Share

4 | Pesta

"Babe, lo jadi datang nggak?" tanya seseorang di seberang, mengejutkan Bian yang baru saja menekan speaker gawainya di nakas.

Siapa lagi orang itu kalau bukan Laura, Wanita paling Bian hindari di dunia ini. Dia wanita yang sombong dan bersikap sangat manja. Bian benci tipe wanita seperti itu.

So, for your information, Laura merupakan anak salah satu rekan bisnis mendiang ayahnya—Baskara. Persahabatan mereka dulu begitu erat sekaligus berarti, sampai Baskara tak tanggung-tanggung berpesan agar menikahi anak rekan bisnisnya itu saja. Tidak boleh wanita lain.

Menghela napas pelan lalu melepas kaos kakinya sambil duduk di tepi ranjang Bian bergumam malas, "Hm."

"Astaga, Bi. Jangan malas gitu dong. Kamu tamu VIP, kedatangan kamu spesial banget buat aku," rengek Laura manja.

"Memang saya peduli? Kamu bukan siapa-siapa buat saya. Bahkan cuma orang asing." Bian menegapkan punggungnya, berbicara lebih tegas.

"Ish. Aku ini calon tunangan kamu, ingat nggak sih, Bi?"

Semakin diladeni maka wanita itu akan makin seenak hati, Bian memutar bola mata jengah.

"Mengerti arti kata 'calon' kan? Itu artinya kita belum terikat hubungan apa pun dan saya punya hak membatalkan rencana pertunangan kita, jadi saya tidak perlu repot-repot menuruti permintaan kamu," tukas Bian.

"Tapi Bi—"

"Sudahlah. Saya sibuk."

"Bi, jangan ditutup ishh..."

Bian pun menutup telponnya tanpa ragu. Ia merebahkan tubuhnya sembari menatap langit-langit kamar. Memejamkan mata sejenak seolah meluapkan sejenak rasa lelah di sekujur tubuhnya.

"Dasar penganggu! Kapan aku hidup tenang tanpa wanita-wanita seperti dia?" gumam Bian, meratapi hidupnya yang selalu saja dikelilingi wanita-wanita aneh. Manja seperti Laura, menyebalkan seperti Vanya, dan banyak lagi lah, Bian enggan mengingat nama mereka satu persatu.

Tok-tok.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, ogah-ogahan Bian pun bangun lalu membukakan pintu.

"Selamat malam, tuan. Ini ada dua paket untuk tuan," ujar seorang pelayan pria, menunduk mengulurkan dua kotak berwarna biru serta pink.

"Siapa pengirimnya?"

"Satunya dari tuan Sani, dia bilang tuan harus memakai seragam pemberiannya saat datang ke pesta nona Laura malam ini," jawab si pelayan, "Dan paket pink ini hanya ada tertera huruf 'C' tuan."

Bian mengernyit, malas pikir panjang ia langsung menerima kedua paket itu. "Yasudah pergi sana."

"Baik tuan."

Bian pun kembali duduk ke tepi ranjang. Paket Sani ia taruh dulu sedangkan paket pink tadi segera Bian buka, betapa kagetnya ia menemukan boneka T-rex berukuran kecil.

Cih, pasti ini ulah bocah kurang kerjaan. Akhirnya malah menganggu orang lain.

"Boneka dinosaurus? Dia kira aku anak kecil apa." Pftt. Kekesalannya bertambah ketika ia meremas boneka itu, justru mengeluarkan bunyi. "Sialan! Dia benar-benar menghinaku!"

Bian kepalang kesal, ia keluar kamar kemudian memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat.

"Hei kau cepat ke sini!"

Pelayan itu menghampiri.

"Ambil ini dan berikan untuk anakmu." Bian mengulurkan boneka t-rexnya.

Pelayan itu dibuat bingung.

"Jangan banyak tanya, cepat bawa benda itu pergi! " perintah Bian.

"I-iya, tuan. Terima kasih."

Tidak ingin gajihnya menurun pelayan itu pun mengangguk dan pergi membawa boneka tadi.

