Share

Maaf, Bu, aku berbohong. (Miftah Pov!)

"Bu, Miftah, minta uang. Tadi kata wali kelas, mulai minggu depan sudah diadakan les tambahan untuk persiapan UN. "Kataku pada ibu yang sedang menemani Jovanka di depan televisi. 

"Oya? Kamu harus rajin-rajin belajar ya Kak, jadi anak pintar biar kehidupan kamu lebih baik dari ibu dan ayah. Berapa bayarnya ?" Kata ibu menasehati. 

"Iya, bu, siap!" Kataku sambil memberi hormat seperti pasukan kepada atasannya, "Seratus lupa puluh ribu, untuk satu bulan, Bu. Les diadakan seminggu empat kali, di hari Selasa Rabu, Kamis dan Sabtu. " Lanjutku. 

"Oh, ya, udah, nih uangnya. Kamu harus makan yang banyak loh,ya, minum vitamin biar badan tetep vit." Ibu menasehatiku lagi dan menyodorkan dua lembar uang seratus ribuan. 

"Sisanya buat jajan atau ditabung, ya, sayang. Kalau buat jajan jangan buat jajan yang macem-macem." ibu mengelus pucuk kepalaku, aku hanya mengangguk dan kembali ke kamar.

Untung Ibu tak curiga. Padahal, kegiatan les tambahan yang diadakan sekolah itu gratis dan tidak dipungut biaya sepeserpun. 

Maaf-in Miftah, ya, bu, udah bohongin ibu. Tapi sumpah, bu, Miftah terpaksa melakukan ini, batinku lirih, meminta maaf atas ibu, atas kebohonganku kali ini. 

***

Sayang : 08572*579*00

"Sayang.. aku sudah dapat uang dari ibu buat beli tespek. Besok kita bolos aja ya. Aku tunggu ujung jalan sebelum belokan sekolah ya" 

Aku mewhatsapp Rinda, mengabari kalau besok lebih baik kita bolos sekolah saja.

30 menit sudah ku tunggu balasan darinya tapi tak kunjung ada. 

Aku mencoba meminta bantuan kepada sahabatku, Rio. Karena aku tau dia adalah seorang playboy dan sudah sering keluar masuk club malam, karena memang ayahnya pemilik sebuah club malam yang cukup terkenal di Bandung. Aku yakin kalau dia bisa dimintai bantuan untuk mencari solusi dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi.

Tutt.. tutt..tut..tur..

"Woy.. apaan? Sapa nih?" Katanya berteriak di telpon. Ku dengar suara musik yang keras dari sana, ku lirik jam di dinding kamar menunjukkan pukul 11.17 malam. Pasti dia lagi di club.

"Yo.. aku Miftah. Aku bisa minta tolong gak?" Kataku

"Apaan ? Ngomong apa sih ? Yang kencang! Lo ngomong apa ngaceng ! Hahhaa" dia tertawa renyah.

Ku matikan telpon dan mengirim pesan untuknya bahwa aku meminta bantuan kepadanya besok untuk menemaniku membolos. Setelah dia mengiyakan permintaanku, aku pun mulai memejamkan mata, berharap pagi segera menyapa agar aku bisa memastikan semuanya.

**

Pagi harinya aku susah siap dengan seragam putih biru, khas pakaian anak SMP melekat ditubuhku. Aku mengeluarkan  semua buku di dalam tas dan memasukkan baju ganti, jaket, dan tak lupa uang yang diberikan ibu semalam.

Aku berjalan menuju meja makan menghampiri ibu dan adikku.

"Pagi, Bu. Pagi, adek kakak yang cantik." sapaku pada ibu yang sedang menyiapkan sarapan dengan adikku yang ada digendongannya.

"Pagi, Kak. Sarapan dulu. Mau pake nasi goreng atau roti bakar?" Tanya ibu. 

"Roti aja lah, Bu, Miftah lagi gak pengen makan berat- berat. Hidup udah berat." Jawabku sambil terkekeh garing. Ibu hanya menggeleng-gelengkan kepala.

Sesudah sarapan aku pamit pada ibu, tetapi tiba-tiba, ibu kembali memanggilku. Jujur, ada rasa takut kalau kebohonganku semalam terbongkar, atau mungkin, ibu mengetahui rencanaku yang akan membolos hari ini. 

"Enggak minta uang saku hari ini? " Tanyanya. 

Ah, ibu... padahal semalam sudah memberiku uang dua ratus ribu, tapi pagi ini, beliau pun masih memberikan uang saku. 

