Bagai dihantam palu, aku gemetar. Sekujur tubuhku rasanya mati rasa. Wanita itu baru saja mengatakan sebuah rahasia besar yang membuatku sesak.
Bagaimana bisa mereka berdua setega itu pada keluarga sendiri? Telingaku tidak mungkin salah tangkap. Ibu mengulanginya sampai dua kali. Entah apa yang dikatakan kakek, yang jelas aku tahu mereka berdebat.
Tidak terbayang olehku apa yang akan terjadi pada Mas Adi jika tahu fakta ini. Ibu dan kakek menyimpan rahasia yang mengejutkan. Mungkin jauh lebih mengejutkan dari gempa bumi. Tekadku untuk pergi dari keluarga ini semakin bulat. Aku tidak tahan lagi berada di antara mereka.
Tidak lama akhirnya panggilan telpon antara ibu dan kakek berakhir. Ibu mendumel mengatakan kakek tua bangka yang tidak tahu diri dan hanya mau enaknya saja. Setelah itu ibu malah memuji kakek. Sungguh aku tidak mengerti kinerja otak Nyonya Eda. Baru saja ia mencibir, sedetik kemudian ia memuji.
"Halo Mas, aku di rumah sakit. Menantu kita masuk rumah sakit karena pendarahan. Mas tenang dulu, calon cucu kita baik-baik saja. Hanya saja … aku bingung, Mas. Sepertinya Adi mencium sesuatu yang buruk tentang menantu bungsu kita ini," kata ibu mertua. Aku tak tahu sejak kapan dia menelpon lagi.
Sejenak hanya keheningan dan hanya deru napasku yang kudengar. Ibu mertua sepertinya diam mendengarkan ayah mertua bicara cukup panjang. Dalam bayanganku, mungkin ia sedang mencibir suaminya.
"Adi yakin kalau itu bukan anaknya. Dan apa Mas tahu? Anak dalam kandungannya Risa itu perempuan kata dokter. Bapak pasti akan kecewa berat. Kalau bukan laki-laki, mana bisa anak kita dapat warisan lebih banyak? Bapak sendiri yang bilang kalau cucu laki-lakinya akan dapat tanah di Magelang. Cicit laki-laki yang akan dapat warisan lebih banyak, salah satunya adalah peternakan sapi miliknya." Ucapan ibu lagi-lagi menusuk hingga ke tulang. Yang penting baginya hanya uang.
Benarkah anak dalam kandunganku ini seorang putri? Aku tidak pernah mempermasalahkan jenis kelaminnya. Laki-laki atau perempuan, anakku tetaplah darah dagingku yang akan kupastikan kebahagiaannya. Tidak akan kubiarkan anakku tumbuh dalam keluarga toxic ini. Aku harus cerai dengan Mas Adi. Biar saja dia menikah lagi, aku tidak peduli.
"Mas… sebenarnya… ada hal lain yang ingin ibu sampaikan. Ini soal Adi, anak kita," kata ibu mertua yang rasanya ingin membuatku muntah. Suaranya yang mendayu dengan bujuk rayu menyakiti telingaku.
"Dia beberapa bulan ini dekat sama Devi. Si Devi, anaknya camat kampung sebelah. Adi bilang kalau… nanti saja aku bilang setelah sampai di rumah, Mas," sambungnya lagi. Sungguh aku penasaran seperti apa tanggapan ayah mertuaku saat tahu kelakuan putra yang dibanggakannya itu.
"Begini Mas… entah ini benar atau tidak, tapi sepertinya Adi pacaran sama Devi. Terus … Devi hamil." Ibu mertua kembali diam cukup lama hingga kurasa telingaku gatal ingin tahu.
"Tapi bagaimanapun anak dalam kandungannya itu calon cucu kita. Kalau kita berbesan dengan seorang camat, derajat keluarga kita akan semakin terpandang. Lihat saja, sejak Adi menikah sama Risa, yang ada hanya susah. Bapak itu terlalu memanjakan cucu menantunya. Tidak lama lagi keponakanmu juga akan menikah Mas, jangan sampai kita disalip untuk dapat cucu laki-laki." Ingin rasanya aku berteriak dan mengusir ibu mertuaku keluar dari kamar rawat inapku ini.
