"Maaf Mas, ada jurang tak kasat mata di antara kita. Aku ini janda dan ibu tunggal, tidak pantas bersanding denganmu. Sekalipun hati kami berdua kamu menangkan, ingatlah, kita terhalang status. Belum lagi mantan suamiku selalu berulah," ucapku agar ia mengerti. Aku cukup tahu diri. Mata teduhnya semakin menatap dalam dan aku merasa tenggelam. Sudut bibirnya berkedut lalu berkata, "Untuk pertama kalinya saya senang bilang ... TERSERAH. Kamu silahkan menjauh, nanti aku kejar. Saya tidak mau kalah dari mantan suamimu itu. Kalau kamu sabar, saya bisa tegar. Kita lihat, ke mana perahu nasib kita berlayar." Aku menghirup napas serakah, keras kepala sekali pria ini. Ingin kutabok kepalanya, tapi sayang, takut otak cerdasnya rusak. Masa laluku yang selalu saja membawa kesulitan dan keinginan keluarganya yang rumit. Benarkah bisa seperti ucapnya? Entahlah, aku hanya bisa diam membisu, takut berharap berujung sakit.
View More"Kamu itu bukan siapa-siapa! Kamu cuma gadis miskin yang beruntung dipilih kakek jadi istriku. Kalau perutmu sakit, ya urus sendiri. Siapa suruh kamu hamil! Aku sudah berkali-kali bilang kalau aku belum siap jadi ayah, aku masih mau seneng-seneng!" bentaknya dengan telunjuk yang berkali-kali mendorong kepalaku.
Rasanya sakit sekali mendengar ucapannya. Haruskah aku balas kalau memang dia tidak sanggup jadi ayah, kenapa harus membuang benihnya di dalam rahimku? Ingin sekali aku berteriak jika rasa pil kontrasepsi yang dibelikannya itu sangat pahit. Sepahit kata yang meluncur dari lidahnya.
"Kenapa diam? Tumben?!" bentaknya lagi.
Belakangan ini kami memang kerap kali adu mulut. Selain perangainya yang berubah kasar, suamiku juga kadang semaunya. Sementara aku sendiri kadang merasa jika kehamilanku ini membawa perubahan besar dalam kondisi tubuh dan mentalku.
Aku mendongak membalas tatapannya. Sekuat tenaga kutahan agar genangan di pelupuk mata tidak jatuh dan malah menunjukkan kelemahanku di hadapannya. Nyaris kebal telingaku mendengar kata-kata hinaan darinya.
Kadang aku berpikir apa yang membuat pria 23 tahun ini berubah? Ke mana perginya cinta kasih yang dulu ia beri? Jika saja tidak demam dan pusing seperti saat ini, mungkin aku memilih pergi ke rumah teman atau tetanggaku. Setidaknya di sana mereka akan membiarkanku berbaring sejenak dengan tenang.
"Mas, lebih baik setelah aku melahirkan, kamu ceraikan saja aku. Kamu nikah dengan kekasihmu yang selama setahun ini kamu sembunyikan. Kamu pikir aku tidak tahu kalau kamu selingkuh?" tanyaku ingin tahu seperti apa reaksinya.
Wajahnya pias dengan mata membelalak. Kaki kanannya mundur selangkah dan tangan kirinya mencoba menggapai tembok. Jelas ia terkejut karena aku tahu. Mungkin ia akan lebih terkejut lagi jika kukatakan padanya bahwa selingkuhannya sendiri yang datang ke hadapanku siang tadi.
Wanita dengan pakaian yang menonjolkan semua lekuk tubuhnya itu mengaku sedang hamil anak suamiku. Kulitnya yang seputih susu selalu ia pamerkan. Kemudian tanpa malu ia minta izin untuk jadi madu.
Belum lagi kesombongan wanita selingkuhannya itu melangit. Tatapan sengit wanita itu memindai diriku dan membandingkan dengan dirinya. Wanita rumahan yang seringkali mengenakan daster batik selutut dengan wanita yang mengenakan dress mahal, ketat dan cukup memajang aset tubuhnya. Begitu juga kedudukan orang tuanya yang diabanggakan disaat diriku hanya seorang yatim piatu.
"Kamu…."
"Iya aku tahu. Dia sendiri yang datang ke sini, Mas. Dia bilang sama aku kalau kalian menjalin hubungan. Dia bilang betapa hebatnya kamu di ranjang. Dia bilang sensasi-sensasi yang kalian lalui setiap kalian bercinta. Dia bilang kalian saling memberi kepuasan dengan banyak gaya sampai rasanya melayang ke nirwana," ungkapku dengan tatapan yang seakan ingin menusuknya.
