Share

Janda Muda
Janda Muda
Penulis: Latifah Noviyanti

Aku telat haid! (Arinda Pov!)

Berjalan  tergesa, aku menuju lantai dua sekolahku. Melewati koridor yang masih ramai, penuh dengan siswa siswi berseragam putih biru. 

Menaiki lantai dua sekolahku, aku menuju kelas paling ujung. Disanalah kelas kekasihku berada. Miftah Aryoda. Lelaki yang sudah enam bulan ini mengisi hari-hariku dengan status 'pacar'. 

Setelah mata ini melihat sosoknya yang sedang bersenda gurau bersama teman-temanya, aku langsung menghampirinya dan mengajaknya sedikit menjauh.

"Kenapa, sayang? Tumben nyamperin sampai Kelas? " Tanyanya heran. 

"Aku belum haid, Mif" bisikku padanya. 

Terlihat, Miftah menyergit dan menatapku bingung. 

"Maksudnya? " Tanyanya.

"Iya, aku belum datang bulan. Belum halangan. Belum dapat jatah bulanan ku. " Kataku dengan menekan setiap kata-kata yang aku ucapkan. 

"Terus gimana dong? Masa iya kamu ... ?" Dia menggantungkan kalimat yang akan diucapkan.

"Emang udah telat berapa lama?" Tanyanya lagi. 

Dari raut wajahnya, terlihat Miftah begitu tenang, tapi aku yakin, dia juga takut. 

"Harusnya aku haid tanggal lima sampai sepuluh, tapi ini sudah tanggal 28 di bulan berikutnya, aku belum juga haid. Jadi intinya aku udah telat satu bulan lebih. " kataku, dengan menyebutkan tanggal, kapan seharusnya aku menemui tamu bulananku. 

"Okey, kamu jangan panik dulu. Nanti sepulamg sekolah, kita bicarain ini lagi. Kita cari solusi dan jalan keluarnya sama-sama. Okey? " Katanya. 

***

Pukul empat belas lebih dua pulih menit, bell pulang sekolah berdering. Para siswa siswi SMP Harapan Bangsa, berdesakan keluar kelas masing-masing, termasuk aku. Miftah, sudah menungguku di depan kelas. Kami beriringan menuju parkiran ilegal yang berada di pemukiman belakang sekolah. 

"Ke rumahku dulu, ya? " Ajaknya, setelah kami sampai di parkiran. 

Aku menganggukan kepala sebagai jawaban. Entah, pikiranku masih memikirkan jadwal tamu bulananku yang sudah terlewat lama. Segala pikiran buruk menari-nari di otakku. 

Dalam perjalanan, kami berdua sama-sama diam, larut dalam  pikiran masing-masing. Sesampainya di rumah Miftah, kami langsung masuk dan menuju kamarnya. 

Rumah ini selalu sepi pada siang hari, karena Tante Lulu, ibunya Miftah, pasti berada di tokonya. Sedangkan Om Aryo, ayahnya Miftah, beliau kerja di luar kota dan akan pulang setiap akhir pekan. 

"Kamu tunggu di kamarku. Ini pintu, aku kunci dari luar. Jangan bikin suara keras, takut kalau ibuk tiba-tiba pulang. Aku ke apotek dulu buat beli tespek. " kata Miftah serata mengelus pucuk kepalaku. 

"Jangan lama-lama" jawabku pelan, dia mengecup keningku sebelum pergi. 

Tiga puluh menit kemudian, Miftah kembali dengan membawakan 2 bungkus bakso, dan juga tespek untukku.

"Kamu makan dulu, habis itu pake ini. Kata Mbaknya tadi, kamu tinggal tampung sedikit pipismu, habis itu celupin ini ke pipismu itu, tunggu 1 menit, habis itu lihat hasilnya." Katanya, sambil menyodorkan mangkuk berisi satu buah plastik bakso dan juga alat tes kehamilan bertuliskan 'AKURAT'. 

"Aku gak laper, Mif. Kepalaku pusing setiap kali mau makan. Aku mau langsung coba alat ini dulu aja, ya?" 

"Tapi kamu pucet  banget, yank. Udah kaya orang nggak punya darah! Makan dulu, lah. Biar ada tenaga dan nggak sakit. " Bujuknya. 

Aku menggelengkan kepala, rasanya benar-benar mual, walau hanya menghirup aroma makanan. 

Terdengar Miftah mebghela nafas dan menganggukkan kepa. 

"Eh.. tapi gimana cara baca hasilnya?" aku kembali membalikkan badan menghadapnya lagi. 

