Dua hari dirawat di rumah sakit, akhirnya Mas Adi membawaku pulang. Bukan pulang ke rumah kami, melainkan ke rumah utama tempat kakek dan kedua mertuaku tinggal bersama beberapa asisten rumah tangga. Telapak tanganku basah membayangkan seperti apa nantinya respon mereka saat aku mengutarakan hal yang kupendam ini.
Kakek dan ayah mertuaku menyambutku dengan senyum lembut. Ibu mertuaku, seperti biasa dia tampak ogah-ogahan dan memasang senyum palsu ketika aku meliriknya. Mungkin takut jika ayah mertua dan suaminya tahu jika selama ini ia tidak menyukaiku.
"Apa kata dokter, Nak?" tanya kakek sembari mengusap puncak kepalaku.
"Sudah lebih baik, Kakek. Dokter cuma minta banyak istirahat agar lekas pulih," ujarku apa adanya seperti yang disarankan dokter kandunganku.
Ayah mertuaku mengusap dadanya lega. "Alhamdulillah, dijaga dengan baik ya Nak … cucu ayah. Rasanya sudah tidak sabar mau menimangnya," ungkapnya dengan tersenyum lebar. Namun entah mengapa hatiku berdenyut ngilu mendengarnya.
"Aku ke kamar dulu, capek, mau tidur," kata Mas Adi.
Baru selangkan dia beranjak, tiba-tiba kuhentikan langkahnya. Pria dengan wajah khas keturunan Tionghoa itu menoleh menatapku dengan malas. Jelas ia kesal, tapi tatapan kakek dan ayah membuatnya kembali putar badan dan hendak menggendongku. Mereka semua tersenyum, tapi hanya sesaat karena aku menepis tangannya.
"Ada apa?" tanya Mas Adi yang tampak tegang.
Sepertinya dia mulai sadar jika aku tidak bersedia melakukan permintaannya saat masih di rumah sakit tadi. Ya, dia meminta agar aku berpura-pura tidak ada masalah di antara kami. Tidak bisa!
Kuhembuskan napas perlahan dan menatap mereka berempat. Dulu aku tidak pernah memikirkan hal ini. Tapi perahu yang dinahkodai Mas Adi sebagai kepala rumah tangga, kini telah ia nodai. Aku tidak bisa bertahan dengannya lagi. Tidak semua wanita bisa bertahan dengan penghianatan.
"Kakek, Ayah, Ibu, saya mau minta cerai sama Mas Adi," ucapku yang membuat mereka menunjukkan reaksi berbeda tapi sama maknanya.
Kakek membelalak seperti orang yang dipatuk ular karena kedua kakinya itu bergerak. Ayah terperanjat sampai meninggalkan alas duduknya lalu menatapku dan putranya bergantian. Sementara ibu mertuaku … sulit untuk menjelaskannya, antara senang atau pura-pura pilu. Satu-satunya yang tak berekspresi hanya Mas Adi. Pria itu bergeming.
"Nak, Risa … perceraian itu bukan hal main-main," kata kakek dengan telunjuk mengarah tepat ke wajahku.
"Begitu juga dengan perselingkuhan," balasku dengan turut membalas tatapan kakek.
Kini wajahnya lebih syok dibanding saat kuungkapkan niatku bercerai dengan cucunya. Bibirnya berkatup rapat dan bergetar. Sepertinya tersinggung dengan ucapanku. Jika tidak, sudah pasti dia takut kalau aku sampai tahu permainannya selama ini.
Dua hari lalu saat ibu mertuaku menghubungi kakek, aku mendengar pembicaraan mereka. Aku juga tahu kalau selama ini mereka diam-diam menjalin hubungan di belakang ayah mertuaku. Rasanya tak layak mendengar petuah darinya.
Aku muak dengan semua ucapan manis dan nasihat bijaknya selama ini. Luntur sudah kesegananku padanya. Apa tidak ada orang lain selain menantunya sendiri?
"Perselingkuhan?" Pertanyaan ayah menyadarkanku.
Sejenak keningku berkerut. Benakku bertanya-tanya, bukankah kemarin ibu mertua sudah menyampaikan pada ayah tentang Devi? Apa mungkin ayah tidak percaya putranya selingkuh?
"Aditya tidak mungkin berselingkuh, Nak. Ayah tidak pernah mengajarinya seperti itu," ucapnya dengan suara bergetar.
