Share

6 | Shocked

Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.

Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak.

"Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.

Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."

Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet.

"Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.

"Aku nggak mau nambah masalah, Bi."

"Ibu kenal siapa bapak tadi?"

Anjani mengangguk pelan, "Dia Bian Pradipta. CEO perusahaan Pradipta yang produk mereka terkenal itu, Bi."

"Yaampun. Jadi dia orang yang membeli perusahaan bapak Aldevaro?" Bi Ratih mengerutkan kening. Mendongak dan menatap Anjani lekat.

"Hm. Kami bertemu dua tahun lalu. Sejak itu aku udah nggak suka sama sifat dia. Makanya aku nggak mau berurusan apa pun lagi dengannya."

Seketika Bi Ratih menepuk jidat. "Oh iya bibi lupa. Tapi bibi masih kesel banget, Bu. Nggak seharusnya dia bersikap begitu sama ibu."

"Lupain aja," ucap Anjani menghela napasnya. "Orang seperti dia memang kadang nggak mengerti perasaan orang menengah kayak kita. Kita cuma perlu diam, Bi. Mereka punya kuasa sedangkan kita nggak ada apa-apanya."

Bi Ratih tersenyum samar. "Bapak Aldevaro beruntung punya istri kayak ibu." Lalu dia menempelkan kasa di lebam Anjani sebagai langkah terakhir. "Nah sudah selesai. Ibu saya antar ke kamar ya?"

"Nggak usah. Bibi ambilin aja tongkat aku yang satunya di gudang," sahut Anjani.

"Siap, Bu."

Bergegas bi Ratih melangkah menaiki tangga menuju gudang. Anjani menghela napasnya lalu menyandarkan bahu dengan nyaman. Sesekali matanya menatap sekeliling ruang tamu. Sesaat kenangan tentang Aldevaro muncul di benaknya seperti kaset yang berputar ulang.

Masih lekat di ingatan Anjani bagaimana Aldevaro menghadiahkan rumah sebesar ini untuknya saat pernikahan mereka. Anjani sangat bahagia kala itu. Dan rumah inilah satu-satunya sisa peninggalan Aldevaro sekarang.

Aldevaro sendiri merupakan anak tunggal sekaligus yatim. Ia dibesarkan oleh ibunya dan sekarang ibunya telah menikah lagi serta memilih tinggal di luar kota bersama suaminya. Sedangkan kedua orang tua Anjani sudah lama berpulang.

"Anjani." Panggilan dari pintu utama membuat Anjani menoleh. Farah datang.

"Heh, lo marah juga sama gue?" cerca Farah melangkah cepat menghampiri bersama perut buncitnya.

"Enggak." Anjani mengangkat bahu.

Farah lantas duduk di samping sahabatnya itu. "Sorry banget, An. Gue nggak nyangka kejadiannya bakal gini."

"Sebaiknya kamu pulang, Far," ujar Anjani memperingati.

"An, ish tuh kan lo marah." Ekspresi Farah berubah cemberut.

"Aku enggak marah kok." Anjani menghela pasrah. Agar Farah tak salah paham ia memapar senyum tipis, "Kamu nggak dimarahin suami kamu malam-malam ke sini."

Farah berdecak, "Halah suami gue tuh nunggu di depan."

"Kenapa nggak dibawa masuk?"

"Bentar aja guenya."

Tiba-tiba bi Ratih datang lalu menyapa sembari membawa tongkat Anjani. Keduanya sontak menoleh.

"Ada ibu Farah. Ibu mau minum?"

"Enggak usah, Bi. Ngerepotin."

Bi Ratih dan Anjani terkekeh pelan.

Ketika wanita itu memberikan tongkatnya pada Anjani, Farah mengernyit, ditambah Bi Ratih mengambil tongkat patah yang tersandar di sofa. "Eh bentar-bentar. Tongkat lo ngapa dah bisa patah?"

"Biasa, Bu. Tongkat lama. Udah rapuh," bi Ratih menyahut. Dia sengaja berbohong setelah mendapat kode delikan dari Anjani.

"Lo nya nggak luka, kan?"

"Sehat, Far." Anjani tersenyum tipis. Bukan maksudnya menyembunyikan hal ini dari Farah. Tapi karena Anjani tak ingin Farah bertanya macam-macam. Mengingat sahabatnya itu kalau mengobrol pasti lupa dunia. 

Mendadak telepon rumah berdering dan mengalihkan fokus mereka.

