Saat Arkana tertidur lelap, Gavya duduk di tepi ranjang, matanya terus menatap tas hitam di kursi. Dengan napas tertahan, ia bangkit dan mendekat.
Perlahan, ia membuka bagian atas tas yang sedikit terbuka. Di antara dompet dan ponsel, matanya menangkap sebuah kotak kecil, lalu di saku depan sebotol parfum wanita. Bentuknya ramping, elegan, dan asing. Itu bukan miliknya dan jelas bukan milik Arkana. Tapi, aroma ini mirip seperti yang Gavya cium saat malam pertama pernikahan mereka waktu itu. Hati Gavya mencelos. “Jadi benar dugaanku? Dia pergi ke wanita lain semalam?” batinnya. Belum sempat menarik napas, matanya menangkap sesuatu di dasar tas, ada bungkus pengaman belum terbuka. Tangannya melemas. Air mata mulai menggenang. Ia cepat menutup tas itu dan kembali duduk di tepi ranjang, menunduk, dan menggigit bibir agar tak menangis keras. Keesokan paginya, Arkana terbangun dan langsung menatap tas hitamnya. Ia mendekat, membuka tas, dan langsung tahu beberapa barang berpindah posisi. Wajahnya menegang. Ia menghampiri Gavya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tanpa bicara, Arkana menarik lengan Gavya yang masih berbalut bathrobe lalu menyeret dan menghempaskannya ke atas ranjang. “Kamu buka tas aku?” tanya Arkana, suaranya pelan tapi mengandung bara. Gavya terkejut. Ia langsung membenarkan bathrobe nya yang sedikit terbuka dan mendudukkan tubuh tak berdaya itu dengan susah payah, Gavya menatap wajah Arkana yang begitu dekat, dengan rahang mengeras dan mata yang menyala. “Aku cuma bantu rapihin,” jawabnya mencoba tenang. “Jangan ngarang!” Arkana membentak, menahan diri agar tidak terlalu keras karena tahu orang tuanya masih di bawah. “Aku enggak ngapa-ngapain. Aku cuma lihat tasnya terbuka sedikit, terus aku—” Arkana mencengkeram lengan Gavya lebih erat. “Kamu pikir kamu siapa sampai berani buka barang-barang aku, hah?!” Gavya menahan napas. “Aku istrimu, Mas.” “Dan itu bukan alasan buat nyentuh hidup aku seenaknya! Kamu enggak punya hak buat tahu isi tas aku, apalagi sampai buka-buka!” Bentaknya. Gavya menunduk, menahan air mata. “Aku cuma pengen jadi istri yang baik.” “Dengan jadi mata-mata?” Arkana tertawa sinis. “Kamu pikir aku sebodoh itu enggak tahu niatmu? Kamu manis di luar, tapi diam-diam mulai cari tahu semuanya tentang aku? Kamu mau apa Gavya? Mau bongkar aibku?” Gavya menatap Arkana, pelan-pelan mulai menangis. “Kamu Suamiku Mas, dan aku juga berhak tahu apapun hal tentang suamiku, aku cuma pengen kamu terbuka sama aku. Aku juga butuh peran mu sebagai suami.” Plak! Satu tamparan mendarat di pipi Gavya. Udara seketika hening. Gavya membeku, napasnya tertahan. Bukan hanya pipinya yang sakit hatinya pun ikut remuk. Arkana menatap Gavya dingin, lalu berkata, “Jangan pernah lawan aku, Gavya. Kamu memang istriku, tapi itu cuma status di atas kertas. Jangan berharap lebih, ingat itu!” Mata Gavya perlahan basah. Ia menoleh dengan tatapan terluka. “Kamu bukan laki-laki, Arkana. Kamu pengecut yang takut menghadapi kenyataan kalau kamu sebenarnya yang penuh luka.” Arkana mendekat, tapi Gavya refleks menangkis tangan Suaminya yang hendak kembali melayang. “Kalau kamu mau pukul aku lagi, silakan! Tapi aku enggak bakal diam aja mulai sekarang.” Tatapan keduanya terkunci dengan napas yang memburu, Arkana memilih menghempaskan tangannya dan meninggalkan Gavya tanpa mengatakan apapun lagi. Sudah dua hari berlalu sejak pertengkaran itu. Sejak tamparan dari Suaminya, dan sejak kepergian pria itu yang tak meninggalkan sepatah kata pun. Gavya duduk diam di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang sepi tanpa notifikasi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Tidak ada kabar, bahkan tidak ada tanda bahwa lelaki itu akan kembali. Pagi itu, Gavya turun lebih awal untuk membantu mertuanya memasak dan menyiapkan sarapan. Gavya memberanikan diri bertanya pada Bu Lia. “Bu, Arkana ke mana, ya?” suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Bu Lia hanya tersenyum tipis, menyeduh teh tanpa menoleh. “Mungkin sibuk kerja, Gavya. Anak itu sama kayak Ayahnya, kalau sudah urusan pekerjaan, dunia bisa dia lupakan.” Gavya menelan ludah, berusaha tersenyum. Tapi dadanya terasa makin sesak. Ia tahu, ini lebih dari sekadar sibuk. Setelah sarapan hening bersama mertua dan adik iparnya yang masih duduk di bangku SMA, Gavya duduk lama di meja makan, menatap cangkir tehnya yang sudah dingin. Rumah ini terlalu luas, terlalu sepi. Tak ada suara langkah kecil, tak ada tawa anak-anak yang biasa mengisi