Mas Adi tidak tahu saja jika siang tadi aku seperti ditusuk berkali-kali. Belum lagi semalam dia pulang larut dalam keadaan mabuk dan membuatku letih mengurusnya. Sekarang dia pulang dengan tangan kosong dan amarah yang dilampiaskan padaku. Harusnya di sini aku yang marah, bukan dia.
"Tanpa malu ia bilang kalau kalian suka bermain di mobilmu. Adrenalinnya terpacu, selain posisinya, ada sensasi mendebarkan takut ketahuan pengguna jalan. Dia juga bilang, kalau aku tidak ada apa-apanya dibandingkan dengannya, karena kamu selalu memujinya seperti itu. Tapi dari semua penuturannya itu, satu hal yang paling menyakitiku. Kamu bilang sama selingkuhanmu itu kalau anak yang aku kandung ini … bukan anakmu. Benar begitukah, Mas? Jawab!" sentakku.
Mas Adi limbung. Tubuh kekar itu mulai bergerak tak menentu. Tubuhnya yang gelagapan adalah bukti nyata.
Jari-jarinya mengusap dahi, pipi, mulut dan dagunya hingga beralih ke tengkuk. Jakunnya naik turun, sepertinya susah payah ia menelan saliva. Matanya tadi yang sudah setajam elang kini bersembunyi karena ia mulai menunduk menatap ujung kaki kami berdua.
"Tega sekali kamu, Mas…. Apa masih kurang kesabaranku selama ini menerima siksa lahir dan batin darimu? Lidahmu yang tajam, tanganmu yang kejam, lalu begitu tega kau fitnah aku dengan tuduhan seperti itu. Di mana letak nuranimu?" tanyaku nyaris berbisik. Selama ini kututupi semua tingkah kurang ajarnya.
Mas Adi menoleh menatapku. Dia bungkam. Ingin rasanya kucakar wajah yang tak tahu malu itu.
Aku maju selangkah dan berujar, "Kalau tubuhku divisum sejak enam bulan lalu, kamu pasti sudah tinggal di balik jeruji. Kalau hatiku ini bisa menjerit dan seisi desa ini tahu sakit yang aku rasa, kamu pasti dikutuk setiap kali mereka melewatimu. Kapan kamu mau sadar, Mas? Apa setelah kamu nikah sama selingkuhanmu itu, kamu juga akan memperlakukan dia sama seperti kamu memperlakukanku?"
"Diam kamu!!" bentak Mas Adi.
Kebengisan yang terlukis di wajahnya yang kata orang sedesa ini wajah paling rupawan. Jika saja ada sedikit keberanian, ingin sekali kukatakan pada mereka jika pria paling tampan di desa ini adalah kuli rumputnya kakek. Bukan cucu kesayangan Juragan Santoso.
Suamiku ini dikatakan rupawan hanya karena didukung penampilan dan isi dompetnya. Sebagai cucu kesayangan Tuan Santoso, dia punya fasilitas yang membuat iri banyak orang, termasuk para sepupunya yang lain. Mungkin karena hanya dia cucu laki-laki kakek.
"Kamu sudah berani ya bicara kurang ajar sama suami? Aku ini suami kamu, harusnya kamu tunduk dan tidak membatah ucapanku!" katanya lagi seakan kembali menunjukkan arogansinya.
"Kalau begitu, jawab aku, Mas. Apa kurangku selama ini? Kamu melarangku ini dan itu … aku patuh. Aku tidak keluar rumah selain sama kamu atau ibu. Kalaupun dengan orang lain, pasti dengan anggota keluarga kamu yang lain dan tidak pernah berduaan. Belanja saja kamu suruh pembantu kakek yang ke pasar dan bawa belanjaan kebutuhan kita ke rumah ini. Dia bahkan kamu minta membersihkan rumah ini padahal itu bukan pekerjaannya," jelasku mendesis.
"Karena aku ingin memperlakukan kamu seperti ratu yang tidak perlu susah kerja dan repot melakukan pekerjaan rumah!" balasnya dengan mengangkat dagu.
"Ratu? Aku ingin sekali menertawakan pikiran bodohmu, Mas. Ratu seperti apa yang kamu maksud? Ratu yang kamu kurung dan kamu kekang? Kamu pikir perhiasan dan pakaian bagus bisa membuat seseorang sepertiku bisa bahagia? Kamu salah besar, Mas," ujarku dan kali ini tidak bisa kubendung tangisan.
