"Bapak ke mana, Bu?" tanya Kenanga ketika tidak melihat batang hidung Bapak-nya yang biasanya nongkrong di depan rumah sambil kipas-kipas menggunakan kipas yang terbuat dari bambu saat pulang dari warung.
"Em ... anu ... katanya ada tugas ke luar kota. Tapi gak bilang mau ke mana. Kayak gak tahu saja gimana Bapakmu," jawab Ibu yang baru saja duduk di teras rumah sambil meluruskan punggungnya. Capek lantaran harus membantu mencuci pakaian duo bocil yang nodanya tak hilang-hilang kalau hanya dicuci menggunakan mesin cuci. Harus direndam dan dikucek menggunakan tangan biar bersih!
Kenanga meletakkan tas belanjaan dan ikut duduk di sebelah ibunya. "Urusan apa, Bu? Pergi dengan siapa?" Ia penasaran ke mana Bapaknya pergi.
"Gak tahu. Bapak gak bilang. Cuma pamit bakalan gak pulang beberapa hari gitu. Kamu masak, sana buat makan siang. Ibu mau leyeh-leyeh dulu."
"Huufft. Nanga kan sudah bilang, biar Nanga saja yang nyuci bajunya anak-anak," jawab Kenanga masuk ke dalam rumah sambil menenteng tas belanjaan dan memikirkan ke mana Bapaknya pergi. Kenanga tak ingat dia punya saudara di luar kota, apa lagi yang mengharuskan Bapaknya untuk menginap.
***
Setelah menempuh perjalanan panjang dari kota kretek ke ibukota, akhirnya Bapak sampai juga di kantor tempat Bram bekerja. Pria yang sudah tak muda lagi itu mengenakan sandal kulit, celana kain warna hitam dan juga kemeja kotak-kotak. Dilihat dari tampangnya saja, bisa dipastikan bahwa dia tidak bekerja di perusaah besar tempat kakinya berpijak saat ini.
"Maaf, Pak. Bapak tidak bisa bertemu dengan Pak Bram kalau tidak ada janji," jawab resepsionis ketika Handoko mengutarakan maksud kedatangannya.
"Bilang saja kalau Handoko, ada di sini! Dia pasti tahu saya ini siapa!"
"Maaf, Pak. Pak Bram sibuk dan tidak bisa bertemu dengan sembarang orang."
Handoko bersungut-sungut. Marah. Mau bertemu Bram saja susahnya sudah seperti kalau mau bertemu dengan presiden!
"Sudah saya bilang! Telepon saja si Bram! Bilang kalau saya mau menemuinya! Kalau tidak, saya tidak akan pergi!"
Handoko tetap ngotot dan akan membuat kerusuhan selama keinginannya belum terpenuhi. Jauh-jauh datang ke Jakarta, ia tak boleh pulang dengan tangan kosong. Dia ingin memarahi mantan menantunya itu karena telah menyia-nyiakan Kenanga dan membiarkan anak dan cucunya itu pulang sendiri. Kalau memang ingin mengembalikan istrinya ke rumah orangtuanya, kembalikan dengan baik-baik! Pakai tata krama!
Huffft. Resepsionis itu pun mendengus. Tak mungkin dia membiarkan pria berpenampilan biasa-biasa saja itu bertemu dengan atasannya tanpa janjian terlebih dahulu. Siapa tahu, lelaki di hadapannya itu punya niat buruk. Iya, kan?
"Sekali lagi maaf, Pak. Saya tidak bisa melakukannya. Kalau Bapak tetap memaksa, saya tidak punya cara lain selain memanggil satpam dan mengusir Bapak keluar dari gedung!" ancam wanita muda yang berpakaian rapi dan berdandan necis tersebut.
"Saya tidak peduli!" tantang Handoko berkecak pinggang.
Karena kesal, resepsionis itu pun akhirnya memanggil satpam dan memintanya untuk mengusir Handoko. "Maaf, Pak. Anda harus keluar dari sini. Jangan membuat keributan."
"Siapa yang membuat keributan? Saya mau bertemu dengan Bram! Kalian yang mempersulit saya!"
Satpam itu pun mau tak mau menarik tubuh Handoko. Tentu saja dia tak tega, tapi, mau bagaimana lagi? Ini adalah tugasnya. "Maaf, Pak. Tidak sembarangan orang bisa menemui beliau. Beliau orang penting di perusahaan ini."
"Siapa bilang saya orang sembarangan? Saya ini mertuanya!" teriak Handoko yang menarik perhatian beberapa orang yang baru saja keluar dari lift.
