Share

5 | Accident

Tragedi tersebut terjadi sangat cepat. Mobil itu berhenti setelah menabrak paha Anjani cukup keras. Sekarang Anjani terduduk di aspal bersama tongkatnya yang patah.

Si pemilik mobil terlihat sejenak menyembulkan kepala dari balik kaca mobil, matanya seketika membulat.

"Ya ampun, ibu nggak papa? Kita ke rumah sakit ya bu," ucap bi Ratih bersimpuh di depan Anjani. Bahkan sopir pribadinya ikut keluar dari mobil. Mereka membantu Anjani berdiri.

"Aku nggak papa, Bi." Anjani menggeleng pelan. Sungguh, ia tidak merasakan apa pun pada kakinya. Toh, kaki yang lumpuh itu sudah mati rasa jadi efeknya mungkin hanya lebam biru.

Anjani juga syok. Telapak tangannya sedikit perih, dan benar setelah Anjani lihat ada beberapa luka goresan kecil di sana.

"Gimana bisa enggak, Bu. Itu kaki kanan ibu baru di terapi kemarin, bahaya," tukas bi Ratih, bertepatan seorang pria berjas abu menghampiri.

Anjani tercengang menatap pria itu, begitu pun yang ditatap, dia tidak lain adalah Bian Pradipta. Pria arogan yang Anjani temui siang tadi. Keduanya saling melempar tatapan permusuhan.

"Bapaknya sih. Bawa mobilnya pelan-pelan dong, Pak! Nggak liat apa orang lagi jalan? Lagian bawa mobilnya terlalu ke pinggir." Bi Ratih langsung mengomel dan menatap Bian tajam. Dia tidak suka sikap Bian. Bukannya meminta maaf pria itu malah memasang tampang angkuh. Sangat menyebalkan.

Bian sama terkejutnya. Tak menduga bahwa seorang yang ia tabrak adalah wanita lumpuh bernama Anjani. Masih lekat di benaknya bagaimana wanita sombong itu bersikap siang tadi.

"Bukan salah saya. Wanita itu yang nggak hati-hati padahal udah punya tiga kaki," sinis Bian menatap Anjani. Anjani melotot padanya.

Bi Ratih terkekeh, "Dih, bapaknya sombong mentang kakinya sehat. Huh."

"Sudah, Bi. Kita pulang aja, lagian aku nggak merasa apa-apa kok." Anjani memilih mengalah. Dia enggan membuntutpanjangkan masalah ini apalagi dengan Bian. Sama saja ia membuang waktunya. Mengingat manusia berhati batu seperti Bian tidak mungkin bisa menghargai perasaan orang lain.

Anjani menatap bi Ratih, "Kita pulang, Bi. Claraku kasihan sendiri di rumah."

"Nggak gitu, Bu. Bapak ini harus tanggung jawab." Bi Ratih menunjuk wajah Bian. Sedangkan sopir Anjani hanya terdiam.

Bian berdecak sebal, "Saya malas sekali berdebat dengan kalian. Sebut berapa yang kalian mau." Dia mengeluarkan dompet dari saku jasnya.

"Ayo, Bi." Anjani enggan meladeni, terlebih Bian mulai menunjukkan lagi sikap Arogannya itu. Anjani melangkah pergi diiringi bi Ratih dan sopirnya.

"Hei! Saya belum selesai bicara." Bian menghadang langkah mereka. Anjani menautkan alisnya.

"Orang-orang seperti kalian pasti sulit menutup mulut untuk kejadian ini," ucap Bian. Dia mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Sekarang ambil dan tutup mulut kalian. Saya tidak mau nama saya tercoreng."

Satu tangan Anjani terkepal. Dia kepalang kesal, dan selang detik kemudian Anjani melayangkan sebuah tamparan ke pipi Bian.

Plak.

Kejadian itu membuat semua orang yang kebetulan lewat mengalihkan perhatian mereka kepada Anjani dan Bian.

"Kau—"

"Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan uang, Pak!"

Terutama Bian, selain pipinya perih juga rasa malunya bukan main sekarang.

"Beraninya kau menamparku hah? Kau tau siapa aku?!" Urat-urat Bian tampak menonjol. Namun Anjani tak semudah itu untuk takut. Karena baginya, wanita tidak boleh selemah itu menghadapi pria yang bersikap seenaknya.

"Saya nggak peduli siapa dan darimana bapak berasal. Tapi yang saya tau, bapak orang paling bodoh yang pernah saya kenal! Tuan Bian Pradipta." Sengaja Anjani menekan nama 'Bian' agar semua orang tahu siapa sebenarnya pria sombong itu.

