Aku diam mematung melihat tiga buah tespek digenggaman tangan Miftah. Rasanya, dunia seperti berhenti berputar. Nafasku sesak, seakan malaikat maut akan segera menjemputku.
Tuhan.. apa yang harus aku lakukan, kenapa aku bisa hamil secepat ini, jeritku didalam hati.
Bahkan untuk meneteskan air mata saja, aku tak mampu. Kuraba perut yang masih rata, ada kehidupan lain didalam sana. Aku tak mau secepat ini, tapi aku jug tak tau harus berbuat apa.
Miftah, memegang pundakku. Dia memandangku dengan lekat, juga ikut meletakkan tangannya diatas tanganku yang berada di perut. Matanya berkaca-kaca. Aku yakin, bukanlah kebahagiaan yang dia rasakan.
"Kita gugurin, ya, yank?" Pintanya dengan tangan yang masih berada di perutku.
Aku masih diam, masih belum merespon ucapannya. Sepertinya, otakku mendadak berhenti bekerja, atau malah sudah hilang entah kemana.
"Yank, kita gugurin, ya. "pintanya lagi, seraya memeluk tubuhku dengan erat.
Pertahananku mulai runtuh. Cairan bening nan asin itu mengalir deras dari mataku. Entah jawaban apa yang harus aku berikan. Rasanya aku benar-benar takut. Seperti akan menemui kematianku saat ini juga.
Aku bingung harus berbuat apa. Aku takut mami dan papi marah. Aku takut bang Andi dan bang Hendi membeciku. Aku takut mereka tak bisa memaafkaaku. Terlebih, aku masih ingin sekolah, masih ingin bermain bersama teman-teman, juga mengapai cita-citaku yang ingin menjadi pramugari.
Perlahan, aku lepas dekapan Miftah, kutatap matanya dengan dalam, ada rasa takut yang sama dalam pancaran matanya.
"Aku nggak mau bayi ini, Mif! Aku nggak mau! " Jeritku sambil memukul-mukul perut. Berharap janin yang ada di dalamnya akan luruh.
"Yank, kamu tenang! Kita akan singkirin dia bareng-bareng. Aku bakal ada disamping kamu selalu. Aku bakal tanggung jawab! " Miftah, kembali memelukku dengan erat. Aku mencengkram jaket yang dia kenakan sebagai bentuk pelampiasan.
"Kita akan singkirkan dia sama-sama. Dia belum layak untuk hadir diantara kita. " Lirihnya.
"Kita bukan calon orang tua yang baik. Dia tidak akan bahagia jika terlahir ke dunia. Aku dan kamu masih sekolah. Aku belum punya pekerjaan apa lagi penghasilan untuk menghidupi nya dengan layak. Kita bukan calon orang tuanya. " Lanjutnta.
Aku mengangguk samar. Membenarkan semua ucapan Miftah. Kami memanglah bukan calon orang tua yang tepat untuknya. Kami masih SMP, belum punya masa depan yang baik, apa lagi harus merawat seorang bayi.
**
"Yo, cari nanas muda, yuk! " ajak Miftah
"Ogah, cari aja sendiri." Jawabnya acuh.
"Yo, Arinda hamil" Kata Miftah menghampiri Rio yang tetap asik dengan stik Ps ditangannya.
"Bangsat! Terus lo mau gimana? Mau tanggung jawab atau mau gugurin? " Tanyanya yang langsung mengalihkan pandangan.
"Kita nggak mungkin pertahanin bayi ini, Mif. Nggak mungkin kita jujur sama orang tua kita. Apa lagi orang tua Arinda, bisa-bisa, kami berdua mati ditangan kedua abangnya." Kata Miftah.
"Guwe setuju. Kita masih muda dan belum saatnya ngurus anak. Terus, apa yang kalian rencanain buat ngegugurin anak itu? " Tanyanya serius.
"Aku pernah liat di tv, kalau biar keguguran makan nanas muda. " Jawabku yang sedari tadi kami datang, aku hanya diam menyimak obrolan mereka.
" iya kah? Coba aku browsing. " Rio mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu,
"Makanan pemicu keguguran pada kehamilan muda yang harus dihindari adalah satu ; pare, dua; jus aloevera, tiga; nanas, empat; pepaya muda, lima; kepiting, enam; hati hewan, tujuh; produk susu mentah, delapan; buah peach, sembilan; daging olahan, sepuluh; makanan olahan dan berbahan pengawet." Bacanya.