Itu mungkin benar, karena selama ini suamiku memakai topeng. Putra kebanggaan dan cucu kesayangan kalian, kenyataannya membawa aib besar ke dalam keluarga yang terhormat ini. Jika aku tidak peduli, mungkin sudah kuumbar pada seisi desa agar mereka memihakku. Namun aku masih waras, bukan seperti itu caranya membalas.
Aku ingin harga yang pantas atas rasa sakit ini. Bukan dengan uang, melainkan dengan melunturkan keserakahan dan kesombongan mereka. Sejauh ini aku hanya menahan diri demi Tuan Hendrawan Santoso.
Kembali aku menoleh padanya yang menatapku sendu lalu kulirik Mas Adi yang tertunduk. Mungkin ia juga lelah untuk selalu menyembunyikan hal ini. Apalagi kekasihnya yang tengah hamil itu selalu menerornya.
"Risa."
"Maaf Ayah, sudah kupikirkan matang-matang keputusan ini. Mas Adi selingkuh dengan wanita bernama Devi. Wanita itu hamil anak Mas Adi dan dia … dia datang menemuiku untuk dijadikan madu. Mereka sudah menjalin hubungan sejak lama, putramu menghianatiku. Lantas, untuk apa kupertahankan pria yang tidak … menghargaiku? Dia menusukku dari belakang dengan berzina! Dia mengumbar hal-hal burukku di matanya, kepada selingkuhannya. Dia hina wanita yang dijadikannya istri," jawabku tanpa takut. Untuk apa? Sebentar lagi fakta akan terkuak.
"Risa, bukankah kita sudah sepakat un-"
"Sepakat? Kapan? Hanya kamu yang ingin, aku tidak! Sampai kapan pun aku tidak sudi dimadu. Ceraikan aku dan kamu bisa menikah dengan selingkuhanmu itu, Mas. Bukankah kamu sendiri yang mengatakan padanya kalau … anak yang kukandung bukan anakmu?" Mas Adi gelagapan.
Plak!!!
Kali ini bukan pipiku yang menerima telapak tangan itu, melainkan Mas Adi. Semoga saja dia sadar jika kena tampar itu rasanya sakit. Bukan hanya di pipi, tapi sampai ke hati. Dia baru saja menerima tamparan dari ayah yang selalu memanjakannya.
"Benar yang dikatakan menantuku, Adi? Jawab ayah!" bentaknya.
Sejak mengenalnya, ini pertama kali aku melihat ayah mertuaku marah. Jika Mas Adi adalah pria yang gila akan gaya dan penampilan, lain halnya kedua pria itu. Ayah adalah pria yang sangat menjaga kehormatan keluarganya yang terpandang. Apalagi sebentar lagi ia hendak mencalonkan diri sebagai kepala desa agar beberapa tahun berikutnya, dia bisa mencalonkan diri sebagai anggota dewan. Lain halnya kakek yang gila citra, suka memamerkan kekayaannya sebagai juragan sapi terkaya di kabupaten ini.
Mas Adi masih diam, namun perlahan dagunya bergerak. Ia berlutut memeluk kaki ayahnya memohon pengampunan. Sekalipun nanti ia mengaku khilaf dan memberikan segudang alasan, aku takkan goyah untuk berpisah darinya.
Mas Adi menatapku, tapi aku buang muka. Guci mahal ibu mertua saat ini lebih menarik bagiku. Sengaja kulakukan agar dia sadar jika dia tidak bisa memaksa apalagi mengaturku lagi.
Hilang sudah rasa hormatku padanya sejak ia mengingkari anak dalam kandunganku. Dia yang selingkuh, tapi aku yang dituduh. Suatu saat dia akan menjadi manusia amat menyesali tutur katanya.
"Risa, kumohon …." Mas Adi bergumam lirih.
"Kalau Mas tidak menceraikanku, akan kubongkar aib ini agar kamu dan kekasih gelapmu itu diarak keliling dan dirajam. Kamu mau?" Dia membelalak. Begitu ketiga orang lainnya yang kembali terkejut akan ucapanku.
"Mereka tidak akan percaya," sanggah kakek yang masih saja membela cucu kesayangannya itu.
Kupejamkan mata sesaat dan mengambil secarik kertas dari sakuku. Kuletakkan kertas putih berlogo rumah sakit itu di atas meja. Ayah mertua yang lebih dulu meraih dan membacanya. Tangannya bergetar meremas tepinya hingga kertas itu terlepas dan jatuh mengenai Mas Adi.
