Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak."Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet."Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai a
Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu. Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja. Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari."Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda." Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu keti
Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan."Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?" "Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?" "Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?" "Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?" Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang d
"Di depan semua media saat ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya padamu Anjani. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya berjanji akan lebih bertanggung jawab," ucap Bian. Kalimat tegas yang membuat semua penghuni aula terdiam. Terutama Anjani, ia tak menyangka Bian mampu merubah sikapnya dalam satu hari. Namun, Anjani akui jika Bian mengatakan itu hanya untuk mencegah nama baiknya tercemar. "Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas kesalahan kemarin. Saya bersedia menanggung semua biaya pengobatan kakimu sampai pulih." Tunggu. Apakah ada sesuatu yang mengganjal telingnya? Anjani sulit percaya ini. Di satu sisi ia menghormati permintaan Bian yang pertama. Entah untuk yang kedua ini Anjani pikir sangat berlebihan. "Pak." Anjani menyela dan Bian langsung menggeleng cepat. Berbeda dengan Clara, gadis itu tersenyum lebar menatap Bian. Meski ia tidak terlalu mengerti apa maksud p
Sani masih belum percaya pada keputusan Biab karena terdengar sangat berlebihan. Sebelumnya, ia mengira Bian sekedar meminta maaf guna mengembalikan nama baik perusahaan Pradipta, tapi ternyata lebih dari itu. Bian membuat semua media kagum dan tercengang."Bian lo serius nggak sih oneng? Apa telinga gue yang kejejel kotoran pas denger lo ngomong?" tanya Sani serius. Sebab Bian yang dilihatnya barusan sangat berbeda dengan Bian yang dikenalnya—angkuh, sombong, dan ia tahu Bian tidak mungkin membuang-buang uang untuk hal yang kurang penting—contohnya membantu wanita yang tidak ia sukai."Gue seriuslah. Gue yang nanggung semua pengobatan Anjani," jawab Bian sembari fokus mengetik sesuatu di laptopnya.Sani yang duduk di hadapan Bian itu menahan tawanya menyembur, "Pftt Hahaha! Kesambet apaan lo jadi baik? Bukannya lo nggak suka deketan sama Anjani. Tadi gue juga liat lo meluk anaknya.""Jangan bacot! Lo nggak ak
Rutinitas Anjani bertambah mulai hari ini, yaitu memasak makan siang untuk sang bos arogan dan pemaksa bernama Bian Pradipta. Kebetulan juga dalam seminggu ke depan Clara libur semester, jadi jadwalnya menjemput anak itu setiap pukul 12 siang, tidak akan bertabrakan dengan jadwal mengantar makanan untuk Bian. Setidaknya pada minggu ini ia cukup tenang.Anjani mengaduk perlahan semur jengkol di dalam wajan berukuran sedang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengapit tongkat agar tetap seimbang. Seketika aroma masakan itu menguar ke seluruh ruangan. Membuat perutnya ikut keroncongan.Jujur bukan perkara mudah bagi Anjani memasak semur jengkol, pasalnya ia juga sangat jarang menyantap makanan satu ini—bukan tidak suka. Terlebih Clara yang sangat anti akan baunya.Tapi tenang, semur jengkolnya buatannya sekarang sudah dimasak sebaik mungkin, resepnya ia baca begitu teliti dari internet. Sehingga tidak me
Bian terkejut melihat Anjani datang bersama Clara. Matanya membulat namun beberapa detik setelahnya Bian berdehem lalu menormalkan ekspresi. Ditambah Clara tiba-tiba melompat dan memeluknya."Om Bian!" seru Clara. Anjani hendak menahan anak itu tapi terlambat. Ia hanya bisa menarik tangannya kembali ketika Clara terlanjur memeluk Bian begitu erat. Anjani memohon maaf."Tidak apa-apa," kata Bian. Ia balas memeluk Clara lalu mengusap kepala anak itu. Clara menyengir lebar. Anjani mendengus pelan.Bram tersenyum menatap Anjani dan mereka pun melangkah mengeluari lift disusul Bian serta Clara. Mereka menepi untuk berbincang-bincang.Anjani merasa dia datang di waktu yang salah. Melihat Bian sepertinya sedang sibuk bersama rekan kerjanya. Anjani pun menyembunyikan tangannya yang memegang rantang ke belakang punggung. Ia sangsi bagaimana reaksi Bian ketika Bram mengetahui apa alasannya datang ke sini.
"Oh ya, apa aku terlalu memberatkanmu? Maksudku kamu kan memakai tongkat, melangkah saja pasti sulit. Apa perlu aku persiapkan supir khusus untuk menjemputmu setiap siang?" tanya Bian, kembali membuka pembicaraan setelah perhatian Clara hanya tertuju pada Fio. Akhirnya anak itu diam juga. Memang kadang Bian kesal ketika Clara terus saja mengoceh apalagi menyindir dengan mulut jujurnya.Mata Anjani melebar mendengar pertanyaan Bian, ia menggeleng cepat isyarat menolak. Lagi-lagi pria itu berlebihan, pikirnya. "Nggak usah, pak. Tapi kalau bapak mau, bapak sebaiknya persiapkan supir khusus, bukanmenjemputku tapi mengambil makanannya saja, karena hanya minggu ini saya ada waktu luang untuk ikut mengantarkan."Lain maksud Anjani dia akan selalu menolak tawaran Bian. Tetapi mengingat pria itu memiliki banyak kesibukan, pasti akan sangat merepotkan.Bian menangkap ketidaknyamanan dari raut Anjani. Dia lantas mendengus p