Share

Iklasin aja

Janda Lugu Tetanggaku 4

Bab 4

Iklasin aja

“Lu aja ‘kali bantu, aku sih noway!” Sahut Mas Azka cuek.

“Jangan begitu, dong, Mas. Kita ini wajib membantu orang yang susah, termasuk para Janda seperti Mbak Dian. Lihat dong, dia nggak kerja, punya anak, gimana makannya kalau dia nggak banting tulang?” Aku berusaha menjelaskan pada Mas Azka betapa susahnya Mbak Dian menjadi Janda yang membesarkan anak sendirian.

“Banting tulang gimana?” Mata Mas Azka melotot, “orang Dian baik-baik saja. Nggak kerja bisa makan, kok?”

“Ya ampun, Mas. Mbak Dian itu cerita kalau tabungannya tiap hari kian menipis buat beli keperluan. Kasihan dia itu.” aku melempar kapas bekas membersihkan wajah di tempat sampah.

“Mana kau tahu tabungannya habis?”Mas Azka bertanya penuh selidik.

“Ya dari cerita Mbak Dian,” jawabku mengangguk.

“Bagaimana kalau kamu dibohongi?”

“Nggak mungkin lah, Mas.” aku menggeleng cepat, “tampangnya Mbak dian aja baik, jujur, lugu, mana mungkin dia berbohong?”

Haha, terdengar tawa kecil suamiku.

“Laras, kamu itu jangan terlalu naif,” Mas Azka menatapku dengan mengulum senyum. “Nggak semua orang itu baik, kamu perlu curiga sesekali, jadi orang jangan terlalu baik. Mengerti?”

Aku memanyunkan bibir mendengar omongan Mas Azka. Bukannya aku terlalu baik tapi, aku hanya ingin suamiku tidak jahat dengan Mbak Dian.

“Aku mau tidur. Kamu mau tidur, nggak?” Mas Azka bergeser dan menggelar selimut menutupi badannya.

“Mau dong, hihi.” dengan gembira aku melepas ikat rambut dan bergegas masuk ke selimut. Mas Azka menarik selimut hingga rapat ke kepala. Tubuhku merapat dengan kepala dusel ke ketiak suamiku.

“Buka bajunya,” bisik Mas Azka.

“Hihi, wokeyy,” sahutku bersemangat dan tertawa.

Baju tidur tipis, bra dan CD auto melayang terlempar keluar dari dalam selimut.

Ihik … ihik ….

Lampunya belum dimatikan. Gubrak!

**

“Suamiku kalau gajian ditransfer ke rekeningku semua, Mbak,” jawabku saat Mbak Dian bertanya berapa gaji Mas Azka.

“Wah, beruntungnya, kamu, Ras,” sahut Mbak Dian dengan mata berbinar. Aku menyambut dengan senyum di wajah.

“Beda sama aku dulu …” mbak Dian seperti bergumam, matanya menatap jauh ke luar pintu. Aku yang sedang bermain dengan Lova memperhatikan.

“Emang suaminya dulu kenapa, Mbak?” Tanyaku.

Mbak Dian menghela nafas, “suamiku hanya baik di awal saja, setelah aku hamil dan memiliki anak, dia berubah drastis.”

“Berubah drastis bagaimana?” Aku tidak mengerti.

“Ya, gitu, dari yang tadinya baik jadi cuek, acuh, kasar, membentak.” suara Mbak Dian bergetar, dia menjadi sedih. Aku menelan ludah, terbawa suasana hingga menjadi iba.

“Keluarganya juga jadi memusuhi aku, terutama ibunya.” Mbak Dian terdiam melamun. Mungkin sedang mengingat kejadian pahit di masa lalu.

“Kalau aku Alhamdulillah, Mamanya Mas Azka baik banget, sayang sama aku.” bibirku tersenyum saat mengingat kebaikan Mama Amy, Mama Mertuaku yang cantik dan baik hati.

“Nasibmu baik, Ras.” Mbak Dian mengulas senyum. Aku mengangguk.

“Kalau orang tuamu sendiri di mana, Ras?”

“Papaku udah nggak ada, Mbak, sedangkan Mama balik ke Jerman setelah aku menikah. Saudara Papa terdekat tinggal di Bandung,” jawabku.

“Oh, Mamamu orang Jerman?” Mata Mbak Dian membulat. Aku mengangguk lagi.

“Pantas aja, kamu cantik, tinggi kek Mawar de Jong. Kulitmu putih, hidung mancung dan rambut kecoklatan seperti bule.” Mbak Dian tertawa. Mataku mengerjap dibilang cantik seperti artis.

Setelah itu Mbak Dian terdiam dan menatapku lama. Kenapa?

“Mbak, ada apa?” Tanyaku dengan memiringkan sedikit kepala melihat Mbak Dian.

“Aku iri denganmu, Ras ….” suaranya lirih.

Keningku mengerut, iri denganku? Kenapa?

Hahaha, tiba-tiba Mbak Dian tertawa lebar. “Kamu jangan berpikiran negatif, Ras, aku iri dengan kebahagiaanmu, Ras. Doain aku bisa seperti kamu, ya, punya suami dan Mertua yang baik.” Mata Mbak Dian terlihat berkaca-kaca.

Aaaaa, aku mengulurkan tangan, “sini, peluk, Mbak ….”

Kasihan Mbak Dian, dia hanya ingin disayang.

**

[Ras, kamu mau ke supermarket, nggak]

Sebuah pesan WA dari Mbak Dian mampir di ponselku. Gegas aku membalas.

