Haura dengan cepat menoleh ke asal suara itu, ternyata ada Lilis yang mendekatinya seorang diri sambil menatapnya dengan tatapan mengejek, Haura bingung ke mana mantan pembantunya itu menyembunyikan lelaki yang dia lihat tadi.
“Kamu terlalu gatal, ya? Jadi enggak tahan lagi sampai mau main di toko baju punya orang,” ejek Lilis sambil tertawa kecil.“Aku enggak ngelakuin seperti yang kamu maksud, jadi jangan nuduh aku macam-macam!” hardik Haura tidak terima.“Ngaku aja kali! Ngapain lagi cewek sama cowok di tepat sepi kayak gini dengan posisi yang jelas banget mau ....” Lilis kembali tertawa kecil, dia sangat menikmati sekali mengejek Haura.Haura memang bersembunyi tepat di bagian toko yang sepi, dia memilih di sana karena takut membuat orang dan Lilis mencurigai dirinya, lantas dia akan ketahuan kalau sedang membuntuti mantan pembantunya itu. Namun, ternyata malah menjadi seperti ini, sekarang Haura dituduh melakukan hal tidak baik oleh Lilis“Jelas lah gak sakit! Orang aku megangin kamu kok, biar enggak jatuh!” Perkataan Dean membuat Haura membuka matanya, dia melihat wajah lelaki muda itu sangat dekat sehingga membuat wajahnya menjadi bersemu merah.Posisinya sekarang tengah dirangkul oleh Dean dengan sebelah tangan di bagian pinggang, lelaki itu menangkapnya sebelum jatuh. “Betah amat aku pegangin,” ucap Dean tersenyum menyeringai. “Siapa juga betah? Aku masih kaget tahu!” Haura segera mendorong kasar Dean untuk menjauh darinya. “siapa sih yang buang kulit pisang sembarangan kayak gini? Kalau aku beneran jatuh, gimana?!” gerutu Haura sambil memungut kulit pisang itu, lalu membuangnya ke dalam tempat sampah. Dean hanya tersenyum dengan memperlihatkan barisan giginya yang putih. ‘Aku enggak tahu dia bakalan nginjak kulit pisang bekasku itu, tapi lumayan berguna juga buat rangkul pinggang dia,’ batin Dean senang, dia tertawa kecil melihat Haura salah tingkah.
"Udah!"Perkataan Dean membuat Yirra membuka matanya perlahan, dia menatap lelaki itu dengan tatapan bingung."Aku kira kamu mau ...." Yirra tidak meneruskan kalimatnya karena malu."Mau apa?" tanya Dean sengaja ingin menggoda Yirra."Em, e-enggak papa kok!" sahut Yirra gugup.Wajah Yirra sekarang memerah seperti tomat, wanita itu memang sangat menginginkan Dean melebihi apa pun. Walau dirinya sedang menjalin hubungan dengan lelaki lain, tetapi Yirra tetap menyukai Dean melebihi kekasihnya."Kamu kira aku mau melakukan sesuatu ke kamu?" Dean menaikan satu alisnya, sekarang lelaki itu sedang memancing Yirra untuk mengatakan lebih dulu."I-iya." Yirra memalingkan wajahnya.Dean tertawa kecil, dia memperlihatkan daun yang berada di rambutnya Yirra. Lelaki itu tadi mendekat bukan bermaksud buruk, dia hanya ingin membersihkan daun kering yang menempel di rambut Yirra."Eh, sejak kapan daun itu ada?" Yirra membersihkan rambutnya, takut kalau lebih dari satu."Enggak tahu! Mungkin tadi kamu
"Kalian bawa Yirra keluar dari sini, aku mau berikan pelajaran dulu sama cowok brengsek ini!" Jeffry melemparkan kunci kepada kedua temannya yang baru datang."Jeffry, jangan kayak gini!" teriak Yirra sambil memegangi tangan kekasihnya.Sayangnya Yirra kalah dengan tenaga lelaki yang sedang memeganginya. Dia ditarik paksa untuk masuk ke dalam mobil, seperti yang diperintahkan oleh Jeffry tadi.Sedangkan Jeffry, dia masih menatap tajam kepada lelaki yang sedang memandangnya dengan tatapan remeh."Padahal banyak banget cewek lain di sini, tapi kenapa kamu embat cewek aku sih?!" tanya Jeffry dengan penuh amarah."Cewek kamu kok yang mancing aku duluan, sebagai cowok yang normal, wajar dong kalau aku layani!" Dean berkata dengan wajah yang sangat menyebalkan bagi Jeffry.Jeffry pun tanpa sadar melayangkan bogem mentah kepada lelaki yang tidak tahu diri di depannya ini."Sialan! Kamu malah main kasar rupanya, baik akan aku layani!" Dean meregangkan otot-otot tangannya.Dean segera membalas
