Share

BAB 6 NGIDAM

Author: Bu Dhe
last update Last Updated: 2022-08-04 18:12:24

Arya masih kesal dengan adiknya karena tidak mau memberitahu siapa ayah dari bayi yang sedang dikandungnya. Nadhira begitu rapat menyimpan nama laki-laki itu.

Seandainya Arya bisa mengorek keterangan dari teman-teman Nadhira, ia akan dengan senang hati melakukannya. Namun hal itu tidak mungkin ia lakukan karena itu sama saja dengan membuka aib keluarganya.

Kemarin malam sehari setelah terbongkarnya kehamilan Nadhira, Arya menyita handphone milik Nadhira. Ia berharap mendapatkan data tentang siapa sosok yang disembunyikan identitasnya oleh adiknya ini.

Namun seolah tahu apa yang akan dilakukannya, tidak ada data apa pun yang didapatnya. Sepertinya Nadhira telah menghapus semua kontak dan foto-foto yang ada.

Nadhira hanya bisa menangis saat semalam ia melihat kakaknya mengobrak abrik meja belajarnya dan mengeluarkan isi tas sekolahnya. Berharap menemukan sesuatu tentang Zaki. Malam setelah mama dan papanya mengetahui kebenaran yang amat pahit itu, Nadhira telah merelakan dan menghapus semua jejak Zaki dari gawainya.

Nadhira tidak ingin keluarganya tahu siapa ayah dari janin yang sedang dikandungnya. Cukup hanya Nadhira saja yang tahu. Karena meskipun mereka mengetahui siapa Zaki tak ada siapa pun yang akan dapat menemukan keberadaannya. Biarlah rahasia itu Nadhira simpan rapat seorang diri.

Arya menghentikan mobil di depan rumah makan padang, mereka turun dan menuju ke dalam. Nadhira memilih untuk tidak makan karena perutnya mendadak terasa mual. Ia langsung menuju ke dalam dan membiarkan mama dan kakaknya memilih makanan.

“Nad, kamu mau makan apa?” tanya Mama Nur.

“Nad nggak makan dulu ma, belum lapar. Nanti aja di rumah,” jawab Nadhira.

“Mau dibungkus?” tanya Mama Nur lagi.

“Nggak usah ma,” jawab Nadhira singkat.

“Kamu mau makan di sini atau dibungkus aja, Ar?” tanya Mama Nur pada putranya.

“Dibungkus aja ma. Kita makan di rumah aja. Sekalian buat papa,” jawab Arya.

Mama Nur dan Arya memilih menu yang akan dibungkus. Mendengar tidak jadi makan di sana, Nadhira memilih keluar dan menunggu di depan mobil.

Nadhira melihat ada penjual jus di sebelah rumah makan padang itu. Perlahan ia menuju ke kios jus buah tersebut dan memilih jus alpukat dengan toping coklat. Entah kenapa mendadak ia ingin sekali meminum jus buah itu.

Diam-diam Mama Nur memerhatikan Nadhira yang tengah menunggu penjual jus menyiapkan pesanannya. Sebelumnya Nadhira tidak pernah suka dengan buah alpukat karena teksturnya yang lembek dan rasanya yang menurutnya aneh, hambar gitu.

Namun sore itu Mama Nur melihat Nadhira yang antusias menunggu pesanan jus alpukatnya. Ada kepedihan mendalam yang tak terucapkan dalam raut wajah Mama Nur.

Putri kecilnya yang berharga yang telah ia besarkan degan penuh kasih sayang, kini akan menjadi seorang ibu dari anak yang tak berayah. Kilasan kenangan sejak Nadhira lahir seolah berkejaran dalam benak Mama Nur.

Siapakah laki-laki yang telah merenggut mahkota berharga milik putrinya? Mengapa tak nampak batang hidungnya? Apakah ia tidak tahu akibat apa yang dia timbulkan pada anak gadis orang lain? Mama Nur benar-benar tak habis pikir.

“Ma, mama.. Mama nggak papa?” tanya Arya sambil memegang pundak mamanya yag kedapatan sedang melamun.

“Nggak kok. Sudah semua pesanannya?” Mama Nur mengalihkan pembicaraan.

“Sudah ma. Nadhira mana ma?” tanya Arya lagi.

“Di sana, kita tunggu di mobil,” jawab mamanya sambil mengulurkan telunjuknya ke arah Nadhira.

“Tumben dia beli jus,” komentar Arya acuh.

“Kamu mau juga?” tanya Mama Nur.

“Nggak ma,” jawab Arya pendek.

Tak lama Nadhira kembali dan masuk ke dalam mobil.

“Maaf ma, nunggu lama ya? Nadhira tiba-tiba pengen jus. Mama mau?” kata Nadhira sambil menyodorkan gelas plastik berisi jus alpukat dan coklat.