"Kita sudah hancur karena ulah cucu kesayanganmu ini, Ayah." Tuan Santoso mendongak menatap putranya yang menghela pasrah.
Hendrawan Santoso memejamkan mata dan kedua tangannya mengepal kuat. Mungkin menahan diri tidak menghajar putranya sendiri. Ayah mertua sudah geram dan jika saja Mas Adi menyela, mungkin kali ini dagunya akan dicengkram. Persis seperti yang dilakukannya padaku sore itu.
Juragan sapi itu kini beralih menatap cucunya, Aditya Herdiano Santoso. Tangannya terulur meminta kertas yang sudah ronyok itu. Setelah membacanya, pria tua itu menatapku heran sekaligus bingung. Kutarik tisu basah dari dalam tas dan kuhapus riasan wajahku.
"Ini bekas tamparan di pipiku tiga hari yang lalu, Kakek. Cucu Kakek memintaku memakai bedak yang tebal agar menyamarkan bekas tangannya. Tadinya kupikir dia akan meminta maaf, tapi dia justru menggerutu dan mengatakan aku lelet. Seandainya saja dia yang hamil dan membawa bayi dalam perutnya ke mana-mana, kuyakin tidak akan ada satu hari pun kalian bisa merasa tenang." Kuhapus air mata yang tiba-tiba saja jatuh.
Kulihat ibu mertuaku mengepalkan tangannya. Sepertinya tidak terima karena aib putranya kubongkar. Ya ampun, bagaimana jika aibnya yang kuumbar di depan suami dan anaknya?
***
Pagi ini aku kelabakan di lobi gedung fakultas seperti orang bodoh. Pagi cerah ini sama sekali tidak bersahabat dengan suasana hatiku. Bisa-bisanya aku berangkat tanpa membawa laptop milikku. Semakin resah karena Tita tidak menjawab telponku.Selang beberapa menit, lobi kembali dipadati beberapa orang. Suara ketukan alas kaki mereka ada yang seirama dan ada pula yang seperti beradu. Menit berganti, lobi kembali kosong menyisakan diriku yang duduk pasrah kebingungan.Kedua kelopak matanya terpejam perlahan. Tanpa sadar aku menggigit bibirku. Kala rasa sakitnya terasa, barulah aku merutuki diriku lagi.Sekujur tubuhku membeku kala mataku menangkap siluet seseorang. Dari pintu lobi kulihat dosen mata kuliahku untuk jam berikutnya sudah tiba.Langkahnya pelan, namun dari alas sepatunya memperdengarkan serangkaian suara lirih ketukan tak beraturan. Aku kembali menggigit bibirku mengingat betapa menakutkannya dosen wanita itu. Dia benci keterlambatan, apalagi jika tidak mengumpulkan tugas a
Kualihkan pandangan keluar menembus kaca jendela mobil. Biar saja keduanya mengira aku marah. Ya, aku memang merasa dongkol, sehingga kupilih mendiamkan mereka.“Nda usah pusing, Ayah. Om Kemal bilang, pelempuan memang suka malah. Palingan tunggu dibujuk-bujuk. Disogok coklat atau eskelim. Kalau masih nda senyum, ajak saja jalan-jalan atau belanja,” tutur Agam yang kembali membuatku menoleh dan melotot pada putraku.Awas saja si Kemal. Bisa-bisanya ia mengajari putraku seperti itu. Tak pelak tawa Riswan berderai. Lirikan matanya padaku seakan mengejekku.“Saat acara ultah itu, Agam juga diminta Safwan sekalian pilih hadiahnya. Agam pilih kotak kado. Safwan bilang, benda apa yang paling Agam inginkan? Terus Agam jawab apa waktu itu?” ucap Riswan menoleh setelah melajukan mobilnya beberapa meter dan kembali berhenti.Agam cekikikan sambil menutup kedua mulutnya. Kemudian putraku membuka buku sekolahnya. Ia mendekat dan menunjukkan gambar hewan yang sedang makan rumput.“Sapi?” gumamku m