"Jadi?" Tanya Miftah, belum paham akan maksud Rio membacakan rentetan makanan yang dapat menyebabkan keguguran.
"Aiishh.. ya, suruh aja Arinda makan makanan itu semua, gitu aja gak paham banget sih" kata Rio sambil melirikku.
"Bener juga kamu" Miftah membenarkan ucapan Rio
"Ya sudah, ayo sekarang kita pergi belanja. Aku masih ada uang untuk membeli semua bahan-bahan itu. " Ajak Miftah.
"Kalau kurang pakai duit ku. Nggak usah ribet! " Jawab Rio.
**
"Aduh pahit banget, Mif.. aku gak kuat." kembali ku muntahkan jus pare, lidah buaya, dan juga nanas muda yang diblender jadi satu.
"Tutup hidungmu! Dan minumn cepat!" Kata Rio gak selow.
"Gak mau ah! Kamu aja yang minum! Aku mau pulang!" Kataku ketus.
Aku berdiri dan memakai tasku, lalu berlalu meninggalkan dua lelaki yang melongo melihatku kepergianku.
Enak sekali mereka memerintah. Tidak merasakan bagaimana tersiksanya aku meminum ramuan itu.
**
Dirumah ..."Dek, mukamu pucat nian, sakit kah kau?" Tanya Bang Andi disaat kita semua sedang duduk di meja makan, menikmati makan malam.
"Ah, iya kah, Bang? Aku tak apa, mungkin kecapekan saja." sahutku dan aku tersenyum. Senyum terpaksa.
"Adek capek ? Mau Papi panggilkan tukang pijat biasanya,nak?" Tanya papi yang ternyata sudah sedari tadi mengamatiku.
"Tak usah, Pih, buat tidur aja. " lagi-lagi senyum paksaan yang ku tampilkan.
Papi mengangguk dan kami kembali makan dengan tenang. Setelah selesai makan, saat aku ingin meminta ijin untuk naik ke kamar terlebih dahulu, mami mengintrupsi omongan yang ingin aku ucapkan.
"Dedek kok tumben belum Haid, sayang? Jangan capek-capek ah, nanti kamu stres, jadi tuh siklus haid kamu gak lancar. " kata Mami.
Mulutku kelu, aku tak tau harus menjawab apa. Ternyata mami selalu memperhatikan jadwal rutin tamu bulananku.
"Eh, iya juga, ya, Mih. Kok tumben aku belum haid? Apa jangan-jangan aku kena penyakit yang berbahaya? " Jawabku asal. Melontarkna pertanyaan konyol agar terlihat tidak gugup.
"Hus! Pikiran kamu itu! Siklus haid anak remaja itu memang begitu. Apa lagi kamu masih tiga belas tahun. Masih belum lanjar jadwalnya. Mikir kok aneh-aneh aja!" Omel mami. Matanya mendekik, tak suka,
"Kamu itu paling kecapekan. Terlalu berfikir keras. Ditambah kegiatan sekolahmu yang sudah mulai padat. " Lanjutnya.
"Iya, tugas lagi banyak banget, Mih. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah juga lagi sibuk-sibunya. Ditambah kegiatan osist yang aku ikuti. " jawabku.
"Mangkanya gak usah banyak gaya pake acara ikut-ikutan OSIS segala. Anak SMP ikut OSIS itu belum berarti apa-apa. Besok tuh, kalau udah SMA." sahut Bang Hendi ketus tanpa memandangku.
"Papih... Bang Heni tuh, mulutnya ...." Adiku pada papi.
"Hendi! Eunya loh, ngegoda adenya. " Kata papi. Aku mencibur sambil menjukurkan lidah. Mengeneknya karena aku lebih di bela papi.
**
Pagi hari, pukul 04.45."Hoekk.. hoek.."
perutku terasa diaduk-aduk. Sungguh mual dan juga pusing.
"Loh dedek kenapa? Masuk angin, Nak? " tanya mami khawatir dan Mami memijat tengkuk ku.
