“Pa, maafin.. Arya ya, Pa.. Arya sudah.. banyak salah sama papa. Arya belum sempat.. senengin dan bikin papa bangga. Maafin.. Arya, Pa. Jika.. Papa harus pergi, Arya.. Arya ikhlas, Pa. Semoga.. dengan begitu Papa tidak akan sakit lagi. Arya.. Sayang Papa,” Terbata-bata Arya membisikkan kata-kata itu disela-sela tangisnya. Meski berat dia harus mengikhlaskan kepergian papanya. Tapi doa dan harapan akan kesembuhan papanya masih besar. Diciumnya lama tangan papanya, kemudian Arya mencium pipi dan keningnya. Arya bergeser dan memberikan tempat pada Nadhira. Nadhira memegang tangan papanya dan diciuminya berkali-kali. Tangan yang selalu hangat mengelus kepalanya. Menepuk-nepuk pundak kedua anaknya untuk menguatkan dan memberikan tanda kepercayaan. Dan tangan yang selalu memberikan tepukan lembut dipunggungnya, menandakan kasih sayang, menenangkan dan penuh rasa kebanggaan kepada keduanya. Tangan yang selalu menadah berdoa kepada Pemilik Alam Semesta demi memohon kesuksesan, kebahagiaan,
Semuanya hanya diam memandangi jenazah Pak Hamzah. Di tengah keheningan. Mbah Mur membuka suara.“Nur, bagaimana jika kita laksanakan akad nikah Nadhira dan Hanif sekarang. Kita bisa meminta staf laki-laki dari rumah sakit ini untuk menjadi saksi pernikahan mereka. Mumpung Hamzah masih di sini, Hanif dan Nadhira juga sudah hadir.”Perkataan Mbah Mur mengejutkan semua orang yang ada di ruangan itu. Dalam suasaa duka apa mungkin diadakan akad nikah. Nadhira yang masih menangisi kepergian Papanya hanya diam termenung. Begitu juga dengan Arya dan Mama Nur, semuanya menatap Mbah Mur dengan tatapan tak percaya.“Betul itu Nur. Aku setuju. Sekalian. Kamu bawa uang berapa, Nif?” kata Pakde Agus.Hanif yang masih tidak mempercayai apa yang disampaikan oleh Ibu Mertuanya hanya diam membisu. Tatapan matanya yang masih penuh tanda tanya diarahkannya kepada Pakde Agus.“Nif, malah bengong. Kamu bawa uang berapa? Buat mas kawin.”“Ada sekitar dua juta mas.” Kata Hanif masih dengan ekspresi bingung.
Kabar duka atas meninggalnya Pak Hamzah sudah diberitakan Arya pada Pak Amir, tangan kanan Papanya. Saat sampai di rumah, kondisi sudah ramai orang yang menanti jenazah Pak Hamzah dan keluarga dari rumah sakit.Begitu Arya dan keluarga sampai di rumah, Pak Amir segera menghampiri Mama Nur didampingi oleh Pak RT setempat. Menanyakan kembali kebenaran berita yang beredar, dan mengucapkan turut bela sungkawa. Arya menemui Bapak-bapak tersebut di teras rumah, sedangkan keluarga yang lain masuk dan merapikan rumah untuk menerima para pelayat.Dibantu oleh karyawan Pak Hamzah yang lain, ruang tamu, ruang tengah telah digelari karpet untuk duduk. Para tamu diminta untuk masuk. Pak RT dan Pak Amir menemui Mama Nur dan keluarga di dalam.“Kami turut berduka cita, Bu. Kami dengar Pak Hamzah sakit. Rencananya baru nanti sore kami bermaksud menjenguk beliau. Tapi ternyata belum sempat menjenguk, malah jadi melaya
Mama Nur masih duduk menyambut para tamu yang datang. Mbah Mur yang terlihat lelah dipersilakan untuk istirahat di kamar tamu yang ada di bawah. Mama Nur seolah tidak merasa lelah. Datangnya para tamu yang menceritakan kebaikan Pak Hamzah menjadi penghibur tersendiri baginya. “Ibu, saya sekeluarga berterima kasih sekali. Jika saja Pak Hamzah tidak membantu suami saya waktu itu dengan memberikan pekerjaan sebagai tukang angkut dan kirim di toko bangunan njenengan pasti anak saya sudah putus sekolah.” Seorang ibu menceritakan kebaikan Pak Hamzah di masa lalu pada Mama Nur. Mama Nur hanya tersenyum dan mengangguk-angguk menanggapinya. “Tidak sekali dua kali Pak Hamzah melebihkan upah suami saya. Dengan uang itu alhamdulillah kebutuhan sekolah anak kami terpenuhi,” lanjut ibu itu. “Pak Hamzah, juga sudah membantu keluarga kami dengan selalu membeli habis dagangan makanan kami jika sampai jam 10 pagi saya masih mangkal di depan toko beliau. Saya cuman dagang nasi pecel,” seorang ibu den
