Halo semuaaa cerita Melumpuhkan Hati CEO ini tersedia GRATIS di KaryaKarsa ya dengan judul "The Boss Owns Me". Kunjungin profil aku @xerniy
Yuk Coba Cek di KaryaKarsa, harga lebih murah tentunya, cuman bayar 25.000 kalian sudah bisa baca SEMUA CHAPTERnya di KaryaKarsa, yuk cus ke KaryaKarsa sekarangg****Hari ini sungguh melelahkan untuk Bian. Bagaimana tidak? Seharian di kantor ia mengadakan sampai 3 kali meeting penting dengan perusahaan lain. Tapi ya mau bagaimana lagi, itu tugasnya menjadi seorang CEO di perusahaan Pradipta.Pria 27 tahun itu melonggarkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Bian lalu duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya seraya menopang kaki ke atas meja, sungguh bossy."Siang, pak," Sapaan itu bermuara dari Vanya—sekretarisnya yang suka melenggang masuk tanpa mengetuk pintu.Bian seketika melipat tangan di dada dan berdecak malas, "Ini terakhir kalinya saya melihat kamu masuk tanpa mengetuk pintu. Mengerti?""Hehe, iya, Pak." Vanya hanya menyengir, berusaha menetralisir keadaan. "Saya ulangi nggak nih?""Ck, nggak usah. Saya ingin istirahat. Cepat katakan apa keperluan kamu," katanya to the point.Vanya mengulurkan sebuah dokumen. "Ada dokumen yang perlu ditandatangani, Pak. Saya lupa sehabis meeting tadi langsung ngasih ke bapak.""Dasar ceroboh!" maki Bian yang membuat Vanya mendesis."Dasar Arogan!" Sayangnya wanita itu cuma berani menggerutu di hati. Sabar Nya."Nih, sudah. Cepat keluar!""Iya, Pak santai." Vanya segera mengambil dokumen yang telah ditandatangani itu. Hish nyebelin banget deh punya bos kayak gini, kalau bukan gantengnya mana mau Vanya kerja lebih lama lagi.Sementara Bian kembali menyandarkan punggungnya dan menutup mata. Ia butuh istirahat walau sejenak saja."Tunggu sebentar." Tanpa Vanya duga bos menyebalkan itu kembali memanggilnya."Kenapa, Pak?" Vanya menoleh."Saya haus, segera buatkan saya Mocca dingin, saya tunggu lima menit," pinta Bian.Vanya menganggukan kepala. "Iya, Pak.""Oh ya esnya jangan terlalu banyak.""Iya."Cepat-cepat Vanya keluar ruangan dengan hati dongkol dan sedikit membanting pintu membuat Bian terganggu."Dasar." Bian tak habis pikir dengan tingkah Vanya. Entah kenapa wanita itu selalu saja terlihat misuh di depannya. Memang apa yang salah dengan dirinya? Ia tampan, kaya, dan punya segalanya. Seharusnya Vanya bersyukur punya bos sepertinya. Tapi wanita itu sudah menikah, ck, jika belum maka Bian.... eitss, jangan pikir dia yang bersedia menikah wanita itu. Tidak-tidak. Justru akan ia tawarkan Vanya pada seorang yang lebih angkuh.Bicara soal menikah, Bian jadi teringat permintaan mendiang ayahnya bahwa ia harus segera menikah sebelum usia 28 tahun.Hei. Apa itu? Apakah ada peraturan di dunia ini yang melarang pria menikah lebih dari 28 tahun? Entahlah. Namun permintaan terakhir ayahnya pasti Bian lakukan.Masalahnya di sini, ia belum menemukan wanita yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Bahkan ia telah beberapa kali dijodohkan dengan banyak wanita cantik pilihan ibunya, Bian belum menemukan yang cocok.Ya belum, karena semua wanita pilihan itu tidak benar-benar mencintainya. Mereka hanya melihat tebal dompetnya saja.Bian bergumam, "Kira-kira dimana lagi aku bisa menemukan wanita yang aku mau?"