"Ini dituliskan, kalau garisnya satu, berarti negatif. Kalau garibya ada dua, berarti positif. " dia mengambil tespek itu dan melihatkan tulisan cara penggunaan dan cara membaca hasilnya di bagian belakang kemasan.

Aku mengangguk dan berjalan menuju kamar mandi yang ada di sudut kamar Miftah.

Aku melakukan sesuai instruksi yang tadi Miftah berikan. Menampung sedikit air seniku, lalu mencelupkan alat tes kehamilan itu. Rasanya, hatiku tak karuan menunggu hasilnya. Berharap kalau garis yang muncul hanya satu. 

Setelah beberapa saat menunggu, aku mengambil tespek itu. Melihatnya dengan teliti. Tak ada garis seperti yang tadi Miftah katakan. Garis satu maupun dua, tidak ada yang muncul. 

Apa artinya kalau begini, tanyaku dalam hati. 

***

"Kok gak ada garisnya, yank?" Tanyanya heran ketika aku telah keluar dari kamar mandi dan menyodorkan tespek yang kugunakan tadi. 

"Mana aku tau! Emangnya aku pernah pake kaya gituan!" jawabku ketus dan masih sesenggukan akibat tangis. 

"Kamu bener gak yang pake ini alat?" Tanyanya lagi. 

"Lah, ya, kaya kamu suruh tadi. " 

"Kok gak muncul garisnya, ya, tapi ?" Gumamnya yang masih bisa kudengar. 

"Terus ngapain kamu nangis kalau gak ada garisnya gini?" Miftah kembali bertanya, memandangku dengan lekat. 

"Ya, kan aku tetep takut. Jangan-jangan gak ada garisnya karena aku hamil anak kembar. Kan aku punya keturunan kembar. Bang Andi sama Bang Hendi kembar. Bisa aja aku hamil anak kembar, jadinya di alat ini gak kebaca hasilnya." Jawabku, sebenarnya itu yang aku pikirkan daritadi. Aku takut kalau alat itu tidak berfungsi untuk kehamilan kembar. 

"Bisa gitu, ya? Terus gimana dong nih?" Tanyanya lagi padaku. 

"Kok malah tanya lagi sih?!Mana aku tau, Miftah! Aku nggak bisa miki!" Bentakku.

"Ya sudah, ya, sudah. Enggak usah nangis lagi. Besok, aku belikan lagi tespeknya yang lebih bagus, biar hasilnya juga jelas. Ini tadi belinya cuma yang murah. Seharga lima ribu, mungkin karena murahan, jadi gak pasti hasilnya. " katanya sambil menghapus airmataku yang masih menganak sungai. 

"Ayo, sekarang aku antar pulang. Udah jam empat, nanti kamu dicari mami dan abang-abangmu yang galak itu, kan aku takut. Hehehe " Candanya. 

"Gimana mau tanggung jawab, kalau sama Bang Hendi dan Bang Andi saja takut." Cibir ku. 

Aku mengambil tasku di atas ranjangnya dengan kasar dan berlaku keluar mendahului Miftah. Sesampainya di depan rumah dan aku akan menaiki motor Miftah, kami dikagetkan oleh suara tante Lulu yang akan menutup pintu gerbang. Rupanya Tante Lulu baru pulang dari toko. 

"Loh, ada Arin. Makan dulu, yuk. Tante bawa brongkos sama telur asin loh. Kamu sudah lama, sayang, disininya?" Sapanya sambil aku menyalami beliau. 

"Enggak usah tante, udah sore nih. Mami dari tadi udah telpon suruh pulang. Tadi Miftah ngajak mampir dulu, soalnya tadi jajan bakso dan juga membelikan buat tante. " Dustaku, "Arinda, pulang, ya, tante. " Lanjut ku sambil mencium gemas pipi Jovanka, adik dari Miftah yang masih berumur sembilan bulan. 

"Kamu ini, segala belikan tante. Nanti uang jajanmu habis loh, kalau buat traktir tante. Ya, sudah, hati-hati dijalannya. Salam buat mami kamu. " Jawabnya. 

Aku memang sudah kenal akrab dengan tante Lulu, karena keluargaku dan juga keluarga Miftah sudah kenal sejak lama. Dari sebelum lahirnya kami berdua. Katanya, dulu mami adalah teman kuliahnya tante Lulu, dan papi adalah sahabatnya Om Aryo saat di pondok pesantren.  Karena itulah, aku dan Miftah bagaikan kakak dan adik, tak ada yang mengira kalau kami adalah sepasang kekasih. Bahkan, mungkin saat ini sedang ada kehidupan di perutku. 

***

**

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status