Usai ngobrol sebentar dengan Pak Jatmoko, aku membuka handphone.
Ada pesan di grup kami bertiga. Siska, Meyla, dan aku. Grup ini dibuat atas usulan Siska semalam. Nama grupnya juga dari dia, “Three Angel’s.”[Gaess ... aku lagi sama Haris. Mau aku ajak ke salon. Mobil dia baru lho.] Meyla.
[Baru ngerental. Hahaha] Aku tersenyum membaca balasan Siska.
[Sok tau kamu, Boy ... dia kan pengusaha perkebunan yang sukses, lagi nge-ekspor besar-besaran.]
[Tapi, boong. Awokwok.]
[Hahaha ... bisa banget sih kamu nyindirnya. Laila mana nih? Kok dia gak nongol?]
[Masih jalanin sidang perceraiannya.]
[Oh iya aku lupa. Berarti si Haris gak dateng ke sana, ya?]
[Si Haris itu laki pemalas, culas, pengecut, doyan isi cangcut. Wkwkwk]
[Boooyyy
PoV Haris“Mobil baru?” tanya Meyla menatapku dengan wajah berbinar.“Iya. Bosen mobil yang kemarin,” jawabku bohong. Meyla kelihatannya takjub.“Mobil kemarin dijual?”“Oh, enggak. Ada kok di rumah. Lagian dijual buat apa uangnya? Mending simpen aja. Biar bisa ganti-ganti.”“Hebat ya kamu? Aku makin kagum deh!” Meyla menggamit lenganku.“Jadi Shopping gak nih?”“Jadi dooong.” Aku membukakan pintu mobil, setelah memastikan Meyla duduk dengan nyaman, lalu menutupnya.Sepanjang perjalanan, Meyla tak henti menatapku. Bahkan beberapa kali tersenyum genit.“Kamu kenapa, Mey? Lihatin mulu.” Aku merasa Meyla berubah sikapnya. Dia tambah manis, tidak ketus, dan sombong seperti sebelumnya.“Kamu gak suka aku lihatin?” tanyanya merengut. Aku jadi salah tingkah.“Eng-enggak. Justru
Akhirnya syuting iklan yang kami tangani sudah selesai. Kalau tadi tidak hujan, mungkin jam tujuh malam udah selesai, tadi sempat break lagi dari jam tiga sampai maghrib karena turun hujan cukup deras. Jadilah baru beres jam sepuluh. Alhamdulillah meski demikian, semua tim tetap kompak dan semangat termasuk Citra Karina. Semoga saja produk yang kami iklankan laris manis. Ramai dipasaran.Aku sudah bersiap unuk pulang. Sebelumnya menghampiri Siska terlebih dahulu untuk menyampaikan rencana weekend ke Villa Bogor.“Siap! Biar nanti gue yang umumin ke anak-anak. Betewe, di sana nanti mau diadain acara apa?” Siska menyilangkan tangan ke depan dada. Aku mengerutkan kening, belum mengerti arah bicara Siska.“Acara gimana maksudnya?” Siska menghela napas. Menurunkan kedua tangannya dari lipatan di depan dada.“Game gitu. Apa cuma acara bakar kambing guling, bakar ayam, terus makan-makan?” Aku berpikir sejenak. Kala
PoV HarisLagi-lagi aku merasa dirugikan jalan bersama Meyla. Biasanya aku yang suka morotin uang wanita, ini kebalikan. Meyla tak tanggung-tanggung menghabiskan uangku hampir dua puluh juta. Sudah menghabiskan uang segitu banyaknya, tapi sampai sekarang aku belum bisa menyentuh bibirnya apalagi lebih dari itu. Beda halnya dengan wanita lain, cukup bayar lima ratus ribu jiwa ragaku terpuaskan. Apalagi dengan Salma dan Tante Susi, gratis tapi memuaskan dalam hal servis.Aku kira, setelah diantar pulang ke rumahnya sampai larut malam, Meyla dengan suka rela mengajakku nginap. Menyerahkan tubuhnya begitu saja. Yang terjadi justru dia menyuruhku pulang. Bahkan ketika ingin mencium bibir tipisnya, Meyla mendorong tubuhku menjauh.Aku jadi curiga, jangan-jangan si Meyla ini bukan wanita kaya raya, tapi dia miskin. Gak punya apa-apa.Aku mengemudikan mobil menuju rumah tante Susi, mobil ini biar aku taro di rumahnya saja. Kalau di bawa ke kontrakan mana mu
Hampir satu jam Meyla bercerita tentang kebersamaanya dengan Haris. Aku, Siska, Bi Inah dan Mang Karman masih menyimak.“Mey, lo jangan sampe ketauan kalau Cuma manfaatin dia doang. Sekali-kali lo juga harus ngeluarin duit supaya si Haris gak curiga kalau lo lagi ngerjain dia.” Siska memberi pendapat. Aku mengangguk setuju.“Iya juga sih. Orang macam Haris kan udah berpengalaman banget soal cewek. Dia pasti tau, mana cewek yang beneran takluk ama dia, mana cewek yang Cuma porotin duitnya. Oke deh, next time aku lebih piawai lagi. Udah dulu ya, nanti kita sambung lagi. Aku capek banget nih. Pengen bobo syantik.” Imbuh Meyla.“Oke. Good night.” Balas Siska.Setelah telepon dimatikan, kami menuju kamar untuk melepas penat, istirahat.Pagi hari ketika sarapan, Siska bertanya soal sidang perceraianku kemarin.“Alhamdulillah lancar. Begitu pengacara tunjukin bukti rekaman te