***"Duh, sumpah deh! Gue rasanya mau resign aja, Cit," gerutu Vanya pada Citra. Usai keluar dari ruangan Pak Bian ia langsung menceritakan kekesalannya tadi pada Citra."Ngomong aja enak, entar sesudah resign nyesel lo nggak dapat kerjaan.""Ya itu masalahnya, kalo resign gue nggak jamin langsung dapat kerjaan." Vanya mulai bimbang."Enggak usah kerja aja napa, Nya. Lo kan udah laki. Mintalah sama laki lo," sahut Seza."Iya sih. Tapi gue lebih nyaman pakai duit sendiri. Lebih puas," jawab Vanya. "Eh, gue keburu laper nih. Yuk ah makan siang," ajaknya pada Citra dan Seza. Tetapi belum saja melangkah tangan Citra ditahan."Hai, by." Dan yang menahannya adalah Gio, pacarnya yang juga kerja di kantor ini. Gio tanpa malu mengecup pipi Citra."Makan siang bareng oke?"Citra mengangguk, kalau ada Gio ya tentu saja tawaran pria itu lebih penting. "Duluan ye, Nya."Vanya dan Seza berpandangan lalu mengangguk pasrah.Drtt-Drtt.Lalu tiba-tiba gawai Vanya bergetar tanda telepon masuk. "Tunggu, Za."Vanya mengangkatnya dan seketika ia menepuk jidat."Astaga gue lupa!"***"Lama banget sih Bun tante Farah," ujar Clara yang sedang menyantap mie ayam."Tunggu, Rara sayang. Pasti mbak Farah nyamperin kita kok. Sabar ya," bujuk Anjani mengusap rambut Clara."Clara capek, kakinya pegel habis jalan-jalan ke mall. Sekarang ngapain mbak Farah ngajak ke sini?""Tante Farah ingin mempertemukan kita dengan seseorang.""Apa orang itu penting?""Tidak. Tapi bagi tante Farah orang itu luar biasa. Jadi kita harus membantunya, mengerti sayang."Clara akhirnya mengangguk, lanjut menyantap mie ayamnya begitu lahap. "Ya sudah, demi Bunda dan tante Farah."Anjani pun tersenyum samar. Ada sekitar 15 menit sudah mereka berada di sini, tepatnya di warteg pinggir jalan yang berseberangan langsung dengan kantor Pak Bian.Ya tentu saja Farah yang mengajaknya ke sini. Wanita itu memang tidak main-main pada ucapannya. Namun bermenit-menit menunggu Farah belum kembali. Padahal wanita itu bilang ingin menemui temannya yang adalah sekretaris Bian sebentar saja."Bunda ayo makannya dihabisin. Entar tantenya keburu datang," ujar Clara mengingatkan.Anjani menghela napas, ia lanjut menyantap soto ayam sembari menunggu Farah datang.***"Sorry, Far. Gue kelupaan ada janji sama lo. Gara-gara si Bian nih," kata Vanya. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Farah.Farah bersedekap. "Iye-iye. Maaf tuh sama Anjani bukan sama gue.""Siapa Anjani, gue baru denger itu nama?""Temen guelah. Dia pakai tongkat, Nya.""Lumpuh?""Kecelakaan dua tahun lalu. Suaminya meninggal, dan sekarang dia hidup sama anaknya.""Kasihan.""Buruh ah. Entar temen gue kenapa-napa."***Bian tak peduli pada tatapan-tatapan aneh yang sekarang terlayang padanya. Pria itu berdehem singkat lalu memasuki warteg. Astaga! Kalau bukan karena Vanya lupa memasukkan gula ke dalam kopinya, ia tidak mungkin sampai di sini demi menghilangkan rasa pahit yang masih tersisa di lidahnya.Setelah pesanannya selesai dibuatkan, Bian melangkah menuju meja kosong yang tersisa namun tiba-tiba.Bruk"Aduh." Seorang bocah menabraknya, alhasil susunya tumpah mengenai seragam Bian."Heh anak kecil, kamu mengotori baju saya!" kesal Bian menatapnya."Ma-maaf, Om." Gadis bergaun pink itu mulai ketakutan melihat wajah sangar Bian. Ia menunduk dalam."Makanya jangan bermain di tempat seperti ini. Main