Lama tidak tinggal di kampung, Kenanga merasa cukup senang karena di sini lah tempat kelahirannya dan tumbuh menjadi seorang remaja. Salah satu desa yang ada di kabupaten Kudus. Desa yang mayoritas penduduknya menghasilkan uang dari cara bertani maupun bekerja di pabrik rokok.
"Kapan pulang, Nanga?" tanya Tiwi pura-pura tidak tahu. Padahal, sejak tadi, sebelum kenanga datang ke warung, ia lah yang paling getol membicarakan Kenanga yang statusnya telah berubah. Dari gadis menjadi istri. Dan dari seorang istri menjadi janda di usia yang masih tergolong muda.
"Masih muda kok jadi janda, ya? Pasti gak pinter melayani suami!" kata Tiwi pada Tini saat pertama kali ketemu.
"Bener, Wi. Cantik, sih! Tapi, kalau di rangjang loyo, ya suami kabur!" sahut Tini tak kalah hebohnya sambil memakan kelengkeng yang ada di depannya. Itung-itung, icip-icip gitu lah meski gak beli.
Kenanga yang baru sampai di warung Bu Tejo pun menyahut. "Kemarin sore, Wi. Kamu apa kabar? Sudah lama kita gak ketemu."
"Baik, alhamdulillah. Kamu sendiri gimana?"
"Ya, baik lah, Wi. Lihat saja Nanga masih cantik. Singset! Padahal, anak sudah dua!" sahut Tini yang seumuran dengan Tiwi dan juga Kenanga. Mereka adalah kawan masa kecil. Bedanya, mereka langsung menikah begitu lulus SMP sedangkan Kenanga melanjutkan sekolah hingga ke jenjang perkuliahan.
"Hehehe. Bisa aja kamu, Tin."
"Aku tanya Kenanga kok kamu yang jawab sih, Tin? Gak usah dikasih tahu, aku juga tahu kalau Kenanga cantik, singset! Nikahnya saja sama orang kaya je. Guanteng kayak artis!" protes Tiwi sambil mengamati Kenanga dari ujung rambut hingga ujung kaki. Pakai daster yang gedombyoran aja cantik begini. Apalagi kalau pakai rok mini? Tiwi merasa was-was dan harus segera menyudahi belanja di warung Tejo.
"Ya gak apa-apa to, Wi kalau aku ngejawab. Iya, kan, Nga?"
Kenanga hanya tersenyum sambil mengambil beberapa ikat kangkung dan juga memilih tomat yang masih hijau.
"Tuh, kan. Kenanga gak masalah, kok."
"Iya iya. Kalau begitu aku mau pulang dulu!" Tiwi menyerahkan belanjaannya kepada Bu Tejo, pemilik warung.
Tini yang mendapat jawaban tetangganya itu pun heran. Tidak biasanya Tiwi pulang cepat kalau sudah main ke warung. Biasanya, gosip dulu baru pulang!
"Mau ngapain, sih? Di rumah ada tamu?" tanya Tini penasaran.
"Anu ...mau mewanti-wanti Mas Joko! Oya, Nanga. Kamu jangan main ke rumah ku, ya. Biar aku yang main kerumah mu. Oke?!" Tiwi pun langsung ngacir sambil menenteng tas kresek warna hitam sambil membatin. Pokoknya, apapun yang terjadi, jangan sampai Joko ketemu Kenanga. Soalnya dulu waktu remaja, suaminya itu pernah naksir Kenanga.
Sepeninggal Tiwi, Tini mulai mengorek kebenaran dari gosip yang beredar. Yaitu gosip bahwa anaknya pak lurah sudah cerai!
"Suami mu kok gak kelihatan, Nanga? Kalau mudik kan biasanya suka lari keliling kampung," korek Tini yang sedang berpandangan dengan Bu Tejo. Wanita paruh baya yang sejak tadi diam-diam menguping pembicaraan mereka.
"Di Jakarta, Tin. Aku pulang sama anak-anak."
"Ooooo. Pasti sibuk, ya, Nga?"
"Iya, Tin. Papanya anak-anak memang doyan kerja."
"Syukurlah kalau doyan kerja. Bukan doyan perempuan. Hati-hati lho kamu itu. Jaman sekarang, laki-laki itu sulit dimengerti apa maunya! Dikasih istri satu, mintanya empat!" jawab Tini yang terkekeh dalam hati. Senang sekaligus jengkel. Ngapain sih pakai sembunyi-sembunyi segala? Semua orang kampung tahu kalau Kenanga sudah menjadi janda. Tak perlu ditutup-tutupi lagi!
"Hehehehe. Iya, Tin. Makasih perhatiannya."
"Sama-sama. Kalau gitu, aku pulang dulu, ya. Kamu gak usah main ke rumah ku. Aku saja yang main ke rumah mu. Oke?"
"Lho, gak jadi beli kelengkeng, Tin?" tanya Bu Tejo yang sudah puas menguping.
"Gak, Bu. Suami belum bayaran! Kelengkengnya manis, Bu. Semoga laris, ya!"
