“Har, Haris!”
“Iya, Yang?” Tante Susi menepuk bahuku, embuyarkan lamunan. Aku masih tak percaya kalau selama ini ibu hanya menjadikanku Sapi perah.“Malah ngelamun. Jadi sekarang Ibu kamu gimana keadaannya?” tanya Tante Susi menatapku. Aku mengembuskan napas.
“Masih kayak orang gila. Nyebut-nyebut nama Meyla terus.” Guratan wajah tante Susi terlihat tidak suka.
“Ibu kamu terlalu obsesi pengen punya mantu kayak si Meyla. Jadiilah gila begitu. Padahal aku juga tak kalah cantik dari si Meyla. Aku cantik, seksi, montok, kaya raya, Apalagi coba yang kurang? Dasar gak waras.” Mulut tante Susi menyerocos tiada henti.
“Sudahlah, ibu gak suka karena Yangsus janda.” Tante Susi terlihat gusar.
“Janda perawan kan sama-sama perempuan. Malah banyak tuh, perempuan yang belum nikah tapi udah gak perawan. Mending akulah, gak perawan juga ya jelas karena p
Pagi harinya kulihat Nafisa sedang menikmati sarapan. Aku duduk di kursi yang bersebrangan dengannya.“Pagi, Laila.” Sapa Nafisa menggigit roti.“Pagi,” sahutku sambil mengolesi roti tawar dengan selai.“Ada beberapa hal yang mau aku bicarain. Apa kamu buru-buru?” Celetuk Nafisa setelah ia meminum susu.“Enggak. Bicara apa?” Kulihat Nafisa yang mengenakan kaos lengan panjang dan celana jeans dengan lekat.“Pertama, tujuan aku ke sini sebenarnya mau mengembalikan uang tabungan Ummi. Jadi begini, uang tabungan Ummi yang aku bawa kabur, aku gunakan untuk modal usaha bersama Jhoni di Amerika. Usaha kami berjalan dengan lancar. Aku membuka usaha restoran. Jhoni yang memang pernah menjadi chef di salah satu hotel, akhirnya bisa membuat restoran kami semakin maju.” Nafisa menjeda bicara, ia meneguk kembali susu yang tinggal setengah.“Aku pikir, Ummi dan Abi masih ada. Aku ke s
PoV HarisTak berapa lama, wanita renta dengan gamis hitam kerudung putih datang menghampiri. Wanita itu duduk di atas kursi roda didorong oleh wanita yang menyambut kedatangan kami.“Bunda, dua orang ini yang ingin bertemu. Mas, Mbak, beliau adalah Bunda Fatimah. Pengurus panti yang lama.” Wanita berkerudung hijau memperkenalkan. Aku tersenyum sambil mengangguk.“Kalian siapa? Mau apa?” terdengar parau suara Bunda Fatimah.“Saya Susi, ini Haris. Katanya, Haris dulu pernah tinggal di sini.” Tante Susi membuka suara. Bunda Fatimah membenarkan letak kaca mata.“Oh begitu. Haris, mau tau asal usulnya?” Aku mengangguk mantap. Rasanya sudah tidak sabar ingin mengetahui siapa kedua orang tua kandungku. Jika mereka berasal dari keluarga kaya raya seperti di film-film, dengan senang hati aku akan tinggal bersama mereka dan meninggalkan Tante Susi yang perhitungan itu. tapi kalau sebaliknya,
PoV LailaPerjalanan menuju kantor terjebak macet. Mungkin karena aku datang lebih siang dari biasanya. Pembicaraan dengan Nafisa lumayan menyita waktu. Tapi tak masalah, dengan begitu, aku jadi tahu kalau Nafisa masih seperti dulu. Apalagi dia masih sempat membelikanku, Mang Karman dan Bi Inah oleh-oleh. Sudah menjadi kebiasaan dia sedari dulu. Selalu membelikan buah tangan kepada kami.Kesalahan Nafisa Cuma rela kabur bersama Jhoni dan membawa uang tabungan Ummi yang tidak sedikit. Meskipun uang itu sekarang sudah dikembalikan.Di tengah kemacetan, mataku menangkap sosok yang tak asing sedang duduk bersandar di tiang listrik sambil tertawa. Penampilannya sangat urak-urakkan. Aku membuka jendela mobil, memastikan siapa wanita yang sedang duduk di pinggir trotoar jalan raya. Mataku membulat saat menyadari siapa wanita tersebut.“Ibu? Itu kan Ibunya Haris?” Karena kendaraanku berada di sisi kiri, sosok Ibu sangat jelas. Aku melihat ke dep
l“Lo yakin itu ibunya Haris?” Sepertinya Siska tidak percaya dengan ucapanku.“Gue yakin. Tadi gue udah nyuruh Meyla nemuin Ibunya Haris di pinggir trotoar.”“Dia mau?”“Mau. Katanya lagi otewe.” Siska menyilangkan kakinya.“Gue jadi penasaran. Bener gak ibunya Haris jadi gila.”“Gue gak bilang dia gila. Cuma penampilannya aja kayak orang gila.”“Elah sama aja. Ya udah, gue mau lanjut kerja.” Aku mengangguk. Membiarkan Siska melangkah keluar ruangan.Satu jam kemudian, ada pesan dari Meyla. Sebuah foto Ibunya Haris.[Lai, Ibunya Haris mengenaskan. Aku gak berani deketin. Tapi aku udah telepon ambulance rumah sakit jiwa. Biar petugas saja yang bawa dia.]Setelah membaca pesan Meyla, aku langsung menelepon.“Halo, Lai ....”“Benar kan itu ibunya Haris?”“Iya bener. Aku ngeri lia