sana di rumahmu!""Iya Clara minta maaf. Clara nggak main. Hiks-hiks. Bundaa..." Sekarang Clara menangis dan menutupi keduanya matanya dengan telapak tangan. Lantas mereka berdua jadi sorotan.Bian berdecak sebal. "Sudah jangan menangis. Ini memang salah kamu. Lihat baju saya kotor.""Hiks.. hiks.."Anjani melihat ada keributan kecil. Ia khawatir sebab ia baru saja mengijinkan Clara membeli susu sendiri. Dan mendapati Clara menangis membuat Anjani mempercepat gerakan tongkatnya."Clara. Ada apa?"Clara berlari memeluk Anjani, matanya sembab. "Bunda aku dimarahin Om itu. Clara nggak sengaja nabrak dia, Bun."Melihat siapa yang ditunjuk Clara, Anjani membulatkan matanya. "Pak Bian?"--TBOM--Laura tertawa lepas sembari menonton televisi di ruang tamu rumahnya, wanita itu sedang libur bekerja hari ini, manajernya—Hani mengatakan bahwa Laura perlu cuti untuk beristirahat dikarenakan wanita itu sedang hamil. Laura juga sebenarnya tidak peduli, sebab seberapa banyakpun ia libur atau menganggur uangnya tidak akan pernah habis. Ya, uang ayahnya—Hans selagi pria itu masih hidup ia tidak perlu khawatir akan jatuh miskin.Sedari tadi pun, kerjaannya hanya makan dan makan, efek hamil membuatnya terlalu malas untuk bergerak apalagi melakukan pekerjaan rumah. Oh ya, jangan lupa, selama ia masih tinggal di rumah mewah ini ia tidak perlu berbuat apa-apa. Tinggal duduk manis, semua sudah tersaji di meja. Pelayanan di rumah inilah andalannya."Nona, peralatan mandinya sudah siap, jacuzzinya juga sudah saya campur dengan mawar kesukaan Nona," ujar seorang pelayan wanita, ia membungkuk sopan.Laura mengangguk malas, sangat terpaksa untuk mandi, jika saja hari ini ia tidak berencana pergi ke
Pukul 12.10 ketika Anjani tiba di kantor Pradipta. Saat menuruni mobi ia disambut senyum ramah oleh satpam dan beberapa karyawan. Maklum, siapa yang tidak mengenal Anjani di kantor Pradipta ini? Mengingat dia adalah istri pemilik perusahaan. "Selamat siang, Bu. Wah, hari ini ibu cantik sekali," puji salah satu pegawai laki-laki. Usianya terbilang lebih muda.Anjani tersenyum tipis. Satu tangannya memegang tongkat dan tangan lainnya membawa tas berisi bekal makan. "Terima kasih. Mungkin itu hanya perasaan masnya, bahkan aku merasa biasa saja hari ini," jawab Anjani rendah hati. Laki-laki itu menggeleng cepat, "Ah tidak, Bu. Hari ini ibu memang kelihatan berbeda, wajah ibu lebih cerah."Anjani sontak teringat ucapan Cintya, jika wanita hamil memiliki aura yang positif dan wajah yang lebih bercahaya. "Mungkin karena aku sedang hamil," batin Anjani menggelitik. Ingin rasanya mengusap perut tapi tangannya penuh. "Saya ke ruangan pak Bian dulu yaaa, Mas," Ucap Anjani tersenyum lagi pa
Kadang, Anjani merasa bersalah. Namun, jika tidak seperti itu, selamanya ia tidak akan tenang karena belum membantu menyelesaikan masalah Kevin. Toh, Kevin sendiri tidak tahu apa-apa mengenai persoalan suaminya dengan Bram. Anak itu masih terlalu polos untuk memahami masalah seperti ini. Kevin hanya anak kecil yang pikirannya untuk main dan bermain. Selesai membantu Kevin, Anjani bergegas pulang ke rumah mengantar Clara. Sebelum siang nanti, ia pergi ke kantor membawakan makan siang suaminya itu. Bukan keinginan Bian agar Anjani melakukan itu, tetapi Anjani sendiri yang mau. Ia ingin selalu memastikan Bian makan-makanan yang sehat baik di rumah maupun di kantornya. Toh, sudah tugas seorang istri kan untuk memberikan yang terbaik pada suami? "Bun, tadi Kevin sempat bilang kalau Bunda ternyata baik sama dia. Kevin kayanya senang banget bisa ketemu sama Bunda hari ini," celoteh Clara sembari duduk di kursi ruang makan, memainkan boneka barbie yang baru ia beli tadi. Anjani yang sibu
