Share

Positif. ( Arinda Pov!)

Aku diam mematung melihat tiga buah tespek digenggaman tangan Miftah. Rasanya, dunia seperti berhenti berputar. Nafasku sesak, seakan malaikat maut akan segera menjemputku.

Tuhan.. apa yang harus aku lakukan, kenapa aku bisa hamil secepat ini, jeritku didalam hati.

Bahkan untuk meneteskan air mata saja, aku tak mampu. Kuraba perut yang masih rata, ada kehidupan lain didalam sana. Aku tak mau secepat ini, tapi aku jug tak tau harus berbuat apa. 

Miftah, memegang pundakku. Dia memandangku dengan lekat, juga ikut meletakkan tangannya diatas tanganku yang berada di perut. Matanya berkaca-kaca. Aku yakin, bukanlah kebahagiaan yang dia rasakan. 

"Kita gugurin, ya, yank?" Pintanya dengan tangan yang masih berada di perutku. 

Aku masih diam, masih belum merespon ucapannya. Sepertinya, otakku mendadak berhenti bekerja, atau malah sudah hilang entah kemana.

"Yank, kita gugurin, ya. "pintanya lagi, seraya memeluk tubuhku dengan erat. 

Pertahananku mulai runtuh. Cairan bening nan asin itu mengalir deras dari mataku. Entah jawaban apa yang harus aku berikan. Rasanya aku benar-benar takut. Seperti akan menemui kematianku saat ini juga.

Aku bingung harus berbuat apa. Aku takut mami dan papi marah. Aku takut bang Andi dan bang Hendi membeciku. Aku takut mereka tak bisa memaafkaaku. Terlebih, aku masih ingin sekolah, masih ingin bermain bersama teman-teman, juga mengapai cita-citaku yang ingin menjadi pramugari. 

Perlahan, aku lepas dekapan Miftah, kutatap matanya dengan dalam, ada rasa takut yang sama dalam pancaran matanya. 

"Aku nggak mau bayi ini, Mif! Aku nggak mau! " Jeritku sambil memukul-mukul perut. Berharap janin yang ada di dalamnya akan luruh. 

"Yank, kamu tenang! Kita akan singkirin dia bareng-bareng. Aku bakal ada disamping kamu selalu. Aku bakal tanggung jawab! " Miftah, kembali memelukku dengan erat. Aku mencengkram jaket yang dia kenakan sebagai bentuk pelampiasan. 

"Kita akan singkirkan dia sama-sama. Dia belum layak untuk hadir diantara kita. " Lirihnya.

"Kita bukan calon orang tua yang baik. Dia tidak akan bahagia jika terlahir ke dunia. Aku dan kamu masih sekolah. Aku belum punya pekerjaan apa lagi penghasilan untuk menghidupi nya dengan layak. Kita bukan calon orang tuanya. " Lanjutnta. 

Aku mengangguk samar. Membenarkan semua ucapan Miftah. Kami memanglah bukan calon orang tua yang tepat untuknya. Kami masih SMP, belum punya masa depan yang baik, apa lagi harus merawat seorang bayi. 

**

"Yo, cari nanas muda, yuk! " ajak Miftah 

"Ogah, cari aja sendiri." Jawabnya acuh. 

"Yo, Arinda hamil" Kata Miftah menghampiri Rio yang tetap asik dengan stik Ps ditangannya. 

"Bangsat! Terus lo mau gimana? Mau tanggung jawab atau mau gugurin? " Tanyanya yang langsung mengalihkan pandangan. 

"Kita nggak mungkin pertahanin bayi ini, Mif. Nggak mungkin  kita jujur sama orang tua kita. Apa lagi orang tua Arinda, bisa-bisa, kami berdua mati ditangan kedua abangnya." Kata Miftah. 

"Guwe setuju. Kita masih muda dan belum saatnya ngurus anak. Terus, apa yang kalian rencanain buat ngegugurin anak itu? " Tanyanya serius. 

"Aku pernah liat di tv, kalau biar keguguran makan nanas muda. " Jawabku yang sedari tadi kami datang, aku hanya diam menyimak obrolan mereka.

" iya kah? Coba aku browsing. " Rio mengeluarkan ponsel dan mengetikkan sesuatu, 

"Makanan pemicu keguguran pada kehamilan muda yang harus dihindari adalah satu ; pare, dua; jus aloevera, tiga; nanas, empat; pepaya muda, lima; kepiting, enam; hati hewan, tujuh; produk susu mentah, delapan; buah peach, sembilan; daging olahan, sepuluh; makanan olahan dan berbahan pengawet." Bacanya. 