Aku membasuh mulut, membalikan badan untuk melihat wanita hebat yang telah melahirkanku. Wajah cantik diusianya yang tidak lagi muda. Seorang ibu dengan sejuta cinta kasihnya.
Tak terasa, air mata ini sudah membasahi pipi. Rasa bersalah akan semua dosa yang selama ini aku lakukan padanya. Semua kebohongan yang kini, menjadi boomerang untuk diriku sendiri.
Papi, Bang Andi dan Bang Hendi yang sedang mengambil air wudhu dan bersiap untuk sholat Subuh berjamaah pun, berjalan cepat menghampiriku dan Mami yang ada di kamar mandi.
"Ada apa ini? Dedek, kenapa nangis, Nak? Dedek sakit? Apanya yang sakit? Dedek kenapa?" Tanya Papi beruntun dengan nanda cemasnya.
"Ini loh, pih, Arinda muntah-muntah. Kayaknya masuk angin dia. Mukanya udah pucet kaya gitu. " Kaya mami.
"Owalah, papi kira ada apa. Ya, sudah. Sekarang segera wudhu dan kita sholat berjamaah. Setelah sholat, kamu kembali istirahat aja, biar nanti mami ijinkan ke wali kelasmu, kalau hari ini kamu sakit." Kata papi.
Bang Hendi dan bang Andi pergi berlalu terlebih dahulu menuju mushola rumah kami.
Ketika aku sudah selesai wudhu, aku memegang tangan Mami dan kembali meneteskan air mata. Sedangkan Mami, beliau mengerutkan dahi, memandangku dengan heran.
"Maaf-in Arinda, Mih. Arinda, salah. " Lirihku.
"Gak papa, dedek pasti masuk angin aja. Tak akan ada penyakit aneh-aneh yang hinggap di tubuhmu. Jangan terlau di fikirkan, apa lagi berfikir yang macam-macam." kata Mami menenagkanku.
Mungkin mami berfikir, kalau aku mempunyai pikiran terkena penyakit berbahaya dan mematikan. Seperti bayanganku semalamKata-kata mami yang menenangkan, malah makin membuat tangisku sesenggukan. Rasa sesal dan bersalah semakin besar kurasakan. Andai aku tidak memberikan keperawananaku untuk Miftah.
"Maaf-in Arinda, Mih, maaf.."lirihku lagi
"Dedek itu salah apa? kok minta maaf terus? Ini cuma masalah kecil, Nak, gak papa. Nanti kita ke dokter, ya, hari ini gak usah sekolah dulu. " Kata Mami.
Lama aku terdiam, sampai akhirnya, aku memilih untuk jujur.
"Arinda hamil, Mih. " cicitku dan nyaris seperti bisikan. Tapi entah karena apa, tiga pasang telinga itu masih sehat dan sangat peka untuk suaraku yang aku rasa sudah sangat kecil.
Aku merasakan dekapan erat tangan mami mengendur tapi aku malah mempererat pelukanku.
Hening..
Belum ada yang memberi suara apa pun, sampai detik selanjutnya aku di tarik paksa dari belakang dan didorong kasar ke tembok.
Ku angkat pandanganku, memandang lelaki yang selalu melindungi ku.Bang Hendi, dia menatapku tajam seakan mata itu bisa menembus manik mataku."Siapa yang hamilin kamu?" Tanyanya dengan nada yang tak pernah aku dengar, sekalipun saat aku melakukan kesalahan.
Semua pasang mata memandangku dengan sorot mata yang tak aku mengerti.
"JAWAB, ARINDA MUTIARA!" Bentak papi.
Papi.. papi membentakku. Seumur hidup, aku tak pernah dibentuk oleh lelaki paruh baya itu. Dia selalu menyayangiku dan memanjakanku, memberi perlindungan disetiap langkah hidupku.
Mami yang sedari tadi hanya diam mendadak jatuh pingsan. Bang Andi langsung menggendong mami ke kamar, diikuti papi dibelakangnya.
Kini, hanya tinggal aku dan Bang Hendi yang ada di dalam ruang lembab ini. Aku masih di dalam kamar mandi, disamping westafel, dan terpojok di dinginnya tembok.
"Siapa yang lakuin?" Tanya Bang Hendi lagi, masih dengan nada yang serat akan kekecewaan, marah, sedih yang bercampur menjadi satu.