Tanganku mengepal kuat meremas selimut. Tak lama kudengar ibu keluar dari kamar setelah kedatangan dokter. Masih sempat kudengar mereka berbasa-basi sejenak sampai akhirnya kudengar pintu yang kembali ditutup.
Jemari lembut menyentuh kening dan pergelangan tanganku. Aroma etanol dan parfum yang wangi mengusik indra penciumanku. Aku pura-pura baru tersadar karena sentuhan di kulitku.
"Ibu Carisa bisa mendengar suara saya dengan baik?" tanya dokter wanita yang kutaksir lebih muda dari ibu mertuaku. Wajah cantiknya dibingkai jilbab yang terlilit rapi di lehernya.
Aku mengangguk karena rahangku masih sakit. Kulirik perawat yang sudah tidak asing bagiku karena sudah beberapa kali bertemu jika aku memeriksakan kandungaku ke rumah sakit ini. Dokter itu mulai memeriksa kondisiku dan perlahan aku merasa lebih baik atas pertanyaan, anggukan maupun senyumnya.
"Do-dokter, saya ingin mi-minta tolong. Saya minta divisum, saya ini korban KDRT. Bukan kali ini saja … saya diperlakukan kasar seperti ini. Siksaan lahir batin sudah sering saya dapatkan, Dok. Mungkin … karena sejak awal … suami saya terpaksa menikahi saya atas permintaan kakeknya." Dokter itu mengangguk.
Kutarik napas dan kembali mengumpulkan tenaga. Walau berbisik, kuyakin dia bisa mendengarku. "Saya ingin melakukannya demi … melindungi kandungan saya ini, Dok. Setidaknya sekali saja, suami saya diberi … ketegasan. Saya bisa menerima perlakuannya, tapi saya tidak bisa membiarkan seorang pun … menyakiti anak saya, termasuk ayahnya sendiri," bujukku pada dokter wanita ini.
Aku yakin dia mengerti dan bisa melakukannya tanpa sepengetahuan keluarga. Kalaupun ketahuan, dokter bisa menyebutkan alasan lain terkait medis. Lebam di tubuhku tentu tidak bisa berbohong, termasuk bekas tamparan di pipiku.
"Baiklah, tapi saya harap Anda benar-benar beristirahat total. Pendarahan yang Anda alami ini nyaris saja membuat Anda kehilangan bayi Anda. Tolong hindari hal-hal yang membuat Anda lelah dan stres. Tekanan darah Ibu Carisa cukup tinggi dan itu tidak baik untuk kondisi ibu hamil. Saya yakin, sebagai calon ibu, Anda kuat karena kekuatan itu hadir dari harapan besar untuk memberikannya kehidupan yang lebih baik," ujarnya dengan lembut menyapa rungu.
Aku tergugu dan mengangguk berkali-kali. Setidaknya ada orang asing yang memahami hal yang aku rasakan. Dokter itu bertanya usiaku, mungkin mengira aku menikah dibawah umur.
"Usianya 20 tahun, Dok," jawab perawat karena aku kesulitan menjawab.
Sudut bibirku sobek dan pipiku kram. Sepertinya suamiku memukulku menggunakan tenaga dalam. Menggerakkan tangan dan kepalaku saja sulit.
Perawat yang mengenakan seragam biru muda itu turut mengusap sudut matanya. Aku jadi penasaran seperti apa penampilanku sekarang? Sejak aku membuka mata dan membalas tatapannya, mata perawat itu berkaca-kaca.
"Ada keluhan lain, Ibu Carisa? Ada keluhan sakit di bagian tertentu, mungkin?" tanyanya berbisik. "Jangan takut, katakan saja."
"To-tolong bukti visumnya dirahasiakan, Dok, Sus. Saya takut jika bukti itu dihilangkan dan saya malah dianggap pembohong. Mereka bisa saja memutar balikkan fakta," pintaku.
