Share

2 | Hei, Boss!

Halo semuaaa cerita Melumpuhkan Hati CEO ini tersedia GRATIS di KaryaKarsa ya dengan judul "The Boss Owns Me". Kunjungin profil aku @xerniy

Yuk Coba Cek di KaryaKarsa, harga lebih murah tentunya, cuman bayar 25.000 kalian sudah bisa baca SEMUA CHAPTERnya di KaryaKarsa, yuk cus ke KaryaKarsa sekarangg

****

Hari ini sungguh melelahkan untuk Bian. Bagaimana tidak? Seharian di kantor ia mengadakan sampai 3 kali meeting penting dengan perusahaan lain. Tapi ya mau bagaimana lagi, itu tugasnya menjadi seorang CEO di perusahaan Pradipta.

Pria 27 tahun itu melonggarkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Bian lalu duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya seraya menopang kaki ke atas meja, sungguh bossy.

"Siang, pak," Sapaan itu bermuara dari Vanya—sekretarisnya yang suka melenggang masuk tanpa mengetuk pintu.

Bian seketika melipat tangan di dada dan berdecak malas, "Ini terakhir kalinya saya melihat kamu masuk tanpa mengetuk pintu. Mengerti?"

"Hehe, iya, Pak." Vanya hanya menyengir, berusaha menetralisir keadaan. "Saya ulangi nggak nih?"

"Ck, nggak usah. Saya ingin istirahat. Cepat katakan apa keperluan kamu," katanya to the point.

Vanya mengulurkan sebuah dokumen. "Ada dokumen yang perlu ditandatangani, Pak. Saya lupa sehabis meeting tadi langsung ngasih ke bapak."

"Dasar ceroboh!" maki Bian yang membuat Vanya mendesis.

"Dasar Arogan!" Sayangnya wanita itu cuma berani menggerutu di hati. Sabar Nya.

"Nih, sudah. Cepat keluar!"

"Iya, Pak santai." Vanya segera mengambil dokumen yang telah ditandatangani itu. Hish nyebelin banget deh punya bos kayak gini, kalau bukan gantengnya mana mau Vanya kerja lebih lama lagi.

Sementara Bian kembali menyandarkan punggungnya dan menutup mata. Ia butuh istirahat walau sejenak saja.

"Tunggu sebentar." Tanpa Vanya duga bos menyebalkan itu kembali memanggilnya.

"Kenapa, Pak?" Vanya menoleh.

"Saya haus, segera buatkan saya Mocca dingin, saya tunggu lima menit," pinta Bian.

Vanya menganggukan kepala. "Iya, Pak."

"Oh ya esnya jangan terlalu banyak."

"Iya."

Cepat-cepat Vanya keluar ruangan dengan hati dongkol dan sedikit membanting pintu membuat Bian terganggu.

"Dasar." Bian tak habis pikir dengan tingkah Vanya. Entah kenapa wanita itu selalu saja terlihat misuh di depannya. Memang apa yang salah dengan dirinya? Ia tampan, kaya, dan punya segalanya. Seharusnya Vanya bersyukur punya bos sepertinya. Tapi wanita itu sudah menikah, ck, jika belum maka Bian.... eitss, jangan pikir dia yang bersedia menikah wanita itu. Tidak-tidak. Justru akan ia tawarkan Vanya pada seorang yang lebih angkuh.

Bicara soal menikah, Bian jadi teringat permintaan mendiang ayahnya bahwa ia harus segera menikah sebelum usia 28 tahun.

Hei. Apa itu? Apakah ada peraturan di dunia ini yang melarang pria menikah lebih dari 28 tahun? Entahlah. Namun permintaan terakhir ayahnya pasti Bian lakukan.

Masalahnya di sini, ia belum menemukan wanita yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Bahkan ia telah beberapa kali dijodohkan dengan banyak wanita cantik pilihan ibunya, Bian belum menemukan yang cocok.

Ya belum, karena semua wanita pilihan itu tidak benar-benar mencintainya. Mereka hanya melihat tebal dompetnya saja.

Bian bergumam, "Kira-kira dimana lagi aku bisa menemukan wanita yang aku mau?"

***

"Duh, sumpah deh! Gue rasanya mau resign aja, Cit," gerutu Vanya pada Citra. Usai keluar dari ruangan Pak Bian ia langsung menceritakan kekesalannya tadi pada Citra.

"Ngomong aja enak, entar sesudah resign nyesel lo nggak dapat kerjaan."

"Ya itu masalahnya, kalo resign gue nggak jamin langsung dapat kerjaan." Vanya mulai bimbang.

"Enggak usah kerja aja napa, Nya. Lo kan udah laki. Mintalah sama laki lo," sahut Seza.