"Jadi?" Tanya Miftah, belum paham akan maksud Rio membacakan rentetan makanan yang dapat menyebabkan keguguran. 

"Aiishh.. ya, suruh aja Arinda makan makanan itu semua, gitu aja gak paham banget sih" kata Rio sambil melirikku. 

"Bener juga kamu" Miftah membenarkan ucapan Rio

"Ya sudah, ayo sekarang kita pergi belanja. Aku masih ada uang untuk membeli semua bahan-bahan itu. " Ajak Miftah. 

"Kalau kurang pakai duit ku. Nggak usah ribet! " Jawab Rio. 

**

"Aduh pahit banget, Mif.. aku gak kuat." kembali ku muntahkan jus pare, lidah buaya, dan juga nanas muda yang diblender jadi satu. 

"Tutup hidungmu! Dan minumn cepat!" Kata Rio gak selow. 

"Gak mau ah! Kamu aja yang minum! Aku mau pulang!" Kataku ketus. 

Aku berdiri dan memakai tasku, lalu berlalu meninggalkan dua lelaki yang melongo melihatku kepergianku.

Enak sekali mereka memerintah. Tidak merasakan bagaimana tersiksanya aku meminum ramuan itu. 

** 

Dirumah ...

"Dek, mukamu pucat nian, sakit kah kau?" Tanya Bang Andi disaat kita semua sedang duduk di meja makan, menikmati makan malam. 

"Ah, iya kah, Bang? Aku tak apa, mungkin kecapekan saja." sahutku dan aku tersenyum. Senyum terpaksa.

"Adek capek ? Mau Papi panggilkan tukang pijat biasanya,nak?" Tanya papi yang ternyata sudah sedari tadi mengamatiku. 

"Tak usah, Pih, buat tidur aja. " lagi-lagi senyum paksaan yang ku tampilkan. 

Papi mengangguk dan kami kembali makan dengan tenang. Setelah selesai makan, saat aku ingin meminta ijin untuk naik ke kamar terlebih dahulu, mami mengintrupsi omongan yang ingin aku ucapkan. 

"Dedek kok tumben belum Haid, sayang? Jangan capek-capek ah, nanti kamu stres, jadi tuh siklus haid kamu gak lancar. " kata Mami. 

Mulutku kelu, aku tak tau harus menjawab apa. Ternyata mami selalu memperhatikan jadwal rutin tamu bulananku.

"Eh, iya juga, ya, Mih. Kok tumben aku belum haid? Apa jangan-jangan aku kena penyakit yang berbahaya? " Jawabku asal. Melontarkna pertanyaan konyol agar terlihat tidak gugup.

"Hus! Pikiran kamu itu! Siklus haid anak remaja itu memang begitu. Apa lagi kamu masih tiga belas tahun. Masih belum lanjar jadwalnya. Mikir kok aneh-aneh aja!" Omel mami. Matanya mendekik, tak suka, 

"Kamu itu paling kecapekan. Terlalu berfikir keras. Ditambah kegiatan sekolahmu yang sudah mulai padat. " Lanjutnya. 

"Iya, tugas lagi banyak banget, Mih. Kegiatan ekstrakurikuler di sekolah juga lagi sibuk-sibunya. Ditambah kegiatan osist yang aku ikuti. " jawabku. 

"Mangkanya gak usah banyak gaya pake acara ikut-ikutan OSIS segala. Anak SMP ikut OSIS itu belum berarti apa-apa. Besok tuh, kalau udah SMA." sahut Bang Hendi ketus tanpa memandangku. 

"Papih... Bang Heni tuh, mulutnya ...." Adiku pada papi. 

"Hendi! Eunya loh, ngegoda adenya. " Kata papi. Aku mencibur sambil menjukurkan lidah. Mengeneknya karena aku lebih di bela papi. 

**

Pagi hari, pukul 04.45.

"Hoekk.. hoek.."

perutku terasa diaduk-aduk. Sungguh mual dan juga pusing.

"Loh dedek kenapa? Masuk angin, Nak? " tanya mami khawatir dan Mami memijat tengkuk ku. 

Aku membasuh mulut, membalikan badan untuk melihat wanita hebat yang telah melahirkanku. Wajah cantik diusianya yang tidak lagi muda. Seorang ibu dengan sejuta cinta kasihnya. 

Tak terasa, air mata ini sudah membasahi pipi. Rasa bersalah akan semua dosa yang selama ini aku lakukan padanya. Semua kebohongan yang kini, menjadi boomerang untuk diriku sendiri. 