Ah … ada gunanya juga nonton sinetron. Jika biasanya ibu-ibu yang menonton akan mengomel melihat pemeran utamanya tertindas, tidak denganku. Aku justru penasaran bagaimana cara membalas dan membuat tokoh antagonisnya mendapat hukuman.
Benakku terus saja bertanya pada siapa aku harus minta tolong untuk mengurus perceraianku dengan Mas Adi. Jika tidak diizinkan bercerai dengannya dan lepas dari keluarga ini, akan aku bongkar rahasia kakek dan ibu mertuaku. Aku harus kuat meskipun terpaksa menjadi wanita jahat yang tega mengancam keluarga sendiri. Hidup lebih lama lagi bersama mereka bisa membuatku gila.
"Tunggu saja Nyonya Eda, kau tidak sudi punya menantu sepertiku bukan? Aku juga sama, tidak pernah berharap punya ibu mertua sepertimu," gumamku setelah dokter dan perawat keluar. Gemuruh di dadaku rasanya ingin segera meledak dan berbuah kebebasan. Bisakah?
***
Hari sudah malam, tapi pria ini belum juga beranjak. Ia masih menikati memeluk Agam yang sudah pulas. Seharian ini putraku sudah banyak beraktivitas. Wajar jika Agam kelelahan dan kini merajut alam mimpi.Puas menemani Agam mencoba berbagai wahana. Jajanan di taman bermain ini pun tak mampu lewatkan.Dari interaksi dua pria berbeda generasi itu, aku pun bisa sedikit menerka. Obrolan mereka di telpon sebelumnya, salah satunya adalah membahas jalan-jalan ke taman bermain ini.Kalau aku sendirian yang membawa Agam ke sini, kuakui tidak akan sanggup. Dia itu hiperaktif dan jelas aku akan kewalahan. Hal baru yang dilihatnya, pasti ingin dicoba.Naik komedi putar saja aku takut, apalagi bianglala. Namun, kehadiran pria ini seakan memberikan jaminan rasa aman.Entah aku yang bodoh, atau memang dia yang pandai mengubah pikiran orang lain. Harus kuakui, kemampuannya berkomunikasi sangat handal. Kata-katanya penuh sugesti untuk membuat orang lain percaya dengan akal sehatnya.“Apa saya boleh be
Aku kira, hanya Agam yang merindukan Riswan. Namun, waktu beranjak dan malah membuatku bertanya-tanya. Ada apa denganku?Mengapa wajah dan suara pria itu sesekali hadir? Mengapa aku merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya? Ini lucu bukan?Tak memiliki siapapun berbagi masalah hati. Tadinya aku ingin bercerita pada Tita. Namun, kuurungkan mengingat dia pasti akan meledekku tanpa henti.Aku terjebak dalam labirin tentangnya. Ketidakhadirannya beberapa waktu ini mengundang hadirnya kenangan. Tanpa kusadari, saat-saat bersamanya menyimpan kesan khusus di hati.Kucoba membuka sosial media. Barangkali ada hal yang bisa kulihat tanpa sengaja. Tak sengaja tapi niat banget. Aku memang aneh.Aneh karena aku seperti menyusuri lorong panjang. Aku menanti bersama bayang-bayang. Rasanya ada berat menindih dada.Agam sudah pulas. Tita mengajaknya ke mall dan bermain hingga puas. Gadis itu juga sedang memberikan dirinya reward untuk bulan ini karena jualan produknya mencapai target.“Aya
