Share

Tertekan. (Miftah Pov!)

Hari ini aku melihat gadis ku berdiri gelisah di barisannya. Aahh.. Bukan gadis lagi, tapi wanitaku. Wanita yang sekarang sedang mengandung anak ku.

Wajah yang setiap harinya selalu berseri dan ceria nampak begitu pucat dan berkeringat. Sesekli dia mengelap keringat di dahinya dengan punggung telapak tangannya. Aku pikir karena terpapar sinar mentari pagi yang membuatnya seperti itu, tapiii...

Bruuukk ...

"Aaaaa...."

Pekikan kaget dari beberapa orang yang berada di dekatnya mengalihkan perhatian semua peserta upacara yang sedang berlangsung.

"Rinda ..." Gumam ku

Aku berlari menghampirinya yang sedang diangkat oleh Ridhova Akbar, anak kelas VIII, anggota osis yang aku tau dia adalah mantannya.

Darah serasa mendidih ketika dia melewatiku dengan menggendong Rinda, diikuti guru bk dan petugas uks dibelakangnga.

Tanpa pikir panjang aku langsung mengikutinya untuk menju UKS..

15 menit kemudian Rinda sadar dengan meringis memegang pinggangnya.

"Sak..kit" rintihnya dengan mata yang terpecam

Aku, Dova dan Ella, petugas uks kelas VIII langsung dengan sigap mendekat kearahnya.

Aku mengenggam tangan kirinya, mengelus punggu telapak tangannya. Mata Rinda terbuka dan menoleh kearah ku.

"Apa kamu belum makan Rin" tanya Ella

Rinda mengalihkan pandangannya ke Ella

"Belum kak Ella, aku lagi tak enak badan dan mungkin magh ku kambuh" jawabnya

"Makan lah dulu. Mau aku belikan makan dikantin?" Tanya nya seraya menyodorkanku segelas teh hangat

Rinda menggelengkan kepala dan menatapku.

"Temani aku disini ya" pintanya kepadaku, aku mengangguk dan mengusap pucuk kepalanya.

"Memang sepertinya magh mu kambuh, sebaiknya kamu harus segera makan, agar tak lebh parah lagi"

**

Satu minggu kemudian

Rs. Hasan Sadikin Bandung

"Kan saya sudah bilang, kunci dari mempertahankan janin yang anak ibu dan bapak kandung hanya tiga. Jangan stres, istirahat cukup dan jaga pola makan." Kata dokter Era mengingatkan memandang mami dan papi Arinda

"Arinda.. Apa kamu melakukan aktifitas yang berlebihan?" Arinda menggeleng "Apa kamu menjaga pola makan kamu?" Arinda kembali menggeleng "Dan pasti kamu terlalu banyak memikirkan hal-hal yang menganggu pikiran kamu kan?" Lanjutnya memastikan, dan kali ini Arinda mengangguk kan kepalanya.

Terdengar helaan nafas kasar dari dokter Era. Dia sedikit memijat pangkal hidungnya.

Tadi saat sepulang sekolah Rinda memang mengeluhkan sakit di pinggang dan perutnya serasa diremas-remas. Karena panik, aku langsung membawanya ke rumah sakit yang beberapa minggu lalu telah aku dan keluarga Rinda sambangi. Sesampainya disana, saat Rinda ditangani oleh dokter aku menghubungi orang tua Rinda dan ibu ku. Memberi kabar kalau Rinda aku bawa kemari.

"Sebaiknya kalain mengunjungi Psikiater, karena... " ucapan Dokter Era terpotong oleh teriakan Rinda

"Tapi Rinda gak gila.." Jeritnya dengan mata yang sudah berkaca-kaca

"Rinda.. Tante, tidak bilang kamu gila. Psikiater bukan hanya untuk orang gila saja. Psikiater itu juga dokter yang bisa menangani kegelisahan kamu. Bisa mendengar cerita dan keluh kesah kamu, memberi solusi yang terbaik untuk apa yang kamu rasakan. Kalau kamu tidak mau berbagi cerita dengan mami atau papi kamu, atau orang-orang yang disekeliling kamu, kamu bisa cerita sama seorang Psikiater untuk membantu mu" Jelas dokter Era dengan nada yang sangat lembut

Aku menggengam tangan Rinda dan sedikit meremasnya, menguatkan hatinya, memberi ketenangan kalau semua akan baik-baik saja. Tapi Rinda tetap menggeleng kan keplanya dan tangisnya pun pecah.

Entah kekuatan dari mana, aku dengan beraninya memeluknya erat. Tak ku perdulikan tatapan tajam yang dilayangkan mami dan papi Arinda kepada ku.

Karena tak ada yang bisa membujuknya untuk mau mengunjungi Psikiater, akhirnya kami semua pulang kerumah Arinda. Di dalam mobil semua hening, hanya sesekali isak tangis dari Arinda yang memecah keheningan. Arinda tidur dalam dekapan ku, dengan masih ada sesenggukan dalam tidurnya.

