"Sakit ….!"
"Aku sangat marah padamu, bagaimana bisa kau melakukan ini? Sudah separah ini kau mengabaikannya begitu saja, apa kau bodoh!"
Mia meringis menahan rasa sakit pada kakinya yang siang ini sudah membengkak bahkan warnanya mulai membiru. Perawat yang mengobatinya tidak berhenti bicara, dia memarahi Mia seperti gadis itu putrinya saja.
"Yang lebih bodoh lagi, kau tetap pergi bekerja! Apa di kepalamu hanya ada uang, perhatikan kesehatanmu!"
Mia menangis keras, Perawat itu mengobatinya dengan kasar karena terlalu emosi. Namun tidak lama karena kemarahan sang Perawat hanya sebentar, dia mengobati kaki Mia dengan lembut.
"Terima kasih, Suster Sarah."
Suster Sarah menghela nafas, dia seharusnya tahu Mia gadis yang keras kepala. Sarah sudah seperti Ibu bagi Mia dan Fia, selama 4 tahun ini dia yang merawat Fia di Rumah Sakit.
"Sekarang kau harus dirawat inap, aku melarangmu beraktivitas. Kakimu harus benar-benar pulih, kau mengerti?"
"Tapi aku harus bekerja, Bos ku akan memecatku kalau aku tidak masuk kerja atau dia akan memotong gajiku!"
"Pikirkan Fia, kalau dia tahu keadaanmu itu akan membuatnya sedih. Istirahatlah sampai kakimu membaik selama itu biaya pengobatanmu dan Fia akan kutanggung."
"Tapi … Suster Sarah …."
"Tidak gratis, kau harus membayarnya nanti." Sarah menepuk puncak kepala Mia lalu dia keluar dari ruang rawat gadis itu.
"Terima kasih, Bibi!" seru Mia sebelum sang Perawat benar-benar keluar dari kamar rawat.
Mia tersenyum, "Apa yang sudah kau lakukan padaku dan Fia, mungkin membutuhkan waktu seumur hidup untuk membalas kebaikanmu."
Mia teringat hari di mana dia kehilangan orang tuanya, saat itu Sarah datang memberi pertolongan dan perlindungan. Sarah memberi tempat tinggal, makan, dan kepedulian layaknya keluarga kepada Mia dan Fia yang masih sangat muda. Mia tidak berani membayangkan seperti apa keadaannya dan Fia saat hari itu kalau mereka tidak bertemu Sarah Wijaya.
***
Selama satu minggu Mia menghuni ruang itu, perlahan kakinya yang terkilir mulai pulih. Selama itu pula Mia tidak mengunjungi adiknya dengan alasan ada pekerjaan, karena tidak ingin membuat cemas, meskipun mereka selalu berkomunikasi dengan ponsel tapi Mia sangat merindukan Fia. Hari ini dia ingin mengunjungi adiknya.
Dengan langkah kaki tertatih Mia berjalan di lobi Rumah Sakit. Mia melihat pintu kamar Fia sedikit terbuka, saat akan memasuki ruangan dia melihat Fia bersama dengan seseorang.
"Evan Flavel Elard, menjauh dari adikku!"
Suara pintu yang dibuka paksa mengejutkan dua orang didalam ruangan. Namun, pria bersurai panjang diikat yang berdiri di dekat Fia masih bisa terlihat tenang.
"Mia lama tidak bertemu, aku datang untuk mengunjungi Fia dan …."
"Kami tidak membutuhkan rasa simpatimu, pergi dari sini atau security yang akan menjemput dan mengantarmu keluar!" Mia lekas menghampiri adiknya, kehadiran kakak sepupunya tersebut membuat luka hatinya kembali terbuka.
"Apa kalian masih membenci kami? Kedatanganku kesini ingin membawa kembali kalian pulang ke Keluarga Elard dan biaya pengobatan Fia akan kami tanggung semua itu. Maafkan kesalahanku dan Ayahku, Mia. Pulanglah ke rumah …."
"Sudah selesai? Sekarang pergilah!"
