Berjalan tergesa, aku menuju lantai dua sekolahku. Melewati koridor yang masih ramai, penuh dengan siswa siswi berseragam putih biru.
Menaiki lantai dua sekolahku, aku menuju kelas paling ujung. Disanalah kelas kekasihku berada. Miftah Aryoda. Lelaki yang sudah enam bulan ini mengisi hari-hariku dengan status 'pacar'.
Setelah mata ini melihat sosoknya yang sedang bersenda gurau bersama teman-temanya, aku langsung menghampirinya dan mengajaknya sedikit menjauh.
"Kenapa, sayang? Tumben nyamperin sampai Kelas? " Tanyanya heran.
"Aku belum haid, Mif" bisikku padanya.
Terlihat, Miftah menyergit dan menatapku bingung.
"Maksudnya? " Tanyanya.
"Iya, aku belum datang bulan. Belum halangan. Belum dapat jatah bulanan ku. " Kataku dengan menekan setiap kata-kata yang aku ucapkan.
"Terus gimana dong? Masa iya kamu ... ?" Dia menggantungkan kalimat yang akan diucapkan.
"Emang udah telat berapa lama?" Tanyanya lagi.
Dari raut wajahnya, terlihat Miftah begitu tenang, tapi aku yakin, dia juga takut.
"Harusnya aku haid tanggal lima sampai sepuluh, tapi ini sudah tanggal 28 di bulan berikutnya, aku belum juga haid. Jadi intinya aku udah telat satu bulan lebih. " kataku, dengan menyebutkan tanggal, kapan seharusnya aku menemui tamu bulananku.
"Okey, kamu jangan panik dulu. Nanti sepulamg sekolah, kita bicarain ini lagi. Kita cari solusi dan jalan keluarnya sama-sama. Okey? " Katanya.
***
Pukul empat belas lebih dua pulih menit, bell pulang sekolah berdering. Para siswa siswi SMP Harapan Bangsa, berdesakan keluar kelas masing-masing, termasuk aku. Miftah, sudah menungguku di depan kelas. Kami beriringan menuju parkiran ilegal yang berada di pemukiman belakang sekolah.
"Ke rumahku dulu, ya? " Ajaknya, setelah kami sampai di parkiran.
Aku menganggukan kepala sebagai jawaban. Entah, pikiranku masih memikirkan jadwal tamu bulananku yang sudah terlewat lama. Segala pikiran buruk menari-nari di otakku.
Dalam perjalanan, kami berdua sama-sama diam, larut dalam pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah Miftah, kami langsung masuk dan menuju kamarnya.
Rumah ini selalu sepi pada siang hari, karena Tante Lulu, ibunya Miftah, pasti berada di tokonya. Sedangkan Om Aryo, ayahnya Miftah, beliau kerja di luar kota dan akan pulang setiap akhir pekan.
"Kamu tunggu di kamarku. Ini pintu, aku kunci dari luar. Jangan bikin suara keras, takut kalau ibuk tiba-tiba pulang. Aku ke apotek dulu buat beli tespek. " kata Miftah serata mengelus pucuk kepalaku.
"Jangan lama-lama" jawabku pelan, dia mengecup keningku sebelum pergi.
Tiga puluh menit kemudian, Miftah kembali dengan membawakan 2 bungkus bakso, dan juga tespek untukku.
"Kamu makan dulu, habis itu pake ini. Kata Mbaknya tadi, kamu tinggal tampung sedikit pipismu, habis itu celupin ini ke pipismu itu, tunggu 1 menit, habis itu lihat hasilnya." Katanya, sambil menyodorkan mangkuk berisi satu buah plastik bakso dan juga alat tes kehamilan bertuliskan 'AKURAT'.
"Aku gak laper, Mif. Kepalaku pusing setiap kali mau makan. Aku mau langsung coba alat ini dulu aja, ya?"
"Tapi kamu pucet banget, yank. Udah kaya orang nggak punya darah! Makan dulu, lah. Biar ada tenaga dan nggak sakit. " Bujuknya.
Aku menggelengkan kepala, rasanya benar-benar mual, walau hanya menghirup aroma makanan.
Terdengar Miftah mebghela nafas dan menganggukkan kepa.
"Eh.. tapi gimana cara baca hasilnya?" aku kembali membalikkan badan menghadapnya lagi.