***

Bukan Laura namanya jika tidak membuat pesta mewah. Bertempat di hotel berbintang lima di kawasan Jakarta. Ribuan tamu yang datang pun bukan dari kalangan biasa.

Mereka mengenakan dress dan jas mahal, tentu saja dengan harga di atas ratusan juta. Selain itu dekorasi pestanya juga sangat memanjakan mata.

Oh tentu, Laura tidak mungkin mempermalukan dirinya sendiri dengan membuat pesta yang terlalu biasa. Toh, apa kata mereka nantinya? Mengingat ia merupakan putri seorang pembisnis sukses di kota ini. Ia harus terlihat elegan serta mewah.

Mata wanita itu menjelajah sekeliling, mencari-cari keberadaan seseorang yang sejak sepuluh menit lalu ia tunggu. Tapi lagi-lagi Laura berdecak kesal, Bian selalu saja datang terlambat ke pestanya. Huh, padahal pesta ini tak lain ia tunjukkan untuk pria itu. Untuk mengumumkan kepada semua tamu bahwa mereka berdua akan segera bertunangan.

"Lo cari siapa sih, Lau? Dari tadi gue ngomong lo acuhin aja," keluh Zeya, temannya.

Laura mengelak, "Eh, enggak ada."

"Lo nyari Bian?" Zeya menyipit curiga.

Seketika Laura terdiam.

"Halah, Lau. Dia kayaknya nggak bakalan datang deh, secara kalian berdua kan dijodohin, hahaha," ujar Zeya dengan sorot mata menyindir.

Zeya merupakan teman dekatnya, juga salah satu anak rekan bisnis ayahnya. Tapi meskipun begitu, Zeya tidak pernah segan membullynya, apalagi menyangkut soal Bian. Ya wanita itu tau, bahwa Bian tidak sudi dijodohkan dengannya.

Lagipula apa peduli Laura?

"Gue yakin tunangan gue bakalan datang, lo liat aja," ucap Laura berani.

"It's oke. Tapi lo siap-siap menerima tantangan gue andai Bian nggak datang." Zeya tersenyum kecut. Ia mencondongkan wajah menghadap Laura. "Lo mesti joget di depan semua tamu undangan. Gimana?"

"Nggak takut tuh," jawab Laura, walau kini ia dibuat tegang. Lagi pula kalau menolak, Zeya justru makin membully lalu menebar gosip buruk tentangnya.

Sialan babe, kamu dimana sih? Kan malu aku tu kalau disuruh joget, batinnya menggerutu.

"Sebaliknya, lo mesti menerima tantangan gue saat Bian datang. Lo harus minum semua minuman bekas milik tamu."

"Siapa takut. Hahaha." Zeya tertawa lepas, ia merasa tidak takut sedikitpun pada tantangan itu. Ia yakin seratus persen Bian tidak akan datang.

Selang detik kemudian Yura--pelayan pribadi Laura menghampiri mereka.

"Nona, tuan Bian sudah datang. Dia sedang menuju ke sini," ucapnya. Membuat mata Laura berbinar sedangkan Zeya tercengang di tempat.

"Seriously?" kata Laura.

"Iya, Nona. Tuan Bian baru saja keluar dari mobilnya."

"Hahaha." Laura balas tertawa menghadap Zeya. "Lo kalah Ze, minum tuh semua minuman bekas tamu."

Zeya lantas gelagapan, dia ingin pergi namun tangannya dicekal Laura.

"Mau kemana lo?"

"Lepas! Gue mau ke toilet." Zeya menghempaskan tangan Laura kasar, ia bergegas lari melewati kerumunan tamu.

"Pengecut!" maki Laura. Ia kemudian memanggil bodyguardnya. "Bimo!" Yang dipanggil pun datang. "Awasi dia, jangan biarkan dia keluar hotel ini."

"Siap Nona!"

Meninggalkan masalah dengan Zeya, Laura pun buru-buru menghampiri Bian yang pasti menunggu sambutan darinya.

***

Kaki jenjang milik pria itu menapaki lantai ballroom hotel, punggungnya yang tegap dan wajahnya yang menawan menarik semua pasang mata. Terutama wanita.