Papi, Bang Andi dan Bang Hendi yang sedang mengambil air wudhu dan bersiap untuk sholat Subuh berjamaah pun, berjalan cepat menghampiriku dan Mami yang ada di kamar mandi.

"Ada apa ini? Dedek, kenapa nangis, Nak? Dedek sakit? Apanya yang sakit? Dedek kenapa?" Tanya Papi beruntun dengan nanda cemasnya. 

"Ini loh, pih, Arinda muntah-muntah. Kayaknya masuk angin dia. Mukanya udah pucet kaya gitu. " Kaya mami. 

"Owalah, papi kira ada apa. Ya, sudah. Sekarang segera wudhu dan kita sholat berjamaah. Setelah sholat, kamu kembali istirahat aja, biar nanti mami ijinkan ke wali kelasmu, kalau hari ini kamu sakit." Kata papi. 

Bang Hendi dan bang Andi pergi berlalu terlebih dahulu menuju mushola rumah kami. 

Ketika aku sudah selesai wudhu, aku memegang tangan Mami dan kembali meneteskan air mata. Sedangkan Mami, beliau mengerutkan dahi, memandangku dengan heran. 

"Maaf-in Arinda, Mih. Arinda, salah. " Lirihku. 

"Gak papa, dedek pasti masuk angin aja. Tak akan ada penyakit aneh-aneh yang hinggap di tubuhmu. Jangan terlau di fikirkan, apa lagi berfikir yang macam-macam." kata Mami menenagkanku.

Mungkin mami berfikir, kalau aku mempunyai pikiran terkena penyakit berbahaya dan mematikan. Seperti bayanganku semalam 

Kata-kata mami yang menenangkan, malah makin membuat tangisku sesenggukan. Rasa sesal dan bersalah semakin besar kurasakan. Andai aku tidak memberikan keperawananaku untuk Miftah. 

"Maaf-in Arinda, Mih, maaf.."lirihku lagi

"Dedek itu salah apa? kok minta maaf terus? Ini cuma masalah kecil, Nak, gak papa. Nanti kita ke dokter, ya, hari ini gak usah sekolah dulu. " Kata Mami. 

Lama aku terdiam, sampai akhirnya, aku memilih untuk jujur. 

"Arinda hamil, Mih. " cicitku dan nyaris seperti bisikan. Tapi entah karena apa, tiga pasang telinga itu masih sehat dan sangat peka untuk suaraku yang aku rasa sudah sangat kecil.

Aku merasakan dekapan erat tangan mami mengendur tapi aku malah mempererat pelukanku. 

Hening.. 

Belum ada yang memberi suara apa pun, sampai detik selanjutnya aku di tarik paksa dari belakang dan didorong kasar ke tembok.

Ku angkat pandanganku, memandang lelaki yang selalu melindungi ku.

Bang Hendi, dia menatapku tajam seakan mata itu bisa menembus manik mataku.

"Siapa yang hamilin kamu?" Tanyanya dengan nada yang tak pernah aku dengar, sekalipun saat aku melakukan kesalahan.

Semua pasang mata memandangku dengan sorot mata yang tak aku mengerti.

"JAWAB, ARINDA MUTIARA!" Bentak papi. 

Papi.. papi membentakku. Seumur hidup, aku tak pernah dibentuk oleh lelaki paruh baya itu. Dia selalu menyayangiku dan memanjakanku, memberi perlindungan disetiap langkah hidupku.

Mami yang sedari tadi hanya diam mendadak jatuh pingsan. Bang Andi langsung menggendong mami ke kamar, diikuti papi dibelakangnya.

Kini, hanya tinggal aku dan Bang Hendi yang ada di dalam ruang lembab ini. Aku masih di dalam kamar mandi, disamping westafel, dan terpojok di dinginnya tembok.

"Siapa yang lakuin?" Tanya Bang Hendi lagi, masih dengan nada yang serat akan kekecewaan, marah, sedih yang bercampur menjadi satu. 

Ku tundukkan kepala dalam-dalam, tak berani memandangnya lagi. Mendadak aku merasa sendiri, sepi, dan aku ketakutan akan semua ini ..

"Miftah..." kataku lirih dengan air mata yang mengalir semakin deras.

Entah kenapa, aku lebih memilih untuk jujur ketimbang menyembunyikan ini. Aku takut. Takut akan kematian. Takut ketika aku menggugurkan janin ini, malah berakhir meregnag nyawa. Seperti berita semalam yang ada di tv, saat aku dan sedang bersantai nonton tv.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status