Ku tundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandangnya lagi. Mendadak aku merasa sendiri, sepi, dan aku ketakutan akan semua ini ..
"Miftah..." kataku lirih dengan air mata yang mengalir semakin deras.
Entah kenapa, aku lebih memilih untuk jujur ketimbang menyembunyikan ini. Aku takut. Takut akan kematian. Takut ketika aku menggugurkan janin ini, malah berakhir meregnag nyawa. Seperti berita semalam yang ada di tv, saat aku dan sedang bersantai nonton tv.
Nada dering telpon mengalihkan perhatian Ibu Lulu yang sedang memasak sarapan.Siapa yang telpon pagi-pagi seperti ini, batinya."Kakak, tolong ambilkan hp ibu, Nak, di meja dekat tv" ia sedikit berteriak memanggil Miftah yang sedang memakai sepatu di sofa ruang tamu."Dari Bapak, bu" kata mIftah sambil mengulurkan ponsel sang ibu.Bapak, tumben sekali beliau telpon di pagi hari seperti ini. Apa ada sesuatu yang penting, ya, pikir Bu Lulu."Ya Pak, Assalamualaikum. " Sapa Bu Lulu."...""Sudah di jalan pulang? Tumben sekali, Pak.""...""Loh loh... Ada apa memang nya, pak?" Tanya nya"...""Ah, bapak ini. Bikin ibu takut saja loh. Ada apa sih, pak? ""...""Iya sudah, iya. Nanti Ibu sa
Aku menangis meraung didalam kamar. Segala sesal mengungkum hidupku. Bayang-bayang wajah sedih mami dan papi serasa merasuk hingga ke nadiku. Aku menyesal telah melakukan semua ini. Aku menyesal. Bisa dipastikan aku akan putus sekolah, lalu bagaimana dengan semua cita-citaku, bagaimana dengan impianku yang ingin menjadi Desainer terkenal, bagaimana caranya aku membahagiakan dan membanggakan mami dan papi? Aku pasti telah melukai hati mereka, mereka pasti membenciku, mereka pasti tak mau memaafkan dan menerimaku lagi. Cklek. "Persiapkan dirimu, setelah ini kita ke Rumah Sakit." Kata Papi menginterupsi kegiatan menangisku Aku menegang mendengar kata Rumah Sakit. Apa mereka juga ingin menggugurkan kehidupan yang ada di dalam perutku ini, atau mereka akan memeriksakan ku dan mempertahankan janin ini, tapi aku malu, aku masih sangat terlihat seperti anak dibawah umur "Apa papi akan menggugurkannya" tanyaku hati-hati masih dengan isak tangis
Hari ini aku melihat gadis ku berdiri gelisah di barisannya. Aahh.. Bukan gadis lagi, tapi wanitaku. Wanita yang sekarang sedang mengandung anak ku. Wajah yang setiap harinya selalu berseri dan ceria nampak begitu pucat dan berkeringat. Sesekli dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung telapak tangannya. Aku pikir karena terpapar sinar mentari pagi yang membuatnya seperti itu, tapiii... Bruuukk ... "Aaaaa...."Pekikan kaget dari beberapa orang yang berada di dekatnya mengalihkan perhatian semua peserta upacara yang sedang berlangsung. "Rinda ..." Gumam ku Aku berlari menghampirinya yang sedang diangkat oleh Ridhova Akbar, anak kelas VIII, anggota osis yang aku tau dia adalah mantannya. Darah serasa mendidih ketika dia melewatiku dengan menggendong Rinda, diikuti guru bk dan petugas uks dibelakangnga.Tanpa pikir panjang aku langsung mengikutinya untuk me
Menit berganti jam, jam berganti hari dan hari berganti bulan. Usia kandungan ku sekarang sudah memasuki usia 3 bulan. Belum ada banyak perubahan dalam bentuk tubuh ku. Mungkin hanya lebih terlihat berisi terutama pada payudara ku.Hubungan ku dengan Miftah pun belum ada titik terang, masih menggantung karena keegoisan papi. Jangankan untuk tinggal bersama, keinginan untuk menikah dengan Miftah pun masih ditentang keras oleh papi.Terkadang aku mulai lelah untuk semua ini, sikap Miftah pun sekarang menjadi berubah. Dia lebih terkesan cuek terhadap ku. Mungkin Miftah lelah untuk memperjuangkan ku. Entah lah ..."Woyy.. Ngelamun aja kamuu.. Ke kantin yukk" ajak Mira, teman sekelas ku"Males ah, Mir" jawab ku, aku menenggelamkan kepalaku dilipatan tangan"Males muluk kalau diajakin ke kantin. Tapi badan perasaan makin melar" sindirnyaIni bukan pertama kalinya ada yang bilang badanku makin gendut, jadi lebih terlihat cuek dan diam untuk menghin
