Share

3. Clara keguguran

Meski tanpa restu dari kedua orang tuanya, Gustav tetap menikahi Clara. Biar bagaimanapun, ia tetap harus bertanggung jawab meski ia sendiri tidak yakin dengan hatinya.

Jangan sampai, dia menyakiti hati dua wanita sekaligus.

Kini, Clara juga tak lagi menjadi sekretaris Jack. Setelah dua hari pernikahannya, Gustav memintanya untuk bergabung di perusahaannya, tentunya menjadi sekretaris pribadi suaminya yang kini menjabat sebagai CEO.

Clara berdiri menghadap ke arah luar yang berdinding kaca, ia tampak tersenyum menatap kemenangannya. Berhasil menjadi seorang Nyonya Willson adalah harapan yang dari dulu ia nantikan. Namun, sempat sirna oleh Grace karena justru Gustav lebih memilih sahabatnya dibanding dirinya. Tetapi kini ia telah berhasil merebutnya, meskipun ia harus kehilangan harga dirinya.

Sayangnya, saat ia sedang menikmati kemenangannya, tiba-tiba perutnya terasa sakit. Ia tampak meringis sembari memegangi perutnya yang terasa semakin bertambah sakit. 

Beruntung ada satu karyawan yang masuk, dan melihat Clara yang tampak kesakitan, melihat itu karyawan tersebut langsung segera menghampiri Clara yang terus saja mengaduh. 

"Tolong panggilkan Gustav," perintah Clara dengan suara yang menahan rasa sakit. 

"Baik, tunggu sebentar," jawabnya karena panik karyawan tersebut langsung berlari ke ruangan Gustav.

"Permisi, Tuan," ucap karyawan tersebut setelah mengetuk pintu dan dipersilahkan masuk oleh atasannya.

"Ada apa?" tanya Gustav tanpa menatap ke arah karyawan tersebut.

"Nyonya Clara sakit Tuan, Tuan diminta segera ke ruangan Nyonya Clara," ucap karyawan tersebut.

"Baik, terima kasih." Entah kenapa ia tidak begitu merasa cemas ataupun khawatir. Tapi bagaimanapun juga ia tetap menemui istrinya.

Gustav pun segera menemui istrinya, benar saja sesampainya di ruangan istrinya ia dikejutkan dengan rintihan Clara yang menangis kesakitan, bukan istrinya yang membuatnya terkejut, namun darah yang mengalir disela-sela kaki Clara yang membuatnya sangat terkejut.

"Clara, kamu kenapa?" tanya Gustav seketika ia menjadi cemas.

"Sakit mas," ucapnya dengan air matanya yang terus membanjiri pipinya.

Tanpa pikir panjang Gustav langsung mengangkat istrinya, dengan cepat ia langsung menuju ke lantai bawah untuk segera membawa istrinya ke rumah sakit. Saat di perjalanan pun Clara sendiri pingsan karena sudah tidak kuat menahan sakitnya.

"Bagaimana dok?” tanya Gustav setelah istrinya diperiksa.

"Ibunya baik-baik saja, tetapi janinnya tidak bisa diselamatkan, dan harus di kuret. Mungkin istri anda terlalu banyak pikiran atau kelelahan yang menjadi faktor terjadinya keguguran." Dokter kandungan tersebut menjelaskan dengan sangat hati-hati.

Gustav hanya menghela napas panjang, bagaimana pun ia harus ikhlas menerima kenyataan pahit ini.

"Lakukan saja dokter, kalau bisa segera, sebelum istri saya sadar dan mengamuk." Hal itu justru membuat dokter terkekeh dalam hati.

"Baik Tuan Gustav," jawab dokter tersenyum ramah.

Sementara Grace, karena ia tidak ingin terlalu larut dalam kesedihan, ia memutuskan untuk pindah rumah. Terlalu banyak kenangan bersama Gustav, jadi ia memutuskan untuk menghapus segala tentang apa yang pernah terjadi sebelumnya, baik itu suka maupun duka.

Ia menaiki sebuah taksi, berniat untuk mencari tempat yang baru, untuk memulai sebuah lembaran baru bersama buah hatinya yang sebentar lagi hadir. Ia hanya ingin menikmati hidup berdua menua seiring pertumbuhan sang anak, meskipun besar kemungkinan pada akhirnya ia akan sendiri jika sang anak kelak menikah.

Ia memutuskan untuk berpindah ke kota Bern, meskipun tidak terlalu jauh dari kota Zurich tempat tinggal sebelumnya. Namun yang terpenting ia bisa melupakan kenangan masa lalunya.

Ia turun dari taksi dan dibantu sopir taksi menurunkan kopernya, kemudian ia berjalan menuju sebuah rumah kecil yang sempat ia beli melalui temannya menggunakan sisa uang tabungannya.

"Sementara waktu mommy hanya bisa memberikan rumah kecil ini dulu ya nak," ucapnya tersenyum seraya mengelus perutnya yang semakin membesar.