"Ini dituliskan, kalau garisnya satu, berarti negatif. Kalau garibya ada dua, berarti positif. " dia mengambil tespek itu dan melihatkan tulisan cara penggunaan dan cara membaca hasilnya di bagian belakang kemasan.
Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar Miftah.
Aku melakukan sesuai instruksi yang tadi Miftah berikan. Menampung sedikit air seniku, lalu mencelupkan alat tes kehamilan itu. Rasanya, hatiku tak karuan menunggu hasilnya. Berharap kalau garis yang muncul hanya satu.
Setelah beberapa saat menunggu, aku mengambil tespek itu. Melihatnya dengan teliti. Tak ada garis seperti yang tadi Miftah katakan. Garis satu maupun dua, tidak ada yang muncul.
Apa artinya kalau begini, tanyaku dalam hati.
***
"Kok gak ada garisnya, yank?" Tanyanya heran ketika aku telah keluar dari kamar mandi dan menyodorkan tespek yang kugunakan tadi.
"Mana aku tau! Emangnya aku pernah pake kaya gituan!" jawabku ketus dan masih sesenggukan akibat tangis. "Kamu bener gak yang pake ini alat?" Tanyanya lagi. "Lah, ya, kaya kamu suruh tadi. " "Kok gak muncul garisnya, ya, tapi ?" Gumamnya yang masih bisa kudengar. "Terus ngapain kamu nangis kalau gak ada garisnya gini?" Miftah kembali bertanya, memandangku dengan lekat. "Ya, kan aku tetep takut. Jangan-jangan gak ada garisnya karena aku hamil anak kembar. Kan aku punya keturunan kembar. Bang Andi sama Bang Hendi kembar. Bisa aja aku hamil anak kembar, jadinya di alat ini gak kebaca hasilnya." Jawabku, sebenarnya itu yang aku pikirkan daritadi. Aku takut kalau alat itu tidak berfungsi untuk kehamilan kembar. "Bisa gitu, ya? Terus gimana dong nih?" Tanyanya lagi padaku. "Kok malah tanya lagi sih?!Mana aku tau, Miftah! Aku nggak bisa miki!" Bentakku."Ya sudah, ya, sudah. Enggak usah nangis lagi. Besok, aku belikan lagi tespeknya yang lebih bagus, biar hasilnya juga jelas. Ini tadi belinya cuma yang murah. Seharga lima ribu, mungkin karena murahan, jadi gak pasti hasilnya. " katanya sambil menghapus airmataku yang masih menganak sungai. "Ayo, sekarang aku antar pulang. Udah jam empat, nanti kamu dicari mami dan abang-abangmu yang galak itu, kan aku takut. Hehehe " Candanya. "Gimana mau tanggung jawab, kalau sama Bang Hendi dan Bang Andi saja takut." Cibir ku. Aku mengambil tasku di atas ranjangnya dengan kasar dan berlaku keluar mendahului Miftah. Sesampainya di depan rumah dan aku akan menaiki motor Miftah, kami dikagetkan oleh suara tante Lulu yang akan menutup pintu gerbang. Rupanya Tante Lulu baru pulang dari toko."Loh, ada Arin. Makan dulu, yuk. Tante bawa brongkos sama telur asin loh. Kamu sudah lama, sayang, disininya?" Sapanya sambil aku menyalami beliau.
"Enggak usah tante, udah sore nih. Mami dari tadi udah telpon suruh pulang. Tadi Miftah ngajak mampir dulu, soalnya tadi jajan bakso dan juga membelikan buat tante. " Dustaku, "Arinda, pulang, ya, tante. " Lanjut ku sambil mencium gemas pipi Jovanka, adik dari Miftah yang masih berumur sembilan bulan.
"Kamu ini, segala belikan tante. Nanti uang jajanmu habis loh, kalau buat traktir tante. Ya, sudah, hati-hati dijalannya. Salam buat mami kamu. " Jawabnya.
Aku memang sudah kenal akrab dengan tante Lulu, karena keluargaku dan juga keluarga Miftah sudah kenal sejak lama. Dari sebelum lahirnya kami berdua. Katanya, dulu mami adalah teman kuliahnya tante Lulu, dan papi adalah sahabatnya Om Aryo saat di pondok pesantren. Karena itulah, aku dan Miftah bagaikan kakak dan adik, tak ada yang mengira kalau kami adalah sepasang kekasih. Bahkan, mungkin saat ini sedang ada kehidupan di perutku.