Dua jam kemudian!Pukul 14.15..Arinda baru saja sampai ke rumah setelah diantar pulang oleh Miftah. Tadi mereka hanya ngobrol dan bermesraan di kost milik Anggun.Arinda jadi berfikir, kenapa uang tabungannya tidak untuk menyewa kamar kost saja seperti Anggun. Toh juga cuma untuk nongkrong, untuk kumpul, untuk bersantai jika penat dirumah, atau bahkan bisa untuk berduaan sama Miftah. Sama seperti Anggun, kostnya itu hanya untuk hal-hal seperti itu. Apa lagi tempat itu sangat berguna jika Anggun di kunciin oleh orang tuanya kalau pulang terlalu malam. Sepertinya menarik, pikir Arinda."Assalamualaikum" sapa Arinda saat membuka pintu utama rumahnya."Waalaikumsalam" jawab Mami tanpa mengalihkan pandangannya dari layar televisiAda rasa sesak tersendiri merasakan sikap mami terhadapnya. Mami yang selalu menyambut dengan ceria sekarang berubah menjadi dingin dan terkesan tidak perduli.Arinda tersenyum getir saat maminya menolak uluran tan
"Arinda sudah tidak mengandung anak dari putra ku! Tidak terlalu harus di perjelas dalam status mereka! Setelah Arinda lulus SMA, mereka baru nikah secara resmi." Kata Aryo "Apa kalau gila?! HAH?! Kau tau pasti, jika nikah siri itu yang pasti di rugi kan adalah pihak perempuan! Apa kau mau menghancurkan anak ku lebih hancur lagi?!" Kata Indra berang, tak terima atas keinginan Aryo "Apa kabar nasip calon cucu ku yang dibiarkan luruh begitu saja?" Kata Aryo dengan alis terangkat setengah "Itu bukan keinginan ku! Salah kan juga anak mu yang membiarkan anak ku meminum obat itu! Salah kan juga anak mu yang malah mendukung aksi bodoh Arinda!" Desis Indra tajam "ITU SALAH MU! Arinda tertekan tinggal di rumah mu ini! Kau tak mengijinkan Arinda tinggal bersama ku, kau pula yang dulu menentang untuk menikah kan secara resmi, dan kau malah mengancam tidak mau menikah kan mereka!" Bentak Aryo "Kau kan tau, nikah dibawah umur itu syaratnya ribet! Har
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah.Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya."Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya.Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu."Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya."Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohonEntah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang. Mi
"Ya kan kita sudah menikah, kalau kamu hamil tidak akan ada lagi yang namanya anak haram di antara kita berdua" kata Miftah. Arinda terdiam mendengar ucapaan Miftah. Anak haram? Ingatan akan dirinya yang hamil lalu di kucilkan oleh keluarganya sendiri, melakukan cara nekat mengugurkan kandungannya hanya untuk bisa segera menikah dengan Miftah yang berakhir dengan dirinya masuk rumah sakit dan hampir saja kehilangan nyawanya. "Maaf Mif, aku ga bisa." Kata Arinda melepas tangan Miftah dan menjauhkan tubuhnya. Miftah meremas rambutnya sendiri. Kenapa disaat hubungan mereka sudah jelas, malah Arinda bersikap jual mahal seperti itu. "Kita sudah halal Rin! Aku mau minta hak ku! Aku sedang ingin!" kata Miftah yang sedikit menaikkan volume suaranya. "Tolong pahami aku Mif" kata Arinda memohon Entah apa yang di rasakan Miftah saat ini, hasratnya begitu besar untuk melakukan hubungan itu. Bagian bawah tubuhnya sudah begitu keras dan menegang