Share

3 | Mischance

Halo semuaaa cerita Melumpuhkan Hati CEO ini tersedia GRATIS di KaryaKarsa ya dengan judul "The Boss Owns Me". Kunjungin profil aku @xerniy

Yuk Coba Cek di KaryaKarsa, harga lebih murah tentunya, cuman bayar 25.000 kalian sudah bisa baca SEMUA CHAPTERnya di KaryaKarsa, yuk cus ke KaryaKarsa sekarangg

****

Permasalahan diselesaikan secara baik-baik. Kini Anjani, Bian dan Clara duduk satu meja. Walau Bian terlihat ogah-ogahan.

"Saya benar benar minta maaf atas kesalahan anak saya, Pak," kata Anjani. Ia duduk di samping Clara yang memeluknya. Bocah itu masih terlihat ketakutan karena raut datar Bian.

Bian berdehem singkat dan menetrasilir kecanggungan. "Sudahlah. Saya bosan mendengar itu dari mulut kamu."

"Tapi baju bapak kotor. Apa perlu saya cuci dulu?"

Bian menggeleng. "Tidak usah. Itu hanya akan membuang waktu. Biar saya ganti di kantor saja." Ia melirik sekilas Clara. "Kenapa anakmu itu?"

"Dia masih ketakutan, Pak." Anjani mengelus kepala Clara dan meminta gadis itu berhenti memeluknya.

"Katakan padanya saya bukan monster yang harus ditakuti."

Anjani mengangguk. "Clara."

Clara berbisik sembari diam-diam menatap Bian. "Dia masih marah, Bun?"

"Enggak. Dia nggak marah lagi sama kamu. Ayo sekarang kamu minta maaf yang benar."

Jadilah Clara melepas pelukannya dari sang Bunda lalu menunduk seraya berkata pada Bian. "Maaf, Om. Clara salah. Clara janji nggak mengulanginya."

"Hmm."

"Tadi kamu mau beli susu, kan?"

Clara mengangguk kecil, kini dia berani menatap Bian.

"Ambil ini. Sekarang beli dua, satunya untuk saya." Bian mengulurkan selembar uang.

"Nggak usah, Pak. Pakai uang—"

"Ini untuk Clara. Bukan untuk kamu," sinis Bian pada Anjani.

"Makasih ya. Om."

"Ya."

Clara pun menerima uang tersebut dan beranjak membeli susu putih kesukaannya. Mereka masih berada di warteg tadi jadi Clara tidak perlu pergi jauh.

"Saya sepertinya pernah melihat kamu." Sepeninggal Clara Bian mengambil kesempatan bertanya. Sebab ia seperti mengenal Anjani tapi Bian lupa dimana.

"Kita pernah bertemu dua tahun lalu, Pak. Saya Anjani, istri pemilik perusaan Haling yang saya jual ke bapak."

Bian terdiam sejenak, lalu dia manggut-manggut ingat. Ternyata dia Anjani, istri Aldevaro yang meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. "Oke, saya ingat. Kenapa kamu bisa sampai ke sini?"

"Farah. Teman saya yang mengajak ke sini. Farah hendak mempertemukan saya dengan bapak." Anjani tak peduli lagi bagaimana respon Bian. Ia merasa malu sekarang.

"Untuk?"

"Saya juga tidak tau niat sebenarnya apa."

"Aneh." Bian menggeleng seraya berdecak. Dia menyorot penampilan Anjani dari bawah ke atas. Dengan rok panjang semata kaki, kemeja putih panjang dan rambut dikuncir satu, wanita itu tampak sedikit kuno.

"Sebaiknya kalian pulang saja. Waktu istirahat saya sudah habis. Dan tidak penting juga untuk saya bertemu kalian yang hanya menambah masalah."

Pupil Anjani melebar. Ia tak menyangka Bian akan mengatakan itu. Apa maksudnya Anjani ini sumber masalah baru?

"Maksud bapak?"

Bian tersenyum sinis. "Saya paham. Dengan kondisi kamu yang seperti kamu hanya ingin uang, kan. Mau sebesar apa biar saya kasih?"

Tangan Anjani di bawah meja terkepal. Andai mereka berada di kesunyian, ia tak segan menampar Bian. Sayangnya Anjani malas melebarkan masalah.

