Update ulang!!
Baca lagi!!
Lebih panjang!!
Jangan lupa kasih vote!
Jangan lupa koment!
Seminggu telah berlalu sejak kejadian Arinda yang mengamuk histeris di ruang makan itu dan semua yang di ceritakan kakaknya itu pun tak ada yang bisa membuktikannya.
Arinda sudah berulang kali mendesak Andi dan Hendi, juga Papi dan Maminya, tapi semua nihil. Tak ada yang mau membuktikan semua ucapan Andi itu.
Seminggu ini pun sikap Miftah begitu lembut dengannya, hampir setiap ada kesempatan selalu di manfaatkan Miftah untuk meminta hak nya. Diam-diam, Maura memberikan Pil KB kepada Arinda, agar tak mengulangi kesalahan dimasa lalu.
Maura tak ingin anaknya kembali hamil untuk waktu dekat ini, ia tak ingin masa depan anaknya hancur karena hamil diusianya yang masih begitu muda. Untunglah Arinda dan Miftah pun tak ada yang curiga dengan P
"Bagaimana?" tanya Aryo.Diam-diam Miftah menyunggingkan senyum kemenangan. Dia bersyukur bahwa Bapaknya masih mau membelanya, karena Miftah tau, kalau bapaknya, sangat menyayanginya."Arinda tidak apa-apa, Pih, kalau pun Arinda harus jadi janda." Kata Arinda dengan nada yang begitu tenang tapi terdengar tegas."Kamu gak bisa gitu dong, Rin! Nanti kalau kamu hamil lagi, gimana? Selama ini kan kita selalu melakukan itu, tanpa alat pengaman!" Bentak Miftah. Dia tidak Terima dengan pernyataan Arinda yang bersedia menjadi janda."Gak menutup kemungkinan kamau kamu bisa hamil lagi anak aku!" Lanjut Miftah."Yang sopan, lo, kalau ngomong! " Teriak Andi menunjuk muka Miftah."Aku yang akan hamil. Berarti jikalau dia hadir kembali, dia adalah milikku!" Desis Arinda dengan aorot mata yang menajam."ITU BENIHKU! AKU BAPAKNYA!" bentak Miftah dengan nada tinggi. Dia t
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Pov Lulu (Ibunya Miftah)Saat memasuki ruang rawat Miftah, dia sedang disuapin oleh seorang suster. Kulihat tibuhnya benar-benar lemah."Bu... " Panggilnya.Aku tersenyum samar, sambil mm berjalan menghampirinya."Bagaimana keadaan kamu? " Tanyaku."Miftah udah nggak apa-apa kok. Bu, Arinda mana? Kok dia nggak ada nunggu aku? " Tanyanya.YA Tuhan, Miftah... Setelah apa yang sudah kamu lakukan pada Arinda, kamu masih berharap dia perduli padamu? Jangankan Arinda, Mif, ibu saja rasanya sudah hampir menyerah menjadi orang tuamu. Sayangnya kata-kata itu, hanya bisa aku teriakkan di dalam hati. Aku tak tega mengatakannya langsung. Bagaimanapun juga, dia adalah darah daging ku."Lupakan Arinda, Mif. Kamu sudah terlalu dalam menyakitinya. "Terlihat sorot mata Miftah memandangk
Pov Lulu (ibunya Miftah) Perlahan aku membuka mata ini, melihat sekeliling ruangan bercat kan putih bersih. Tak ada seorang pun menemani. Aku terbaring dengan selang infus yang menancap di punggung tangan kiriku. Ini, ini bukan mimpi. Ini nyata. Apa yang ku lihat tadi benar adanya. Anakku Miftah, yang dikroyok oleh kedua kakak dari Arinda, menantuku sendiri. Lalu, menantuku juga yang memukul kepala Miftah menggunakan vas bunga. Bapak, bapak juga tak sadarkan diri karena syhok melihat putra semata wayangnya babak belur, bersimbah darah, tanpa ada yang berniat untuk menolongnya. Perlahan, aku mendudukka tubuh. Menikmati rasa pusing juga nyeri di dada. Pikiranku sekarang tertuju kepada Willma. Bagaimana keadaannya, apa dia terluka karena aku jatuh pingsan t