Aku jadi makin merasa bersalah karena sudah terlalu sering membohonginya. 

"Oh, Miftah kira uang sakunya diambil dari sisa uang les. " jawabku sambil menerima uang dua puluh lima ribu yang ibu berikan, "terima kasih, ya, bu. " Kataku. 

"Belajar yang bener, Kak" Ibu mengecup keningku dengan sayang. 

Aku menyalami ibu dan berjalan keluar menuju motor yang sudah ku siapkan sebelum mandi tadi.

Jangan tanya kenapa aku, anak SMP bisa pakai motor dan membawanya ke sekolah. Motor itu adalah hadiah ulang tahunku yang ke lima belas. 

Bapak awalnya membelikanku motor NINJA 250R, terbaru berwarna merah, tapi karena aku merasa motor itu terlalu tinggi dan kakiku sedikit berjinjit jika memakainya, maka Bapak menggantinya dengan sebuah motor KLX berwarna putih.

Ahh.. bahagianya aku, jika mengingat kejadian itu. Karena aku pun sudah mahir mengendarai motor, akhirnya bapak dan ibu mengijinkanku untuk memakainya ke sekolah, juga untuk pergi main dengan catatan, tak boleh pergi malam-malam dan harus makin giat dalam belajar.

Sesampainya di sebuah warung yang biasa untuk nongkrong anak-anak sekolahku  ternyata Fio sudah duluan datang. 

"Yo..."sapa ku, menepuk bahunya pelan. dia hanya menjawab dengan deheman tanpa menoleh ke arahku.

"Temenin aku beli tespek. " bisikku.

"APA?!" Pekiknya, membuat beberapa penghuni di dalam warung menoleh. Aku melotot, memperingatinya untuk diam.

"Buat siapa?" Tanyanya. 

"Ya buat Arinda lah, siapa lagi?! Emangnya aku kayak kamu yang suka tebar benih kemana-mana! " jawabku ketus.

Aku sedikit tersinggung dengan pertanyaannya. Aku dan Rio memang satu server penyuka video bokep, tapi aku bukan sepertinya yang juga penikmat lubang sempit milik para wanita. Aku hanya melakukannya pada satu orang, yaitu Arinda. 

Rio terbahak. Tak ada gurat bersalah, marah atau pun malu darinya.

"Masih muda kita, Kawan. Waktunya seneng-seneng." Sahutnya, disela tawa renyahnya. 

"Kan aku udah bilang, tanamkan dalam dirimu semboyan 'HIDUP FOYA-FOYA, TUA KAYA RAYA, MATI MASUK SORGA' " Rio kembali terbahak diikuti beberapa anak-anak yang mendengar semboyan khas nya. Aku pun sampai hafal dengan kata-kata itu. 

"Ya sudah, ayo jalan. Nunggu apa lagi, malah santai disini. " ajaknya dan bangkit dari duduk. 

"Eh, nanti dulu. Tunggu Arnda dulu. Dia belum dateng. " aku menahannya dan menariknya untuk duduk kembali.

Saat aku sedang ngobrol asik dengan Rio dan anak-anak yang lain, sebuah suara menginterupsi obrolan kami.

"Miftah.." panggilnya. 

Aku menoleh dan melihat wajah cantik kelasihku yang hari ini terlihat pucat dan lesu. 

"Kamu kenapa, yank, kok pucet gini? " Tanyaku. 

"Aku pusing, Mif, dari tadi sebelum subuh, aku muntah-muntah terus, tapi cuma lendir doang yang keluar." keluhnya. 

Aku menyentuh keningnya, tapi tidak terasa panas. Suhu tubuhnya normal-normal saja. 

"Ya, sudah, kita pergi sekarang. " Ajakku sambil melirik Rio, memberi isyarat untuk segera pergi. 

***

Aku, Arinda dan Rio sedang berada di kamar Rio. Kami memilih kerumahnya karena memang rumah Rio selalu kosong. Kedua orang tuanya sibuk bekerja. Papanya yang memiliki beberapa tempat hiburan malam dan juga karaoke, membuat beliau sering keluar kota. Serta mamanya yang bekerja sebagai model, membuat mereka jarang sekali ada dirumah dan membiarkan Rio tinggal dirumah besar dan mewah ini bersama beberpa pembantu dan juga penjaga. 

"Sudah tunggu disini saja. Nanti biar pembantuku yang beli. " kata Rio, sambil menghidupkan Ps yang ada di kamarnya. 

"Wih, ada gilanya, ni bocah. Nanti kalau pembantuku sampai ember sama orang lain gimana coba" Tanyaku. 