Riswan kembali berbisik, “Saya yang membawa puding itu, jadi masalah ini harus saya selesaikan juga. Pilih saja daripada dia bikin kamu pusing.”Aku tidak mengerti isi kepala dua pria ini. Memberi orang hadiah dengan cara memaksa. Daripada berlarut-larut, kupilih kartu bergambar pensil saja.“Kenapa Anda tidak bertanya dulu makna kartunya, Nona Carisa? Kenapa tidak memilih kartu berlian atau mobil? Kalau mau ditukar juga boleh,” tawar pria itu lagi.“Anda bisa memberikan saya pena sebagai ucapan terima kasih. Itu sudah lebih dari cukup,” balasku.Pria bernama Zayyan itu tidak membalasku. Ia justru beralih menatap Rizwan. “Kak Riswan pakai jampi-jampi apa sampai bisa dapat Ibunya Agam?” tanyanya.“Doa siang malam,” jawab Riswan dan kedua pria itu kembali tertawa.“Maaf, Nona Carisa. Hadiah dari saya tidak bisa ditolak. Kak Riswan akan membantu mengurusnya di Pradipta Foundation.” Lagi-lagi aku dibuat bingung.“Maaf, tapi maksudnya apa?” tanyaku bingung.Belum sempat pria itu menjelaska
Kuakui dia pria yang karismatik. Dia tegas dan tidak suka berbelit-belit. Apa yang dilakukan dan diucapkannya bagaikan pemantik semangat.Dalam sekejap dia mencuri perhatian. Begitu mudah tutur katanya menyapa rungu. Semua orang menyimak. Mereka benar-benar menyimak, bukan hanya sekedar berlagak mendengarkan omongannya.Kuakui, aku pun seakan tersihir dengan kepiawaiannya dalam berkomunikasi. Bahasa tubuhnya tak berlebihan. Isyarat matanya tegas, tapi juga lembut menyiratkan perintah.Kali ini kulihat dia tak berucap pada seseorang yang berdiri di sampingnya. Hanya dua jari yang diacungkan. Perlahan segaris senyum, terlukis di wajah rupawannya seolah menebus ungkapan terima kasihnya.Terkenang olehku saat pertama kali bertemu dengannya di bagian pusat informasi bandara. Dia memijat keningnya lalu melirik jam tangannya. Setelah duduk tak jauh dari tempatku duduk, dia sibuk dengan ponselnya. Setiap beberapa saat, ia kembali menoleh ke jam tangannya lalu menoleh menatap Agam. Seulas seny
Hari sudah malam, tapi pria ini belum juga beranjak. Ia masih menikati memeluk Agam yang sudah pulas. Seharian ini putraku sudah banyak beraktivitas. Wajar jika Agam kelelahan dan kini merajut alam mimpi.Puas menemani Agam mencoba berbagai wahana. Jajanan di taman bermain ini pun tak mampu lewatkan.Dari interaksi dua pria berbeda generasi itu, aku pun bisa sedikit menerka. Obrolan mereka di telpon sebelumnya, salah satunya adalah membahas jalan-jalan ke taman bermain ini.Kalau aku sendirian yang membawa Agam ke sini, kuakui tidak akan sanggup. Dia itu hiperaktif dan jelas aku akan kewalahan. Hal baru yang dilihatnya, pasti ingin dicoba.Naik komedi putar saja aku takut, apalagi bianglala. Namun, kehadiran pria ini seakan memberikan jaminan rasa aman.Entah aku yang bodoh, atau memang dia yang pandai mengubah pikiran orang lain. Harus kuakui, kemampuannya berkomunikasi sangat handal. Kata-katanya penuh sugesti untuk membuat orang lain percaya dengan akal sehatnya.“Apa saya boleh be
Aku kira, hanya Agam yang merindukan Riswan. Namun, waktu beranjak dan malah membuatku bertanya-tanya. Ada apa denganku?Mengapa wajah dan suara pria itu sesekali hadir? Mengapa aku merasa penasaran dengan apa yang sedang dilakukannya? Ini lucu bukan?Tak memiliki siapapun berbagi masalah hati. Tadinya aku ingin bercerita pada Tita. Namun, kuurungkan mengingat dia pasti akan meledekku tanpa henti.Aku terjebak dalam labirin tentangnya. Ketidakhadirannya beberapa waktu ini mengundang hadirnya kenangan. Tanpa kusadari, saat-saat bersamanya menyimpan kesan khusus di hati.Kucoba membuka sosial media. Barangkali ada hal yang bisa kulihat tanpa sengaja. Tak sengaja tapi niat banget. Aku memang aneh.Aneh karena aku seperti menyusuri lorong panjang. Aku menanti bersama bayang-bayang. Rasanya ada berat menindih dada.Agam sudah pulas. Tita mengajaknya ke mall dan bermain hingga puas. Gadis itu juga sedang memberikan dirinya reward untuk bulan ini karena jualan produknya mencapai target.“Aya