Bu Tejo mendesah jengkel. Lalu menggerutu. "Dasar Tini! Kerjanya main ke warung cuma gosip saja! Bukan belanja!"
"Kelengkengnya sekilo, ya, Bu," ucap Kenanga tak mau menanggapi perkataan Bu Tejo. Bukan karena tak ingin. Tapi, bukankah diam lebih baik?! Kenanga sangat tahu apa maksud Tini dan Tiwi barusan. Ia mengerti. Sangat mengerti! Mereka takut kalau suami mereka direbut olehnya. Mereka menganggap bahwa keberadaan Kenanga adalah sebuah ancaman.
Sabar, Kenanga. Ini semua pilihan mu. Ujian hidup! Kau harus kuat! Kata Kenanga pada dirinya sendiri. Ya, jadi janda bukanlah dosa. Bukan suatu kejahatan atau merusak moral.
"Bapak ke mana, Bu?" tanya Kenanga ketika tidak melihat batang hidung Bapak-nya yang biasanya nongkrong di depan rumah sambil kipas-kipas menggunakan kipas yang terbuat dari bambu saat pulang dari warung."Em ... anu ... katanya ada tugas ke luar kota. Tapi gak bilang mau ke mana. Kayak gak tahu saja gimana Bapakmu," jawab Ibu yang baru saja duduk di teras rumah sambil meluruskan punggungnya. Capek lantaran harus membantu mencuci pakaian duo bocil yang nodanya tak hilang-hilang kalau hanya dicuci menggunakan mesin cuci. Harus direndam dan dikucek menggunakan tangan biar bersih!Kenanga meletakkan tas belanjaan dan ikut duduk di sebelah ibunya. "Urusan apa, Bu? Pergi dengan siapa?" Ia penasaran ke mana Bapaknya pergi."Gak tahu. Bapak gak bilang. Cuma pamit bakalan gak pulang beberapa hari gitu. Kamu masak, sana buat makan siang. Ibu mau leyeh-leyeh dulu.""Huufft. Nanga kan sudah bilang, biar Nanga saja yang n
Handoko mendudukkan bokongnya pada kursi besi yang terletak di pinggir jalan tak jauh dari gedung tempat Bram bekerja. Kulitnya terasa hangat, butiran-butiran keringatnya mulai menetes. Inilah yang tak disukai Handoko dari Jakarta. Panas, macet. Orang kampung seperti dirinya memang tak cocok tinggal di kota metropolitan seperti Jakarta.Pria itu menguap sambil melihat ke sekeliling. Mencari-cari barangkali ada penjual es yang lewat. Tenggorokannya haus, perutnya mulai keroncongan dan matanya mulai mengantuk."Kapan pulang, Pak?" Pesan singkat itu baru dibacanya. Ponsel yang layarnya masih hitam putih itu pun langsung dimatikan. Dia tidak tahu bagaimana cara menghadapi Kenanga.Handokomerasa tak bisa menjadi Bapak yang baik. Ia gagal memberi kebahagiaan pada anaknya. Dan kepulangan Kenanga dengan status baru yang melekat, membuat Handoko hatinya hancur berkeping-keping. Apalagi, saat melihat putrinya diam-diam menan
Kenanga membolak-balikkan album foto yang ia bawa sebelum meninggalkan rumah yang ditinggali ketika masih berstatus sebagai seorang istri. Sedangkan Arga dan Maga, sudah terlelap dan terbuai mimpi yang indah karena sesekali mereka tersenyum.Wanita yang mengenakan daster bercorak batik itu pun menarik napas dalam dan mengeluarkan dari mulut ketika melihat foto keluarga yang ada di tangannya. "Kamu tidak kangen anak-anak, Mas?" tanya Kenanga pada foto Bram.Sudahberhari-hari semenjak mereka tak lagi seatap, Bram sama sekali tidak menelepon anak-anaknya. Setidaknya, kirim lah pesan. Kenanga kerap kebingungan saat kedua bocah kembarnya bertanya "Ke mana Papa, Ma?"Huuffttt. Nanga tak tahu harus menjawab apa. Ia belum siap memberitahukan bahwa mereka, Papa dan Mama mereka telah bercerai. Tapi, apa yang Arga dan Maga katakan? Cerai? Anak berumur enam tahun, tahu apa tentang perceraian? Kalau pun tahu, bagaimana Nanga ak
"Mama Mama Mama!" teriak Maga dan Arga ketika melihat helikopter yang terbang rendah. Mereka sedang bermain di teras ketika suara helikopter terdengar dengan jelas diikuti benda terbang nan gagah itu di atas rumah mereka. Tak hanya mereka saja yang ternganga, tetangga-tetangga yang tadinya ada di dalam rumah pun berhamburan keluar karena penasaran dengan apa yang terjadi. Baru sekali seumur ini mereka menyaksikan helikopter yang terbang serendah itu. Padahal, biasanya hanya lewat saja. Selain itu, helikopter yang ada di atas mereka itu bukan kelikopter milik militer. Tetapi mewah dan mengkilap seperti yang sering mereka lihat di layar televisi. "Arga! Itu Mbah Kakung!" teriak Maga yang rambutnya sedang diikat dua menunjuk ke arah kakeknya yang melambai-lambai sambil melihat ke bawah. "Arga! Mag