"Sombong banget sih?! Asal bapak tau saya punya uang cukup untuk menafkahi anak saya. Saya tidak perlu sepeser pun uang dari bapak!" Anjani marah. Ia lalu meraih tongkatnya yang bersandar. Ia berdiri dengan tatapan menghunus ke arah Bian. Seolah ingin menelan pria itu hidup-hidup.

Anjani sudah mengatakan bukan? Ia sangat malas bertemu lelaki sombong dan arogan seperti Bian yang bisanya hanya menyakiti hati orang lain. Sangat berbeda dengan Aldevaro yang penyayang.

"Ini susunya, Om." Clara tiba-tiba datang dan dengan senyum tak berdosanya itu mengulurkan segelas susu pada Bian.

"Kita pulang Clara," pinta Anjani membuat Clara menoleh heran.

"Tapi clara masih mau minum susu, Bun."

"Tinggalkan susu itu, kita beli di tempat lain saja. Kamu sayang Bunda, kan?" Clara tampak cemberut tapi dia menurut. Clara menaruh gelas susunya ke meja.

"Ini uang bapak saya kembalikan. Saya tidak perlu sumbangan. Terima kasih." Anjani menaruh beberapa lembar uang di meja dengan gerakan tak santai. Menyiratkan ia sedang marah. Wajah Bian memerah.

Sedangkan Clara menatap bingung Anjani dan Bian. Dia heran apa yang sudah terjadi tadi. Namun ketika Clara ingin bertanya Anjani lebih dulu menggenggam tangannya dan melangkah pergi. Terpaksa Clara mengikuti. Dan sebelum itu ia melambai pada Bian.

"Dadah, Om." Cih. Bian semakin dibuat naik darah atas sikap sombong Anjani. Ya sombong menurutnya.

"Eh Ani lo kemana?" Farah mendadak datang.

Anjani menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca. "Aku pulang, Far. Sudah cukup aku ketemu sama bos kamu."

"Astaga elo sih kelamaan, Nya," kata Farah.

"Kok gue?" Vanya enggan disalahkan.

"Gimana-gimana, An? Ganteng kan? Lo ngomong apa aja sama Pak Bian?"

"Aku nggak peduli, Far. Aku hanya ingin pulang. Aku capek," jawab Anjani lesu. Detik itu pun Vanya dan Farah saling berpandangan. Sepertinya ada yang tidak beres, pikir mereka.

"An lo bisa pulang sendiri?" Farah prihatin. Ia menatap Anjani kasihan.

"Aku bisa melakukan semuanya sendiri, Far. Ayo Clara."

Clara menurut dan dia melambai pada Farah dan Vanya. Tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya. "Dadah tante. Makasih traktirannya ya. Ketemu lagi."

Farah dan Vanya pun menghela pasrah, mereka membiarkan Anjani pergi. Nanti saja Farah harus bertanya apa barusan masalah wanita itu dan Bian.

Tepat saat mereka berdua lanjut melangkah, mereka berpapasan dengan Bian.

"Hai, Pak. Gimana—"

"Ajari temanmu itu untuk bersikap yang sopan. Saya risih melihatnya. Dasar wanita cacat!" Tanpa berkata sepatah kata lagi Bian pun berlalu. Rautnya tampak menahan emosi.

Vanya menghela napas.

"Astaga! Emang ada apa sih, Far?"

"Ya mana gue tau. Kan gara-gara elo kelamaan."

"Gue mulu disalahin, Oon."

***

Bian mengganti kemeja yang kotor tadi dengan yang baru. Usai itu lelaki tersebut duduk di kursinya untuk kembali bekerja. Ada beberapa dokumen baru di atas sana. Ia pun membuka laptop dan mulai melakukan pekerjaannya.

Beruntung Bian membawa kemeja cadangan. Jadi dia tidak perlu lagi menelpon sang supir untuk membawakan kemeja dari rumah. Namun tetap saja sial, karena waktunya sedikit terbuang demi mengganti kemeja. Asal kalian tau saja, Bian adalah orang yang sangat menghargai waktu.

Gara-gara Anjani. Ya tentu wanita cacat itu yang salah. Kenapa sih dia tiba-tiba datang mengacaukan harinya?