PoV HarisMalam ini, tante Susi tidur di apartemen menemaniku. Tumben sekali janda montok itu langsung terlelap tidak meminta jatah seperti biasa.Aku menatap wajah wanita yang usianya lebih tua dariku. Memang tidak terlalu cantik, tapi aku merasa dia tulus sayang padaku.Seharian tadi setelah pulang dari panti asuhan, Meyla menelepon. Aku kira ada apa. Ternyata dia memberitahu kalau Ibu sudah dibawa ke rumah sakit jiwa. Awalnya aku marah, karena merasa Meyla terlalu lancang memasukkan ibu ke rumah sakit jiwa tanpa meminta ijin padaku terlebih dahulu. Akan tetapi, setelah tahu Meyla sudah membayar seluruh adiministrasi rumah sakit, amarahku sedikit reda. Walau tak henti-henti tante Susi menyalahkan Meyla sebagai penyebab ketidakwarasan Ibu.“Sayang ... kamu belum tidur?” Lirih suara tante Susi. Aku mengusap rambutnya.“Belum,” sahutku menatap wajah tanpa polesan make up itu. Tante Susi kembali menatapku.&
Sudah setengah jam kami berempat menunggu kepergian Haris dan pacarnya dari rumah sakit di dalam mobil. Aku dan Siska ingin menemui ibunya, ingin mengetahui keadaanny. Kalau ada Haris di dalam, terus aku dan Siska menjenguk Bu sarnih, dia pasti menaruh curiga. Curiga aku dan Siska tahu dari mana kalau ibunya ada di sini. Namun hingga kini dua orang itu tak kunjung keluar.“Halah, buang-buang waktu. Udahlah, besok aja kita ke sini lagi. Gimana Laila?” Suara Siska memecah keheningan. Aku menoleh ke arahnya, mengangguk lemah.“Aku juga pengen istrihat nih, rasanya capek banget.” Meyla mengeluh. Menarik kedua tangan ke depan dengan melipat jari-jarinya. Aku lihat Damar memandang wajah Meyla simpati. Memang sahabatku itu sekarang duduk di depan, di samping Damar.“Sabar ... nanti sampai rumah langsung mandi, pasti badan kamu langsung seger.” Entah kenapa mendengar perhatian Damar pada Meyla perasaanku jadi tak men
Laila menoleh, aku memamerkan senyum termanis. Senyuman yang dahulu selalu mampu meluluhkan hati para cewek, tak terkecuali Laila.“Jangan mimpi!!” Aku terkejut mendengar jawaban Laila. Aku pikir dia mau rujuk. Mantan istriku langsung pergi.“Laila tunggu!” Laila tetap berjalan cepat. Tak menoleh apalagi menyahut.Sudahlah, kalau memang Laila gak mau, ya gak apa-apa. Masih ada tante Susi. Walaupun dia sudah tua, tapi banyak harta. Apalagi dia bilang tak perlu aku capek-capek kerja.Aku kembali melihat Ibu dari kaca jendela kamarnya. Keadaan ibu masih sama. Badannya terlihat lebih kurus. Setelah melihat kondisi ibu, aku segera pulang. Ke rumah tante Susi.***Keesokan harinya, aku dan tante Susi kembali ke panti asuhan. Sesuai perintah Bunda Fatimah. Kami dipersilahkan masuk oleh wanita dua hari lalu yang menyambut kami.“Silahkan duduk, Bunda sudah menunggu Mas dan Mbak. Sebentar say
“Itu kucing lewat,” jawab Siska diiringi kekehan. Sial! Aku dikerjain.“Habisnya lo ngelamun mulu. Jangan mikirin si Damar ama Meyla, mereka gak bakal ngapa-ngapain.”“Apaan sih lo?” Gengsi kalau aku mengakui cemburu di depan Siska. Sepanjang jalan kuputuskan untuk tidak berbicara dengan Siska. Malas!!Tiba di rumah aku membanting pintu mobil. Siska hari ini benar-benar menyebalkan.“Woi, besok jam berapa ke rumah sakitnya?” teriak Siska dari dalam mobil.“Serah!” Sebal banget punya sahabat kayak Siska. Kerjaannya ngeledekin, sok tau, kepo.Aku langsung melangkahkan kaki ke kamar. Menghempaskan tubuh di atas kasur, menatal langit-langit kamar.Bayangan Damar dan Meyla melintas kembali. Aku bangkit, duduk bersila. Mataku tertuju pada tiga koper milik Nafisa. Kuhampiri koper tersebut dan aku buka satu persatu.Pertama aku buka koper yang isinya oleh-ole