Mobil mewah berwarna silver berhenti di depan rumah mewah berwarna putih, kaca mobilnya perlahan turun menampilkan figur seorang pria berjas yang menatap penuh senyuman ke arah rumah tersebut.
Pria itu mengeluari mobil lalu melepas kacamata hitamnya, mengamati sekeliling rumah putih itu, lantas wajah tampannya pun menarik perhatian kedua ibu sosialita yang kebetulan lewat sehabis arisan. Mereka menatap pria itu mesem penuh minat.
"Wah. Ya ampun! Mas ganteng nyari siapa toh Mas?" tanya salah satu ibu yang bertubuh gempal serta rambut dicepol.
Pria tersebut, tidak lain adalah Bram tergelak lalu tersenyum tipis. Semakin memesona bagi mereka.
"Rumah Anjani Zelena, benar yang ini bu?" tunjuk Bram pada rumah tersebut. Maka ibu yang bertubuh lebih kurus menyahut.
"Iya benar pak. Ini rumah Anjani ibunya Clara, yang pakai tongkat itu loh."
Bram menghembuskan napas lega, matan
Puas menumpahkan kerinduan lewat air mata, Anjani mematikan lampu kamar, menarik selimut sebatas dada, dan bersiap tidur. Namun baru saja memejamkan mata, tiba-tiba ponsel jadulnya di nakas berdering.Dia mengernyit ketika layar gawai itu menampilkan panggilan masuk dengan nama Pak Bian. Maka, mau tak mau Anjani menekan tombol hijau untuk menerima panggilan. Sempat beberapa detik sebelumnya wanita itu menguap."Selamat malam, Anjani," sapa Bian lembut di seberang sana.Dengan mata sayup-sayup hendak terpejam, Anjani menjawab tak kalah lembut, khas nada bicara wanita itu, "Iya selamat malam juga. Bapak ada perlu apa ya tiba-tiba nelpon saya?""Ada satu permintaan penting yang ingin kuberitahu."Anjani mengernyit, "Tidak bisa besok saja ya pak. Saya ngantuk hehe," ujarnya jujur. Di seberang sana Bian terkekeh."Sebentar aja nggak sampai lima menit kok.""Eng
Untuk kedua kalinya Anjani melangkahkan kaki ke mansion mewah milik CEO Pradipta Group, Bian Pradipta. Tidak ada perbedaan mencolok seperti terakhir kali ia bertamu, hanya saja, area taman depan lebih berwarna oleh tanaman yang disusun cantik dalam pot. Sepertinya, orang spesial yang baru datang itu suka menanam banyak bunga.Satu lagi perbedaan, kala netranya tak sengaja bertubruk dengan netra seorang perempuan cantik yang sibuk menyemprotkan cairan pupuk. Dia mengenakan pakaian biasa bukan pakaian pelayan. Mungkin saja, dia adalah salah satu anggota keluarga Bian.Dia melempar senyum manis hingga kedua lesung pipinya terlihat begitu jelas, Anjani pun membalas sama lebarnya. Perempuan itu menaruh cairan semprotan tadi lalu menghampiri Anjani dan membungkuk sopan."Selamat pagi, Nona. Selamat pagi, Tuan."Anjani tersenyum kikuk, dia sangat canggung ketika perempuan itu harus membungkukan badan. Padahal Anjani merasa dirinya tak perlu sampai diberikan peng
"Emm... maaf, maksud mama dia ini yang akan jadi calon istrimu?" koreksi Cintya, maklum dia tadi kaget dan malah kelepasan bicara. Terlebih melihat Anjani yang langsung menunduk, Cintya merasa tidak enak."Ah? Bu-bukan tante. Saya cuman teman pak Bian," jawab Anjani menggeleng cepat. Dia pun heran kenapa Cintya menyebutnya calon istri Bian, memang, ada dia memperkenalkan diri begitu sebelumnya? Huh, pasti ini kerjaan Bian.Anjani melirik pria itu, benar saja Bian langsung merespon dengan menggaruk tengkuk sambil menyengir. Ingin rasanya Anjani mencubit perut Bian sekeras mungkin. Belum minta izin, bisa-bisanya nyebut calon."Ouh begitu, tapi kata Bian tadi..."Bian memotong ucapan mamanya, "Bian kan bilangnya mau memperkenalkan seseorang aja, Ma. Bukan mau mempertemukan mama dengan calon mantu. Tapi semoga aja sih mantu mama tetap Anjani.""Loh pak?" Anjani tak habis pikir maksud pria itu.
