Pagi menyelinap lewat celah tirai, cahaya hangat menyapu wajah Sofia. Ia terbangun perlahan, menyadari ada lengan hangat yang meleluknyanya. Bima. Sofia terperanjat begitu menyadari lengan Bima melingkari tubuhnya. Dengan gerakan refleks, ia segera duduk tegak, matanya langsung meneliti pakaiannya sendiri sambil mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi semalam. Kenapa Bima bisa tidur di ranjang ini? Bahkan… memeluknya. Dan apakah itu benar-benar hanya sekadar pelukan? Pikirannya berputar liar. Ada rasa malu, bingung, dan sedikit panik yang bercampur menjadi satu. Bima yang merasa gerakannya terusik, perlahan membuka mata. Pandangannya sedikit kabur, tapi begitu fokusnya kembali, ia baru sadar, mereka berdua terbaring di ranjang yang sama. Sofia menatapnya lekat-lekat, sorot matanya penuh tanya. "Kenapa kamu tidur di sini?" suaranya terdengar dingin, tapi samar-samar bergetar. Bima terdiam, menelan kebingungan yang sejak tadi mengganjal. Sebenarnya, ia hanya berniat
"Sofia, kamu tidak melupakan Mamimu, kan?" tanya Bima tiba-tiba. Sofia menoleh, menatapnya penuh tanda tanya. "Kamu harus tetap semangat. Aku dapat kabar dari dokter yang menanganinya. Katanya, keadaan Mamimu mulai ada kemajuan. Hari ini, jari-jarinya bergerak," terang Bima. Sofia benar-benar bahagia mendengarnya. Ini seperti secercah harapan di tengah keputusasaan. "Benarkah?" tanyanya tak percaya. "Iya," jawab Bima yakin. "Kita pulang, hari juga sudah sore," kata Bima lagi, suaranya lembut namun sarat kekhawatiran. Sofia mengangguk, lalu kembali berbicara di depan makam ayahnya. "Pi, Sofia pamit dulu. Nanti Sofia pasti datang lagi." Ia berjalan menuju mobil, dan Bima menunggunya dengan tatapan sendu. Sepanjang perjalanan pulang, Bima beberapa kali melirik ke arah Sofia. Ada rasa bersalah dan iba yang mengendap di matanya, namun ia memilih diam, takut kata-katanya justru melukai lebih dalam. Sesampainya di rumah, Sofia membuka pintu mobil dan turun perlahan. Bima
"Dia milikku! Sampai kapan pun juga!" bentak Aldi penuh emosi. Tanpa ragu, Aldi yang sudah bangkit kembali langsung menggenggam tangan Sofia, berniat menyeretnya pergi. Lagipula Sofia sudah setuju untuk kembali padanya. "Lepaskan dia!" suara Bima terdengar berat, penuh peringatan, sambil ikut menarik tangan Sofia ke arah sebaliknya. Sofia terjepit di antara keduanya. Tarikan dari dua arah membuat tubuhnya oleng, dan rasa sakit mulai menyebar di lengannya. Air matanya menetes tanpa suara. "Akhhh..." lirihnya menahan perih. Bima tersentak melihat wajah Sofia yang menahan sakit. Seketika itu juga, dia melepaskan genggamannya. Namun bukan berarti dia menyerah. Tidak. Dia hanya tak ingin menyakitinya. Tapi dia tak akan membiarkan pria itu membawanya. "Dia istriku. Aku bilang, lepaskan dia." suara Bima dalam, nyaris seperti geraman. Aldi mendengus sinis. "Kalau begitu, ceraikan dia sekarang juga! Karena kami akan kembali rujuk!" Bima tak menjawab. Ia hanya melangk
Ciiittt! Suara rem mobil yang mendadak mengerik itu memecah udara. Mobil itu berhenti hanya beberapa langkah di depan Sofia. Sofia menatap kosong ke depan, kecewa. Kenapa tidak menabrak saja sekalian? pikirnya getir. Dari kejauhan, Bima yang menyaksikan semuanya berdiri terpaku. Rasa lega langsung memenuhi dadanya saat melihat Sofia masih hidup, masih utuh. Tak lama, pintu mobil terbuka. Seseorang turun dengan langkah tergesa dan Sofia menegang saat mengenali sosok itu. Aldi. Sofia membelalakkan mata. Barulah ia sadar mobil itu adalah milik pria yang paling tak ingin ia temui saat ini. "Kamu?" tanya Aldi, terkejut bukan main saat menyadari siapa yang hampir saja ditabraknya. Sofia hanya diam. Matanya masih basah. Ia tak ingin menangis di hadapan pria itu lagi. "Seharusnya aku tabrak saja kamu tadi," gumam Aldi, sinis. Tapi nadanya tak cukup kuat untuk menyembunyikan kegugupan. Lalu tatapan matanya berubah. Terpaku pada penampilan Sofia. celana jins ketat, tubuh
"Nggak ada ide yang lebih bagus lagi?" tanya Bima tajam. Sofia langsung menoleh, refleks memeriksa pintu. Ia buru-buru menutup dan menguncinya rapat dari dalam, lalu bersandar dengan napas sedikit lega. "Hampir aja…" gumamnya pelan. Bima mendekat, wajahnya menunjukkan jelas bahwa ia sedang kesal. "Kalau semua ini berantakan karena kecerobohanmu," ucapnya dingin, "bukan cuma kamu yang masuk penjara. Pengobatan ibumu juga akan aku hentikan." Sofia mendongak tajam. "Apa sih?! Nggak usah ngancem kayak gitu juga kali! Aku nggak sebodoh itu!" "Kau itu ceroboh!" bentak Bima. "Bahkan untuk hal sekecil ini, kau hampir menghancurkan semuanya!" "Aku tuh bingung, kenapa sih Lusi masih tinggal di sini? Kerjanya cuma jadi kompor doang!" gerutu Sofia dengan nada kesal. "Apa caranya harus seperti tadi, berapa kali kau sudah melakukan hal gila seperti itu?" "Harusnya kau bisa menghargai usahaku untuk terus meyakinkan semua orang tentang pernikahan kita!" balas Sofia yang merasa tak d
"Ada apa?" tanya Bima begitu masuk. Sofia tak langsung menjawab. Pandangannya justru tertuju pada Lala. "Aku permisi dulu," ucap Lala, memahami situasinya. Ia segera melangkah keluar. Begitu pintu tertutup, Sofia buru-buru menguncinya. Ia lalu berjalan ke tengah kamar, berdiri tepat di depan Bima. Sejenak, ia mengingat kembali ucapan Lala beberapa menit sebelum Bima kembali, usai Sofia sendiri yang memintanya pulang lewat telepon. "Ada apa? Kau menyuruhku buru-buru kembali cuma untuk melihat wajahmu?" tanya Bima mulai kehilangan kesabaran. Sofia mendongak, menatap wajah Bima dengan serius. "Mas Bima, cepat buat tanda di sini!" ucapnya sambil menunjuk tengkuk lehernya. Bima mengerutkan dahi. "Apa maksudmu?" "Mas Bima, sekarang!" desaknya tak main-main. Bima menatapnya sinis. "Kau sudah tak tahan, ya? Murahan sekali," cibirnya. Tiba-tiba ponsel Sofia berbunyi. Sebuah pesan masuk dari Lala: [Oma udah jalan ke kamar kamu!] Sofia panik. Ia melempar ponselnya ke at