Share

BAB 7 WASIAT

Pak Hamzah terlihat memasuki rumah dengan langkah pelan dan wajah lelah. Nadhira yang sedang duduk di sofa ruang tengah segera berdiri dan menyambut dan mencium punggung tangannya. Biasanya Pak Hamzah akan mengelus dan mencium puncak kepala putrinya. Namun kali ini beliau seolah tidak berkenan melakukannya.

Mama Nur menghampiri suaminya dan mengulurkan segelas teh hangat. Pak Hamzah segera meminum teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Wajah Mama Nur penuh kekhawatiran melihat suaminya yang biasanya penuh senyum dan semangat, malam itu terlihat amat pucat dan lelah.

Nadhira yang menyaksikan semua itu memilih diam. Ia tahu semua kesulitan yang papanya alami hari itu adalah akibat dari ulahnya.

“Papa, mau mandi atau mau makan dulu?” tanya Mama Nur lembut pada suaminya.

“Mama sempat masak?” tanya balik Pak Hamzah.

“Mama ndak masak, tadi siang mama beli lauk padang kesukaan papa. Mau makan sekarang?”

“Nanti saja. Mana Arya Ma?” tanya Pak Hamzah mencari anak sulungnya.

“Ada di kamar. Mau mama panggilkan?”

“Iya, kita bicara sebentar,” jawab Pak Hamzah.

Mama Nur segera menuju kamar putra satu-satunya dan memanggilnya turun. Nadhira tahu bahwa apa yang akan disampaikan oleh papanya adalah tentang dirinya. Ia memilih diam seribu bahasa. Arya mengekor di belakang Mama Nur dan memilih duduh di sofa sebelah ayahnya.

“Papa, nggak apa-apa? Wajah papa pucat sekali,” tanya Arya khawatir.

“Papa nggak apa-apa. Arya libur berapa lama?” tanya Pak Hamzah berbasa-basi

“Sebulan lebih pa, karena ini libur akhir semester.” Jawab Arya

“Gimana kuliahnya?” tanya Pak Hamzah lagi.

“Alhamdulillah, baik pa. IPK juga di atas 3,” jawab Arya.

“Bagus. Tingkatkan yaa.. tidak perlu khawatir akan biaya sekolah atau masalah yang ada di rumah. Kamu fokus saja dengan kuliah kamu,” nasehat Pak Hamzah pada putranya.

“Insyaallah papa sudah siapkan bekal kuliah dan nikah kamu nantinya. Ada sebidang tanah di pinggiran kota. Papa tanami sengon. Seharusnya 3 tahun lagi bisa dipanen. Jika sangat terpaksa tanah itu bisa dijual. Insyaallah cukup untuk bekal kuliah dan nikahan kamu nanti,” kata-kata Pak Hamzah membuat heran istri dan anak-anaknya.

Pasalnya tidak biasanya Pak Hamzah membahas tentang harta apa saja yang beliau miliki.

“Jika bisa nanti setelah lulus, carilah kerja yang dekat dengan rumah. Atau kalau kamu mau lanjutkan usaha Papa. Mau mengurus toko bangunan atau warung makan kamu bisa pilih. Sementara ini urusan toko grosiran di pasar kecamatan biar dipegang mama kamu,” lanjut Pak Hamzah.

“Papa, kenapa papa ngomongin ini, ada apa pa?” tanya Mama Nur khawatir

“Buat siap-siap aja Ma. Kita nggak tahu umur kita sampai berapa.” Jawab pak Hamza sembari tersenyum. Pilu Nadhira mendengar apa yang papanya katakan.

“Buat Nadhira, Papa juga sudah menyiapkan bekal kuliah kamu. Jika nanti setelah melahirkan kamu ingin melanjutkan sekolah, kamu tidak perlu khawatirkan tentang biayanya. Di rumah mbah papa juga sudah menitipkan 3 ekor sapi untuk kalian masing-masing. Nanti bisa tanya sama Pakdhe Agus tentang perkembangannya. Karena papa sudah menitipkan pada pamanmu. Semoga hasilnya baik.” Pak Hamzah masih melanjutkan pembicaraannya seolah memberikan wasiat terakhirnya.

Arya, Nadhira, dan Mama Nur hanya bisa diam dan mengiyakan apa yang disampaikan oleh Pak Hamzah. Meski ada perasaan mengganjal mereka tidak berani mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran masing-masing.

“Papa besok ke rumah mbah. Mama di rumah saja sama anak-anak,”

“Apa baiknya mama ikut juga pa?” tanya Mama Nur.

“Kasihan para pekerja ma kalo grosiran ditutup. Mama tetap ke pasar seperti biasa. Untuk toko bangunan dan rumah makan sudah di handle sama pak Amir dan Warsito.” Pak Hamzah menegaskan.

“Apa besok Arya antar aja pa?” tanya Arya pada papanya.

“Hmm.. kamu tidak ada acara besok Ar?” tanya Pak Hamzah memastikan.

“Nggak ada Pa,” jawab Arya pendek.

“Ya sudah kalau begitu besok kamu antar papa ke rumah mbah,” jawab Pak Hamzah.

“Perlu disiapkan apa Pa untuk ke rumah ibu?” tanya Mama Nur.

“Nggak perlu semua sudah ada di mobil. Tadi Pak Amir sudah mampir ke toko dan menyiapkan beras, minyak dan entah apa lagi untuk aku bawa pulang.” Jawab Pak Hamzah tampak lelah dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.

“Papa makan dulu yaa,” ajak Mama Nur.

Nadhira merasa papanya masih mengabaikannya. Bahkan papanya tidak menanyakan keadaaanya hari ini. Misalnya tentang bagaimana pemeriksaan kandungannya tadi siang. Nadhira merasa tidak diperhatikan oleh ayahnya.

Dia tahu ini salahnya, dia juga bisa menebak alasan papa tiba-tiba pergi ke rumah Mbah. Pasti juga untuk membahas persoalan dirinya. Tak kuat menahan tangis Nadhira pamit masuk ke dalam kamarnya.

Ditumpahkannya segala rasa yang ada dalam hatinya. Entah mengapa dia merasa sudah tidak dianggap anak lagi oleh orang tuanya sendiri.

Nadhira merasa itu tidak adil. Mau bagaimana pun kesalahan anak bukankah orang tua harus memaafkan anaknya.

Didiamkan dan tidak dianggap seperti itu justru membuat Nadhira merasa lebih sakit daripada dipukuli atau ditampar berulang kali. Sikap mama dan papanya yang sama sekali tidak mengajaknya berbicara membuatnya terluka.***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status