Runtuh sudah pertahananku untuk tegar, kesabaranku terkikis. Sebenarnya bagaimana kerja otak yang bergelar suami ini? Kupikir dia seorang sarjana, maka pikirannya akan jauh lebih baik dan bijak. Nyatanya?
"Harusnya kamu bersyukur, semua orang di sini iri ingin berada di posisi kamu. Cucu menantu juragan sapi yang membuat gadis-gadis dan wanita-wanita yang bahkan sudah menikah ingin jadi madumu. Lihat, saat kamu menghadiri hajatan, mereka pasti bersikap manis denganmu, bukan? Bahkan yang aku dengar, banyak ibu-ibu yang memperlakukan kamu seperti istri pejabat," tuturnya berbangga diri.
"Tanpa tahu kalau aku menikahi pria jahat," gumamku yang membuatnya melotot. Mungkin tidak terima dengan gelar baru yang kuberikan.
Selepas ucapanku, hanya terdengar suara keras dari telapak tangan suamiku yang mendarat di pipi kiri ini. Perih menjalar dan masih membuat telingaku mendengung. Tega sekali dia memukulku saat aku mengandung anaknya.
"Apa kamu bilang?!" Suaranya menggelegar bagai gemuruh petir di atas sana.
"Kamu sudah dengar tadi Mas … yang aku katakan, PRIA JAHAT!" timpalku mendesis. Kuharap ia sedikit menyadari apa yang telah ia perbuat.
Sekilas kilat menyambar dan aku terkejut. Disaat yang sama telingaku mendengung untuk kedua kalinya. Sudut bibirku berdenyut perih dan aku gemetaran merasakan tamparannya.
"Tahu diri jadi istri, apalagi kamu cuma gadis desa yang terpaksa saya nikahi," bisiknya yang membuat dadaku ikut berdenyut pedih.
***
Pagi ini aku kelabakan di lobi gedung fakultas seperti orang bodoh. Pagi cerah ini sama sekali tidak bersahabat dengan suasana hatiku. Bisa-bisanya aku berangkat tanpa membawa laptop milikku. Semakin resah karena Tita tidak menjawab telponku.Selang beberapa menit, lobi kembali dipadati beberapa orang. Suara ketukan alas kaki mereka ada yang seirama dan ada pula yang seperti beradu. Menit berganti, lobi kembali kosong menyisakan diriku yang duduk pasrah kebingungan.Kedua kelopak matanya terpejam perlahan. Tanpa sadar aku menggigit bibirku. Kala rasa sakitnya terasa, barulah aku merutuki diriku lagi.Sekujur tubuhku membeku kala mataku menangkap siluet seseorang. Dari pintu lobi kulihat dosen mata kuliahku untuk jam berikutnya sudah tiba.Langkahnya pelan, namun dari alas sepatunya memperdengarkan serangkaian suara lirih ketukan tak beraturan. Aku kembali menggigit bibirku mengingat betapa menakutkannya dosen wanita itu. Dia benci keterlambatan, apalagi jika tidak mengumpulkan tugas a
Kualihkan pandangan keluar menembus kaca jendela mobil. Biar saja keduanya mengira aku marah. Ya, aku memang merasa dongkol, sehingga kupilih mendiamkan mereka.“Nda usah pusing, Ayah. Om Kemal bilang, pelempuan memang suka malah. Palingan tunggu dibujuk-bujuk. Disogok coklat atau eskelim. Kalau masih nda senyum, ajak saja jalan-jalan atau belanja,” tutur Agam yang kembali membuatku menoleh dan melotot pada putraku.Awas saja si Kemal. Bisa-bisanya ia mengajari putraku seperti itu. Tak pelak tawa Riswan berderai. Lirikan matanya padaku seakan mengejekku.“Saat acara ultah itu, Agam juga diminta Safwan sekalian pilih hadiahnya. Agam pilih kotak kado. Safwan bilang, benda apa yang paling Agam inginkan? Terus Agam jawab apa waktu itu?” ucap Riswan menoleh setelah melajukan mobilnya beberapa meter dan kembali berhenti.Agam cekikikan sambil menutup kedua mulutnya. Kemudian putraku membuka buku sekolahnya. Ia mendekat dan menunjukkan gambar hewan yang sedang makan rumput.“Sapi?” gumamku m