“Buat kamu aja, Nad,” jawab mamanya.

“Kak Arya?” tawar Nadhira pada kakaknya.

“Nggak. Nggak doyan, buat kamu aja,” jawab Arya sambil mulai menyalakan mobil dan melaju ke jalan besar menuju rumah mereka.

“Apa kamu pengen makan makanan lain Nad? Ngidam mungkin?” tanya mama Nur tiba-tiba.

“Hmm.. Nggak ma. Nadhira cuman lagi pengen minum ini aja,” jawab Nadhira sambil mengangkat gelas berisi jus alpukat yang sedang diminumnya.

“Kalau kamu pengen makan apa-apa bilang saja,” perkatan mama Nur yang seolah disampaikan dengan acuh itu, membuat Nadhira tercekat.

Harapannya adalah mamanya mau memaafkan dirinya. Ia bersyukur hari ini mamanya mau mengajak dia berbicara, tidak seperti sebelumnya. Mama Nur hanya diam meski tetap menyiapkan makanan untuk Nadhira. Seulas senyum bahagia tergambar di bibir Nadhira.***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jalan Takdir Nadhira   41 Konfrontasi

    Sorot mata yang penuh amarah Ana tujukan pada Nadhira."Ngapain kak Nad Nangis? Nyesel udah nikah sama ayahku dan tinggal di kampung seperti ini?" "Ana, kamu sudah pulang? Maaf aku nggak denger," ujar Nadhira sambil mengusap pipinya yang basah."Ngapain Kak Nad nangis?! Harusnya yang nangis itu aku sama Ani! Kak Nad sudah ngrebut ayah dan ibuk dari kami! Aku benci sama Kak Nad!" Teriak Ana."Maaf, Ana. Aku nggak bermaksud untuk merebut siapa pun dari kamu dan Ani. Ayah kamu cuman bantuin kak Nad," Nadhira mendekati Ana. Ana melangkah mundur menjaga jarak jari Nadhira. Matanya sudah merah menahan tangis dan amarah."Ini rumah Aku! Dan itu kamar Ibuk sama ayah!" Tunjuk Ana pada kamar yang tadi malam ditempati Nadhira."Iya, aku tahu. Maaf. Kalau kamu nggak suka kak Nad tidur di kamar itu, kak Nad akan tidur di ruangan lain," Nadhira menanggapi dengan tenang meski batinnya amat terluka."Kak Nad jahat, tahu nggak? Aku nggak suka ayah nikah lagi. Aku nggak mau ibu baru!" Mata Ana berkac

  • Jalan Takdir Nadhira   BAB 40 TENTANG ZAKI (3)

    "Ya..," jawab Nadhira pelan. Pandangan Nadhira seperti berkabut. Ia tidak bisa melepas pandangannya pada Zaki. Ia tidak ingin Zaki berhenti menyentuhnya. Tangannya membelai lembut pipi dan leher Zaki.Aroma keringat bercampur parfum yang dipakai Zaki membuat Nadhira memejamkan matanya. Wangi aroma lembut shampoo yang dipakai Nadhira menyelusup ke hidungnya dan mulai menggoda Zaki. Mata Nadhira terpejam. Zaki perlahan mengecup lembut bibir merah muda Nadhira.Mendapatkan lampu hijau dari Nadhira, Zaki perlahan memulai aksinya. Diberikannya kecupan-kecupan lembut di bibir, pipi dan kening Nadhira. Jemarinya lembut membelai anak-anak rambut Nadhira. Perlahan turun menyentuh telinga dan lehernya.Kecupan manis Zaki masih berlanjut. Keduanya saling berpagut lembut. Jemari Zaki terulur ke belakang kepala Nadhira. Usapan lembut jemarinya berpadu dengan hangatnya kecupannya membuat Nadhira tanpa sadar melenguh nikmat. Nadhira begitu menikmati sentuhan Zaki.Kini tak hanya bibir Nadhira yang d

  • Jalan Takdir Nadhira   BAB 39 TENTANG ZAKI (2)

    “Zaki, kamu merokok?” Nadhira menoleh ke arah Zaki dan menunjukkan sebungkus rokok yang hampir penuh.“Ah, kadang aja.. kalau lagi nulis lagu,” jawab Zaki sekenanya.“Sejak kapan?” tanya Nadhira masih sambil membolak balik rokok itu.“Hmm.. Sejak ngeband kayaknya,” tak acuh Zaki menjawab pertanyaan Nadhira.“Trus ini ?” desak Nadhira“itu bukan rokok aku. Punya anak-anak ketinggalan waktu main ke sini,” jawab Zaki sambil nyengir.“Aku nggak pernah tahu kamu suka ngerokok. Hmm.. baiknya sih dikurangin. Lebih baik lagi kalau berhenti. Kamu kan masih muda, masa depan masih panjang, jangan dirusak dengan barang kayak gini,” panjang lebar Nadhira mengomel“ahaha.. iya bu guru..” geli Zaki menimpali omelan Nadhira sambil tertawa.“Kamu ini kalau dibilangin yaa..” Nadhira berbalik kembali melihat-lihat koleksi yang ada di meja belajar Zaki.“Emang ngerokok enak?” penasaran Nadhira melemparkan pertanyaan itu. Ia tidak pernah tahu alasan kenapa orang suka banget ngerokok. Padahal Nadhira ngise

