Share

Keluarga tau. (Author Pov! )

Nada dering telpon mengalihkan perhatian Ibu Lulu yang sedang memasak sarapan. 

Siapa yang telpon pagi-pagi seperti ini, batinya.

"Kakak, tolong ambilkan hp ibu, Nak, di meja dekat tv" ia sedikit berteriak memanggil Miftah yang sedang memakai sepatu di sofa ruang tamu.

"Dari Bapak, bu" kata mIftah sambil mengulurkan ponsel sang ibu. 

Bapak, tumben sekali beliau telpon di pagi hari seperti ini. Apa ada sesuatu yang penting, ya, pikir Bu Lulu. 

"Ya Pak, Assalamualaikum. " Sapa Bu Lulu. 

"..."

"Sudah di jalan pulang? Tumben sekali, Pak."

"..."

"Loh loh... Ada apa memang nya, pak?" Tanya nya 

"..."

"Ah, bapak ini. Bikin ibu takut saja loh. Ada apa sih, pak? "

"..."

"Iya sudah, iya. Nanti Ibu sampaikan ke Midtah. Iya, Waalaikumsalam. " 

Ada apa ini, kenapa nada suara bapak di telepon sangat berbeda dari biasanya. Apa ada masalah besar yang di perbuat Miftah... 

**

Bu Lulu menghampiri anak lelakinya, Miftah yang sedang menemani Nadjwa di ruang tamu.

"Kak, hari ini kamu ada ulangan atau les tambahan, nggak?" Tanya Bu Lulu. 

"Enggak, ada, Bu. Hari ini pelajaran biasa. Memangnya kenapa?" 

"Kalau gitu, kamu ganti baju deh. Pake baju rumah. Ada yang mau dibicarakan Bapak sama kamu. Biar ibu, telepon Bu Siwi buat minta izin hari ini. " Perintah Bu Lulu. 

"Loh, ini kan masih hari Kamis, Bu? Emangnya bapak udah mau pulang? " Tanya Miftah. 

"Tadi sih, kata bapak udah dijalan. Paling tiga puluh sampai satu jam lagi udah sampai, kalau nggak macet. Tapi kayaknya juga nggak macet, wong masih jam segini. " Kata Bu Lulu. 

"Kamu bikin masalah, ya di sekolah, Mif? Ikut tawuran? " Tanya Ibu Lulu. 

"Eh, enggak lah, Bu. Aku mana pernah ikut tawuran. Apa lagi ini udah mendekati ujian, babak belur, nggak bisa ikut UNAS... " Jawab Miftah. 

Miftah, memang tidak pernah ikut tawuran seperti teman-teman seangkatannya. Katanya, itu malah mencelakai dirinya sendiri. Menang nggak dapat hadiah, kalahpun kita sendiri yang kesakitan. Iya, kalau hanya luka-luka, lah kalau sampai mati? Ih, amit-amit.... 

"Terus kenapa, ya, Bapakmu sampai pulang mendadak dan nyuruh kamu izin sekolah? Duh, Ibu jadi khawatir. " Kata Bu Lulu 

"Ya, sudah, sana kamu ganti baju. Terus sarapan. Ayam gorengnya sudah siap itu. " Lanjut Bu lUlu ynag dijawab anggukan oleh Miftah. 

Miftah berjalan perlahan menuju lantai dua, dimana kamarnya berada. Dia memikirkan apa yang akan dibicarakan oleh sang ayah. 

Membuat kesalahan? Kesalahan apa, ya... 

Miftah terus mengingat-ingat, tapi dia merasa tidak melakukan apapun yang akan membuat orang tuanya, apa lagi bapak sampai marah. 

Eh, tapi belum tentu juga bapak mau marah. Kan tadi kata Ibu, bapak cuma mau ada yang dibicarakan saja denganku, tapi apa, ya... 

Terlintas dipikirannya tentang janin yang sekarang dikandung sang kekasih, Arinda. 

"Masa, iya, karena kehamilan... " Gumam, Miftah.

Mifath menggelengkan kepalanya kuat- kuat. 

"Mana mungkin masalah itu. Kan yang tau cuma aku, arinda dan Rio..." Pikir Miftah. 

**

07.05 

Pak Aryo, ayahnya Miftah, sudah tiba di rumah dengan disambut hangat oleh istri dan kedua anaknya.

Wajah tegang Pak Aryo tidak bisa ditutupi. Air mukanya keruh, menandakan ada emosi yang dia tahan. 

"Bu, kamu bawa Wilma masuk kamar, ya. Kalau bisa diajak Bobo dulu. " Perintah, sang suami. 

