Sofia masih terduduk di lantai, berusaha mencabut beling yang tertancap di telapak tangannya. Darah mengalir, perihnya membuat tubuhnya bergetar. Tiba-tiba pintu terbuka. Jantung Sofia berdegup kencang, mengira Aldi kembali. Tapi ternyata dua orang pelayan masuk. Pintu segera ditutup kembali, dijaga dua anak buah Aldi di luar. "Nona, biar kami bantu," ucap salah satu pelayan dengan suara pelan, mencoba mengangkat Sofia berdiri. Sementara pelayan lain cepat-cepat merapikan kamar, menyapu pecahan beling yang berserakan di lantai. "Nona, sekarang Anda harus mandi, lalu makan," ujar pelayan itu lembut. Sofia menggeleng cepat, matanya memohon. "Aku mau keluar dari sini!" serunya putus asa. "Itu tidak mungkin, Nona. Mari, saya bantu Anda membersihkan diri," bujuk pelayan itu lagi. "Aku nggak mau!" Sofia kembali memberontak, menolak keras. Tangannya yang terluka semakin sakit saat ia melawan. "Nona, Anda harus mandi," kali ini nada pelayan berubah memaksa. "Aku bilang tida
Aldi menyeringai licik sambil melepaskan kancing kemejanya satu per satu. Kemudian ia melepas kemeja itu dan perlahan merangkak naik ke atas ranjang. "Aldi, jangan kurang ajar!" pekik Sofia sambil bergerak turun. Bahkan ia sampai terjatuh karena terlalu panik. Sofia bangkit cepat dan berlari ke arah pintu, berulang kali memutar gagangnya dengan harapan bisa keluar. Sementara itu, Aldi kini berbaring miring di ranjang dengan santai sambil menatapnya. "Sofia, kemarilah. Kita ulangi percintaan kita yang dulu," katanya. "Gila kamu! Aku sudah punya suami!" balas Sofia. "Memangnya suami pura-puramu itu sehebat apa di ranjang?" ejek Aldi. Kemudian ia turun dari ranjang dan berjalan santai mendekati Sofia. Aldi langsung memeluknya dari belakang tanpa ragu, menyingkirkan rambut Sofia, lalu mengecup tengkuk bagian belakangnya. "Aldi!" pekik Sofia penuh kebencian. Aldi hanya terkekeh, sementara tangannya mulai menjalar liar. "Jangan kurang ajar!" Sofia pun mendorongnya sekuat
Rambut Sofia berantakan, tubuhnya tak kalah kacau, tapi yang paling hancur adalah perasaannya. Ia sudah berulang kali mencari jalan untuk melarikan diri, namun sia-sia. Jendela terhalang jeruji besi, dan pintu tetap terkunci rapat. Putus asa mulai merayap, tapi dalam kegundahan itu, ia tetap berdoa dalam hati. Hingga akhirnya pintu terbuka—Aldi kembali. Ia mendapati Sofia duduk di sudut kamar, memeluk lutut dengan tubuh gemetar. Aldi masuk dengan langkah santai, seolah tak ada yang salah. “Sofia, kenapa kamu belum mandi? Bahkan tak makan?” katanya ringan sambil berdiri di hadapannya. “Lepaskan aku!” balas Sofia ketus, suaranya parau. Aldi hanya tersenyum, lalu berjongkok agar sejajar dengannya. “Sayang… kenapa sekarang kamu jadi seperti ini? Bukankah dulu kita pernah saling berbagi ranjang?” ucapnya, mencoba menggugah ingatan masa lalu. Tatapan Sofia menusuknya, penuh amarah dan kebencian. “Hei, kenapa menatapku seperti itu?” Aldi tersenyum miring. Sofia akhirnya membu
“Pa… jangan-jangan Bima yang membuat rekaman itu. Pa, ini tidak benar. Papa tahu sendiri, dia sangat membenci Mama,” ucap Erin dengan nada penuh kepanikan, berusaha meyakinkan Erlangga. Erlangga terdiam. Tatapannya kosong, seolah tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. “Pa, percaya sama Mama ya…” Erin kembali memohon, kali ini dengan suara bergetar, air mata masih membasahi pipinya. Namun Erlangga hanya menghela napas berat, lalu memilih berdiri dan pergi tanpa sepatah kata. “Pa!” Erin segera menyusul, langkahnya tergesa. Ia tidak rela sang suami menjauh dengan amarah di dadanya. Bagaimanapun caranya, ia harus membuat Erlangga kembali percaya—meski dengan rayuan maut sekalipun. *** Keesokan harinya... Sofia perlahan membuka matanya. Pandangannya masih buram, namun seiring waktu ia mulai mengenali sekeliling. Potongan ingatan semalam menyeruak, membuat dadanya berdegup kencang. Dengan panik, ia segera bangkit duduk. Meskipun kepalanya masih terasa pusing akibat obat
* “CCTV-nya rusak. Artinya semua ini sudah direncanakan,” ucap Aran, suaranya terdengar berat. Bima berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Rahangnya mengeras, matanya tajam penuh gelisah. Tangannya berulang kali mengepal, jelas sekali pikirannya tak tenang. “Aku yakin, Sofia tidak pergi sendiri. Ada seseorang yang membawanya,” katanya dengan nada penuh kecurigaan. Aran menelan ludah, ikut merasakan ketegangan yang melingkupi ruangan itu. “Ya, Bos. Tapi aku rasa orang itu bukan Aldi,” jawabnya hati-hati. Bima berhenti melangkah, menatap Aran dengan sorot penuh amarah dan waspada. “Erin?” tebaknya, suaranya meninggi. “Bisa jadi,” sahut Aran, kali ini lebih pelan, seolah membenarkan firasat gelap itu. “Kau punya rekaman saat Erin dan Aldi masuk ke kamar hotel, kan?” tanya Bima tajam, suaranya penuh tekanan. “Punya, Bos,” jawab Aran cepat, meski ada sedikit keraguan dalam nadanya. Bima tidak menunggu penjelasan lebih jauh. Sorot matanya dingin, rahangnya mengeras.
"Nangis aja, nggak papa kok," ejek Lusi sambil terkekeh puas. "Biasanya kau yang selalu membuat kami tersudut. Tapi hari ini, kau yang harus berakhir!" sergah Erin dengan tatapan tajam. "Padahal pernikahanmu dengan Mas Bima palsu, kan? Tapi malah aku yang dituduh berbohong sampai diusir Oma! Sialan kau memang!" Lusi menjerit geram, emosinya kembali memuncak mengingat penghinaan itu. "Kenapa diam? Jawab!" bentak Erin, suaranya meninggi memenuhi ruangan. Sofia hanya terdiam dalam kepasrahan. Jantungnya berdentum cepat, tubuhnya gemetar menahan takut. Ia tak tahu, apakah ini benar-benar akhir dari dirinya di tangan dua orang ini, atau masih ada secercah kesempatan untuk tetap bernafas dan melanjutkan hari-hari. Apakah Bima rela membuang-buang waktunya untuk mencarinya? Pertanyaan itu berputar di kepala Sofia, membuat dadanya makin sesak. "Talinya sudah siap, Bu," lapor salah satu anak buah Erin, menyadarkan Sofia dari lamunannya. "Bagus," Erin tersenyum puas, matanya berkil