Aku bergegas masuk lift, meninggalkan Bu Sarnih yang masih berdiri. Raut wajahnya nampak kesal. Beberapa kali ia menghentakkan kaki.Lift berhenti lantai empat. Di mana ruanganku dan staff berada. Aku berjalan santai melewati lorong yang tidak terlalu ramai. Beberapa karyawan menyapaku ramah saat berpapasan.Aku mengayunkan langkah hingga di ruang paling ujung, yakni ruanganku.Baru saja menghempaskan bokong, Siska menyembul dari balik pintu. Masuk dan menutup pintu kembali. Lalu tanpa basa-basi ia bertanya, “Mau ngapain ibunya si Haris?”“Pengen tinggal di rumah gue!” sahutku tanpa menoleh. Membuka laptop, memeriksa laporan keuangan.“Terus apalagi?” Siska menarik kursi, duduk bersebrangan denganku.“Katanya Haris dikasih apartemen sama pemilik kontrakan. Tapi ibunya gak mau tinggal di sana.” Imbuhku.“Lah tumben gak mau diajak ke apart? Dia udah ikhlas hidup
PoV Bu Sarnih“Laila, SOMBONG!!! Aku udah ngerendahin diri masih saja sok kaya! Apa salahnya aku tinggal bareng dia? Rumahnya kan luas, banyak makanan, gak bakal dia jatuh miskin Cuma ngasih makan aku doang! Emang dasar wanita angkuh!! Pelit!!” Sejak keluar dari kantor Laila, bibirku rasanya gatal sekali. Tak ingin berhenti memaki dan mengumpat Laila.Si Haris lagi, jadi laki-laki bodoh! Lemah! Kalau begini, aku merasa sia-sia udah pungut dia dari panti asuhan. Padahal dari dulu, tujuanku adopsi Haris tiada lain untuk mendapat belas kasihan dari orang sekitar. Mendapat uang tanpa banting tulang. Sejak suamiku pergi gara-gara kepincut janda gatel, mau tak mau aku harus mencari nafkah sendiri.Sebenarnya aku sudah empat kali menikah. Tapi pernikahanku tak pernah berlangsung lama, mereka meninggalkan karena aku tak bisa memberi keturunan. Makanya, untuk mensiasati, aku pura-pura menganggap Haris adalah anak kandung dari pernikahan dengan sua
Aku membelah kerumunan para karyawan. Ternyata Gita yang tadi berteriak. Gita mendekatiku, jarinya menunjuk ke sebuah kardus berisi dua ekor ayam hitam yang sudah mati yang berlumuran darah. “Bu, i-itu ....” Aku mengikuti arah jari Gita. Di balik semak ada sebuah kardus, terdapat selembar kertas di atas dua bangkai itu yang bertuliskan.“LAILA TUNGGU KEHANCURANMU! AKU TIDAK AKAN MEMBIARKAN PERUSAHAANMU MAJU!!”“Astaghfirullah!!” Aku memekik menutup mulut. Kerjaan siapa ini?“Gita gimana ceritanya kamu temukan kardus itu?” tanyaku pada Gita yang wajahnya terlihat pucat. Gita mengatur napas. Ia masih terlihat ketakutan.“Ta-tadi, waktu saya mau ambil piring di dapur. Saya denger suara kasak-kusuk di sini. Pas saya lihat ada seorang laki-laki yang naro kardus itu. Terus laki-lakinya lari. Penasaran, saya buka kardusnya. Ternyata ....” Raut wajah Gita penuh rasa takut. Dia pasti sangat sh
PoV Bu Sarnih“Coba dicari lagi, Mey. Kali aja keselip dompetnya.” Aku berkata pada Meyla. Menyuruhnya agar lebih teliti mencari.Kalau sampai dompet Meyla gak ketemu, bisa gawat!“Gak ada, Tan. Soalnya tadi aku buru-buru ke sini. Takut Tante nunggu lama. Ya ampun, gimana dong, Tan?” Meyla mengeluh. Wajahnya nampak sedih sekali. Ah, aku jadi tak tega. Melihat calon menantuku sedih begitu. Ya sudahlah, biar aku saja yang bayarin.“Sudah, Mey. Jangan sedih begitu. Kan masih ada Tante. Biar tante saja yang bayarin makanan ini.” Meyla menatapku. Kedua matanya berkaca-kaca.“Tante serius?” Meyla menggenggam tanganku.“Iya, Mey. Cuma makanan segini harganya paling berapa. Udah kamu tenang aja. Mas, berapa totalnya?”“Ini, Bu.” Aku mengambil nota yang disodorkan oleh pelayan tersebut. Menelan air liur melihat deretan angka.Tiga juta sembilan ratus lima puluh