Evan keluar dari kamar rawat Fia meninggalkan kakak beradik yang berpelukan erat.
"Kak Mia, kenapa kita tidak pulang ke rumah Keluarga Elard saja?"
"Kita tidak akan kembali ke tempat itu, Fia. Tempat itu sudah membuat kita banyak menangis."
"Ayo kita pulang! Kakak tidak akan mengalami kesulitan lagi, Uncle dan Kak Evan akan membantu kita! Kakak tidak perlu bekerja sampai kelelahan! Lalu aku … kalau kakak baik-baik saja aku juga akan senang!"
Mia tersenyum rupanya sang adik begitu mengkhawatirkan dirinya.
"Jangan cemas Fia, kakakmu ini sangat kuat karena demi Fia kakakmu bisa melewati apapun!"
Fialova menangis keras, dia memeluk Mia dengan erat. Mia membalas pelukan adiknya. Setelah kepergian kedua orang tua mereka, mereka adalah kakak beradik yang harus saling menjaga, mereka saling memiliki.
"Kak Mia … kau kakak yang paling terbaik di dunia. Setelah aku sembuh, aku yang akan mengurus Kakak. Kakak tidak perlu bekerja lagi! Aku janji Kak!"
Mia mengangguk terharu dengan ucapan adiknya. Dia juga berharap Fia lekas sehat.
Fia tidur dengan nyenyak di tempat tidur Rumah Sakit. Efek obat mulai bekerja yang membuatnya tertidur. Padahal diluar sana matahari masih bersinar terang. Mia mengingat masa kecilnya, dulu saat cuaca panas seperti sekarang ini dia dan Fia biasa bermain pistol air. Saling tembak menembak berlarian di taman dan rumah. Hingga membuat Mama mereka marah karena sudah membuat isi rumah berantakan, lalu berakhir dengan hukuman--berdiri di sudut sambil menghadap dinding. Tapi saat Papa mereka datang, secercah harapan muncul karena bagi dua gadis itu Papa adalah pelindung baik hati.
Mia tersenyum mengingat kenangan itu. Dunia diibaratkan sebagai panggung sandiwara. Dunia memaksa dirinya menjadi pemainnya di atas panggung. Ini adalah panggungnya, Mia harus tetap tegar.
Suara merdu mengalun dengan indah, Mia menyanyikan sebuah lagu. Lagu cinta yang dipersembahkan untuk keluarganya. Angin yang berhembus dari jendela seperti nada yang mengiringi lagunya.
Di sebelah kamar rawat Fia, ada sebuah kamar yang sama fungsinya untuk merawat pasien. Peralatan medis terpasang pada tubuh Amayra yang saat ini terbaring di tempat tidur. Amayra membuka matanya, suara merdu dari kamar sebelah membangunkan dirinya. Amayra ingin bangun tapi tubuhnya sangat lemah, jadi dia hanya bisa menikmati lagu itu dari kamarnya saja.
Dengan perlahan Mia menutup pintu setelah melihat Fia sudah tertidur. Perempuan itu tidak ingin menunda waktu, dia pergi ke tempat kerjanya yang lain meski dengan berjalan tertatih.
Sementara itu di ruang Dokter Penyakit Dalam, terlihat Raymond dan Daniela berbicara serius dengan sang Dokter. Mereka baru saja mengetahui sebuah kenyataan, tentang penyakit mematikan yang menyerang Amayra. Demi keselamatan Amayra, operasi pengangkatan rahim harus segera dilakukan.
"Aku tidak percaya, bagaimana mungkin Gray dan Amayra menyembunyikan ini dari kita?! Terlebih Amayra, temanku sendiri!" Daniela berteriak merasa sedih dan sesak, wanita itulah yang menemukan Amayra tergeletak pingsan dan membawanya ke Rumah Sakit.
Ray mencoba menenangkan istrinya, "Tenanglah, aku akan menghubungi Gray." Ray mengambil gawainya dan mencoba menghubungi adiknya tapi nihil, sepertinya Gray sengaja tidak mengangkat teleponnya.