  • Jalan Takdir Nadhira   BAB 38 TENTANG ZAKI (1)

    Subuh itu, Nadhira menyadari bahwa keberadaan dirinya di rumah itu ditentang keras oleh Ana dan Ani. Sejak kemarin Hanif memang tidak menceritakan apa pun padanya. Termasuk fakta bahwa Ana dan Ani menolak pernikahan Hanif dan Nadhira.Hanif mendapati Nadhira duduk di tempat tidur masih dengan menggunakan mukena. Mushaf kecil tergeletak begitu saja di sampingnya. Wajah Nadhira kentara habis menangis.“Ada apa, Nad?” tanya Hanif hati-hati.“Lik, Nad harus kemana kalau di sini pun ditolak? Nad sekarang nggak punya apa-apa,” keluh Nadhira.“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Hanif sambil duduk di hadapan istrinya.“Aku kayak nggak punya siapa-siapa lagi, Lik. Lik tahu sendiri Mama dan Kak Arya sudah tidak mau berhubungan lagi denganku. Sedangkan di sini pun begitu. Lantas aku harus pergi kemana?”Hanif menghela napas berat. Dia baru sadar bahwa Nadhira telah mendengar pembicaraannya dengan Ana barusan.“Kan kemarin sudah kita bicarakan baik-baik. Kenapa sekarang jadi ngomongin ini lagi?”H

  • Jalan Takdir Nadhira   BAB 37 "KAMAR IBUK!"

    “Kalau kamu belum nyaman satu kamar dengan aku. Ngak apa-apa biar Mas tidur di kamar lain, atau di ruang tamu,” kata Hanif yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Nadhira, mengagetkannya.“Nggak, Mas. Kalau ada yang harus tidur di luar ya aku. Kan ini rumahnya Mas. Jadi nggak apa kalauaku tidur di ruang tamu atau depan tv,” tolak Nadhira.“Hmm. Sekarang ini kamu bukan orang lain lagi di sini Nad. Ini rumah kamu juga. Kan kamu istrinya mas. Jadi kamar ini juga jadi kamar kamu. Tapi ya kalau kamu nggak keberatan alangkah baiknya kalau kita tidur bersama.Nadhira menatap ngeri ke arah Hanif“Nggak. Bukan tidur bersama itu. Maksud aku tidur bersama di kamar ini. Tidur dalam artian yang sebenarnya. Mas janji nggak akan memaksa kamu untuk melayani Mas. Kamu tenang aja,” hanif jadi salah tingkah.“Maaf Lik. Aku rasa aku belum bisa melayani lik sebagaimana layaknya istri melayani suami. Aku harap lik bersabar tentang itu.“Iya, insyaallah sabar. Tapi jangan panggil Lik lagi dong. Kan tadi u

  • Jalan Takdir Nadhira   BAB 36 MALAM PERTAMA DI RUMAH HANIF

    “Iya, anak kita. Janin dalam kandunganmu itu anak kita. Kan kita sudah menikah. Meski kita belum punya buku nikah. Nanti secepatnya aku urus. Mas ingin kamu tenang, karena kita nikah sah secara agama dan negara,” kata Hanif dengan tersenyum.“Lik, apa Lik sudah yakin mau terima anak ini?” ragu Nadhira.“Kok masih ‘Lik’ manggilnya. Waktu itu kan sudah sepakat mau manggil ‘Mas’,” Hanif mengalihkan pembicaraan.“Eh, iya Lik, eh, Mas.” Nadhira tersenyum.“Nah gitu dong, kan jadi cantik istrinya Mas. Mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Hanif sambi tersenyum.“Mas, jawab dulu pertanyaanku tadi,” cegah Nadhir saat Hanif akan beranjak dari duduknya.“Nad, Mas sudah janji sama papa kamu bahwa Mas akan jaga kamu dan anak dalam kandungan kamu. Kamu sudah Mas nikahi di depan papa, Mama dan keluarga besar kita. Jadi tentu saja, anak itu akan jadi anak kita. Yuk sekarang kita makan dulu,”Ada perasaan lega bercampur gelisah di dalam hati Nadhira. Namun untuk saat ini ia memilih untuk percaya dan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status