"Ada apa ini?" tanya Angel jengkel melihat keributan di lobby. Langkah satpam yang memegangi Handoko pun berhenti dan membalikkan tubuh.
"Maaf,Bu. Bapak ini mengaku mertuanya Pak Bram dan ingin menemui beliau."
Bram yang berada di sebelah Angel pun langsung mengenali mantan mertuanya itu. "Bapak?" katanya dengan nada terkejut dan langsung berjalan ke arah mertuanya. Satpam yang tak kalah terkejutnya pun langsung melepaskan tubuh tubuh Handoko.
Plak!
Sebuah tamparan melayang di pipi sebelah kanan Bram. Tak puas hanya dengan sebuah tamparan, Handoko menampar lagi. Berkali-kali hingga tangannya merasa lelah. Begitu berhenti, Bram baru membuka mulut.
"Maafkan Bram, Pak."
"Maaf mu tidak berguna. Bapak tidak akan pernah memaafkan mu. Kamu membiarkan Kenanga dan anak-anak pulang sendirian. Di mana tanggung jawab mu? Kamu menganggap Kenanga anak yatim piatu yang tidak punya orangtua?!"
"Kenanga tidak mau aku antar, Pak."
"Itu karen kamu membuatnya marah!"
Kesal karena melihat Handoko diperlakukan itu di depan umum, Angel pun menjadi berang dan mendekat ke arah mereka. "Pak, Pak Bram dan Kenanga sudah bercerai. Beliau tidak punya kewajiban mengantar ke mana Kenanga pergi!"
Handoko mengamati Angel. Melihat dengan tatapan menyelidik dari atas hingga bawah kemudian berbicara dengan nada sinis. "Kamu pasti orang ketiga yang merusak rumah tangga anak ku!"
"Hati-hati kalau bicara, Pak. Jangan menuduh sembarangan!" sela Angel tak terima. Dia tak ingin hal ini menjadikan bahan gosip di perusahaan. Apalagi, sampai merusak reputasinya dan Bram.
"Humph! Perempuan seperti mu, dengan mata tertutup saja aku bisa menilai! Bram ... demi wanita ini kah kamu menghianati pernikahan mu dengan Kenanga? Mengabaikan anak-anak mu? Ingatlah kata-kata ku, Bram. Kamu akan menyesali perbuatan mu! Dan ketika waktu itu datang, semuanya sudah terlambat! Ingat kata-kata orangtua ini, Bram!"
"Bagaimana tidurmu, Dew? Aku harap kamu bisa tidur dengan nyenyak," ucap Kenanga yang sedang mengoleskan selai pada roti untuk sarapan ketika Dewi baru saja bergabung dengan mereka di meja makan untuk sarapan. Gadis itu langsung duduk tanpa rasa rikuh sedikit pun. Apalagi di meja makan tersaji berbagai menu sarapan yang menggiurkan. Dengan gajinya yang pas-pasan, Dewi tak bisa membeli makanan yang terlalu mahal. Dia harus puas hanya dengan sarapan bubur ayam yang sering nongkrong di depan kosnya. "Nyenyak kok, Mbak," katanya berdusta. Padahal, bagaimana dia bisa tidur jika semalaman kamar di sebelahnya begitu berisik. Dia heran bagaimana rumah sebesar ini tidak kedap suara. Ah, hampir semalam suntuk Dewi menelan kejengkelannya ketika mendengar suara berisik dari kamar Saga dan Kenanga. Dia tak tahu kalau Kenanga yang sedang hamil ternyata memiliki nafsu yang begitu besar. Ah, pantas saja Sagara tak tergoda olehnya. Padahal, apa yang kurang dari Dewi? Biar pun ekonominya pas-pasan, t
Sagara menyunggingkan senyum lalu berdiri berhadapan dengan Dewi. Lelaki itu memandang gadis itu hingga membuat jantung Dewi berdegup kencang dan pipinya memerah karena malu sekaligus terbakar gairah. Apakah Pak Saga mulai tertarik padaku? Tanya gadis itu pada dirinya sendiri. Dia tak menyangka bahwa merayu bosnya yang kaya akan semudah ini. Oh, ternyata laki-laki di mana pun sama saja. Tak tahan melihat wajah cantik dan paha mulus, langsung tergoda dan seolah lupa jika mereka sudah memiliki anak-istri. Tak mau menyia-nyiakan kesempatan, Dewi langsung merangkulkan kedua tangannya di leher Sagara, tetapi sayang halusinasi Dewi harus berhenti cukup sampai di situ."Singkirkan tanganmu dari tubuhku atau aku akan mematahkannya?" kata pria itu dengan nada yang datar serta terdengar dingin. Dewi lantas menarik tangannya dan menggigit bibir hingga sedikit berdarah. "Dengarkan aku ...." Sagara mulai berbisik di telinga gadis yang dinilainya tak memiliki harga diri dan picik."Kau bisa menipu