Suara klakson mobil Riswan menyapa gendang telingaku. Pagi ini dia datang untuk mengantarkan Agam ke sekolah. Bukan tanpa alasan, besok malam pria itu akan ke Singapura selama dua pekan. Itu berarti, selama itu ia tidak akan bertemu Agam.Putraku seperti memiliki stok energi yang terisi penuh. Binar matanya tampak begitu ceria. Seakan-akan mereka akan melakukan sesuatu yang luar biasa.Entah apa yang dibisikkan Agam pada pria berdasi biru tua itu. Tak lama kemudian, mereka sama-sama mengangguk. Aku jadi seperti obat nyamuk di antara mereka."Semalam kamu ingin bilang apa, Carisa?" tanyanya yang akhirnya menoleh padaku.Aku jadi bingung bagaimana harus menjawabnya. Kuletakkan botol air minum Agam di dalam tasnya. Lidahku seakan tak bertulang."Kalau kamu lupa, chat saja nanti kalau kamu sudah ingat," sambungnya karena aku masih meragu.Hanya sekilas ia menatapku lalu kembali fokus memperhatikan putraku. Bagi Riswan, Agam seperti magnet yang selalu menariknya.Agam masih sibuk memasang
Setelah dua hari menikmati liburan di pulau, kami kembali ke Makassar. Keesokan harinya, aku dan Agam menemani Aditya membeli oleh-oleh. Mantan suamiku itu awalnya terkejut, namun ketika kulirik Agam, dia pun paham.Aditya begitu tersentuh ketika Agam mengatakan jika uang celengannya masih sedikit. Uangnya tidak akan cukup untuk membeli dua pasang baju. Jadilah dia hanya memilih dua bando karena menolak saat aku menawarkan untuk menambahkan uangnya.Sepulang dari pulau, Agam juga ikut menginap bersama Aditya. Dia juga sengaja memintakan izin untuk tidak masuk sekolah selama dua hari. Hari Selasa sore, Aditya datang bersama Riswan dan Agam. Sore ini kami akan mengantar Aditya ke bandara. Dengan mata kepalaku sendiri, kulihat keakraban dua pria itu."Agam ingat waktu ketemu Om Liswan di bandala dulu. Agam nda jadi naik pesawat. Agam sama ibu naik kapal laut," ujar Agam ketika kami mampir di sebuah kafe bandara."In sya Allah kalau kita ke Surabaya, Agam akan naik pesawat. Bukannya Agam
Kualihkan pandanganku ke arah laut. Kilau indah di permukaan air sana mempesona. Tak lama lagi, akan terlihat matahari tenggelam yang tak kalah indahnya."Kau benar. Selama ini aku selalu terhasut kata-kata ibuku. Ayah bahkan pergi meninggalkan kami setelah tahu perselingkuhan ibu dan kakek. Sama seperti yang kau lakukan dulu." Dia meliriku.Aku tidak menampik maupun mengakuinya dengan lidahku. Kuyakin dia sudah menyadarinya. "Kini aku mengerti mengapa sejak kembali dari rumah sakit, kau tidak pernah menunjukkan sopan santun lagi pada kakek." Kubalas tatapannya dengan anggukan pelan. Aku akui jika sudah lama mengetahuinya. Alasan itulah yang membuatku berani membawa anakku jauh dari orang-orang seperti mereka. Lingkungan yang rusak tidak akan baik untuk anakku.Aku bukannya tidak berharap mereka bisa berubah. Hanya saja aku sadar, itu hal yang sulit. Aku tahu, aku tidak memiliki kemampuan untuk membuat mereka bertobat."Devi juga sama. Sejak dia melihatnya, dia mulai mengacuhkan ibu.