Nadhira menenangkan dirinya. Mengusap hingga kering matanya yang merah. Di ruang depan masih banyak tamu yang duduk-duduk ditemani keluarga yang laki-laki. Nadhira diam-diam menatap ke arah pintu luar. Dia melihat sosok Hanif yang sedang berbincang dengan tamu.Tiba-tiba Nadhira teringat bahwa dirinya dan Hanif sudah menikah secara agama. Bukankah itu artinya mereka kini telah menjadi suami istri. Apakah itu artinya nanti malam dia akan tidur bersama Hanif? Nadhira menggelengkan kepalanya dengan kuat. Mencoba mengusir pikiran buruknya.Angan Nadhira berkelana. Ia merasa belum siap jika harus melayani Hanif sebagai istri. Meskipun itu sudah menjadi kewajibannya, dan Hanif berhak memintanya. Ditambah lagi duka masih bergelayut di dalam hatinya. Nadhira masih terbayang sosok Papanya saat melihat ke setiap sudut rumah.‘Papa selalu menonton TV selepas shalat isya. Duduk di sofa ruang tengah ditemani mama yang bersender mesra di bahu Papa, aku dan kak Arya akan duduk di bawah bersandar pad
Hanif terjaga sejak sampai lewat tengah malam. Lama mendengarkan perbincangan para Bapak dan kakak iparnya lama-lama membuat Hanif mengantuk. Merasa lelah, Hanif berpamitan untuk masuk ke dalam rumah pada Kakak iparnya dan beberapa orang lain yang masih betah berbincang meskipun jam sudah menunjukkan hampir jam 2 dini hari. Tradisi melekan (terjaga sepanjang malam) memang masih ada di daerah ini. Pakde Agus sudah biasa melakukan hal ini di desa. Biasanya jika ada acara nikahan atau kematian, hampir bisa dipastikan Pakde Agus akan menemi pemilik hajat untuk melekan. Tirakat beliau menyebutnya. Tak jarang Pakde Agus bersendiri saja jika yang punya hajat tidak kuat menahan kantuk. “Orang jaman sekarang itu salah kaprah. Melekan itu harusnya diisi dengan doa dan dzikir. Meski tidak dilakukan terang-terangan, namun batin kita ini selalu menyebut asma-Nya. Tirakat melekan itu sejatinya untuk mendekatkan diri kita pada Yang Maha Esa. Tidak seperti jaman sekarang, melekan diisi dengan main
Hanif hanya bisa diam terpaku di depan kamar Nadhira saat Halimah, kakak iparnya dulu, menegurnya karena keluar dari kamar Nadhira. “Oh, anu.., Mbak. Itu..,” entah mengapa Hanif jadi gugup. Hanif berusaha mengatur napasnya sebentar sebelum menjelaskan duduk persoalannya. Namun belum sempat Hanif membuka mulut, Halimah sudah memotongnya. “Nif! Ditanya kok diam aja. Aku itu tanya kok kamu keluar dari kamar Nadhira jam segini?” bisikan Halimah itu terdengar menekan dan menuntut jawaban. “Maaf, Mbak. Apa Mbak belum dikasih tahu ibu sama Mbak Nur?” Ceklek! Pintu kamar Nadhira terbuka. Nadhira heran kenapa Hanif dan Halimah ada di depan kamarnya dan berbisik-bisik tidak jelas. “Ada apa ini, Bude?” tanya Nadhira sambil menatap bergantian ke arah Hanif dan Halimah. “Nad, kamu nggak apa-apa kan? Nggak diapa-apain?” tanya Halimah sambil meraba pundak dan tangan Nadhira. Lalu menatap tajam ke arah Hanif. “Maaf saya turun dulu. Mau ke masjid,” ucap Hanif buru-buru. Setelah pamit dengan s
“Kenapa kata-kata Mbak Halimah seolah menyudutkan Hanif dan Nadhira?” tuding Nur, kalap.“Sabar, Nur. Bukan begitu maksudku,” Halimah merasa kelabakan karena kedapatan mnggunjingkan Nadhira dan Hanif.“Mbak, nggak perlu membuat asumsi-asumsi yang menyudutkan seperti itu. kalau mbak penasaran, kan bisa tanya langsung sama saya. Kenapa harus bergunjing seperti ini?” keluh Nur.Halimah menggandeng lengan Nur ke arah dalam, karena merasa tidak enak dengan para pekerja Nur yang sedang menyiapkan makanan di dapur.“Maaf, Nur. Aku tidak bermaksud bergunjing. Kami juga mau mengatakan hal itu pada Ibu, tapi ibu masih belum selesai mengaji. Apa kam tahu, Hanif tadi malam ke kamar Nadhira? Apa kamu tidak curiga anak kamu diapa-apakan sama Hanif?”“Mbak, jangan menuduh yang bukan-bukan. Hanif itu laki-laki baik. Saya dan mas Hamzah punya hutang budi yang besar pada Hanif,” raut tidak suka tampak jelas di wajah Nur.“Apa maksud kamu Nur? kenapa kamu jadi punya hutang budi sama Hanif?” tanya Halima