Berjalan tergesa, aku menuju lantai dua sekolahku. Melewati koridor yang masih ramai, penuh dengan siswa siswi berseragam putih biru. Menaiki lantai dua sekolahku, aku menuju kelas paling ujung. Disanalah kelas kekasihku berada. Miftah Aryoda. Lelaki yang sudah enam bulan ini mengisi hari-hariku dengan status 'pacar'. Setelah mata ini melihat sosoknya yang sedang bersenda gurau bersama teman-temanya, aku langsung menghampirinya dan mengajaknya sedikit menjauh. "Kenapa, sayang? Tumben nyamperin sampai Kelas? " Tanyanya heran. "Aku belum haid, Mif" bisikku padanya. Terlihat, Miftah menyergit dan menatapku bingung. "Maksudnya? " Tanyanya. "Iya, aku belum datang bulan. Belum halangan. Belum dapat jatah bulanan ku. " Kataku dengan menekan setiap kata-kata yang aku ucapkan. "Terus
Jangan heran kalau anak jaman sekarang sudah banyak yang pacar-pacaran. Anak SD saja sekarang sudah ayah bunda-an.Jaman memang sudah semakin 'edan'.Ini kisah antara Miftah Aryoda, seorang siswa kelas sembilan dan Arinda Mutiara. Gadis cantik berlesum pipi yang baru saja duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama. Mereka berdua sekolah di sekolah yang sama, SMP Harapan Bangsa, kota Bandung.Dulunya, rumah Miftah dan Arinda hanya berhadap-hadapan. Tetapi karena Pak Aryo dipindah tugaskan di Jogja, akhirnya keluarga Miftah pun pindah. Mereka menetap di Kota Gudek itu selama hampir empat tahun. Pada tahun yang akan memasuki tahun ke empat, Pak Aryo kembali mendapat proyek di Bandung, dan mereka semua memutuskan untuk kembali.Rumah yang dulu, masih dalam masa sewa orang lain, karena selama di Jogja, rumah Pak Aryo di sewakan. Akhirnya keluarga Pak Aryo untuk sementara waktu menempati ru
"Bu, Miftah, minta uang. Tadi kata wali kelas, mulai minggu depan sudah diadakan les tambahan untuk persiapan UN. "Kataku pada ibu yang sedang menemani Jovanka di depan televisi."Oya? Kamu harus rajin-rajin belajar ya Kak, jadi anak pintar biar kehidupan kamu lebih baik dari ibu dan ayah. Berapa bayarnya ?" Kata ibu menasehati."Iya, bu, siap!" Kataku sambil memberi hormat seperti pasukan kepada atasannya, "Seratus lupa puluh ribu, untuk satu bulan, Bu. Les diadakan seminggu empat kali, di hari Selasa Rabu, Kamis dan Sabtu. " Lanjutku."Oh, ya, udah, nih uangnya. Kamu harus makan yang banyak loh,ya, minum vitamin biar badan tetep vit." Ibu menasehatiku lagi dan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan."Sisanya buat jajan atau ditabung, ya, sayang. Kalau buat jajan jangan buat jajan yang macem-macem." ibu mengelus pucuk kepalaku, aku hanya mengangguk dan kembali ke kamar.
Aku diam mematung melihat tiga buah tespek digenggaman tangan Miftah. Rasanya, dunia seperti berhenti berputar. Nafasku sesak, seakan malaikat maut akan segera menjemputku.Tuhan.. apa yang harus aku lakukan, kenapa aku bisa hamil secepat ini, jeritku didalam hati.Bahkan untuk meneteskan air mata saja, aku tak mampu. Kuraba perut yang masih rata, ada kehidupan lain didalam sana. Aku tak mau secepat ini, tapi aku jug tak tau harus berbuat apa.Miftah, memegang pundakku. Dia memandangku dengan lekat, juga ikut meletakkan tangannya diatas tanganku yang berada di perut. Matanya berkaca-kaca. Aku yakin, bukanlah kebahagiaan yang dia rasakan."Kita gugurin, ya, yank?" Pintanya dengan tangan yang masih berada di perutku.Aku masih diam, masih belum merespon ucapannya. Sepertinya, otakku mendadak berhenti bekerja, atau malah sudah hilang entah kemana.