[belum tahu, Mbak. Emang napa]

[Bareng]

[Oh, ok]

Setiap bulan aku memang ke supermarket untuk belanja bulanan. Nggak banyak, sih, paling beli sabun, odol, sampo, mie cup, cemilan, sama mungkin Mas Azka nitip sesuatu. Aku nggak pernah beli sembako kek beras, telur, minyak goreng, sayuran dan sebagainya. Mama Mertua setiap bulan mengirim semuanya itu ke rumahku. Tadinya aku nggak mau dikirimi beras segala tapi, Mama Mertua memaksa. Katanya uang pensiun Papa terlalu banyak kalau dinikmati sendiri. Hahaha.

Ya udah, aku terima deh. Kebetulan dan ngirit banyak, biar tabunganku tambah buncit.

“Aku udah transfer,” kata Mas Azka di mobil saat menjemputku pulang kerja.

“Makasih, sayang.” aku mengerling manja pada suamiku.

“Mampir ATM, nggak?” Mas Azka menoleh.

“Iya lah, sekalian.”

Setiap bulan aku mengambil uang cash buat pegangan. Nggak banyak sih, paling 800 sampai 1 juta. Buat jajan aja sama temen kantor, kan biaya listrik, air, sampah dan lain-lain sudah dibereskan sama suamiku.

Sampai rumah, aku membuatkan teh untuk Suami. Itu aja tugasku, bikinin minum buat Suami, hehe. Cuci baju udah mesin, nyapu, ngepel, bersih-bersih, aku bayar orang. Enak kan?

“Mas, ntar malam anterin belanja ke supermarket, ya?”

Mas Azka mengangguk. Udah kebiasaan setiap habis gajian, kami berdua pasti ke supermarket buat belanja. Sekalian nanti jalan-jalan, makan atau nonton bioskop. Aku menikmati banget hari-hariku bersama Suami, mumpung belum dikaruniai momongan.

[Mbak, aku mau ke supermarket bentar lagi]

Klik. Aku mengirim pesan ke Mbak Dian. Katanya dia mau bareng.

[Oh. Ok, bareng] balas Mbak Dian.

Sengaja aku nggak bilang Mas Azka kalau mengajak Mbak Dian. Biar aja nanti kesannya nggak sengaja ketemu Mbak Dian. Malas aku kalau bilang, pasti suamiku nggak mau dan mengomel.

“Eh, ada Mbak Dian.” aku menunjuk ke depan rumah. Di sana ada Mbak Dian dan Lova yang bersiap keluar rumah. Mas Azka menoleh, wajahnya berubah asem seketika. Aku pura-pura nggak lihat dan berjalan cepat membuka pagar rumahku.

“Mau ke mana, Mbak?” Tanyaku.

“Ke Supermarket.”

“Iihh, sini, sini, Lova sama Tante.” aku mengambil Lova dari gendongan Mbak Dian dan membawanya mendekat ke Mas Azka.

“Halo, Om.” aku menyapa suamiku dengan suara kecil mirip anak-anak. Mas Azka melihat baby Lova.

“Cium, dong, Om,” kataku lagi. Lova tertawa riang, tangannya mengulur seolah ingin ikut suamiku. Mas Azka kemudian mencium pipi Lova. Wajah asemnya sirna berganti senyuman yang membuat Mas Azka terlihat lebih ganteng.

Siasatku berhasil, Yes! Mbak Dian dapat berbelanja ke supermarket bersamaku.

Sambil menggendong Lova di bahu, Mas Azka mendekat ke meja kasir. Matanya melihat deretan angka di mesin kasir.

“Semuanya 429 ribu, Mbak,” ucap Mbak Kasir. Aku mengangguk dan membayar tagihan dengan uang cash. Mas Azka kemudian melirik trolley yang penuh dengan belanjaan.

“Kamu belanja apa aja, Ras, sampai habis banyak?” Tanya Mas Azka setelah tiba di rumah.

“Oh, ini.” aku menunjukkan tas plastik ukuran sedang pada Mas Azka. Isinya sabun, odol, sampo, vaselin, minyak rambut pesanan Mas Azka dan beberapa cemilan.

Mas Azka melongo.

“Cuma itu?” tunjuk Mas Azka. Aku mengangguk. Kan emang segitu keperluanku.

“Bukannya tadi kau belanja habis hampir setengah juta, Ras?” Suamiku melebarkan mata.

“Oh, itu? Bukan belanjaanku tapi, punya Mbak Dian,” jawabku santai.

“Astaga, Laras! Kamu ini cuma belanja seratus ribu sedangkan yang tiga ratus ribu lebih kamu bayarin belanjaan Dian?“

“Iya.” aku mengangguk kuat. Mas Azka membuang nafas kasar, dia menatapku.

“Kamu itu jangan bego-bego, dong.” ucapnya kemudian.

Mataku mendelik, “eh, nggak boleh lho, ngatain istrinya bego, dosa” ujarku menekuk wajah.

“Kamu kan ngasih aku uang banyak, Mas, dan ada sebagian dari uang itu yang harus diamalkan.” aku menceramahi suamiku agar dapat pencerahan. Pelit itu nggak boleh.

“Ini beda, Ras. Dian itu ngerjain kamu!” Suara Mas Azka mulai meninggi.

“Pssst!” aku menutup mulut Mas Azka dengan telapak tanganku yang wangi.

“Nggak boleh marah. Anggap aja itu rezekinya Mbak Dian. Iklasin aja, Ok, sayang?”

“Astaga!” Mas Azka nyebut untuk yang kesekian kali. Aku menoleh. Tatapannya itu lho, kok seperti mau menelanku. Salahku di mana, coba?

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status