"Aku tidak peduli jika itu memang urusanmu!" jawab Kenanga sembari mendorong keranjang mainan ke pinggir ruangan. "Tidurlah. Sudah malam. Ini di kampung, bukan di Jakarta. Tidak seharusnya kamu menginap di sini," lanjut Kenanga lagi. Dia tak habis pikir, Saga sekarang pasti bukan hanya kaya melainkah konglomerat. Tapi, tidur saja numpang!"Bapakmu mengijinkan aku untuk tidur di sini," balas Saga menyunggingkan senyumnya yang menawan sekaligus nakal. Melihat bibir yang tersungging itu, buru-buru Kenanga mengalihkan pandangannya. Wajah boleh tampan,tetapi tetap saja dia menyebalkan. Dan kenanga tak ingin jatuh ke dalam pelukan buaya seperti Sagara yang hanya menggunakan ketampanannya untuk menarik perhatian para gadis seperti yang dilakukannya seperti dulu.'Jangan tergoda, Kenanga! Dia masih Sagar yang play boy seperti dulu!'"Terserah," ucap Kenanga gemas kemudian berjalan cepat menuju kamarnya yang ada di lantai atas. Dia tak
"Yeeeeyyy. Akhirnya sampai juga!" teriak Maga begitu helikopter mendarat di atas gedung tempat Bram bekerja."Arga! Kita sudah sampai. Ayo kita ketemu Papa!" Maga menarik-narik baju saudaranya yang masih asik membaca komik. Dia tahu ini sudah sampai di Jakarta, tapi Arga tak begitu tertarik bertemu dengan Bram. Kalau bisa memilih, dia lebih memilih berada di rumah dan bermain dengan teman-teman barunya di kampung."Hmmmmmm." Dengan malas Arga menutup komik di tangannya lalu membuka sabuk pengaman.Sedangkan Kenanga, dia berusaha menahan kesabaran melihat tingkah laku putrinya. Bikin kepala pening saja. Kalau saja dia tidak rewel, mana mau Kenanga naik helikopter bersama play boy cap kapak yang ada di sebelahnya? Apalagi ketemu dengan Bram. Karena, di mana ada Bram pasti ada Angel. Itu sangat menyakitkan bagi kenanga. Melihat mantan suami dan selingkuhannya adalah hal yang paling ingin dia hindari."Om, ayo Om kita turun," pinta Maga menoleh
"Di mana anak-anak?" tanya Kenanga kaku begitu sudah sampai di dalam gedung."Mungkin sudah di lobby bersama Rian," jawab Saga yang langsung melangkah menuju lift. Kenanga yang berjalan di belakang pria itu mengamati dari ujung kepala sampai ujung kaki. Rambut rapi dan terlihat kaku karena diolesi oleh gel, bahu lebar dan terlihat kokoh, kaki panjang yang seolah bisa membawa pria itu ke manapun dia mau serta bokong? Kenanga membuang pandangannya ke arah lain. Pria ini pasti rajin olahraga. Pikir Kenanga yang sama sekali tak dapat memungkiri bahwa kini Saga menjelma menjadi laki-laki yang jauh lebih menarik daripada dulu."Masuklah," suara parau itu memaksa Kenanga menurut masuk ke dalam lift di mana hanya akan dirinya dan juga Saga. "Anak-anak tahu kau sudah berpisah dengan Bram?" telisik Saga meskipun dia sudah tahu bagaimana situasi yang sesungguhnya.Dengan nada ketidaksukaan kenanga menjawab,"Bukan urusanmu. Berhentilah iku
"Cepatlah pakai pakaianmu. Anak-anak menunggumu di luar pintu. Mas tidak mau kan mereka tahu bahwa Papa yang selama ini mereka banggakan adalah pria bejat sekaligus brengsek?!""Aku bisa jelaskan, Nanga," balas Bram cepat-cepat menggunakan pakaiannya dan berusaha mendekati Kenanga."Tidak perlu." Kenanga mengalihkan pandangannya. Dia merasa jijik melihat dua manusia yang ada di hadapannya. "Kalau bukan karena anak-anak yang ingin menemui Papanya, aku tidak sudi melihatmu.""Seharusnya kau menghubungiku lebih dulu, Nga.""Kamu Papa mereka, Mas. Harusnya kamu lebih peduli dengan mereka. Berhari-hari sejak kita resmi bercerai kamunsama sekali tidak mengubungi anak-anak! Selain itu, tanya sekretarismu yang lebih cantik dariku itu. Berapa lama kami menunggu di lobby, dia pasti tahu!""Angel?" Bram menoleh ke arah Angel dan dengan cepat, perempuan itu menggelendot padanya."Kubilang pada resepsionis