Ya pria tampan berjas hitam itu tidak lain dan tidak bukan adalah Bian Pradipta, pemilik perusahaan Pradipta yang ketus nan datar.

"Selamat malam, sayang," sapa Laura tersenyum lebar sembari menautkan pergelangannya di lengan Bian. "Thanks ya sudah datang, aku senang bangett."

"Hmm." Bian mengangguk tanpa mau menatap Laura. Pandangannya lurus me depan seraya terus melangkah. "Saya ke sini juga terpaksa."

"Ish." Laura cemeberut. "Aku bikin pesta ini khusus buat kamu loh."

"Hari ini bukan ulang tahun saya."

"Iya tau kok. Pesta ini memang bukan untuk ulang tahun siapa pun. Tapi untuk mengumumkan acara pertunangan kita."

Mendengarnya langkah Bian terhenti, ia melepas pelan rangkulan Laura dari lengannya. "Maksud kamu?"

"Iya pertunangan kita, Bi. Kan aku sudah bilang dari kemarin." Kini ekspresi Laura makin murung. Bian sangat menyebalkan. Dia seperti tidak menghargai kerja kerasnya sedikitpun.

"Tapi saya juga sudah mengatakan kalau saya belum siap menikahi kamu," ucap Bian dengan nada sedikit tinggi. Sontak beberapa tamu di dekat mereka menatap penuh heran.

"Shttt, kamu pelan-pelan dong ngomongnya. Jangan bikin malu."

Bian hanya berdehem singkat, ia cuek, menganggap perkataan Laura cuma angin lalu.

Entah berapa kali sudah Laura terkekeh, demi menghindari gosip buruk tentang mereka, Laura pun mengajak Bian ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari ballroom.

Bian pasrah mengikuti, biarlah malam ini cepat berlalu, Bian ingin Laura sadar bahwa sebaiknya mereka tidak bisa hidup bersama.

"Lagian kapan kamu siapnya sih, Bi? Kamu itu sudah hampir kepala tiga dan kita sama-sama sedang mencari pasangan. Apa salahnya kalau kita menikah?" bela Laura.

Bian tetap menggeleng. Ia menjawab tegas. "Saya tidak mencintai kamu, Laura. Saya ingin menikah dengan wanita pilihan saya."

"Bian, cinta itu bisa kita tumbuhkan sama-sama setelah kita menikah nanti."

"Omong kosong," Lama-lama Bian bosan meladeni wanita ini. Sukanya memaksa saja. "Memang kamu mengerti arti cinta? Kamu hanya melihat kekayaan dan kemewahan saja Laura. Sebaiknya kita akhiri saja semuanya sekarang. Itu lebih baik. Kamu bisa mendapatkan pria yang mencintai kamu dan saya akan bahagia dengan wanita pilihan saya."

Setelah mengatakan itu Bian melangkah keluar meninggalkan Laura. Laura tergopoh-gopoh mengikuti meski air matanya hendak mengalir. Dress yang ia kenakan mempersulit langkahnya.

"Bian tunggu!" Akhirnya Laura berhasil meraih ujung jas Bian lalu dengan cepat memeluk pria itu di hadapan para tamu.

"Aku mencintaimu, Bian. Hanya aku yang mencintaimu sebesar ini."

"Lepaskan aku. Berhenti membuat drama Laura," ucap Bian sangat risih, sebab semua tamu sekarang menatap mereka.

"Aku tidak mau. Aku tidak akan melepaskanmu." Laura makin mengeratkan pelukan.

"Laura lepas!"

"Dengar semuanya!" Namun tiba-tiba wanita itu melepas pelukan dan berteriak menunjuk wajah Bian. "Dia pria bernama Bian Pradipta ini milikku! Tidak ada yang boleh mendekatinya selain diriku, atau kalian harus menerima akibatnya, kalian mengerti?!"

Para tamu sontak berbisik macam-macam. Mereka memandang aneh Laura.

"Apa dia sudah gila?"

"Kemana otaknya? Sangat memalukan."

"Kau—" Ucapan Bian terhenti saat Laura tiba-tiba menyatukan bibir mereka.