"Bapak tuh aneh, loh. Ini baru jam tuhuh, pak. Mana ada anak perempuanmu ini tidur jam segini. Ada-ada saja. Lagian, masa baru pulang, ketemu sama anak dan istrinya, malah anaknya di suruh tidur? " Kata bu Lulu heran. 

Pak Aryo, tidak memperdulikan omongan Bu Luli, pandangannya, masih menatap anak lelakinya yang selalu di bangga-banggakan. Anak lelaki penerus semua usaha yang telah dia bangun. Anak lelaki yang kelak, akan menjadi pemimpin yang jauh lebih baik dan tinggi derajatnya dari sang Bapak. 

"Ya, Ibu, masuk dulu ke kamar ajak, Will make. Atau Willma dikasih mainan dulu di kamar yang penting tidak disini. " Kata bapak memaksa. 

Ibu Lulu, walaupun  cemberut, tapi tetap melakukan totah pak Aryo. Mengendong Najwa dan memasukkannya ke box tidur dan diberinya mainan kesukaannya. Setelah memastikan keadaan putrinya aman, Bu Lulu kembali ke ruang tengah. Menyusul anak dan suaminya yang sepertinya sedang membicarakan masalah serius. 

"Ada apa sebenarnya, pak? " Tanya Bu Lulu. 

"Miftah, jujur sama Bapak. Apa yang sudah kamu perbuat selama ini? " Tanya pak Aryo, tidak memperdulikan pertanyaan dari sang istri.. 

"Maksud Bapak, perbuatan apa? Tawuran? Miftah enggak pernah ikut tawuran, pak." Kata Miftah. 

"Apa yang sudah kamu perbuat dengan anak gadisnya Om Indra? " Tanya pak Aryo geram, dengan menahan volume suaranya agar tidak berteriak. 

Detak jantung Mifath, berdetak lebih cepat. Ternyata benar yang dipikirkannya. Maslah kehamilan Arinda, secepat ini sampai di telinga Bapak. Tapi dari mana Bapak tau... 

"Arinda, maksudnya, pak? Tanya Bu Lulu. 

Pak Aryo masih diam, tidak menanggapi pertanyaan dari istrinya. Mata tajamnya yang berkilat marah, tetap terfokus kepada Miftah. 

Sedangkan Miftah, dia sekarang diam dengan menundukkan kepalanya dalam. Tidak berani memandang ibu apa lagi bapaknya. Nyalinya ciut, tidak segagah dan seberani saat melakukan perbuatan terkutuk itu bersama Arinda.

Tangan Pak Aryo mengepal kuat, di memukul sofa dengan cukup keras. Melampiaskan marah yang sedari subuh dia tahan. 

"Jawab pertanyaan Bapak, Miftah! " 

"Maafin, Miftah, Pak. Miftah... Khilaf. " Lirih Miftah. 

Satu tinjuan mendarat sempurna di pipi kiri sang anak lelaki, hingga membuat sudut bibir anak itu mengeluarkan darah. Bu Lulu menjerit dan memegangi lengan pak Aryo. 

"Pak, sebenarnya ada apa ini? " Kenapa Bapak mukul Miftah, pak? Kenapa sama Arinda? Ada apa sebenarnya? " Tanya Bu Lulu dengan linangan airmata. 

"Miftah, menghamili Arinda. " Kata pak Aryo dengan masih menatap nyalang Miftah. 

"Ha... Hamil, pak? " Lirih Bu Lulu. 

"Ya, hamil... Dan apa saja yang kamu lakukan di rumah, sehingga tidak bisa mendidik dan mengawasi anakmu ini, Bu?! " Teriak pak Aryo. Habis sudah kesabarannya. Emosinya meledak begitu saja 

"Pak, ini bukan salah ibu. Ini salah Miftah, pak. " Miftah membela ibunya, tidak mau sang ibu yang begitu baik dipersalahkan karena kesalahannya. 

"Ini memang salah kami, anak bodoh!" Umpat pak Aryo. 

"Miftah, katakan sama ibu, ini nggak bener kan, nak? " Tanya Bu Lulu dengan lirih, sambil memegang pipi Miftah. 

"Maaf, Bu. Miftah Khilaf." Lagi, kata maaf dan juga khilaf, itulah yang mampu di ucapkan. 

"Ya, Allah, Gusti Nu Agung... " Lirih, Bu Lulu, sebelum tubuhnya terjatuh pingsan. 

