Hati Sofia terus berbahagia setelah pulang menjenguk sang ibu, sungguh masih belum menyangka masih bisa melihat ibunya dan seperti ini, meskipun belum bisa berbicara padanya tapi paling tidak Sofia masih bisa memeluknya. "Mas, makasih ya," ucap Sofia tidak ada hentinya. "Iya, dan kita sudah sampai di rumah. Jangan bahas ini lagi," kata Bima mengingatkan. Sofia pun mengangguk mengerti. Keduanya turun dari mobil dan Oma sedang duduk di teras. "Kalian sudah pulang? Kenapa cepat sekali, belum juga satu minggu," kata Oma yang kini berdiri di hadapan Sofia. "Aku ada pekerjaan, Oma," sela Bima. "Pekerjaan terus yang kamu pikirkan, padahal ada Aran yang bisa menghendel semuanya selama kamu pergi," protes Oma. Tapi Bima memilih untuk melangkah masuk. "Ya ssuda... tidak masalah, lain kali bisa pergi lebih lama," kata Oma sambil menangkup wajah Sofia. "Iya, Oma. Sofia ke kamar dulu ya," kata Sofia dengan senyuman penuh kebahagiaan. "Iya, sayang." Sofia melangkah masuk men
Semetara itu Sofia begitu bersemangat untuk segera berangkat ke Singapura untuk melihat keadaan ibunya. Bima benar-benar menepati janjinya untuk mengantarkan Sofia bertemu dengan ibunya. Mereka pulang ke rumah hanya untuk berpamitan pada Oma. "Oma, kami malam ini tidak pulang karena sore ini kami akan berangkat ke bali," kata Bima. Sofia terkejut mendengarnya, tapi sesaat kemudian Bima menatapnya sambil mengedipkan sebrlah matanya. Kemudian dia pun kembali menetralkan dirinya. "Ke Bali?" tanya Oma. "Iya, Oma. Sejak menikah kami belum pergi kemanapun... honeymoon, iya..." ucap Bima dengan susah payah. Tapi, ucapan Bima membuat Oma kegirangan, tentunya Oma tidak akan menghalanginya. "Iya, Oma setuju. Siapa tahu pulang-pulang Sofia sudah hamil," kata Oma sambil bersorak gembira dalam hatinya. Sofia tersenyum kecut mendengar ucapan Oma yang penuh harap. Dalam hatinya terus memohon maaf karena sudah memberikan harapan palsu. "Iya, Oma. Kalau begitu kami berangkat ya
Setelah Sofia pergi Aldi juga pergi, dia mengemudikan mobil dengan pikiran yang penuh dengan kekacauan. Ada rasa takut jika dia kalah dipersidangan dan semuanya harus kembali pada Sofia. Bukan hanya kelasnya yang turun, tapi harga dirinya juga hilang, ditambah lagi sangsi sosial yang akan diterima. Apa lagi ada wartawan yang pastinya berita ini akan tersebar luas dengan cepat. "Sial!" umpatnya. Tapi saat itu matanya melihat seseorang yang turun dari mobil kemudian bergandengan tangan dengan seseorang. "Diana?" katanya sambil menginjak pedal rem. Dengan penuh amarah Aldi pun turun dari mobil dan menghampirinya. Tapi Aldi melihat Diana masuk ke sebuah hotel bersama dengan seorang pria. "Apa yang dia lakukan di sini?" gumamnya semakin merasa terhina. Saat Diana masih berada di lobi Aldi langsung memanggilnya. "Diana!" Diana pun menoleh dan melihat wajah siapa yang memanggilnya. "Aldi..." katanya seakan tidak percaya. Diana menyimpan rasa paniknya, dia tak mau d
Keluar dari ruang sidang, langkah Sofia terasa lebih ringan dibanding saat ia masuk tadi. Meski begitu, jantungnya masih berdebar cepat. Ada rasa lega yang menenangkan, tetapi di sudut hatinya, bayangan Aldi yang penuh tipu muslihat masih membayang. Meskipun demikian itu bukan menjadi masalah yang besar untuknya. Apa lagi udara panas siang itu menyambutnya, membuatnya sedikit menyipitkan mata. Bima berjalan di sisinya, membawa map berisi salinan putusan sidang sementara. "Ini baru awal," ujar Bima, suaranya datar namun menenangkan. "Kita sudah punya pegangan kuat, tapi proses eksekusi harta itu butuh waktu. Aldi pasti akan mencari celah untuk menghalangi." Sofia mengangguk pelan. Ia tahu benar, Aldi bukan tipe orang yang menerima kekalahan begitu saja. Namun, hari ini, setidaknya ada secercah cahaya yang menembus gelapnya perjuangan panjangnya. Langkahnya sempat terhenti sejenak. Ia menatap ke langit biru yang terpotong oleh atap gedung pengadilan, membiarkan sinar matahar
Ruang sidang modern, penuh awak media. Di kiri ruang, Aldi duduk dengan jas mahal dan senyum mengejek. Di kanan, Sofia duduk tenang, mengenakan setelan rapi, di sampingnya Bima. Tenang, tajam, dan siap bertarung. Terdengar suara Hakim "Kita buka sidang gugatan perdata antara pihak penggugat, Ny. Sofia Indah Lestari dan pihak tergugat, Tn. Aldi Prayoga…" Aldi berbisik pada pengacaranya sambil tersenyum. "Tenang saja. Dia nggak punya apa-apa. Dan aku nggak mau dipermalukan lagi oleh dia." Sementara itu, Bima membuka map berisi dokumen. Sofia menatap lurus ke depan. Tidak lagi takut, tidak lagi ragu. "Klien kami menerima seluruh aset atas dasar kepercayaan dan cinta. Tidak ada paksaan, tidak ada tipu muslihat. Semua dokumen sah secara hukum." Pengacara Aldi yang berbicara kali ini. Aldi tersenyum ke arah Sofia. "Kita dulu saling mencintai, bukan begitu, Sofia?" Sofia menatapnya tenang, lalu beralih pada hakim. Jika bukan karena hal penting dia tak akan mau bertem
Di dapur, Sofia menyalakan kompor dan mulai memanaskan wajan. Tangannya cekatan, tapi pikirannya entah ke mana. Sesekali ia terdiam, menatap kosong ke arah jendela, seolah ada sesuatu yang terus menghantui pikirannya. Pisau di tangannya berhenti memotong sayuran ketika ia menghela napas panjang. "Aku harus kuat…" bisiknya nyaris tak terdengar. Bau tumisan mulai memenuhi ruangan, namun rasanya hambar di matanya. Sofia memaksa tersenyum ketika Bima tiba-tiba muncul di pintu dapur, bersandar sambil mengamati gerak-geriknya. "Kok bengong?" tanya Bima ringan, meski matanya tajam memperhatikan. Sofia tersentak kecil lalu buru-buru kembali menumis. "Nggak, cuma kepikiran menu aja." Bima tidak menjawab, tapi ekspresinya jelas menunjukkan ia tidak percaya. Tapi Bima bingung harus berbuat apa, akhirnya dia duduk di kursi meja makan sambil menunggu sarapan buatan Sofia. Sampai tak lama kemudian sepiring nasi goreng pun tersaji. "Silakan," kata Sofia. "Hmm..." Bima melihat