"Enggak lah, tenang aja. Pembantu disini semuanya bisa jaga rahasia. " jawabnya santai

"Engak, engak! Aku aja yang beli. Aku titip Arinda disini. Awas kamu macem-macemin dia!" ancamku. 

Rio malah terbahak mendengar ancamanku itu. Melirik Arinda yang sedang meringkuk di kasur dengan selimut yang menutupi sampai pinggang. Tadi sesampainya di rumah Rio, aku memang menyuruhnya untuk istirahat karena melihat kalau Arinda begitu pucat dan lemas. 

"Ya, mana doyan aku sama anak bau kencur begitu. SD juga baru lulus. Mana ada enaknya. " jawabnya acuh lalu mulai memainkan Ps.

Aku hanya mengedikkan bahu dan berlalu keluar untuk ke apotek membeli tespek.

***

Apotek K24!

"Mba, beli tespek yang bagus, 3 biji. " Pintaku pada petugas apotek. 

Aku melihat pegawai apotek itu mengerutkan dahinya dan memandangku heran.

"Buat siapa, dek?" Tanyanya. 

"Buat mama saya lah, mba! Masa iya punya saya?! Gak lihat nih, saya masih pake seragam sekolah?!" Jawabku, "Buruan ih, keburu mama ngomel tuh di dalem mobil. Aku juga keburu telat. " Lanjutku ketus, sambil menunjuk sebuah mobil yang ada di depan apotek. 

"Oh, kirain buat siapa. " dia memberikan tiga buah tespek keinginanku. 

"Semuanya tujuh puluh lima ribu rupiah. Satu pcs harganya dua puluh lima ribu" lanjutnya.

Aku menyerahkan selembar uang seratus ribu pemberian Ibu semalam, dan petugas apotek itu memberikan kembaliannya.

Setelah keluar dari apotek, aku menghembuskan nafas kasar. Untung saja petugas apotek itu tidak mencurigaiku, apa lagi bertanya yang macam-macam. Aku langsung kembali ke rumah Rio dan masuk ke kamarnya, tapi dikamar Rio kosong. Arinda dan juga Rio tidak ada disana. 

"Hoekk.. Hoekk.."

Aku mendengar suara Arinda yang muntah, dan segera menuju sumber suara. "

"Yank!!! Rio!!!" aku sedikit berteriak memanggil Arinda dan Rio.

"Woy, aku di depan kamar mandi dapur, Mif. Pacar mu muntah-muntah nih. " suara Rio berteriak membuatku berlari menuju lantai satu. 

"Yank, kamu gak papa?" tanyaku, sambil memegang kedua pundaknya. Aku lihat, dia makin pucat dan aku juga merasakan badanya sangat lemas.

"Ini, aku udah belikan tespeknya, kamu pake ya. Aku bantu, biar betul yang pakai. Aku udah belikan kamu tiga sekaligua, ini yang bagus dan hasilnya pasti jelas. " kataku lagi, dan menutup pintu kamar mandi.

"Bangke! Udah numpang, enak gak ajak-ajak! Woy.. jangan ena-ena dikamar mandi pembantu. Sono dikamar mandi kamarku. Ada bath-up,bisa sambil berendam mesra. " kata Rio, setelah pintu kamar mandi kututup rapat. 

Anak itu, pikirannya tidak akan jauh dari selangkanya. 

"Ayo, kamu pipis dulu. Kamu tampung pipismu ke gelas kecil ini sedikit saja. " kuserahkan gelas kecil dan kubantu menaikkan rok serangannya dan melorotkan celana dalamnya.

Setelah sedikit urinnya tertampung, aku langsung mencelupkan tiga buah tespek sekaligus. Kutunggu dengan harap-harap cemas.

Kami lihat secara perlahan garis itu mulai tercetak. 

Satu garis, 

Lalu naik lagi menjadi dua garis merah yang tercetak dengan jelas. 

Kuambil tiga buah tespek itu. Kuamati satu persatu. Hasilnya sama semua. Dua garis!

Kupandang wajah pucat Arinda, dia diam mematung melihat hasil dari ketiga tespek itu yang semuanya menujukkan dia garis merah. 

Aku membalikan bungkus tespek tadi yang sudah ku robek sedikit, dan kubaca cara membaca hasil tespek itu.

Tulisannya sama, kalau dua garis yang terlihat, berarti positif hamil. 

Detak jantung, terasa begitu cepat, seakan jantung itu akan lepas dan jatuh ke lantai. 

Ya, Tuhan... Arinda hamil! Hamil anakku! 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status