Oh jangan lupakan Vanya, Bian juga harus memarahi sekretarisnya itu.

Apa maksudnya mengajak Anjani bertemu dengannya? Sangat konyol dan tidak masuk akal.

Entahlah. Bian malas memikirkannya.

"Dasar wanita cacat!"

Tok-tok

Pintunya diketuk.

"Masuk." Tampaklah seorang lelaki berkemeja. Sani. Dia teman Bian yang bekerja di sini.

"Ngapain lo? Gue kerja. Nggak mau diganggu." Bian lebih santai saat berbicara dengan Sani. Bahkan tak segan mengubah panggilan formalnya.

"Santai, Bi. Gue cuma ngasih undangan party nih. Lo mesti datang." Sani mengulurkan party card berwarna merah.

"Party siapa?"

"Ya si Laura lah. Emang siapa lagi temen sekampus kita yang sering party?" Sani menepuk pundak sahabatnya itu.

Bian mengernyit kurang percaya.

"Seriously, lo tamu VIP. Noh liat undangannya."

Bian pun mengambil dan membaca undangan tersebut. Seketika ia mengusap wajah frustasi. Ia terjebak perangkap sang penyihir bernama Laura.

"Lo nggak akan bisa nolak, Man. Ingat bokapnya Laura salah satu pemegang saham di perusahaan lo. Hahaha."

"Sialan!"

Hari yang sungguh sial. Tadi Anjani sekarang Laura.

Bian tidak mungkin bisa menolak wanita licik tersebut. Bahkan mereka sempat dijodohkan tanpa keinginan Bian.

***

Anjani masih sedikit kesal atas kejadian siang tadi. Terutama saat Bian merendahkan dirinya. Pria sombong itu sungguh jahat telah menyamakan Anjani sebagai wanita yang haus akan harta.

Sungguh menyebalkan! Pak Bian sombong! Galak! Arogan!

Sedang asiknya melamun pintu kamarnya diketuk. Masuklah Clara.

"Hei belum tidur sayang?"

"Mau tidur sama Bunda. Clara kangen dongeng."

"Boleh sini."

Clara menaiki ranjang dan memeluk Anjani.

"Udah sikat gigi belum?"

"Udah dong. Iiii." Clara memperlihatkan gigi kecilnya.

"Pinter banget. Kalo Clara sikat gigi tiap malam Bunda makin tambah sayang sama Clara."

"Bunda tadi kenapa kita mendadak pergi? Aku padahal belum mengucapkan terima kasih sama Om Bian," tanya Clara.

Anjani tersenyum tipis. Clara masih kecil, jadi dia pasti belum mengerti masalah orang dewasa.

"Nggak papa. Lagian Bunda sudah berterima kasih duluan."

"Sepertinya Om Bian baik ya, Bun. Tapi mukanya sedikit menyeramkan."

"Makanya kita tidak perlu membahas Bian lagi. Sekarang tidur oke?" Anjani mencubit gemas pipi Clara.

"Andai papa masih ada. Clara mau didongengkan sama papa."

Perkataan Clara seolah membuat hati Anjani tertusuk ribuan jarum yang tajam. Anjani membuang napas berat.

"Papa ada kok. Di hati Bunda dan di hati kamu."

Namun namanya anak kecil, tak selalu mudah dibujuk termasuk Clara. Dengan raut melas dia menatap Anjani. "Aku mau papa, Bun."

"Sayang—"

"Clara pengen Bunda nikah lagi. Biar Clara punya papa baru."

Anjani dibuat gugup. Ia menelan Saliva kasar.

"Dan Clara janji kok nggak melupakan papa Varo. Clara selalu sayang sama papa Varo."

Sulit bagi Anjani untuk membuka hati kembali, karena sampai sekarang rasa cintanya hanya untuk Aldevaro. Walau dia telah tiada, Anjani seolah mampu merasakan kehadirannya.

"Kamu kecapekan nih. Tidur ya."

Mengangguk pasrah, Clara pun berbaring dan menarik selimut sebatas dada. Sedangkan Anjani berbaring menyamping seraya mengusap-ngusap lembut kepala anak itu. Pikiran dan hatinya seakan sedang bertarung, antara bertahan dengan cintanya atau mencari pendamping hidup baru demi Clara.

--TBOM--

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status