"Bibi angkat telponnya dulu," pinta Anjani. Bi Ratih mengangguk lalu melaksanakan perintah.

"Halo," sapanya.

"Bisa saya berbicara dengan Anjani?"

Seketika Bi Ratih terdiam. Tunggu. Seperti dia kenal siapa pemilik suara. Astagaaa!

"Bapak ingin bicara dengan majikan saya? Bapak nggak tau malu banget ya padahal tadi udah nabrak Bu Ani terus malah marah-marah."

Ya, siapa lagi kalau bukan Bian.

"Siapa, Bi?" tanya Anjani mengernyit heran. Pun Farah. Heran kenapa bi Ratih mengomel tiba-tiba.

"Pak Bian, Bu. Katanya ingin bicara dengan ibu," sahut Bi Ratih menatap Anjani.

"Apa? Gue nggak salah denger nih." Farah menautkan alis kemudian memandang Anjani penuh selidik.

"Mending nggak usah diladenin, Bu. Pasti dia cuma pengen maki-maki ibu."

Anjani menggeleng pelan. Kalau sampai pria itu menelpon positif thinking saja, mungkin ia ingin meminta maaf. "Mungkin ada sesuatu yang penting, sini telponnya, Bi."

"Ibu mah terlalu baik." Bi Ratih terkekeh kemudian memberikan telponnya pada Anjani. Farah bergeser mendekati sahabatnya itu, lantas memasang pendengaran baik-baik.

"Bapak ada perlu apalagi dengan saya?" tanya Anjani. Terdengar tawa meremehkan di seberang sana.

"Jangan merasa senang dulu. Saya juga terpaksa menghubungi kamu."

"Terlebih saya, tidak akan pernah senang juga dihubungi sama bapak," balas Anjani kesal. Baru jalan menit pertama Bian sukses membuat darahnya serasa mendidih.

"Ck  wanita sombong. Dengar ya. Besok saya akan menjemput kamu, kita harus pergi ke konferensi pers besok!

Sontak Anjani membulatkan mata. Farah dan bi Ratih saling berpandangan heran. Mereka sama sekali tidak mengerti apa maksud Bian. Konferensi, Anjani tahu acara itu hanya untuk orang terkenal saja. Lah dia.

"U-untuk apa sih pak? Saya tidak ada hubungan dengan itu."

"Ck. Kamu seharusnya sudah melihat berita di televisi. Gara-gara kamu, nama baik saya dan perusahaan saya dipertaruhkan."

"Ma-maksudnya?" Meski kepalanya kini penuh pertanyaan. Anjani tahu apa selanjutnya yang mesti ia lakukan. Bian tidak mau memberi keterangan, maka Anjani akan mencari kebenaran.

"Tidak ada penolakan. Kita selesaikan semuanya besok. Siap-siap sebelum pukul delapan. Mengerti?!"

"Pak..." Ucapan Anjani terhenti karena Bian lebih dulu menutup panggilan. Raut Anjani berubah cemas.

"Masalah apalagi, An?" tanya Farah yang diacuhkan Anjani. Anjani menatap bi Ratih. Sungguh, ia merasa sangat gugup sekarang. Masalah apalagi Ya Tuhan.

"Tolong nyalakan TV-nya, Bi."

Tanpa bertanya banyak hal bi Ratih bergegas menyalakan TV. Dia mengganti channel yang menampilkan berita malam ini sesuai perintah Anjani. Dan yah, semua yang berada di ruangan itu terkejut bukan main kala sang presenter memaparkan topik berita.

'Seorang pengusaha sukses ternama, Bian Pradipta, diduga menabrak seorang wanita bertongkat. Namun, bukannya bertanggung jawab Bian justru bersikap sombong serta menyuap wanita itu dengan sejumlah uang agar menutup mulutnya.'

"Sumpah! Gue nggak ngerti apa yang udah terjadi sama lo berdua," histeris Farah kurang percaya. Anjani menegang di tempat, ia syok kejadian yang menimpanya barusan ternyata berhasil diliput banyak wartawan. Anjani menunduk, menahan matanya yang berkaca-kaca. Ia tidak ingin menangis, namun rasanya terlalu sulit memahami masalah ini. Bi Ratih menenangkan dengan mengusap punggung Anjani.

Farah ikut tertegun, ia mengusap pundak sahabatnya. "Gue yakin masalah kalian nggak akan selesai semudah konferensi pers doang, An. Karena gue tau pak Bian itu berkuasa, sangat-sangat bahaya!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status