PoV Laila
Semalam aku mendengar kabar tentang tertangkapnya Bu Sarnih oleh pihak kepolisian. Beruntung, Polisi langsung sigap menerima laporan Ria. Ternyata bukan hanya Ria yang melaporkan mantan mertuaku, tapi juga Mbak Susi. Wanita yang dulu pernah menjadi simpanan almarhum Haris.
"Jadi, semalam Ibu Sarnih sudah ditangkap Polisi, Mbak?" tanya Salma saat aku memberitahunya tentang kabar yang disampaikan Nafisa."Iya," sahutku singkat. Entah kenapa sejak semalam kepalaku pusing, badanku juga terasa lemah. Bahkan rencana aku dan Damar yang makan malam di restoran pun batal gara-gara kondisiku ini. Barang kali aku kecapekan. "Kasihan sekali, sudah tua harus hidup di penjara," lirih Salma. Aku hanya mengulum senyum. Kalau Bu Sarnih dapat dikasihani dan tahu diri, tidak mungkin Ria, Nafisa dan Mbak Susi tega melakukan hal tersebut. Menjebloskan Bu Sarnih ke dalam penjara. Apalagi Bu Sarnih sangat tega membuat wajah Mbak Susi menjadi terluka.PoV LailaKabar tentang kehamilanku langsung dibagikan Damar melalui media sosial. Berbagai komentar yang berisikan ucapan selamat serta doa-doa dipersembahkan untuk kami. Bahkan Mama mertuaku langsung datang ke rumah. Membawa aneka macam lauk pauk serta susu untuk ibu hamil."Ya Allah, Mama malah repot-repot," ucapku setelah mempersilakan wanita yang telah melahirkan Damar masuk ke dalam rumah."Repot apanya? Tidak, Sayang ... Mama senang bisa berkunjung ke sini apalagi ketika mendengar kabar kamu hamil." Wajah Mama terlihat lebih ceria dari terakhir kali kami bertemu."Terima kasih ya, Ma? Mohon doanya semoga kehamilan Laila selalu sehat, tidak ada masalah yang berarti. Aamiin." Mama mengaminkan harapanku. Damar sedari tadi sibuk dengan gadgetnya. Ia membalas satu persatu ucapan selamat serta doa-doa untuk calon anak bayi kami."Astaghfirullah ... Damar ... Kamu ini kenapa sih tidak juga berubah? Masih saja asyik main hape! Inget lho, kamu akan men
“Kau pilih cerai atau ijinkan Haris menikah lagi?!” tanya Ibu mertua tiba-tiba. Jantungku seperti mau copot mendengarnya. Tidak ada angin, tidak ada hujan, kenapa Ibu mertua yang selama ini aku anggap seperti ibu kandung sendiri bertanya demikian?Aku mendongak sambil mencengkram sepatu high heels yang baru saja kulepas. Andai saja bukan orang tua, sudah kusumpal mulutnya dengan sepatu ini. Tidak punya perasaan bertanya seperti itu. Pada menantunya pula!“Maksud Ibu apa?” Aku berdiri menghadap Ibu mertua. Raut wajahnya tidak seperti biasa, nampak tak bersahabat. Sepersekian menit ia tetap bungkam, enggan menjawab.Aku mengembuskan napas.Sudah letih pulang kerja, sampai rumah ditodong pertanyaan macam itu. Kulirik Bang Haris. Wajahnya tenang sekali. Bahkan kedua matanya tak ingin menoleh. Memilih asyik nonton televisi. Aku mengembuskan napas panjang.“Kenapa tiba-tiba Ibu nanya kayak gitu? Masih kurang uang bulanan
Tiba di ruang meeting, semua mata menatapku. Mungkin merasa aneh, kenapa kali ini aku telat. Biasanya datang lebih dulu atau tepat waktu. Semua ini gara-gara membahas omongan ibu mertua semalam. Aku mengatur napas, mengembuskan, lalu berdehem.“Maaf saya terlambat tujuh menit. Silakan meetingnya dimulai,” ucapku melirik arloji. Menyimpan tas, Kemudian duduk.Seperti biasa, Siska mengawali pembahasan. Wanita seumuran denganku itu menceritakan tentang pertemuannya kemarin dengan salah satu pengusaha pabrik Mie Instan untuk mengiklankan produknya. Alhamdulillah, perusahaan itu mempercayakan produknya pada perusahaan Advertising kami.Aku mendirikan perusahaan Advertising atau periklanan bekerja sama dengan Siska. Dia adalah sahabat karib sejak sekolah menengah dahulu. Sampai kuliah kami tetap bersama.“Masalahnya kita belum punya pengganti Merry yang cuti melahirkan. Jadi, siapa yang akan gantiin Merry di bidang kreatif?”