Setelah mengelilingi rumah Saga, Dewi semakin ingin merealisasikan niatnya merebut Sagara dari tangan Kenanga, wanita yang dinilainya bodoh dan mudah untuk ditipu. Sekali lagi Dewi melihat ke sekeliling ruangan, memastikan bahwa tidak ada cctv di rumah itu. Dan yang benar aja, memang tak nampak kamera pengawas yang akan mengintai gerak-geriknya di rumah ini. Jalan untuk menjalankan niat busuknya jadi makin mudah. "Mbak, kamar ini kosong, kan?" Dewi menunjuk kamar yang ada di sebelah kamar Kenanga dan Saga."Iya. Kamu mau tidur di sini?" tanya Kenanga tanpa rasa curiga sedikit pun."Boleh, Mbak?""Boleh dong, Wi. Kamar di sini sangat banyak, kamu bebas memilih yang mana pun yang kamu mau.""Terima kasih, Mbak. Mbak baik banget, deh!" Dewi mengecup pipi Kenanga yang membuat wanita itu merasa bahwa Dewi seperti adiknya sendiri. Kenanga berpikir bahwa seandainya dia memiliki adik perempuan, barangkali beginilah rasanya. Menurutnya Dewi begitu manja, lemah, dan butuh perlindungan. Dielusn
"Saga, bagaimana kalau kita antar Dewi pulang? Bagaimanapun juga dia bekerja untuk perusahaanmu," tanya Kenanga penuh harap. Dia memandangi suaminya yang tepat berdiri di sebelahnya sambil menenteng tas kresek warna merah.Belum juga Sagara menjawab, Dewi membuka mulut. "Dewi gak mau pulang, Mbak! Dia pasti sudah menunggu Dewi. Dewi takut sekali, Mbak. Dewi sebatang kara di Jakarta, tidak punya siapa-siapa. Tolong Dewi, Mbak ...." Dewi merengek meminta belas kasihan. Wajahnya benar-benar dibuat memelas sehingga Kenanga dibuat tak tega melihatnya. "Kamu tenang saja, ya. Aku pasti bakalan bantu kamu," balas Kenanga sambil memeluk Dewi lalu mengajaknya masuk ke dalam mobil. Saga tidak bisa menolak permintaan istrinya. Dia hanya mendesah melihat tubuh Kenanga yang menghilang di dalam mobil sambil membatin. Oh, istriku. Kau ini baik atau bodoh?***Pintu gerbang terbuka secara otomatis begitu mobil Saga berada di depan rumah. Dewi yang melihatnya tak berhenti berdecak kagum ketika melihat
"Ga, bisakah nanti berhenti di depan gedung?" tanya Kenanga ketika mereka berdua di dalam lift menuju tempat parkir.Sagara mendekap istrinya ke dalam pelukannya dan mencium keningnya. "Tentu saja. Ingin makan sesuatu?""Ya. Aku kemarin aku lihat ada banyak yang jualan di sana.""Apa perlu aku meminta mereka untuk jualan di depan rumah kita?"Kenanga tertawa dan mencubit perut suaminya yang liat. Tak percuma laki-laki itu rajin berolahraga di gym pribadi miliknya. "Siapa yang akan beli? Kamu bahkan tak punya tetangga."Minta pak Man dan yang lain untuk ngabisin.""Saga?""Hmmm?""Sudah menyiapkan nama untuk anak kita?"Sagara pura-pura berpikir dan menuntun Kenanga keluar dari lift. "Bagaimana kalau Magani dan Rinjani?""Sungguh?"Saga membukakan pintu mobil untuk Kenanga dan memasangkan sabuk pengaman dengan hati-hati. "Tentu, Sayang. Aku tak sabar lagi menunggu kelahiran mereka. Magani nama yang b
