Pak Hamzah terlihat memasuki rumah dengan langkah pelan dan wajah lelah. Nadhira yang sedang duduk di sofa ruang tengah segera berdiri dan menyambut dan mencium punggung tangannya. Biasanya Pak Hamzah akan mengelus dan mencium puncak kepala putrinya. Namun kali ini beliau seolah tidak berkenan melakukannya.
Mama Nur menghampiri suaminya dan mengulurkan segelas teh hangat. Pak Hamzah segera meminum teh yang dibawakan oleh istrinya itu. Wajah Mama Nur penuh kekhawatiran melihat suaminya yang biasanya penuh senyum dan semangat, malam itu terlihat amat pucat dan lelah.Nadhira yang menyaksikan semua itu memilih diam. Ia tahu semua kesulitan yang papanya alami hari itu adalah akibat dari ulahnya.“Papa, mau mandi atau mau makan dulu?” tanya Mama Nur lembut pada suaminya.“Mama sempat masak?” tanya balik Pak Hamzah.“Mama ndak masak, tadi siang mama beli lauk padang kesukaan papa. Mau makan sekarang?”“Nanti saja. Mana Arya Ma?” tanya Pak Hamzah mencari anak sulungnya.“Ada di kamar. Mau mama panggilkan?”“Iya, kita bicara sebentar,” jawab Pak Hamzah.Mama Nur segera menuju kamar putra satu-satunya dan memanggilnya turun. Nadhira tahu bahwa apa yang akan disampaikan oleh papanya adalah tentang dirinya. Ia memilih diam seribu bahasa. Arya mengekor di belakang Mama Nur dan memilih duduh di sofa sebelah ayahnya.“Papa, nggak apa-apa? Wajah papa pucat sekali,” tanya Arya khawatir.“Papa nggak apa-apa. Arya libur berapa lama?” tanya Pak Hamzah berbasa-basi“Sebulan lebih pa, karena ini libur akhir semester.” Jawab Arya“Gimana kuliahnya?” tanya Pak Hamzah lagi.“Alhamdulillah, baik pa. IPK juga di atas 3,” jawab Arya.“Bagus. Tingkatkan yaa.. tidak perlu khawatir akan biaya sekolah atau masalah yang ada di rumah. Kamu fokus saja dengan kuliah kamu,” nasehat Pak Hamzah pada putranya.“Insyaallah papa sudah siapkan bekal kuliah dan nikah kamu nantinya. Ada sebidang tanah di pinggiran kota. Papa tanami sengon. Seharusnya 3 tahun lagi bisa dipanen. Jika sangat terpaksa tanah itu bisa dijual. Insyaallah cukup untuk bekal kuliah dan nikahan kamu nanti,” kata-kata Pak Hamzah membuat heran istri dan anak-anaknya.Pasalnya tidak biasanya Pak Hamzah membahas tentang harta apa saja yang beliau miliki.“Jika bisa nanti setelah lulus, carilah kerja yang dekat dengan rumah. Atau kalau kamu mau lanjutkan usaha Papa. Mau mengurus toko bangunan atau warung makan kamu bisa pilih. Sementara ini urusan toko grosiran di pasar kecamatan biar dipegang mama kamu,” lanjut Pak Hamzah.“Papa, kenapa papa ngomongin ini, ada apa pa?” tanya Mama Nur khawatir“Buat siap-siap aja Ma. Kita nggak tahu umur kita sampai berapa.” Jawab pak Hamza sembari tersenyum. Pilu Nadhira mendengar apa yang papanya katakan.“Buat Nadhira, Papa juga sudah menyiapkan bekal kuliah kamu. Jika nanti setelah melahirkan kamu ingin melanjutkan sekolah, kamu tidak perlu khawatirkan tentang biayanya. Di rumah mbah papa juga sudah menitipkan 3 ekor sapi untuk kalian masing-masing. Nanti bisa tanya sama Pakdhe Agus tentang perkembangannya. Karena papa sudah menitipkan pada pamanmu. Semoga hasilnya baik.” Pak Hamzah masih melanjutkan pembicaraannya seolah memberikan wasiat terakhirnya.Arya, Nadhira, dan Mama Nur hanya bisa diam dan mengiyakan apa yang disampaikan oleh Pak Hamzah. Meski ada perasaan mengganjal mereka tidak berani mengungkapkan apa yang ada di dalam pikiran masing-masing.“Papa besok ke rumah mbah. Mama di rumah saja sama anak-anak,”“Apa baiknya mama ikut juga pa?” tanya Mama Nur.“Kasihan para pekerja ma kalo grosiran ditutup. Mama tetap ke pasar seperti biasa. Untuk toko bangunan dan rumah makan sudah di handle sama pak Amir dan Warsito.” Pak Hamzah menegaskan.