria itu menyegerakan diri pergi dari kelab malam. Dia berlari menuju mobil yang di parkir. Gray mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.

Gray membuka pintu kamar dengan keras, jantungnya berdetak keras. Hatinya kembali sakit melihat istri yang dicintainya terbaring lemah ditempat tidur Rumah Sakit.

"Amayra …." Gray menggenggam erat tangan Amayra.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status