Ia memasuki rumah kecil tersebut, meskipun kecil namun jelas sekali terlihat nyaman. Di sinilah ia akan menghabiskan waktu bersama anaknya. Dan memulai lembaran baru.

Empat jam berlalu, akhirnya proses kuret Clara selesai, dan sekarang Clara sudah dipindahkan ke kamar rawat. Gustav mendekati istrinya yang terbaring lemah dan tersenyum ke arahnya. Clara masih belum menyadari jika janinnya tidak bisa diselamatkan.

"Sayang, anak kita baik-baik saja, kan?" tanya Clara sembari mengelus perutnya yang sedikit terasa nyeri.

Gustav pun mencium kening Clara, berharap setelah ia mengatakan yang sebenarnya Clara bisa menerima kenyataan pahit itu.

"Ada apa?" Melihat raut suaminya yang terlalu sendu, Clara pun curiga jika semuanya tidak baik-baik saja.

Gustav mengelus puncak kepala istrinya, sesekali menghela napas, takut jika Clara justru mengamuk tak terima dengan apa yang telah terjadi.

"Anak kita tidak bisa diselamatkan," ucap Gustav dengan nada berat.

"Apa! Kamu bohong pasti! Aku menjaganya dengan baik!" Benar saja Clara tidak menerima kenyataan itu, ia pun menangis tak percaya.

Gustav hanya bisa menenangkan, dan mengelus kepala istrinya sesekali mencium kening istrinya agar Clara bisa ikhlas menerima kenyataan ini. Tak berselang lama akhirnya tangis Clara berhenti.

"Tidak apa, besok juga di kasih lagi," ucap Gustav menenangkan.

Sebenarnya Clara tidak terlalu merasa sedih karena ia sudah berhasil menikah dengan Gustav pria pujaannya sedari dulu. Hanya saja ia harus terlihat sedih di mata suaminya, agar suaminya semakin memedulikannya.

Dua hari di rawat di rumah sakit, akhirnya Clara sudah di perbolehkan pulang, Gustav dan Clara pun segera menaiki mobil untuk menuju rumah kedua orang tuanya Gustav. Karena Gustav masih enggan untuk membeli rumah. 

Sesampainya di rumah, Clara harus menerima ucapan pahit dari ayah mertuanya. Bukannya sambutan prihatin yang ia terima tetapi justru ucapan yang menusuk ulu hati.

"Bagaimana?" tanya ibu kepada Gustav.

"Maaf bu, kami mengecewakan kalian," jawab Gustav dengan raut bersalah.

"Memang iya ! Itu namanya karma! Sudah diberi anak yang benar-benar dari pernikahan halal malah mencari barang haram," ucap Jack yang sangat menohok. Membuat Clara meneteskan air matanya. 

Meski sekuat hati menahan, tetap saja perkataan ayah mertuanya itu bagaikan sebuah tamparan. Sesabar apa pun ia bertahan, tetap sakit rasanya.

"Cukup ayah! Perkataan ayah sangat menyakiti Clara." Gustav pun tak terima dan mencoba untuk membela istrinya.

"Kau pikir Grace tidak terluka! Hey, sadar!" bentak Jack yang masih tidak terima akan keputusan Gustav yang justru menikahi wanita menjijikkan itu.

"Grace lagi Grace lagi. Kami sudah berpisah! Dan menantu ayah itu Clara." Perdebatan itu sungguh membuat sang ibu sesak. 

"Sadar! Ada darah dagingmu bersama Grace! Dan itu benar-benar murni cucuku! Jangan lupa itu!" bentak Jack mengingatkan.

Seketika mulut Gustav terkatup, ia tak lagi bisa mengelak, rasa sedih sesal kian menyeruak. Apa yang dikatakan ayahnya memang benar. Ia hanya bisa diam mematung tanpa sepatah kata. Membuat sang istri menjadi kesal lalu lebih dulu masuk dan bergegas menuju kamar.

"Kenapa diam? Menyesal? Sudah terlambat!" Sang Ayah pun tak henti-hentinya menyalahkan Gustav. 

Gustav yang terlalu panas di salahkan terus oleh sang ayah, tanpa sepatah kata ia hanya berlalu pergi meninggalkan ayahnya yang terus-menerus menyalahkan dirinya.

"Lihat itu, bu. Kelakuan putramu, semenjak menikah dengan wanita duri itu hidupnya menjadi tidak terarah, bahkan semakin ngelunjak! Bisa-bisa kematianku menjadi di percepat." tuturnya kepada sang istri yang sedari tadi hanya diam.

"Sebelum kau mati mungkin diriku dulu yang lebih cepat menemui ajal," ungkap sang istri yang terlihat sinis.

"Hey, kau tak boleh mati sebelum diriku!" Perdebatan kecil itu membuat suasana hati mereka kembali normal. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status