Pertanyaannya malam itu kini terjawab sudah. Setelah menjelaskan tentang janjinya pada Agam, Riswan menunjukkan foto di layar ponselnya. Aku dan Aditya akhirnya mengangguk setuju dengan ajakannya. Akhir pekan ini terasa berbeda. Aku dan Aditya pun sama-sama menepis ego. Apalagi alasannya jika bukan demi Agam. Ketika Aditya menelpon Agam, mengatakan jika Riswan mengajak mereka ke pantai, Agam langsung mau ikut. Aditya memintanya mengajakku seolah-olah aku tidak tahu. Ketika aku setuju, Agam tampak begitu bahagia. Begitu juga halnya dengan Tita.Sama seperti Agam, gadis itu juga sibuk packing. Katanya, di sana dia akan membuat banyak foto dengan beberapa outfit yang khusus dibawanya. Tidak ketinggalan si Moi. Omong-omong, itu nama kameranya.Di atas kapal yang menampung lebih dari 20 orang, aku duduk menikmati angin laut. Aroma khas air laut yang terbawa akan jadi satu kenangan untukku. Ini pertama kalinya aku naik kapal seperti ini. Dulu saat kabur, aku dan Agam naik kapal yang lebih
'Rawatlah ikhlas dalam hatimu, biarkan seorang ayah bertemu putra kandungnya. Mungkin setelah itu … kamu tidak akan lagi hawatir dengan kemungkinan-kemungkinan yang selama ini membayangimu. Termasuk dengan kemungkinan perasaanmu yang akan kembali terluka.'Aku sudah melakukan seperti sarannya. Aku ikhlas dan mengizinkan Aditya bertemu dengan Agam, bahkan keluarganya pun ikut datang. Namun balasan yang kuterima adalah rasa sakit. Dia malah datang membawa niatan baru untuk rujuk. Membuatku seperti wanita penggoda suami orang. Dia bodoh atau bagaimana? Bagaimana bisa dia berpikir aku mau menelan luka?'Memang tidak mudah, mungkin juga akan menyakitkan. Cobalah, mungkin sakitnya hanya sebentar, karena yang saya tahu … setiap rasa sakit selalu ada obatnya. Obat yang paling ampuh adalah … memaafkan.' Lagi-lagi kalimat yang pernah dituturkan Riswan terngiang. Benarkah rasa sakitnya hanya sebentar? Sebentar itu … berapa waktu yang harus kulalui untuk bisa bertahan?Sambil menata kembali jilb
Lelah dan jengah dengan sikap Aditya, aku akhirnya tiba di penghujung kesabaranku. Dua pekan ini dia benar-benar mengujiku."Aku tidak akan membiarkanmu bertemu Agam lagi, jika kau tidak kembali pada keluargamu. Aku tidak ingin kedua adik kembar dari pernikahanmu dan Devi punya hubungan buruk dimasa depan dengan Agam. Sikapmu ini, membuatku kembali kehilangan rasa percaya padamu. Aku, tidak sudi rujuk denganmu, Aditya." Kulihat raut wajahnya berubah drastis."Kenapa? Karena Devi mengancammu?"Aku menggeleng. "Bukan. Karena kau selalu mengingatkanku pada rasa sakit. Aku juga tidak sudi punya mertua seperti ibumu. Aku tidak bisa lupa saat dia menuduhku selingkuh, padahal dialah yang berselingkuh dengan, mertuanya sendiri," balasku mengatakan inti dari alasan penolakanku."Risa, aku hanya i-""Jika kau tidak berhenti mengusikku, maka aku akan memberitahu Agam tentang penyebab perceraian kita. Biar saja dia tahu kalau papanya suka memukuli ibunya. Itulah alasan kenapa aku membawanya pergi
Aku hanya bisa memandang taksi yang baru saja dihentikan oleh Aditya. Mantan suamiku itu sempat pamit pada Agam dengan mengatakan kalau dia harus pulang lebih dulu. Besok akan kembali menemuinya di rumah."Carisa …." Aku menoleh ke belakang dengan tatapan penuh harap."Kamu kenapa menangis?" Riswan dengan raut wajah cemasnya menghampiriku."Bagaimana bisa Kak Riswan tahu kami di sini?" Dia tersenyum menunjukkan riwayat chat dengan Tita."Kamu belum menjawab pertanyaan saya. Jelas bukan debu jalanan yang membuat kamu menangis," tebaknya dan dari ucapannya itu aku tahu dia masih menunggu penjelasanku.Kuceritakan apa adanya sambil menunjuk ke arah pintu ruko di seberang jalan. Aditya saat ini menemui si pemilik ruko kosong itu. Dia berniat untuk membuka toko sembako di sana. "Memangnya dia berniat pindah dan menetap di sini? Kenapa tidak cari rumah terlebih dulu? Kasihan istri dan bayi kembarnya kalau tinggal di sana. Ruko sebelahnya itu warung 24 jam, pasti akan berisik," ujarnya denga