*****
Jangan heran kalau anak jaman sekarang sudah banyak yang pacar-pacaran. Anak SD saja sekarang sudah ayah bunda-an.Jaman memang sudah semakin 'edan'.Ini kisah antara Miftah Aryoda, seorang siswa kelas sembilan dan Arinda Mutiara. Gadis cantik berlesum pipi yang baru saja duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mereka berdua sekolah di sekolah yang sama, SMP Harapan Bangsa, kota Bandung.Dulunya, rumah Miftah dan Arinda hanya berhadap-hadapan. Tetapi karena Pak Aryo dipindah tugaskan di Jogja, akhirnya keluarga Miftah pun pindah. Mereka menetap di Kota Gudek itu selama hampir empat tahun. Pada tahun yang akan memasuki tahun ke empat, Pak Aryo kembali mendapat proyek di Bandung, dan mereka semua memutuskan untuk kembali.Rumah yang dulu, masih dalam masa sewa orang lain, karena selama di Jogja, rumah Pak Aryo di sewakan. Akhirnya keluarga Pak Aryo untuk sementara waktu menempati ru
"Bu, Miftah, minta uang. Tadi kata wali kelas, mulai minggu depan sudah diadakan les tambahan untuk persiapan UN. "Kataku pada ibu yang sedang menemani Jovanka di depan televisi."Oya? Kamu harus rajin-rajin belajar ya Kak, jadi anak pintar biar kehidupan kamu lebih baik dari ibu dan ayah. Berapa bayarnya ?" Kata ibu menasehati."Iya, bu, siap!" Kataku sambil memberi hormat seperti pasukan kepada atasannya, "Seratus lupa puluh ribu, untuk satu bulan, Bu. Les diadakan seminggu empat kali, di hari Selasa Rabu, Kamis dan Sabtu. " Lanjutku."Oh, ya, udah, nih uangnya. Kamu harus makan yang banyak loh,ya, minum vitamin biar badan tetep vit." Ibu menasehatiku lagi dan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan."Sisanya buat jajan atau ditabung, ya, sayang. Kalau buat jajan jangan buat jajan yang macem-macem." ibu mengelus pucuk kepalaku, aku hanya mengangguk dan kembali ke kamar.
Aku diam mematung melihat tiga buah tespek digenggaman tangan Miftah. Rasanya, dunia seperti berhenti berputar. Nafasku sesak, seakan malaikat maut akan segera menjemputku.Tuhan.. apa yang harus aku lakukan, kenapa aku bisa hamil secepat ini, jeritku didalam hati.Bahkan untuk meneteskan air mata saja, aku tak mampu. Kuraba perut yang masih rata, ada kehidupan lain didalam sana. Aku tak mau secepat ini, tapi aku jug tak tau harus berbuat apa.Miftah, memegang pundakku. Dia memandangku dengan lekat, juga ikut meletakkan tangannya diatas tanganku yang berada di perut. Matanya berkaca-kaca. Aku yakin, bukanlah kebahagiaan yang dia rasakan."Kita gugurin, ya, yank?" Pintanya dengan tangan yang masih berada di perutku.Aku masih diam, masih belum merespon ucapannya. Sepertinya, otakku mendadak berhenti bekerja, atau malah sudah hilang entah kemana.