"Iya sih. Tapi gue lebih nyaman pakai duit sendiri. Lebih puas," jawab Vanya. "Eh, gue keburu laper nih. Yuk ah makan siang," ajaknya pada Citra dan Seza. Tetapi belum saja melangkah tangan Citra ditahan.

"Hai, by." Dan yang menahannya adalah Gio, pacarnya yang juga kerja di kantor ini. Gio tanpa malu mengecup pipi Citra.

"Makan siang bareng oke?"

Citra mengangguk, kalau ada Gio ya tentu saja tawaran pria itu lebih penting. "Duluan ye, Nya."

Vanya dan Seza berpandangan lalu mengangguk pasrah.

Drtt-Drtt.

Lalu tiba-tiba gawai Vanya bergetar tanda telepon masuk. "Tunggu, Za."

Vanya mengangkatnya dan seketika ia menepuk jidat.

"Astaga gue lupa!"

***

"Lama banget sih Bun tante Farah," ujar Clara yang sedang menyantap mie ayam.

"Tunggu, Rara sayang. Pasti mbak Farah nyamperin kita kok. Sabar ya," bujuk Anjani mengusap rambut Clara.

"Clara capek, kakinya pegel habis jalan-jalan ke mall. Sekarang ngapain mbak Farah ngajak ke sini?"

"Tante Farah ingin mempertemukan kita dengan seseorang."

"Apa orang itu penting?"

"Tidak. Tapi bagi tante Farah orang itu luar biasa. Jadi kita harus membantunya, mengerti sayang."

Clara akhirnya mengangguk, lanjut menyantap mie ayamnya begitu lahap. "Ya sudah, demi Bunda dan tante Farah."

Anjani pun tersenyum samar. Ada sekitar 15 menit sudah mereka berada di sini, tepatnya di warteg pinggir jalan yang berseberangan langsung dengan kantor Pak Bian.

Ya tentu saja Farah yang mengajaknya ke sini. Wanita itu memang tidak main-main pada ucapannya. Namun bermenit-menit menunggu Farah belum kembali. Padahal wanita itu bilang ingin menemui temannya yang adalah sekretaris Bian sebentar saja.

"Bunda ayo makannya dihabisin. Entar tantenya keburu datang," ujar Clara mengingatkan.

Anjani menghela napas, ia lanjut menyantap soto ayam sembari menunggu Farah datang.

***

"Sorry, Far. Gue kelupaan ada janji sama lo. Gara-gara si Bian nih," kata Vanya. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Farah.

Farah bersedekap. "Iye-iye. Maaf tuh sama Anjani bukan sama gue."

"Siapa Anjani, gue baru denger itu nama?"

"Temen guelah. Dia pakai tongkat, Nya."

"Lumpuh?"

"Kecelakaan dua tahun lalu. Suaminya meninggal, dan sekarang dia hidup sama anaknya."

"Kasihan."

"Buruh ah. Entar temen gue kenapa-napa."

***

Bian tak peduli pada tatapan-tatapan aneh yang sekarang terlayang padanya. Pria itu berdehem singkat lalu memasuki warteg. Astaga! Kalau bukan karena Vanya lupa memasukkan gula ke dalam kopinya, ia tidak mungkin sampai di sini demi menghilangkan rasa pahit yang masih tersisa di lidahnya.

Setelah pesanannya selesai dibuatkan, Bian melangkah menuju meja kosong yang tersisa namun tiba-tiba.

Bruk

"Aduh." Seorang bocah menabraknya, alhasil susunya tumpah mengenai seragam Bian.

"Heh anak kecil, kamu mengotori baju saya!" kesal Bian menatapnya.

"Ma-maaf, Om." Gadis bergaun pink itu mulai ketakutan melihat wajah sangar Bian. Ia menunduk dalam.

"Makanya jangan bermain di tempat seperti ini. Main sana di rumahmu!"

"Iya Clara minta maaf. Clara nggak main. Hiks-hiks. Bundaa..." Sekarang Clara menangis dan menutupi keduanya matanya dengan telapak tangan. Lantas mereka berdua jadi sorotan.

Bian berdecak sebal. "Sudah jangan menangis. Ini memang salah kamu. Lihat baju saya kotor."

"Hiks.. hiks.."

Anjani melihat ada keributan kecil. Ia khawatir sebab ia baru saja mengijinkan Clara membeli susu sendiri. Dan mendapati Clara menangis membuat Anjani mempercepat gerakan tongkatnya.

"Clara. Ada apa?"

Clara berlari memeluk Anjani, matanya sembab. "Bunda aku dimarahin Om itu. Clara nggak sengaja nabrak dia, Bun."

Melihat siapa yang ditunjuk Clara, Anjani membulatkan matanya. "Pak Bian?"

--TBOM--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status