Dean masuk ke dalam rumah sambil bersenandung kecil, lelaki itu tidak sadar ada Elisa yang menunggunya dengan sorot mata tajam."Kenapa dengan wajahmu itu?!" Elisa bertanya dengan sorot mata tajam."Enggak papa," sahut Dean yang tidak mau mendapat omelan dari sang ibu."Enggak papa, enggak papa! Wajah yang bonyok kayak gini, dibilang enggak papa!" Elisa menarik Dean untuk duduk di sofa. "bentar, ama ambilin obat merah dulu."Dean menyandarkan tubuhnya ke sofa, sekarang dirinya sangat mengantuk sekaligus lelah habis berkelahi dengan Jeffry tadi.Ingin segera tidur saat sampai di rumah, rupanya itu adalah hal yang mustahil. Pasti sang mama sambil mengobati akan mengomelinya panjang lebar, membayangkannya saja membuat Dean semakin lelah."Siniin wajahnya, biar mama obati." Elisa mengarahkan wajah Dean dengan kasar.Elisa lalu membuka kotak obat yang dia bawa dari dapur, lalu membersihkan luka di wajah Dean dengan menggunakan obat merah."Pelan-pelan dong, Ma! Sakit tahu!" ucap Dean merin
"Tawaran yang mana?!" Haura menautkan kedua alisnya, dia pura-pura tidak paham apa yang sedang dibahas oleh Niko."Soal mau atau enggaknya kamu jadi istri keduaku?" Niko mendekati Haura, lelaki itu menatap mantan istrinya dengan tatapan memelas."Aku bilang enggak, ya, enggak!" pekik Haura yang sudah tidak dapat menahan dirinya lagi.Menurutnya Niko sangat tidak mengerti perasaannya selama ini, lelaki itu malah berbuat semaunya saja. Padahal andaikan Niko memilih rujuk dengan baik dan tentu saja membuang Lilis, Haura akan menerimanya dengan senang hati.Namun, Niko malah menginginkan dirinya menjadi istri kedua atau lebih tepatnya menggantikan posisi yang seharusnya dimiliki oleh Lilis. Mana sudi Haura!"Terus kamu maunya, apa?" Niko mengerinyitkan wajahnya, heran."Aku mau kamu cerai dengan Lilis, kalian kan nikah siri. Jadi enggak akan ribet urus ini itu buat cerai, mumpung perceraian kita belum diurus secara hukum," sahut Haur
Wajah Haura menjadi memerah karena malu mendengar perkataan dari Dean, lelaki itu mengatakan hal vulgar tanpa berkedip sedikit pun.Seakan yang dirinya katakan adalah hal yang biasa saja, tetapi berbeda dengan Haura. Walau wanita itu sudah pernah menikah, menurutnya hal seperti ini tidaklah layak dibahas oleh bukan suami-istri.Apalagi oleh orang yang berbeda jenis, kalau wanita mungkin itu adalah hal yang biasa. Namun, ini adalah lelaki, bagaimana wajah Haura tidak memerah."Kamu sakit?" tanya Dean tanpa rasa bersalah.Dean mendekati Haura, lelaki itu mengangkat tangannya di udara."K-kamu mau apa, Dean?" tanya Haura gugup.Haura mundur beberapa langkah, sampai tubuhnya terhantuk dinding. Sekarang dia tidak bisa melangkah mundur lagi, untuk menjauhi Dean. Terpaksa Haura memejamkan matanya pelan, dia memilih pasrah akan apa yang Dean lakukan kepadanya.Tidak Haura duga, Dean malah hanya menempelkan tangan di kening Haura
"Be-egini, kalau misalkan Ibu gak masuk toko, aku harap jangan kasih kepercayaan kepadaku untuk mengurus toko lagi." Mira berkata sambil memilin-milin ujung bajunya.Mendengar hal itu, Haura mengalihkan pandangannya dari setumpuk kertas yang sedang dia kerjakan."Kenapa?" tanya Haura menatap lekat Mira."Enggak papa, Bu!" Mira menggelengkan kepalanya cepat, dia tidak mau disebut sebagai tukang ngadu."Pasti karena si Caca kan?" tebak Haura yang membuat raut wajah Mira terkejut. "ternyata benar, emang apa yang dia lakukan kepada kamu?""Enggak papa kok, aku gak mau disebut tukang ngadu karena masalah ini," gumam Mira lirih.Raut wajah Mira terlihat sangat sedih, walau tidak menyakitkan bagi sebagian orang, tetapi menurutnya Mira sangat tidak nyaman sekali kalau bekerja bersama dengan orang yang memusuhinya.Memang dia tidak memperlihatkan kalau dirinya merasa terganggu dengan sikap Caca, di depan wanita iri tersebut. Namu
"Dia enggak mungkin begitu, Bu!" ucap Haura menolak percaya.Sekarang dirinya menatap Mira, wanita muda itu menggelengkan kepalanya pelan. Wajahnya penuh dengan berlinang air mata."Kalau bukan kamu siapa lagi?! Jadi seharusnya ngaku dong!" hardik wanita setengah baya itu."Bu, aku yakin kalau karyawanku ini enggak mungkin kayak gitu. Jadi kita minta dia bicara untuk jelasin semuanya." Haura menggenggam jemari Mira erat."Halah, aku gak ada waktu buat dengar dia jelasin. Terus mana ada orang kayak dia berani ngaku, kalau sudah, seharusnya dari tadi!" Tunjuk wanita setengah baya dengan mata yang melotot kepada Mira.Mira sangat ketakutan, dia gemetaran dengan wajah menunduk sambil berlinang air mata. Bukannya tidak mau membela diri, tetapi sedari tadi pelanggan yang datang itu tidak membiarkan dirinya untuk berbicara."Dengar dulu, Bu! Aku enggak mau kalau karyawanku yang sebenarnya gak salah, malah dituduh kayak gitu!" Haura seng