Riswan kembali berbisik, “Saya yang membawa puding itu, jadi masalah ini harus saya selesaikan juga. Pilih saja daripada dia bikin kamu pusing.”Aku tidak mengerti isi kepala dua pria ini. Memberi orang hadiah dengan cara memaksa. Daripada berlarut-larut, kupilih kartu bergambar pensil saja.“Kenapa Anda tidak bertanya dulu makna kartunya, Nona Carisa? Kenapa tidak memilih kartu berlian atau mobil? Kalau mau ditukar juga boleh,” tawar pria itu lagi.“Anda bisa memberikan saya pena sebagai ucapan terima kasih. Itu sudah lebih dari cukup,” balasku.Pria bernama Zayyan itu tidak membalasku. Ia justru beralih menatap Rizwan. “Kak Riswan pakai jampi-jampi apa sampai bisa dapat Ibunya Agam?” tanyanya.“Doa siang malam,” jawab Riswan dan kedua pria itu kembali tertawa.“Maaf, Nona Carisa. Hadiah dari saya tidak bisa ditolak. Kak Riswan akan membantu mengurusnya di Pradipta Foundation.” Lagi-lagi aku dibuat bingung.“Maaf, tapi maksudnya apa?” tanyaku bingung.Belum sempat pria itu menjelaska
Kuakui dia pria yang karismatik. Dia tegas dan tidak suka berbelit-belit. Apa yang dilakukan dan diucapkannya bagaikan pemantik semangat.Dalam sekejap dia mencuri perhatian. Begitu mudah tutur katanya menyapa rungu. Semua orang menyimak. Mereka benar-benar menyimak, bukan hanya sekedar berlagak mendengarkan omongannya.Kuakui, aku pun seakan tersihir dengan kepiawaiannya dalam berkomunikasi. Bahasa tubuhnya tak berlebihan. Isyarat matanya tegas, tapi juga lembut menyiratkan perintah.Kali ini kulihat dia tak berucap pada seseorang yang berdiri di sampingnya. Hanya dua jari yang diacungkan. Perlahan segaris senyum, terlukis di wajah rupawannya seolah menebus ungkapan terima kasihnya.Terkenang olehku saat pertama kali bertemu dengannya di bagian pusat informasi bandara. Dia memijat keningnya lalu melirik jam tangannya. Setelah duduk tak jauh dari tempatku duduk, dia sibuk dengan ponselnya. Setiap beberapa saat, ia kembali menoleh ke jam tangannya lalu menoleh menatap Agam. Seulas seny
Hari sudah malam, tapi pria ini belum juga beranjak. Ia masih menikati memeluk Agam yang sudah pulas. Seharian ini putraku sudah banyak beraktivitas. Wajar jika Agam kelelahan dan kini merajut alam mimpi.Puas menemani Agam mencoba berbagai wahana. Jajanan di taman bermain ini pun tak mampu lewatkan.Dari interaksi dua pria berbeda generasi itu, aku pun bisa sedikit menerka. Obrolan mereka di telpon sebelumnya, salah satunya adalah membahas jalan-jalan ke taman bermain ini.Kalau aku sendirian yang membawa Agam ke sini, kuakui tidak akan sanggup. Dia itu hiperaktif dan jelas aku akan kewalahan. Hal baru yang dilihatnya, pasti ingin dicoba.Naik komedi putar saja aku takut, apalagi bianglala. Namun, kehadiran pria ini seakan memberikan jaminan rasa aman.Entah aku yang bodoh, atau memang dia yang pandai mengubah pikiran orang lain. Harus kuakui, kemampuannya berkomunikasi sangat handal. Kata-katanya penuh sugesti untuk membuat orang lain percaya dengan akal sehatnya.“Apa saya boleh be
Aku kira, hanya Agam yang merindukan Riswan. Namun, waktu beranjak dan malah membuatku bertanya-tanya. Ada apa denganku?Mengapa wajah dan suara pria itu sesekali hadir? Mengapa aku merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya? Ini lucu bukan?Tak memiliki siapapun berbagi masalah hati. Tadinya aku ingin bercerita pada Tita. Namun, kuurungkan mengingat dia pasti akan meledekku tanpa henti.Aku terjebak dalam labirin tentangnya. Ketidakhadirannya beberapa waktu ini mengundang hadirnya kenangan. Tanpa kusadari, saat-saat bersamanya menyimpan kesan khusus di hati.Kucoba membuka sosial media. Barangkali ada hal yang bisa kulihat tanpa sengaja. Tak sengaja tapi niat banget. Aku memang aneh.Aneh karena aku seperti menyusuri lorong panjang. Aku menanti bersama bayang-bayang. Rasanya ada berat menindih dada.Agam sudah pulas. Tita mengajaknya ke mall dan bermain hingga puas. Gadis itu juga sedang memberikan dirinya reward untuk bulan ini karena jualan produknya mencapai target.“Aya
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments