"AAAAKKK!!!!!"
Bugh!"Aduh! Masa depanku!"Sebuah kekacauan baru saja terjadi di balik pintu kamar hotel bernomorkan 707. Seorang wanita muda duduk terengah-engah sambil mencengkeram selimut, sementara pemuda yang bertelanjang dada terjatuh akibat tendangan dari si wanita.Si pemuda kepayahan berdiri setelah mendapatkan tendangan pada pusat tubuhnya. Pagi-pagi begini, keperkasaannya dihantam secara memalukan. Siapapun yang berbuat demikian, pemuda itu takkan membiarkan si pelaku lolos.Noah Alejandro menatap nyalang seseorang yang berada di atas ranjang dengan tampang awut-awutan. "Heh! Lihat apa yang sudah kamu perbuat! Ini kalau ada apa-apa sama masa depan saya, saya bakalan menuntut kamu untuk meminta ganti rugi!""Lah? Ganti rugi? Memangnya burungnya bisa dibenerin lagi?" Celetukan si wanita membuat Noah bertambah kesal."Pokoknya saya nggak mau tau, kamu harus bertanggugjawab! Kalau saya impoten gimana? Memangnya kamu sanggup berdirikan lagi?!""Astaga!" Si wanita melempar selimut setelah menyadari dirinya masih berpakaian utuh seperti semalam. "Seharusnya saya yang meminta tanggungjawab! Bagaimana bisa kamu datang ke kamar saya dan tidur pakai wajah mesum seperti tadi? Kamu pikir saya nggak takut? Ya takut! Makanya langsung saya tendang!"Dahi Noah berkerut bingung. "Kamar kamu? Ini kamar saya! Hey! Manusia mana lagi yang sudah membayar kamu untuk menjebak saya, hah?!"Si wanita menggerutu tak jelas, lalu melangkah secepat kilat untuk membuka pintu. Diperlihatkannya nomor yang tertera pada daun pintu. Noah membelalak. Nomor 707. Ini bukan kamarnya."Nah! Sekarang, Tuan Impoten—saya doakan beneran impoten baru tau rasa kamu. Gimana? Mau keluar sekarang atau saya panggilkan satpam?" Ancam si wanita.Meskipun salah, Noah tak mau mengalah. Apalagi setelah masa depannya dipermalukan seperti tadi. Noah berdeham, meninggikan dagu seolah dia yang benar. "Oh ya? Mungkin kamu sengaja membayar petugas hotel buat mengganti nomornya kan? Dibayar berapa sih? Kok mau-mau a—""Halah! Cepetan keluar!" Si wanita mencubit tengkuk Noah seraya mendorong pemuda itu agar cepat keluar."Eh? Eh? Saya bukan kucing ya! Kamu nggak tau siapa saya? Saya ini ak—""Noah Alejandro. Aktor yang lagi naik daun gara-gara perannya di Beautiful Cases. Ya! Saya tau, karena saya sendiri gumoh tiap tau kamu mondar-mandir di agensi seperti monyet.""Lho? Kamu tau saya? Kerja di Hacer juga?"Noah bertanya seperti orang linglung, tetapi si wanita tak menggubris. Noah yang berusaha untuk mengambil kausnya pun tidak bisa, sebab si wanita mendorong tubuhnya sekuat tenaga. Pemuda itu akhirnya keluar, lalu pintu di belakangnya menutup keras sehingga menyumbangkan sedikit angin yang menerpa wajah tampannya.Tiga detik setelahnya, pintu tersebut kembali membuka disertai lemparan kaus putih polos milik Noah. Memejamkan mata, Noah berdecak kesal lantaran bukan pagi yang baik untuknya. Pemuda itu masih berdiri di depan kamar si wanita saat mengenakan kaus, menyuguhkan tatapan tajam seolah-olah sedang berhadapan."Siapapun kamu, kamu nggak akan lolos dari pengawasanku, wahai betina!"Noah berlalu dengan kekesalan yang memuncak. Dia sudah mengingat wajah si wanita yang akan dimintai pertanggungjawaban nanti.Akan tetapi, pemuda itu tak menyadari adanya seseorang yang mengamati semuanya dari salah satu pintu kamar lain.•••••Tara membuka jendela kamarnya, sebab membutuhkan udara segar. Entah bagaimana bisa salah satu aktor yang berada di bawah naungan sama dengannya itu tidur di kamarnya. Walaupun tak pernah bertegur sapa, Tara mengenali pemuda bernama Noah yang sedang digandrungi oleh kaum Hawa itu.Berkat debut aktingnya yang memukau sebagai pemeran laki-laki kedua, Noah mendapatkan banyak pujian serta cinta dari para penonton. Tiap mengingat betapa banyak orang yang berdesak-desakan di depan kantor agensinya hanya untuk melihat datangnya Noah, Tara hanya mampu mendengus kesal.Dia tidak bisa protes lantaran pekerjaannya tidak memiliki sangkut paut dengan pemuda itu. Menurut pembicaraan panas orang-orang yang gemar menggibah, sisi gelap yang dimiliki Noah ialah mempermaikan para perempuan. Dari yang muda sampai yang tua, pemuda yang usianya terpaut 3 tahun di bawah Tara itu senang sekali menebar pesona dan menghilang seenak jidat.Sejak nama pemuda itu mengudara beberapa waktu lalu, Tara sudah kesal duluan saat melihat wajahnya. Noah memang tampan, tapi Tara mempunyai firasat jika pemuda itu hobinya hanya bermain-main saja. Beruntung, selama ini dia tak pernah berdekatan dengan Noah.Akan tetapi, dia masih tidak mengerti akan kejadian pagi ini. Tara terbangun dalam pelukan Noah. Suatu mimpi buruk yang sangat ingin Tara lempar ke lautan. Lalu perkataan Noah tadi telah membuktikan bahwa pemuda itu memang mesum."Cih! Impoten? Ya beneran kalau tendanganku bisa bikin bocil kematian kayak dia impoten. Biar tau rasa!"Merasa tak ada waktunya memikirkan Noah dan seretetan insiden menyebalkan tadi, Tara memutuskan untuk membersihkan dirinya. Dia harus bersiap untuk sambutan terakhir mengenai serangkaian acara berkedok liburan yang dilakoninya ini.Semalam, dia meninggalkan pesta di ballroom lebih awal. Entah gosip terpanas apa saja yang tertinggal, dia harus bertemu dengan rekan dekatnya yang merupakan seorang produser. Benar saja, seseorang yang kerap dipanggil sebagai Cell PD itu sudah menempati salah satu meja makan. Setelah mengambil sepiring sarapan, Tara menghampiri Cell."Mukamu kok kayak kertas lecek gitu, Cell? Ada kendala kah?" tanya Tara basa-basi."Hidupku udah penuh kendala, Tara. Kamu tau? Untuk beberapa waktu, aku pengin banget kerja santai kayak kamu yang bisa ketemu sama penyanyi luar negeri atau penulis luar negeri favoritku. Sementara aku? Semalam nggak sanggup ikutan pesta karena Pak Roy minta revisi. Di luar rumah pun masih disuruh banting tulang." Cell memasang tampang memelasnya.Tara mengulum senyum. Meneruskan makan sementara lalu-lalang orang dari agensi yang dinaunginya mulai berdatangan untuk sarapan. Salah satu penata artis kesayangannya datang dengan wajah tertekuk. Tara terheran-heran. Apakah pagi semua orang di sini sedang tidak baik-baik saja?Selagi mengamati sekeliling, sudut mata Tara mendapati pemuda yang pagi ini berhasil memicu amarahnya. Dikarenakan pemuda tersebut bersama dengan manajer dan rekan sesama aktor yang lain, lebih baik Tara berpura-pura tidak tau saja.Memang tidak terjadi apa pun di antara dirinya dan Noah semalam, tapi orang-orang akan tetap berpikiran yang tidak-tidak. Apalagi dengan statusnya sebagai janda ini, yang ada semua tuduhan buruk itu akan melayang ke arahnya bak bom atom.Sudah mati-matian menyembunyikan diri, Tara malah bertemu tatap dengan Noah yang berhasil menemukan keberadaannya. Tara membuang muka, enggan membuat kontak lebih lanjut dengan aktor muda menyebalkan yang mesum itu.Ketika melirik untuk memastikan arah pandang Noah saat ini, rupanya pemuda itu tengah melihat ponsel dengan ekspresi terkejut yang tidak menggugah rasa penasaran Tara sama sekali."Eh, Tar! Lihat deh!"Cell menyodorkan ponselnya, memperlihatkan satu artikel dan sebuah bukti berupa foto. Tadinya Tara tak mau membaca lagi. Tetapi foto seorang pemuda yang tengah mengenakan kaus putih polos di depan kamar bernomorkan 707 itu berhasil mencuri kesadaran Tara sepenuhnya."I-ini kan ...."Sial! Kenapa bisa ada paparazzi di dalam hotel sih?•••••"Kamu bisa menjelaskan foto-foto ini, Noah?"Pertanyaan tersebut mendapat decakan kesal dari si pemilik nama yang tengah menjadi topik terpanas pada pagi hari ini. Noah melirik Radu, Personal Manager yang baru bekerja padanya kurang lebih setengah tahun belakangan. Meskipun belum terlalu lama, nyatanya Radu telah menjadi saudara jauh yang senantiasa dipatuhi dan disegani oleh Noah.Bahkan saat ini, Noah seperti anak kecil yang baru saja ketahuan kakaknya lantaran mencuri pakaian milik tetangga. Noah mendengus kasar. Sarapan yang ditelannya tadi tak mempan untuk mengisi sudut-sudut otaknya."Bang, tapi itu beneran nggak seperti yang Abang pikirkan, atau seperti yang paparazzi itu tulis di artikel. Ada kisah di baliknya yang berguna sebagai keterangan lebih lanjut." Kilahnya. "Lagian ya, Bang! Mana sanggup aku pesen cewek di sini? Seleraku yang lokal, Bang. Bukan yang blasteran."Sebuah geplakan tertuju pada punggung Noah. Tentu saja berasal dari Radu, yang tidak habis pikir mengapa bis
Tara mengembuskan napas lelah. Akhirnya acara penutupan yang berisikan serangkaian kalimat terimakasih telah usai. Cell yang sedari tadi duduk di sampingnya sudah menguap, ingin kembali ke kamarnya. Namun mereka belum bisa benar-benar pergi sebelum berfoto bersama. Seperti manusia tanpa nyawa, keduanya berjalan lemas ke depan podium seperti yang lain."Akhirnya selesai," gumam Cell yang diangguki oleh Tara.Keduanya keluar dari ballroom paling belakang, mengingat yang lain sedang keluar dengan heboh, sebab diberi waktu luang berjalan-jalan sampai malam ini saja. Tara memandang gerombolan tersebut dengan malas. Seharusnya dia ikut, tetapi suasana hatinya sedang tidak baik."Tar, ternyata mukamu juga nggak kalah kusut dariku." Cetus Cell. "Gimana perkembangan hubunganmu sama laki-laki yang namanya Yohan itu?"Tara termenung selama beberapa saat. "Udah berakhir, Cell. Ternyata, dia terobsesi sama sahabatku, tapi saking bodohnya malah memilih buat mengakhiri dirinya gara-gara tau sahabatk
"Mau apa kamu? Mau ditendang lagi anunya?"Bukannya mundur, Noah makin menundukkan kepalanya mendekati wajah Tara. Ancaman wanita itu tak mempan sama sekali. Justru Noah bersemangat lantaran keperkasaannya telah berfungsi sebagaimana semestinya. "Mau tendang?" Noah menahan kedua kaki Reina di antara kakinya. Wanita itu tersentak, tak bisa bergerak sama sekali. "Kamu nggak bisa melakukan apa-apa, Tara.""Heh! Saya lebih tua dari kamu ya?! Yang sopan! Turun sana! Turun! Atau saya teriak nih!" Tara sudah bersiap untuk membuka mulutnya lebar-lebar, berteriak sekuat mungkin. Akan tetapi, pemuda tengil yang sedang menggagahinya itu langsung membungkam Tara dengan sebuah ciuman. Tara membulatkan matanya. Dipukulnya dada pemuda itu, lalu entah mendapatkan kekuatan dari mana, lututnya berhasil mengenai pusat tubuh Noah yang masih berdiri. "Aduh! Sial!"Sesegara saja wanita itu berdiri, menjauhi Noah yang terjungkal dari ranjang. Deru napas Tara seakan berpacu dengan detik jarum jam yang mem
"Apa-apaan?!"Seolah tak kasat mata, Radu dan Tara tak menggubris keberadaan Noah sama sekali. Justru keduanya sibuk bercakap-cakap, mengabaikan Noah yang berdiri terkejut di tempatnya. Setelah mengucapkan terima kasih untuk yang ketiga kali pada Radu, Tara melirik Noah. Tatapan wanita itu jelas merupakan sebuah tatapan permusuhan. Noah bergeming. Kenapa jadi dirinya yang takut ditatap seperti itu oleh Tara? Tak lama setelahnya, pintu kamar Tara tertutup. Kini menyisakan Radu yang senyam-senyum sendiri sambil menggaruk kepalanya, dan Noah yang melayangkan sebuah tanda tanya."Bang? Kamu kenal sama dia? Si Tara?" tanya Noah menyelidik.Radu menoleh sekilas, mengendikkan bahu sekadarnya seakan menjawab Noah tidak memberinya keuntungan apa pun. Mungkin pemuda itu adalah aktor yang berada dalam pegangannya, namun Radu tak memiliki kewajiban untuk melapor terkait siapa saja yang dikenalinya. "Bang? Gimana bisa kamu kenal sama Tara? Omong-omong, aku mau tanya sesuatu soal wanita itu, Aban
"Eh?"Noah terpaku. Aset berharganya benar-benar berfungsi hanya terhadap Tara saja. Entah dia harus bersyukur atau tidak, namun pemuda itu mulai menyadari sesuatu. Dipandanginya Tara yang mematung, membeliak di bawah kungkungannya. Selama beberapa detik, Noah memandangi sepasang iris kelam Tara yang berhasil menerjunkannya pada palung terdalam. Apa ini? Noah bertanya pada dirinya sendiri, sementara dia masih betah mengamati wajah cantik Tara yang baru disadari.Dalam kesempatan tersebut, Tara langsung membenturkan kepalanya ke kepala Noah. Noah berteriak kesakitan, merasakan adanya bintang-bintang yang memutari kepalanya bagaikan ibu peri. Selagi menjauh, Tara langsung menyambar cutter yang entah didapat dari mana."Mau apa tadi? Makan? Iya? Sini! Biar tubuhmu saya mutilasi, saya kasihkan makan ikan. Sekalian saja, aset berharga yang kamu bangga-banggakan itu saya jadikan makanan tikus di rumah." Ancam Tara, lebih mengerikan ketimbang ancaman pada percobaan sebelumnya.Mendengar anc
Entah peran macam apa yang Tara sanggul dalam kehidupan sebelumnya, dia tidak memahami mengapa takdir harus mempertemukannya dengan pemuda setengah waras yang isi otaknya hanya berupa kepuasan seksual saja. "Mau?"Tara menggeleng lelah. "Sepertinya kamu harus memeriksakan otakmu ke dokter dulu, Noah. Mau saya antarkan ke dokter terbaik yang ada di negara ini? Sekalian, biar besok saat pulang kamu bisa lebih waras dan nggak bikin susah satu agensi gara-gara tingkahmu ini."Senyum Noah meredup. "Masa kamu nggak tertarik sama saya sih, Tara? Saya Noah lho! Noah Alejandro yang jadi kejaran banyak perempuan di luar sana. Kamu nggak harus melakukan banyak hal, kamu cuma berperan sebagai Nona Pengaktif.""Wah! Makin kacau ternyata," Tara beranjak, menyingkirkan tangan kanan Noah yang dengan santai diletakkan pada pundaknya. Wanita muda itu menyambar ponsel yang berada di atas nakas. Noah memandangi pergerakan Tara lamat-lamat, entah apa yang sedang pemuda tengik itu pikirkan, Tara tidak mau
"Noah?"Noah tersentak. Kehadiran seseorang yang berada di belakangnya itu membuatnya kelimpungan. "Malam, Bu." Sapanya sembari tersenyum hambar, berbalik dengan tangan menyatu di depan tubuhnya.Seseorang yang berdiri di hadapannya adalah Bu Rosalie, istri dari Pak Heru—pemilik agensi, sekaligus bibi dari Noah yang selama ini selalu mengawasi pergerakan kemenakan menjengkelkannya itu. "Apa yang membawamu masuk ke kamar ini, Noah? Bukannya kamar kamu ada di lantai sembilan?""Ah, aku mampir ke kamarnya temannya Bang Radu, Tante. Kebetulan, dia punya komik Hunterxhunter sampai volume lengkap. Nah, makanya itu aku samperin dia, karena begitu balik besok, aku mau main ke rumahnya." Kilahnya.Noah meneguk ludahnya susah payah. Semoga wanita yang berada di hadapannya itu percaya. Selama ini, dia senantiasa kesulitan saat berusaha mengelabui Rosalie. Sebab hanya dengan memindai dirinya saja, wanita itu mampu mengenali adanya kebohongan atau tidak. Padahal Noah sudah menyembunyikan semua dus
Tara tidak bisa tidur, sehingga pada pagi harinya dia melangkah ke bandara disertai mata panda yang menyedihkan. Cell menyadari keanehan tersebut setelah menyodorkan sebuah es krim yang baru dibeli di bandara."Mukamu udah kayak panda, Tara. Bedanya, panda lucu dan imut, sedangkan kamu enggak sama sekali." Ujar Cell, yang langsung dihadiahi lirikan tajam dari teman dekatnya itu. "Ampun, Tar! Lagian, semalam ngapain aja sih? Kok bisa-bisanya gitu lho, kamu sampai nggak cukup tidur. Padahal, nanti malam kamu udah ada jadwal buat ketemu tamu penting dari Italia kan?"Tara mendengus lelah. "Singkatnya gini, Cell. Aku baru aja ketemu sama orang-orang sableng yang sudah melecehkanku.""Ha?" Cell menahan teriakannya. "Kamu dilecehkan? Sama siapa?""Sama bocil kematian yang punya banyak penggemar." Tara mau menangis. "Kenapa aku bisa berurusan sama bocil itu, astaga~""Duh! Tara! Siapa orangnya? Kasih tau aku! Biar aku potong tititnya!" Cell melipat ujung kemejanya, berlagak garang, padahal w