Pagi ini suasana kantor Pradipta sudah sangat ramai, seluruh karyawannya datang tepat waktu seperti biasa. Mereka bolak-balik melakukan tugas masing-masing, ada yang sedang mengetik di laptop dan ada pula yang menyiapkan ruang meeting.Pemandangan yang sungguh menyejukkan mata Bian. Ia suka melihat karyawannya disiplin dalam hal pekerjaan di kantor Pradipta ini. "Selamat pagi, Pak," sapa seorang karyawan perempuan ketika Bian hendak memasuki lift. Bian balas tersenyum tipis. Dan di dalam lift itu, ia bertemu dengan Sani. "Wah, lama banget kita nggak ketemu, Bi. Gimana kabar lo, bro?" tanya Sani pada sahabatnya itu. Ia merangkul bahu Bian sembari cengar-cengir. Ya, sani cukup lama tidak bertemu Bian, sekitar dua minggu, sebab Sani harus menjaga ibunya di rumah sakit. "Baik kok. Apalagi istri gue lagi hamil," sahut Bian lalu tersenyum lebar seraya merapikan jasnya dengan perasaan bahagia. "Serius? Gercep banget, Bi lo bikinnya! Bakal jadi bapak nihh yee, gue doain deh Anjani lancar
"Papa Bian sama Bunda tadi kemana? Kok lama banget?" Pertanyaan itu keluar dari mulut Clara yang baru pulang dari sekolah. Tatkala Anjani dan Bian melangkah memasuki rumah. Anjani ingat Clara belum mengetahui bahwa ia sedang mengandung calon adik Clara, maka ia melirik Bian lalu menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Bian mengerti, ia langsung mengangguk dan mengulum senyum geli. Seolah kejadian di rumah sakit tadi bukan apa-apa untuk mereka. Anjani dan Bian tahu bagaimana cara menyembunyikan masalah yang seharusnya tidak diketahui anak kecil. "Loh, kok mukanya gitu, Bunda menyembunyikan apa dari aku?" Clara yang merasa teracuhkan kini manyun lalu bersedekap. Anjani terkikik kecil, ia mencubit gemas hidung putri kecilnya, kemudian menggerakkan tongkat mengajak anak itu duduk di sofa. Anjani langsung mengambil tangan Clara dan menempelkan tangan mungil itu ke perutnya. Clara sedikit terkejut. "Coba Clara tebak, di perut Bunda yang rata ini isinya ada apa aja?" Clara lantas berpik
Anjani tidak pernah merasa sekecewa ini sebelumnya, meski kebenaran belum terbukti namun hatinya terus saja berkata bahwa tidak mungkin Laura pura-pura hamil demi mendapatkan Bian hingga dia berani menjatuhkan harga dirinya sendiri.Oleh karenanya, pagi ini Anjani meminta Bian untuk menemaninya pergi ke rumah Laura dan mengajak wanita itu ke rumah sakit agar bisa melakukan tes di hadapannya, tanpa ada sedikit pun kecurangan dan Anjani sangat berharap akan itu.Pintu utama yang diketuk sebanyak tiga kali itu akhirnya terbuka, menampilkan seorang wanita bersweater biru dan celana jeans panjang serta mata sembab. Sepertinya Laura habis menangis."Ngapain lo ke sini hah?" tanya Laura kesal.Entah kenapa di saat begini Anjani malah tergagap, melihat Laura yang menangis menambah keyakinannya bahwa wanita itu tidak berbohong.Bian tinggal di mobil, jadi Anjani bisa leluasa bertanya. "Mbak habis n