Hatiku teriris melihat Rinda seperti ini. Aku merasa bodoh dan jahat karena sudah menghancurkan kehidupannya, menghancurkan masa depannya. Dan bodohny aku, kita melakukan itu tak hanya sekali dua kali dan. Kita melakukan itu hampir setiap hari dalam dua bulan ini. Semua itu pasti aku yang memaksanya, walau pada akhirnya dia pun menikmati.

Hanya karena mendengar cerita dari Rio yang menceritakan suasana hingar-bingar club malam, cerita nikmatnya surga dunia yang ada dalam lubang sempit wanita, semua jadi seperti ini. Tak hanya masa depan Rinda yang hancur, masa depanku juga hancur.

Satu tetes air mata lolos dari mataku, dan segera aku hapus. Tak ingin aku terlihat lemah dimata mereka semua. Terutama keluarga Rinda. Aku memang tak menginginkan adanya anak dalam perut Rinda ini, tapi aku pun tak terima kalau Om Indra tak mengijinkan ku untuk menikahi Rinda, apa lagi saat dia bilang kalau anak yang dikandung Rinda adalah anak haram.

Sungguh kata-kata itu adalah kata-kata kasar dan serasa benar-benar menusuk lalu merobek hati ku. Aku memeluk Rinda lebih erat lagi, mencari sumber kekuatan untuk ku.

**

"Kamu mikirin apa sih yank? Kalau kamu memang gak siap buat mempertahankan dia, kamu bilang sama aku. Kita bisa mencari jalan keluarnya. Jangan kamu pendam sendiri." Kataku dengan tangan kanan yang mengelus-elus perutnya.

Aku dan Rinda sekarang ada di taman belakang rumahnya. Masih menemaninya dengan tangan kiri ku yang memegang semangkuk sup ayam yang tak mau sedikit pun dimakan olehnya. Aku benar-benar frustasi menghadapi ini.

"Aku sedih.." Cicitnya

"Sedih kenapa? Kamu bisa bagi semua kesedihan kamu sama aku. Aku sayang banget sama kamu, dari dulu. Dari kita masih sama-sama kecil Rin. Kamu tau pasti itu."

"Aku sedih mami masih nyuekin aku, aku sedih mami selalu nangis dibelakang aku, aku sedih papi dan bang Hendi sekarang diemin aku, aku merasa udah gak dianggap dikeluarga ini. Hanya bang Andi yang kadang nemenin aku, itu pun hanya bicara seperlunya saja. Aku sedih kluarga aku dan keluarga kamu yang berteman baik jadi berantem gini gara-gara aku." Tangis Arinda kembali pecah saat dia mengungkapkan rasa yang dia rasakan.

Jadi itu yang dia rasakannya selama hampir 2 minggu ini, setelah kehamilan Arinda terbongkar.

"Ini bukan salah kamu. Ini salah aku. Semua salah aku. Kamu gak salah apa-apa. Udah gak usah nangis lagi" aku menghapus air matanya dengan tangan kanan ku "Kamu tinggal dirumah aku ya ?" Lanjutku

Arinda langsung menatapku, entah sorot mata apa yang dia tunjukkan kepadaku saat ini.

"Aku gak mau, aku takut Tante lulu dan Om Aryo gak nerima aku juga." Lirihnya

"Aku janji. Bapak, apa lagi ibu pasti bakal nerima kamu dengan baik dan senang hati. Mereka sayang sama kamu, apa lagi ada cucu mereka didalam sini" aku memberikan senyum termanis yang aku punya dengan menaruh tangan kananku di perutnya

"Tapi pasti gak bakal boleh sama mami dan papi. Apa lagi sama bang Hendi." Dia memalingkan wajahnya

"Biar nanti aku yang ngomong sama mereka" kataku. Aku kembali memeluknya, mencium pucuk kepalanya

**

"Assalamulaikum.. Pak" sapaku pada Bapak di sebrang telpon

"Waalaikumsalam.. Ada apa Mif, ada masalah dengan Rinda?" Tanya bapak cemas

"Tadi siang Rinda kram perut pak, dan kata dokter Era, Rinda terlalu stres. Lalu dokter era menyarankan untuk membawa Rinda ke Psikiater, tapi Rinda tak mau." Adu ku kepada bapak.

"Apa keadaannya separarah itu Mif? Perlu bapak pulang kebandung sekarang?" Tanyanya

"Gak perlu pak. Keadaan Rinda sudah lebih baik sekarang. Tapi.." Aku menggantungkan kalimat-kalimat yang akan aku ucap, aku bingung harus bilang bagaimana, sebenarnya aku juga takut meminta ini ke bapak.

"Tapi apa Mif? Tak terjadi apa-apa kan dengan kandungannya?!" Tanya bapak sedikit meninggikan suaranya

"Tidak pak.. Tidak.." Sahutku cepat

"Lalu tapi apa? " tanyanya lagi

"Boleh gak, kalau Rinda tinggal bersamaku, di rumah Bapak. Bersama ku, ibu dan Willma?" Tanyaku ragu

Hening.

Bapak diam tak menjawab..

"Halo.. Pak.. Bapak masih disana?" Tanyaku memastikan

"Iya, bapak masih disini. Bapak telpon ibu mu dulu dan bapak akan coba bicara dengan papinya Rinda.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status