Rasanya baru kali ini malas pulang rumah. Ibu pasti akan membahas hal yang sama. Apalagi tadi pagi aku sudah bilang, membahasnya nanti malam selepas pulang kerja.Kuhembuskan napas. Membuka ponsel. Barang kali Bang Haris masih memberiku perhatian seperti dua minggu lalu.Astaghfirullah ... Aku baru sadar, ternyata dia sudah jarang mengirim pesan whatsApp atau menelpon. Banyaknya pekerjaan membuatku lupa urusan pribadi.Kurapikan berkas-berkas, memasukan ponsel ke dalam tas, kemudian keluar ruangan.“Bu Laila!” Suara laki-laki memanggil. Aku menoleh. Ternyata Adam, karyawan yang bekerja di bagian Eksekusi Iklan.“Iya, ada apa?”“Cuma mau bilang, gambar untuk iklan yang tadi pagi kita bahas sudah ada.”“Lho kok bisa? Bukannya harus nunggu kreatifnya dulu?”“Harusnya
Tiba di ruang meeting, semua mata menatapku. Mungkin merasa aneh, kenapa kali ini aku telat. Biasanya datang lebih dulu atau tepat waktu. Semua ini gara-gara membahas omongan ibu mertua semalam. Aku mengatur napas, mengembuskan, lalu berdehem.“Maaf saya terlambat tujuh menit. Silakan meetingnya dimulai,” ucapku melirik arloji. Menyimpan tas, Kemudian duduk.Seperti biasa, Siska mengawali pembahasan. Wanita seumuran denganku itu menceritakan tentang pertemuannya kemarin dengan salah satu pengusaha pabrik Mie Instan untuk mengiklankan produknya. Alhamdulillah, perusahaan itu mempercayakan produknya pada perusahaan Advertising kami.Aku mendirikan perusahaan Advertising atau periklanan bekerja sama dengan Siska. Dia adalah sahabat karib sejak sekolah menengah dahulu. Sampai kuliah kami tetap bersama.“Masalahnya kita belum punya pengganti Merry yang cuti melahirkan. Jadi, siapa yang akan gantiin Merry di bidang kreatif?”
Aku menunggu Damar yang sedang serius di depan laptop selama lima belas menit.Menghela napas, beranjak menuju jendela kaca. Melihat panorama jalan raya di pagi hari.Pikiranku tiba-tiba mengawang pada pertemuan pertama dengan Bang Haris.Bugh!!Saat itu, tanpa sengaja menabrak tubuh Bang Haris di koridor kampus. Tidak ada kemarahan dari wajahnya. Ia justru tersenyum dan membantuku berdiri serta mengambil buku-buku yang berserakan.“Maaf,” ucapku membungkuk. Lagi, laki-laki berkulit putih yang berdiri di hadapanku tersenyum.“Gak apa-apa,” sahutnya. Kemudian ia berlalu. Aku pun melanjutkan langkah menuju ke perpustakaan.Tak disangka, di perpusatakaan bertemu kembali dengannya. Di sana, kami pun berkenalan.Sejak kejadian itu, aku mengetahui siapa Bang Haris. Ternyata Bang Haris kakak tingkat.
Ibu menatapku dengan bengis. Kedua matanya memerah, menahan amarah.“Lepasin tangan, Ibu! Lepasin!”“Oke!”Aku masih tetap siaga, kalau-kalau Ibu melayangkan tangannya kembali.“Mantu kurang ajar! Gak punya sopan santun!” Aku tersenyum sinis.“Aku kayak gini karena sikap Ibu. Mertua matre, gak tau diri, kasar!”Gigi Ibu bergemelutuk. Kedua tangannya mengepal.“Benar kan?” tanyaku.“Awas kamu! Ibu aduin ke Haris. Udah berani ngelawan!”“Sana aduin. Laila gak takut.” Jawabku enteng.Ibu keluar kamar. Langkah kakinya terhenti saat melihat Bi Inah sedang berdiri di sisi pintu.“Oooh ... Ibu tau ... Pasti Pembantu ini kan yang ngadu sama kamu?”Astaghfirullah ... Masih saja ngeselin. Aku menoleh.“Eh, jangan pernah ikut campur urusan kami. Ngerti? Dasar Babu!!” Maki
#POV_Ibu_Mertua Namaku Sarnih, berasal dari kampung pinggiran kota. Perkampungan kumuh tepatnya. Tapi itu beberapa tahun silam. Sekarang aku sudah berganti nama menjadi Sahrini. Biar lebih keren. Karena aku bukan lagi Sarnih si penjual gorengan keliling, melainkan wanita sosialita. Memiliki teman arisan, dan pengoleksi perhiasan. Kastaku terangakat berkat kepiawaian anak semata wayangku dalam menaklukan Laila anak tunggal pemilik perkebunan teh terbesar di Negara ini. Yang aku dengar, teh yang dihasilkan dari perkebunan keluarga Laila akan diimpor ke luar negeri. Aduhaaaii ... bahasaku keren sekali. Udah kayak orang kaya sungguhan. Kasta, sosialita, impor, bahasa asing yang dulu tak pernah aku ucapkan. Sebenarnya Haris tipikal laki-laki playboy. Dulunya kerap kali bergonta ganti pacar. Kenapa aku bisa tahu? Ya karena aku ibunya. Haris selalu bercerita tentang wanita-wanita yang ia dekati. Tentu bukan karena cinta. Semua itu karena harta.