Alhasil lalu lintas pun menjadi ramai dan macet. Mereka menyaksikan Bian dan Anjani layaknya sebuah film.

"Astaga, jadi dia Bian Pradipta?"

"Pebisnis terkenal itu bukan?"

"Produk perusahaan mereka begitu mendunia. Kenapa pemiliknya memiliki sikap yang buruk?"

"Aku lihat dia baru saja menabrak wanita bertongkat itu."

Bisikan-bisikan itu seolah menusuk telinga Bian, Dia mengepalkan tangan dan menatap Anjani tajam. Sialan! Anjani lewat keterlaluan. Membuat nama baiknya dipertaruhkan.

Muak mendengar bisikan buruk tentangnya, Bian pun memutuskan memasuki mobil mewahnya. Menutup pintu mobil dengan kencang lalu mengklakson nyaring demi menghalau semua orang yang menghalangi jalannya.

"Huuu!" sorak bi Ratih kala mobil Bian jalan. Perlahan kerumunan pun bubar.

Bi Ratih menatap Anjani sambil tersenyum lebar. "Bu Ani hebat. Saya salut sama ibu."

Anjani cuma tersenyum tipis. Namun di samping itu ia merasa sedikit khawatir. Entah kenapa.

***

Bian melepas jas abunya hingga menyisakan kemeja putih saja. Kekesalan tampak kentara di wajah tampannya. Tentu ia masih marah atas tragedi barusan.

Bagaimana tidak? Banyak orang yang menyaksikan kejadian tadi, lalu menudingnya dengan kejahatan macam-macam. Kini, nama baik perusahaannya seolah di ujung tanduk.

Anjani. Ya, Bian tidak akan pernah melupakan nama yang membuat hidupnya berantakan.

Gawainya bergetar di saku celana, Bian mengambil benda pipih berlogo apple itu dan menerima panggilan.

Bram is calling.

Gawat sekali. Mengingat Bram adalah partner bisnis sekaligus salah satu pemegang saham di perusahaannya. Kalau sampai pria itu tau apa yang terjadi barusan, kerja sama mereka rentan dibatalkan.

"Selamat malam pak Bram," sapa Bian lebih dulu. Sebagai CEO profesional tentu ia tahu kapan bersikap sopan. Terlebih kepada rekan bisnisnya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Selamat malam juga, Bian. Aku menghubungimu bukan untuk meminta bantuan."

"Lalu apa, pak?"

"To the point saja, apa kau sudah menonton berita di televisi?"

Bian mengernyit. "Tidak. Saya baru pulang dari pesta teman saya. Memang ada hal penting apa di sana?"

"Kau tonton saja sekarang. Setelah itu katakan padaku, apa itu benar dirimu atau bukan."

"Sebentar."

Bergegas Bian meraih remot TV-nya di nakas. Jantungnya berdegup kencang. Alisnya bertautan tanda bahwa ia sangat bingung apa maksud Bram.

Dan semuanya terjawab kala Televisi besar tersebut ia nyalakan, Bian tercengang lalu menelan salivanya kasar.

Berita malam ini.

Seorang pengusaha sukses ternama, Bian Pradipta, diduga menabrak seorang wanita bertongkat. Namun, bukannya bertanggung jawab Bian justru bersikap sombong serta menyuap wanita itu dengan sejumlah uang agar menutup mulutnya.

"Bagaimana? Apa perlu aku ulang pertanyaanya?"

"Pak, itu—" Bian masih sulit percaya pemandangan di depannya. Dimana ia mengulurkan sejumlah uang kemudian Anjani menamparnya.

"Aku tidak butuh penjelasan apa pun tentang kejadian yang menimpamu. Lebih baik kau segera meminta maaf kepadanya di depan semua media."

"A-apa? Itu tidak mungkin, Pak. Saya tidak bersalah. Wanita itu yang tiba-tiba menghalangi jalan saya."

"Kau sudah menjadi tontonan semua orang, dan apa kau berpikir bagaimana asumsi publik setelah mengetahui sikap anehmu itu? Nama perusahaanmu sedang terancam. Kau orang paling berpengaruh Bian."

"Pak."

"Segera buat klarifikasi atau proyek kerja sama kita terpaksa aku batalkan."

Panggilan pun dimatikan sepihak oleh Bram. Bian mengusap wajahnya gusar. Pria tampan itu terduduk pasrah di bibir kasur sembari mengepalkan satu tangan. Bian tak menduga kejadian barusan diliput banyak wartawan. Mereka pasti diam-diam membuntutinya lalu mengambil kesempatan saat dia dan Anjani sibuk berdebat.

Ya Anjani, wanita itu sumber semua masalahnya ini.

"Tunggu pembalasanku wanita lumpuh."

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status