“Apa besok Arya antar aja pa?” tanya Arya pada papanya.“Hmm.. kamu tidak ada acara besok Ar?” tanya Pak Hamzah memastikan.“Nggak ada Pa,” jawab Arya pendek.“Ya sudah kalau begitu besok kamu antar papa ke rumah mbah,” jawab Pak Hamzah.“Perlu disiapkan apa Pa untuk ke rumah ibu?” tanya Mama Nur.“Nggak perlu semua sudah ada di mobil. Tadi Pak Amir sudah mampir ke toko dan menyiapkan beras, minyak dan entah apa lagi untuk aku bawa pulang.” Jawab Pak Hamzah tampak lelah dan menyandarkan kepalanya ke sandaran sofa.“Papa makan dulu yaa,” ajak Mama Nur.Nadhira merasa papanya masih mengabaikannya. Bahkan papanya tidak menanyakan keadaaanya hari ini. Misalnya tentang bagaimana pemeriksaan kandungannya tadi siang. Nadhira merasa tidak diperhatikan oleh ayahnya.Dia tahu ini salahnya, dia juga bisa menebak alasan papa tiba-tiba pergi ke rumah Mbah. Pasti juga untuk membahas persoalan dirinya. Tak kuat menahan tangis Nadhira pamit masuk ke dalam kamarnya.Ditumpahkannya segala rasa yang ada dalam hatinya. Entah mengapa dia merasa sudah tidak dianggap anak lagi oleh orang tuanya sendiri.Nadhira merasa itu tidak adil. Mau bagaimana pun kesalahan anak bukankah orang tua harus memaafkan anaknya.Didiamkan dan tidak dianggap seperti itu justru membuat Nadhira merasa lebih sakit daripada dipukuli atau ditampar berulang kali. Sikap mama dan papanya yang sama sekali tidak mengajaknya berbicara membuatnya terluka.***Sorot mata yang penuh amarah Ana tujukan pada Nadhira."Ngapain kak Nad Nangis? Nyesel udah nikah sama ayahku dan tinggal di kampung seperti ini?" "Ana, kamu sudah pulang? Maaf aku nggak denger," ujar Nadhira sambil mengusap pipinya yang basah."Ngapain Kak Nad nangis?! Harusnya yang nangis itu aku sama Ani! Kak Nad sudah ngrebut ayah dan ibuk dari kami! Aku benci sama Kak Nad!" Teriak Ana."Maaf, Ana. Aku nggak bermaksud untuk merebut siapa pun dari kamu dan Ani. Ayah kamu cuman bantuin kak Nad," Nadhira mendekati Ana. Ana melangkah mundur menjaga jarak jari Nadhira. Matanya sudah merah menahan tangis dan amarah."Ini rumah Aku! Dan itu kamar Ibuk sama ayah!" Tunjuk Ana pada kamar yang tadi malam ditempati Nadhira."Iya, aku tahu. Maaf. Kalau kamu nggak suka kak Nad tidur di kamar itu, kak Nad akan tidur di ruangan lain," Nadhira menanggapi dengan tenang meski batinnya amat terluka."Kak Nad jahat, tahu nggak? Aku nggak suka ayah nikah lagi. Aku nggak mau ibu baru!" Mata Ana berkac
"Ya..," jawab Nadhira pelan. Pandangan Nadhira seperti berkabut. Ia tidak bisa melepas pandangannya pada Zaki. Ia tidak ingin Zaki berhenti menyentuhnya. Tangannya membelai lembut pipi dan leher Zaki.Aroma keringat bercampur parfum yang dipakai Zaki membuat Nadhira memejamkan matanya. Wangi aroma lembut shampoo yang dipakai Nadhira menyelusup ke hidungnya dan mulai menggoda Zaki. Mata Nadhira terpejam. Zaki perlahan mengecup lembut bibir merah muda Nadhira.Mendapatkan lampu hijau dari Nadhira, Zaki perlahan memulai aksinya. Diberikannya kecupan-kecupan lembut di bibir, pipi dan kening Nadhira. Jemarinya lembut membelai anak-anak rambut Nadhira. Perlahan turun menyentuh telinga dan lehernya.Kecupan manis Zaki masih berlanjut. Keduanya saling berpagut lembut. Jemari Zaki terulur ke belakang kepala Nadhira. Usapan lembut jemarinya berpadu dengan hangatnya kecupannya membuat Nadhira tanpa sadar melenguh nikmat. Nadhira begitu menikmati sentuhan Zaki.Kini tak hanya bibir Nadhira yang d