Nada dering telpon mengalihkan perhatian Ibu Lulu yang sedang memasak sarapan.Siapa yang telpon pagi-pagi seperti ini, batinya."Kakak, tolong ambilkan hp ibu, Nak, di meja dekat tv" ia sedikit berteriak memanggil Miftah yang sedang memakai sepatu di sofa ruang tamu."Dari Bapak, bu" kata mIftah sambil mengulurkan ponsel sang ibu.Bapak, tumben sekali beliau telpon di pagi hari seperti ini. Apa ada sesuatu yang penting, ya, pikir Bu Lulu."Ya Pak, Assalamualaikum. " Sapa Bu Lulu."...""Sudah di jalan pulang? Tumben sekali, Pak.""...""Loh loh... Ada apa memang nya, pak?" Tanya nya"...""Ah, bapak ini. Bikin ibu takut saja loh. Ada apa sih, pak? ""...""Iya sudah, iya. Nanti Ibu sa
Aku menangis meraung didalam kamar. Segala sesal mengungkum hidupku. Bayang-bayang wajah sedih mami dan papi serasa merasuk hingga ke nadiku. Aku menyesal telah melakukan semua ini. Aku menyesal. Bisa dipastikan aku akan putus sekolah, lalu bagaimana dengan semua cita-citaku, bagaimana dengan impianku yang ingin menjadi Desainer terkenal, bagaimana caranya aku membahagiakan dan membanggakan mami dan papi? Aku pasti telah melukai hati mereka, mereka pasti membenciku, mereka pasti tak mau memaafkan dan menerimaku lagi. Cklek. "Persiapkan dirimu, setelah ini kita ke Rumah Sakit." Kata Papi menginterupsi kegiatan menangisku Aku menegang mendengar kata Rumah Sakit. Apa mereka juga ingin menggugurkan kehidupan yang ada di dalam perutku ini, atau mereka akan memeriksakan ku dan mempertahankan janin ini, tapi aku malu, aku masih sangat terlihat seperti anak dibawah umur "Apa papi akan menggugurkannya" tanyaku hati-hati masih dengan isak tangis
Hari ini aku melihat gadis ku berdiri gelisah di barisannya. Aahh.. Bukan gadis lagi, tapi wanitaku. Wanita yang sekarang sedang mengandung anak ku. Wajah yang setiap harinya selalu berseri dan ceria nampak begitu pucat dan berkeringat. Sesekli dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung telapak tangannya. Aku pikir karena terpapar sinar mentari pagi yang membuatnya seperti itu, tapiii... Bruuukk ... "Aaaaa...."Pekikan kaget dari beberapa orang yang berada di dekatnya mengalihkan perhatian semua peserta upacara yang sedang berlangsung. "Rinda ..." Gumam ku Aku berlari menghampirinya yang sedang diangkat oleh Ridhova Akbar, anak kelas VIII, anggota osis yang aku tau dia adalah mantannya. Darah serasa mendidih ketika dia melewatiku dengan menggendong Rinda, diikuti guru bk dan petugas uks dibelakangnga.Tanpa pikir panjang aku langsung mengikutinya untuk me
Menit berganti jam, jam berganti hari dan hari berganti bulan. Usia kandungan ku sekarang sudah memasuki usia 3 bulan. Belum ada banyak perubahan dalam bentuk tubuh ku. Mungkin hanya lebih terlihat berisi terutama pada payudara ku.Hubungan ku dengan Miftah pun belum ada titik terang, masih menggantung karena keegoisan papi. Jangankan untuk tinggal bersama, keinginan untuk menikah dengan Miftah pun masih ditentang keras oleh papi.Terkadang aku mulai lelah untuk semua ini, sikap Miftah pun sekarang menjadi berubah. Dia lebih terkesan cuek terhadap ku. Mungkin Miftah lelah untuk memperjuangkan ku. Entah lah ..."Woyy.. Ngelamun aja kamuu.. Ke kantin yukk" ajak Mira, teman sekelas ku"Males ah, Mir" jawab ku, aku menenggelamkan kepalaku dilipatan tangan"Males muluk kalau diajakin ke kantin. Tapi badan perasaan makin melar" sindirnyaIni bukan pertama kalinya ada yang bilang badanku makin gendut, jadi lebih terlihat cuek dan diam untuk menghin
Dua jam kemudian!Pukul 14.15..Arinda baru saja sampai ke rumah setelah diantar pulang oleh Miftah. Tadi mereka hanya ngobrol dan bermesraan di kost milik Anggun.Arinda jadi berfikir, kenapa uang tabungannya tidak untuk menyewa kamar kost saja seperti Anggun. Toh juga cuma untuk nongkrong, untuk kumpul, untuk bersantai jika penat dirumah, atau bahkan bisa untuk berduaan sama Miftah. Sama seperti Anggun, kostnya itu hanya untuk hal-hal seperti itu. Apa lagi tempat itu sangat berguna jika Anggun di kunciin oleh orang tuanya kalau pulang terlalu malam. Sepertinya menarik, pikir Arinda."Assalamualaikum" sapa Arinda saat membuka pintu utama rumahnya."Waalaikumsalam" jawab Mami tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisiAda rasa sesak tersendiri merasakan sikap mami terhadapnya. Mami yang selalu menyambut dengan ceria sekarang berubah menjadi dingin dan terkesan tidak perduli.Arinda tersenyum getir saat maminya menolak uluran tan