"Apa aku sudah boleh keluar?" tanya Kenanga polos ketika suaminya memasuki ruangan ganti. Dia tidak tahu apa yang sebenarnya telah dilakukan oleh Sagara.Saga mendengus pelan kemudian mendekati Kenanga yang duduk di sofa dan mengamatinya dengan wajah penih tanya."Bagaimana menurutmu baju ini?"Kenanga melihat ke bawah dan menyentuh kain satin yang melekat di tubuhnya. "Aku merasa baju ini terlalu seksi untuk baju hamil. Dan ini lebih mirip baju tidur untuk penganti baru. Terlalu terbuka dan terlalu merangsang. Apa kamu yakin akan menjual ini untuk ibu hamil?""Kenapa tidak? Nanga, kau tahu?" Saga membelai pipi istri dengan lembut lalu mengecupnya dengan mesra. "Wanita yang sedang hamil adalah wanita tercantik sedunia. Selain itu ....""Apa?""Aku ingin agar perempuan hamil di sana bisa secantik dirimu.""Kamu memang pandai merayu! Apakah aku sudah boleh keluar? Kru pasti sedang menungguku." Kenanga bertanya sekali lagi."Pemotretannya ditunda
"Pelan-pelan, Sayang," ucap Sagara mengulurkan tangannya begitu pintu mobilnya terbuka. Mereka telah sampai di sebuah gedung pencakar langit yang asing bagi Kenanga. Wanita itu turun perlahan sambil memegangi perutnya. Digenggamnya erat tangan Sagara dan mereka berjalan menuju lift yang ada di sudut parkiran basedment. "Mau ketemu klien?" "Kau akan segera tahu, Istriku," balas Saga melingkarkan tangannya di pinggul Kenanga yang terasa padat. Beitu angka menunjukkan lantai sepuluh, lift berhenti dan Sagara menuntun istrinya keluar dari lift. "Apa kamu sering kemari?""Ya, akhir-akhir ini." Sagara membukakan pintu yang terletak tepat di ujung koridor. Dari luar kelihatan tak perpenghuni tapi di dalam suasana begitu riuh. Begitu hidup. Dan hanya sekalimoihat saja Kenanga bis tahu bahwa ruangan itu adalah studio foto. Banyak pencahayaan dan model-model yang sedang bergaya di depan kamera. "Boooos!" sapa seorang pria dengan suara kemayu padahal da
"Sudah puas?" tanya Sagara mencubit hidung istrinya begitu Berlian sudah keluar dari ruangan. Dengan perasaan senang, Kenanga tertawa dan memegangi tangan suaminya."Salah sendiri! Jadi perempuan kok genit dan suka menggoda suami orang!""Cemburu?" Saga tersenyum menggoda. Dia senang melihat istrinya yang protektif. Biasanya, laki-laki tak suka dicemburui. Tapi bagi Sagara, cemburu adalah micin bagi rumah tangganya biar makin sedap dan nikmat. Lagipula, sejak awal dia tahu kalau istrinya hanya pura-pura bermanja-manja untuk membuat Berlian kesal."Hummph! Siapa yang cemburu?"Sagara mengangkat tubuh istrinya dengan cepat dan diletakkan di atas pangkuannya. Makin hari Kenanga makin manja, menggemaskan, dan makin cantik. Semua tingkah lakunya terasa menyenangkan apalagi kalau sedang berada di depan cermin sambil melihat perutnya yang semakin buncit. Sagara tak pernah jemu melihat semua itu. Tak pernah marah jika di tengah malam ia terbangun karena Kenanga harus bua
Saga langsung menepis tubuh Berlian, teman kuliahnya yang sekarang menjadi model ternama. Dan kebetulan, perempuan yang bisa dibilang usianya matang itu akan bekerjasama dengan perusahaan Sagara sebagai model. "Jaga sikapmu, Ber. Ada istriku di sini."Berlian merengut. Dia memang mendengar bahwa Saga telah menikah. Taoi, dia tak menyangka istri Saga terlihat biasa-biasa saja. Pakaian tidak modis, rambut tanpa stylish dan wajah polos dengan riasan alakadarnya."Oh ... hai. Aku Berlian. Mantan pacar Gara!" Berlian mengulurkan tangannya dan Kenanga hanya tersenyum.Hmmpphh! Baru juga mantan pacar. Sudah bangga dan sombong!"Kenanga. Kenanga Ramdani. Istri dan juga ibu dari anak-anak Sagara Ramdani!" balas Kenanga menjabat erat tangan Berlian dan mereka pun saling bertatapan.Dasar wanita udik! Baru juga istri. Kapan pun bisa cerai!"Saya harap Anda bukanlah wanita murahan yang suka menggoda suami wanita lain," lanjut Kenanga lagi dengan s