**

"Astaghfirullah hal adzim... Astaghfirullah... " Ucapan istighfar berulangkali Bu Lulu ucapkan setelah beluaubl sadar dari pngsannya. 

Rasa kaget dan kecewa begitu menusuk dan melukai hatinya. Bagaimana tidak kaget, pagi hari kegiatan masaknya diganggu oleh telpon dari suaminya yang mengabarkan kalau beliau akan pulang mendadak dan memberi perintah agar anak pertamanya izin sekaolah. Sekarang Bu Lulu harus menghadapi kenyataan, kalau Miftah, anak lelakinya telah menghamili anak gadis orang. Masa depan anak lelakinya sebentar lagi akan hancur. 

"Kamu masih kecil, Mif, baru 15 tahun. Apa lagi Arinda, nak! dia baru 13 tahun! Bagaimana bisa kalian lakukan hal seperti itu, Nak?! YAALLAH" Ucap Bu Lulu. Ari matanya terus berlinang. 

Hati ibu mana yang tak terluka ketika mendapati anak lelakinya yang selalu dibanggakan malah menorehkan aib yang mencoreng moreng keluarga. Bagai dilempar kotoran dan tepat mengenai wajah. Jijik dan memalukan.

**Beberapa jam yang lalu di rumah Arinda**

"Assalamualaikum.." sapa Indra, papi Arinda di telpon 

"Waalaikumsalam, Ndra.. ada apa nih tumben sekali subuh-subuh sudah telpon?" Tanya Aryo yang keheranan, tak biasanya sahabatnya ini menghubunginya sepagi ini.

"Sedang apa kau, Ar? Sudah sholat subuh?" Tanya Indra basa-basi

"Sudah, baru saja aku pulang dari masjid, gimana, gimana?" Tanya Aryo 

"Kau dimana? Dirumah atau di tempat dinasmu?" Tanya Indra

"Aku di tempat dinas ini. Ini kan masih hari Kamis, aku baru pulang besok malam. Ada apa sih ? Kamu membuatku penasaran" kata Aryo

"Anakmu.." kata Indra. Dia menjeda ucapannya, bingung, bagaimana menjelaskannya.

"Anakku ? Anakku kenapa ?!" Tanya Aryo cemas, takut jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan kepada kedua anaknya

"Anakmu, Miftah, menghamili anakku, Arinda" jawab Indra pelan tapi tegas

Hening ..

Tak ada jawaban apapun dari Aryo, hanya helaan napas berat dari keduanya yang menandakan ini masalah besar yang mereka hadapi.

Setelah hampir 5 menit mereka diam, akhirnya  Aryo kembali bersua.

"Aku akan pulang ke Bandung sekarang. Kita selesaikan dirumah, biar aku dan Miftah ke rumahmu." Kata Aryo setelah beberapa saat terdiam

"Hati-hati dijalan. Anak-anak kita membutuhkan bimbingan." Kata Indra menenangkan.

**

"Maafkan Miftah, Bu, Miftah khilaf. Miftah salah. Miftah menyesal" lirihnya

"Kamu harus pertanggung jawabkan apa yang sudah kamu perbuat! Ganti pakaianmu dengan yang lebih sopan, kita kerumah Arinda sekarang!" Kata Aryo dan berlalu keluar terlebih dahulu.

Miftah masih diam dan menundukkan kepala, penyesalah kini hinggap di relung hatinya.

"Bu..." lirihnya menatap Lulu yang masih sesenggukan sambil mendekap kenzi, adiknya.

"Ibu nggak mau degar penjelasan mu. Cepat ganti baju." jawab lulu dingin.

Miftah menghela nafas dan mulai beranjak dari tempatnya berdiri menuju kamarnya.

Sesampainya di kamar, miftah mengeluarkan ponselnya dan mencoba menghubungi Arinda, tapi sayang nor Arinda tidak aktif.

"Aaagh... Sial! Kenapa isi sampai ketahuan sih! Goblok! Goblok!" miftah mengumpat dan meremas kuat rambutnya. Sesekali menonjokkan kepalan tangannya ke tembok.

Suara klakson mobil ayahnya membuat miftah segera Menganti pakaian dengan memakai celana panjang berwarna krem, kemeja putih dan sepatu yang senada. Sempat menatap pantulan dirinya di cermin, membayangkan kalau dirinya sebentar lagi akan bertemu dengan Arinda sekaligus orang tuanya. Oh, jangan lupakan kedua kakak lelakinya yang galak itu.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Shabrina Bina
sebenernya adiknya nmanya siapa sih Kenji, nazwa, wilma jd bingung
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status