Memalukan. Laura benar-benar menurunkan harga dirinya di depan semua tamu.

"Laura!!" Terpaksa Bian mendorong bahu wanita itu. Tautan bibir keduanya pun terlepas. Bian menyeka bibirnya sendiri dengan kasar, menghapus jejak ciuman Laura di sana. Bian jijik.

"Bian aku mohon terima cintaku." Seolah masih ada harga diri Laura berlutut di depan kaki Bian tanpa peduli cemooh apa yang akan ia dapat. "Aku mohon, Bian."

"Maaf, saya tidak sepolos itu untuk luluh dengan air mata buaya kamu."

"BIAN!"

Lagi Bian melangkah pergi tanpa rasa iba sedikit pun.

Laura menangis serta memberenggut kesal. Sekarang bukan pestanya saja yang hancur, tapi hatinya lebur berkeping-keping.

***

Bian melajukan mobilnya begitu cepat ketika jalanan lumayan sepi. Ia harus segera sampai di rumah untuk membersihkan diri. Ia merasa kotor dengan tubuhnya sekarang, terutama bibirnya yang baru saja dicium oleh Laura.

"Dasar wanita tidak punya malu!" gumam Bian masih kesal. Tiba di perempatan lalu lintas, terpaksa pria itu memperlambat laju mobilnya.

***

Persediaan coklat milik Clara sudah habis, oleh karenanya Anjani rela malam-malam seperti ini pergi ke minimarket. Ia ditemani oleh Bi Ratih.

Sebenarnya Bi Ratih sendiri bisa membelikan untuk Clara, tapi Anjani menolak, ia lebih suka membeli langsung baik makanan maupun benda kesukaan Clara.

"Sepertinya ini cukup, Bu," ucap Bi Ratih. Menunjukkan keranjang belanja mereka yang nyaris penuh.

Anjani menggeleng pelan. "Itu belum, Bi. Masih banyak makanan kesukaan Clara. Kita harus membeli semuanya. Supaya nanti saat aku tidak ada di rumah, Clara tidak perlu repot menyuruh Bibi lagi."

"Baik, Bu." Bi Ratih mengangguk patuh. Ia kembali mendorong trolly mereka. Anjani di samping bi Ratih menggerakan santai tongkatnya.

"Ambil tiga kentang itu, Bi. Clara suka yang pedas," tunjuk Anjani pada jejeran camilan kentang di samping bi Ratih. Bi Ratih pun mengambilkannya.

"Banyak sekali, Bu."

"Enggak papa, Bi. Yang penting Clara senang, ia akan lebih betah di rumah saat musim hujan begini."

"Ibu baik sekali. Clara beruntung memiliki ibu sepertimu." Bi Ratih tersenyum. Membuat pipi Anjani merona malu.

"Terima kasih. Apa pun untuk malaikatku, pasti kulakukan, Bi," jawab Anjani. "Ayo ke kasir."

Keduanya lalu menuju kasir. Beruntung yang mengantri tidak banyak, hanya dua orang dan Anjani bersama Bi Ratih sebagai pengantri terakhir.

Selang menit kemudian giliran mereka yang membayar. Setelah itu bi Ratih menerima semua belanjaan. Kini ada dua tas belanja penuh di tangan bi Ratih.

"Bibi bawa aja semua belanjaannya duluan ya. Aku lupa membeli keperluanku," kata Anjani.

"Ibu tidak apa-apa sendiri?"

"Tenang aja, Bi. Lagian mobilnya kan ada di depan. Dekat loh itu," Anjani meyakinkan.

"Yaudah bibi duluan ya. Ibu hati-hati."

Bi Ratih lalu mengeluari minimarket. Sedangkan Anjani berjalan dengan menggerakan tongkatnya menuju rak berisi produk pembersih wajah. Anjani baru ingat kebutuhannya satu ini habis.

Usai membeli Anjani pun membayar tanpa perlu mengantri. Namun saat menuju mobilnya yang terparkir, sebuah mobil melaju cepat dari arah kanan membuat Anjani reflek berteriak.

"Aaaa."

"Astaga bu Ani!"

****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status