Tapi Ray tidak menyerah, dia terus menghubungi adiknya disertai dengan umpatan yang keluar dari mulutnya.
Tidak ada yang memahami perasaannya, selain dirinya sendiri. Gray menatap gelas berisi cairan merah di genggaman tangannya. Seperti hati yang selalu terombang-ambing tidak menentu. Dia mengutuk takdir hidupnya yang seperti ini.
Gray mendengar ponselnya berdering, tapi dia mengabaikan panggilan itu. Gray terlalu kecewa dengan istrinya, dia meninggalkan rumah selama beberapa hari. Saat ini dia tidak ingin diganggu.
Rasa panas terasa membakar kerongkongannya ketika minuman keras itu dia minum. Ada seseorang yang mengatakan minuman keras bisa menghilangkan masalahmu. Namun hati nuraninya berkata lain.
Gray memutuskan menghubungi kakaknya, hanya beberapa detik sudah bisa membuat tubuhnya gemetar. Pria itu menyegerakan diri pergi dari kelab malam. Dia berlari menuju mobil yang di parkir. Gray mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi.
Gray membuka pintu kamar dengan keras, jantungnya berdetak keras. Hatinya kembali sakit melihat istri yang dicintainya terbaring lemah ditempat tidur Rumah Sakit.
"Amayra …." Gray menggenggam erat tangan Amayra.
"Kondisinya sudah membaik, tapi ada yang harus kita bicarakan." Gray yang masih duduk di samping istrinya menoleh, dia melihat Ray dan Daniela yang sudah ada di ruangan itu sejak dirinya datang. Sepertinya tidak ada yang harus disembunyikan lagi. Raut kesedihan terlihat di wajah Daniela, setelah Gray mengatakan penyakit istrinya Daniela tidak berhenti menangis. Ray hanya bisa diam, dia tidak menyangka Gray dan Amayra bisa menyembunyikan kesedihan sendiri dari semua orang dan keluarga besar mereka. Tapi mengingat kondisi Amayra, mereka sepakat merahasiakan hal itu karena kalau sampai Ibu mereka mengetahui kondisi Amayra--Gretta pasti akan langsung memisahkan Gray dan Amayra dengan paksa. Atas persetujuan Gray
Dimalam yang sunyi dan dingin, Mia berjalan gontai. Terlihat keputusasaan di wajahnya. Gadis itu memutuskan pergi ke rumah bosnya yang sekaligus dianggap sahabat. Adrian Shagufta mungkin bisa membantunya. Saat Adrian membuka pintu rumahnya, dia terkejut melihat Mia yang berdiri di depannya dengan keadaan yang memprihatinkan. "Mia, malam-malam begini ada apa?" Mia mengatakan keperluannya datang ke rumah Adrian, membuat pria itu menatapnya sedih. "Kau perlu berapa Mia?" "Aku memerlukan 600 juta, aku janji akan mengembalikannya padamu, aku bahkan rela bekerja di cafe tanpa digaji."
Alat-alat di tubuh Mia sudah mulai dilepas, namun tubuhnya masih terlalu lemah. Mia baru saja mendapatkan kesadarannya setelah koma satu bulan. Dia belum banyak berbicara ataupun bergerak, anggota tubuhnya harus mulai membiasakan diri karena terlalu lama tidak beraktivitas. Mia tidak sendirian di ruangan perawatannya, Adrian duduk di sampingnya. Terlihat kecemasan di wajah pria itu. Tapi Mia tidak memperdulikannya dia membenci pria itu. Bahkan hanya menolak kehadirannya saja Mia tidak bisa. "Aku tahu kau sangat sedih, Mia. Tapi jangan larut dalam kesedihan, Fia tidak akan suka."
Setelah semalaman hujan deras, pagi ini matahari tampak bersinar cerah. Genangan air terlihat di sepanjang jalan. Kondisi Mia sudah mulai membaik, dia masih memakai kursi roda dan kabar baiknya lagi dia sudah diizinkan pulang. Adrian yang menjemput Mia di Rumah Sakit dan mengantarnya pulang ke tempat kost. Sebenarnya Mia tidak menginginkan pria itu berada didekatnya. Sejak malam nista itu, Mia sudah membencinya. Tapi, Adrian tidak pernah menyerah. Setiap mendapat penolakan dia semakin gencar mendekati Mia. "Selamat datang ke rumah, Mia!" Adrian mendorong kursi roda Mia ke dalam rumah. Sudah la
Mia benar-benar tidak mengerti. Kehadiran pria itu di rumahnya dan beberapa orang yang datang bersamanya. Mia mengenal mereka semua. Kedatangan Gray dan keluarganya mengingatkan dirinya pada memori masa lalu. Seorang wanita paruh baya yang merupakan Ibunya Gray menghampiri Mia, "Kau sudah melalui banyak penderitaan, kehilangan orang tua dan adikmu. Itu pasti sangat berat untukmu. Gray, putraku juga sepertimu dia sudah dikecewakan mantan istrinya. Aku seorang Ibu yang menginginkan kebahagiaan putranya. Izinkan kami menebusnya." "Maaf, saya tidak mengerti maksud Tante?" "Kedatangan kami kesini untuk memintamu jadi menantu Keluarga Adelard istri dari Gray, putra keduaku. Apakah kau bersedia?" ucap pria paruh baya tersebut menyela, William Adelard.
Salah satu acara paling penting dalam prosesi pernikahan adalah resepsi pernikahan. Kedua pengantin pria dan wanita terlihat tampan dan cantik. Pakaian dan riasan yang indah membuat kedua pengantin terlihat bahagia, mereka adalah Raja dan Ratunya. Kehadiran kedua keluarga mempelai dan para tamu undangan menyemarakkan pesta, mereka mendoakan sang pengantin agar selalu bahagia. Alunan lagu cinta menggema di dalam ruangan. Deretan aneka hidangan tersaji di meja. Makanan yang disiapkan restoran kelas atas, RAD tampak menggugah selera makan. Mia membawa minuman di nampan, mengantarnya untuk para tamu. Suasana yang ramai membuatnya harus ekstra berhati-hati dalam melangkahkan kaki. Seorang gadis dengan gaunnya yang sexy tidak sengaja menabrak Mia.
Jari-jari tangan perempuan itu dengan lincah menari diatas talenan, mengiris bumbu dan sayuran. Asap mengepul di udara dari makanan yang tersaji di meja. Mia tersenyum menatap hasil masakannya yang terlihat lezat."Selamat pagi calon istriku!" sapaan dari Gray yang baru datang membuat Mia langsung menoleh ke arahnya."Selamat pagi, Gray!" tetes air dari rambut basah Gray menjadi pemandangan menarik untuk Mia, sepertinya pria itu baru saja mandi, "Apa tidurmu nyenyak?" ucap Mia sambil meletakkan dua cangkir kopi di meja.Gray menyeruput kopi yang disajikan Mia, "Lumayan nyenyak tapi tidak ada guling di kamarmu itu membuatku gelisah."Mia menatap bingung pria itu, "Jadi maksudnya tidak nyenyak?"
Seperti hari biasanya Mia kembali ke rutinitas, bekerja menjadi Waitress di Restoran AD. Cindy memperhatikan Mia dengan takjub, hari pertama masuk Mia sudah menunjukkan kerja keras yang luar biasa sekarang dia melihat Mia yang seperti itu bahkan lebih dari kemarin. Mia mengerjakan pekerjaan dengan cekatan, tanpa bicara dan terus fokus. Gray yang memakai seragam Waiter hanya diam memperhatikan Mia. Gray paham saat ini Mia sedang menghindarinya. Mulai pagi ini, Gray telah mencoba menghubungi Mia tapi tidak ada jawaban. Di restoran pria itu juga mendekati Mia, tapi Mia langsung menghindarinya bahkan sebelum Gray mengucapkan sepatah kata pun. Mia terlalu banyak menggunakan tenaganya, saat jam istirahat dia pergi ke Refreshing Room. Ketika Gray mema