“Zaki, kamu merokok?” Nadhira menoleh ke arah Zaki dan menunjukkan sebungkus rokok yang hampir penuh.“Ah, kadang aja.. kalau lagi nulis lagu,” jawab Zaki sekenanya.“Sejak kapan?” tanya Nadhira masih sambil membolak balik rokok itu.“Hmm.. Sejak ngeband kayaknya,” tak acuh Zaki menjawab pertanyaan Nadhira.“Trus ini ?” desak Nadhira“itu bukan rokok aku. Punya anak-anak ketinggalan waktu main ke sini,” jawab Zaki sambil nyengir.“Aku nggak pernah tahu kamu suka ngerokok. Hmm.. baiknya sih dikurangin. Lebih baik lagi kalau berhenti. Kamu kan masih muda, masa depan masih panjang, jangan dirusak dengan barang kayak gini,” panjang lebar Nadhira mengomel“ahaha.. iya bu guru..” geli Zaki menimpali omelan Nadhira sambil tertawa.“Kamu ini kalau dibilangin yaa..” Nadhira berbalik kembali melihat-lihat koleksi yang ada di meja belajar Zaki.“Emang ngerokok enak?” penasaran Nadhira melemparkan pertanyaan itu. Ia tidak pernah tahu alasan kenapa orang suka banget ngerokok. Padahal Nadhira ngise
Subuh itu, Nadhira menyadari bahwa keberadaan dirinya di rumah itu ditentang keras oleh Ana dan Ani. Sejak kemarin Hanif memang tidak menceritakan apa pun padanya. Termasuk fakta bahwa Ana dan Ani menolak pernikahan Hanif dan Nadhira.Hanif mendapati Nadhira duduk di tempat tidur masih dengan menggunakan mukena. Mushaf kecil tergeletak begitu saja di sampingnya. Wajah Nadhira kentara habis menangis.“Ada apa, Nad?” tanya Hanif hati-hati.“Lik, Nad harus kemana kalau di sini pun ditolak? Nad sekarang nggak punya apa-apa,” keluh Nadhira.“Kenapa kamu bilang begitu?” tanya Hanif sambil duduk di hadapan istrinya.“Aku kayak nggak punya siapa-siapa lagi, Lik. Lik tahu sendiri Mama dan Kak Arya sudah tidak mau berhubungan lagi denganku. Sedangkan di sini pun begitu. Lantas aku harus pergi kemana?”Hanif menghela napas berat. Dia baru sadar bahwa Nadhira telah mendengar pembicaraannya dengan Ana barusan.“Kan kemarin sudah kita bicarakan baik-baik. Kenapa sekarang jadi ngomongin ini lagi?”H
“Kalau kamu belum nyaman satu kamar dengan aku. Ngak apa-apa biar Mas tidur di kamar lain, atau di ruang tamu,” kata Hanif yang tiba-tiba saja sudah ada di belakang Nadhira, mengagetkannya.“Nggak, Mas. Kalau ada yang harus tidur di luar ya aku. Kan ini rumahnya Mas. Jadi nggak apa kalauaku tidur di ruang tamu atau depan tv,” tolak Nadhira.“Hmm. Sekarang ini kamu bukan orang lain lagi di sini Nad. Ini rumah kamu juga. Kan kamu istrinya mas. Jadi kamar ini juga jadi kamar kamu. Tapi ya kalau kamu nggak keberatan alangkah baiknya kalau kita tidur bersama.Nadhira menatap ngeri ke arah Hanif“Nggak. Bukan tidur bersama itu. Maksud aku tidur bersama di kamar ini. Tidur dalam artian yang sebenarnya. Mas janji nggak akan memaksa kamu untuk melayani Mas. Kamu tenang aja,” hanif jadi salah tingkah.“Maaf Lik. Aku rasa aku belum bisa melayani lik sebagaimana layaknya istri melayani suami. Aku harap lik bersabar tentang itu.“Iya, insyaallah sabar. Tapi jangan panggil Lik lagi dong. Kan tadi u
“Iya, anak kita. Janin dalam kandunganmu itu anak kita. Kan kita sudah menikah. Meski kita belum punya buku nikah. Nanti secepatnya aku urus. Mas ingin kamu tenang, karena kita nikah sah secara agama dan negara,” kata Hanif dengan tersenyum.“Lik, apa Lik sudah yakin mau terima anak ini?” ragu Nadhira.“Kok masih ‘Lik’ manggilnya. Waktu itu kan sudah sepakat mau manggil ‘Mas’,” Hanif mengalihkan pembicaraan.“Eh, iya Lik, eh, Mas.” Nadhira tersenyum.“Nah gitu dong, kan jadi cantik istrinya Mas. Mau makan dulu sebelum pulang?” tanya Hanif sambi tersenyum.“Mas, jawab dulu pertanyaanku tadi,” cegah Nadhir saat Hanif akan beranjak dari duduknya.“Nad, Mas sudah janji sama papa kamu bahwa Mas akan jaga kamu dan anak dalam kandungan kamu. Kamu sudah Mas nikahi di depan papa, Mama dan keluarga besar kita. Jadi tentu saja, anak itu akan jadi anak kita. Yuk sekarang kita makan dulu,”Ada perasaan lega bercampur gelisah di dalam hati Nadhira. Namun untuk saat ini ia memilih untuk percaya dan