Anjani terpaku di tempat mendengar penuturan putrinya. Apa yang gadis itu katakan di waktu begini sangat di luar dugaan. Terlebih, Clara justru mengulang kalimatnya yang seketika membuat Anjani makin syok tak karuan."Ayo Bun nikah sama papa Bian! Supaya Clara ada papa baru," pinta Clara dengan semangat 45.Menggelengkan kepala cepat sembari mengusap rambut Clara, menjawab 'tidak mungkin' dalam hati, Anjani mendongak menatap anaknya yang dalam gendongan Bian tersebut, "Kamu ngomong apa sih sayang?""Clara serius loh Bun...""Ah mungkin kamu haus. Kita beli minum dulu ya, Mas," elak Anjani. Entah karena hasutan Bian atau memang inisiatif Clara sampai harus bertanya hal barusan. Anjani heran.Clara melengos begitu pun Bian."Gagal, Pa..." bisik Clara kecewa pada pria itu."Nggak papa. Nanti bujuk lagi ibumu. Setuju?"***Seh
"Kamu serius, An?" tanya Bian yang kurang percaya atas ucapan Anjani sebelumnya. Wanita itu ingin memikirkan kembali tentang perasaannya? Ini mustahil.Namun, anggukan pelan dari Anjani mengenyahkan keraguan Bian.Bian pun melebarkan senyum, "Terima kasih. Saya harap kamu cepat berubah pikiran." Ia penasaran apa yang membuat wanita itu merubah keputusan secepat itu.Huh.Tetapi jangan terlalu senang dulu Bian. Anjani belum mendapatkan keputusan finalnya. Karena mungkin saja kan Anjani tetap pada pendiriannya."Saya hanya memberikan Mas kesempatan kedua," ucap Anjanisedikit tersipu. Ia menatap Bian penuh harap."Jadi, tolong biarkan saya berpikir dulu Mas. Saya nggak mau salah ambil langkah karena terburu-buru. Apalagi ini tentang perasaan.""Pasti." Bian mengangguk cepat. "Saya juga akan selalu membuktikan saya pantas untukmu, An.""
Awas ya part ini bikin baper!!***"Mas ada kerjaan penting?" tanya Anjani menahan langkah Bian.Bian mengangguk dan tersenyum tipis. Ia bersedekap, mungkin lebih menyenangkan dengan sedikit menggoda wanita itu hari ini. "Banyak. Aku kan seorang CEO.""Oh yaudah, Mas berangkat aja. Maaf ganggu ya, Mas," ucap Anjani pasrah. Namun, terselip ekspresi kecewa di wajahnya. Dalam hati Bian bersorak, ternyata aktingnya berjalan mulus."Pfttt hahaha. Aku bercanda, An. Mana mungkin aku sibuk saat kamu membutuhkanku." Bian pun kembali ke tempat duduknya, samping ranjang Anjani."Mas nyebelin banget." Anjani mencubit pelan perut Bian. Pria itu pura-pura meringis kesakitan."Aku akan menemanimu di sini selama yang kamu ingin, sampai kamu sendiri yang memintaku pergi, An," ucap Bian membuat Anjani tersipu malu. Terlebih, ketika tangan besar nan hangat pria itu menggenggam tangannya
Anjani berbaring memunggungi Bian, mereka dalam satu selimut yang sama. Anjani sedang mode kesal karena gara-gara Bian, mereka sekarang hanya memakai celana dalam.Entah kapan dan dimana Bian melepaskan dress putihnya Anjani lupa. Selama berciuman Bian memangku tubuhnya berpindah tempat untuk menuruni kasur. Untung nggak sampai keluar kamarnya ini."An, jangan marah dong," bujuk Bian menghembuskan napas di punggung mulus Anjani. Tangan pria itu tak tinggal diam, meraba bagian perut hingga naik ke dada, memainkan milik wanita itu."Apaan sih mas geli," desis Anjani menepis tangan Bian dari tubuhnya.Menemukan ide guna membujuk wanita idaman, Bian menyengir lebar, ia menarik bahu Anjani hingga wanita itu telentang, lantas Bian mengambil kesempatan dengan mengambang di atas tubuh Anjani, bertumpu pada kedua sikunya sendiri.Pipi Anjani merah merona, dia membuang pandangan ke samping. Sungguh,
Anjani membulatkan matanya menatap Bram. Ia terkejut melihat pria itu datang tanpa menghubunginya lebih dulu. Lagipula darimana Bram tahu rumahnya berada di daerah sini? Padahal sebelumnya, ia tak pernah sekalipun memberikan alamatnya pada pria itu.Bram memarkirkan mobilnya di depan rumah Anjani."Selamat siang Anjani," sapa Bram keluar sembari menutup pintu mobilnya.Anjani tersenyum kikuk, "Se-selamat siang, Pak Bram." Ia merasa canggung.Bram pun menampilkan senyum tampannya, senang pada akhirnya dapat bertemu Anjani. Meskipun tadi ia sempat melihat Bian mengeluari rumah wanita itu. Kenapa coba Bian selalu menemui Anjani? Memang ada hal penting apa harus datang setiap hari?Bram tak suka Bian mendekati wanitanya.Bram terkekeh menatap Anjani yang masih terpaku, "Aku tau kamu terkejut melihat kedatanganku, An. Maaf sebelumnya tidak memberitahu."A