paginya. Dulu, ia adalah guru TK. Setiap pagi disambut pelukan kecil, senyum polos, dan celoteh tanpa henti. Ia biasa mengepang rambut siswinya, membacakan dongeng sambil tersenyum, dan bernyanyi bersama anak-anak yang memanggilnya Bu Guru dengan mata berbinar. Tapi kini, dunianya terasa kosong. *** Satu minggu telah berlalu sejak Arkana terakhir kali terlihat. Rumah itu berubah menjadi ruang hampa. Tak ada pesan, tak ada telepon. Seolah pria itu benar-benar menghilang bagai di telan Bumi. Bu Lia pun hanya bisa berkata, “Mungkin Arkana sedang sibuk,” namun nada suaranya tak seyakin biasanya. Pak Wijaya pun lebih sering pulang larut dan terlihat semakin penat, membuat Gavya tak punya keberanian bertanya lebih jauh. Malam itu, langit mendung, hujan turun perlahan seakan membawa firasat buruk. Gavya sudah berbaring, tapi gelisah menyelimuti dadanya. Pukul setengah dua dini hari, telepon rumah berdering nyaring. Gavya terduduk kaget, mendengar suara langkah Pak Wijaya yang segera mengangkatnya. Tak lama, pintu kamarnya dibuka. Bu Lia masuk dengan wajah pucat dan wajah yang penuh dengan air mata. “Bu?” Gavya bersuara pelan. Bu Lia duduk di tepi ranjang, menarik napas berat. “Nak, kamu yang sabar ya?” Kening Gavya berkerut, tak mengerti dengan maksud Bu Lia. “Memangnya kenapa Bu?” tanyanya penasaran. “Barusan ada kabar dari kantor cabang—“ Jantung Gavya seakan berhenti berdetak. Netranya menatap Bu Lia penuh dengan rasa penasaran. “Arkana mengalami kecelakaan mobil di luar pulau,” Bu Lia menarik napas panjang, suaranya mulai parau. “Mobilnya keluar dari jalur dan terguling ke jurang. Dia meninggal di tempat.” Gavya terpaku. Tubuhnya membeku, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Namun belum selesai, Bu Lia menambahkan, “Dan dia tidak sendirian.” Pandangannya menurun ke lantai. “Di dalam mobil juga ditemukan seorang wanita yang belum teridentifikasi. Mereka bilang bukan pegawai kantor, bukan pula penduduk setempat.” Seolah ditampar berkali-kali, Gavya merasa kepalanya berputar. Hatinya mencelos. Bukan hanya tentang kematian Arkana. Tapi misteri yang ia bawa saat pergi misteri yang kini terkubur bersama tubuhnya. Bu Lia hanya bisa memeluk menantunya yang kini mulai terisak, menggigit bibirnya untuk menahan suara tangis. Duka dan hancur bercampur jadi satu, tak sempat menyelesaikan luka lama, kini Gavya harus menerima kepergian suaminya dengan cara yang paling menyakitkan bersama wanita lain, dalam misteri yang bahkan tak memberinya kesempatan untuk marah ataupun bertanya. Lantas, siapa wanita itu? Mengapa Arkana bisa bersamanya?Sudah sebulan berlalu, sejak pertemuan Gavya dan Zeen di toko buku mereka tak lagi bertemu bahkan berinteraksi di sosial media. Suasana kota terpencil tempat Gavya tinggal tetap tenang, namun tidak memberi kemudahan bagi siapa pun yang mencari pekerjaan. Jalanan yang sepi, toko-toko kecil yang tutup lebih awal, dan peluang kerja yang terbatas membuat hari-hari Gavya terasa berat.Ia duduk di meja kecil ruang tamunya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan hasil positif. Setiap lamaran kerja yang ia kirim hanya berakhir dengan jawaban singkat atau bahkan tanpa balasan sama sekali. Ia menunduk, menatap sisa tabungan yang mulai menipis di rekening. Hatinya berdesir khawatir.“Kalau aku terus begini, berapa lama aku bisa bertahan?” gumamnya pelan. Ia menutup layar ponsel, lalu menatap langit senja dari jendela, melihat cahaya oranye yang lembut tapi tak menenangkan sepenuhnya.Gavya tahu, ia harus berpikir lebih kreatif. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga agar bisa men
Setelah beberapa saat, suasana kafe mulai sepi. Gavya meneguk kopi terakhirnya, matanya masih menatap Zeen yang tampak tak tennag setelah insiden ponsel tadi. “Aku, sebaiknya pulang dulu,” ucap Gavya pelan. Zeen menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya meski masih ada ketegangan di mata. “Aku antar, aku takut pencuri itu akan datang lagi untuk mengganggu,” katanya. Sampai detik ini, Gavya tidak pernah melihat Zeen membawa kendaraan. Dia hanya berjalan kaki dan berpenampilan sederhana layaknya orang biasa. Tidak ada yang mencolok kecuali wajah tampannya dan tubuhnya yang wangi dan bersih. Mereka berjalan melewati jalanan sepi, sesekali langkah kaki mereka bergema di trotoar basah. Gavya melirik ke arah Zeen. “Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan ku,” ucapnya pelan. Zeen menoleh sebentar, menatapnya tanpa banyak kata, lalu mengangguk. "Yang terpenting kamu aman.” Sampai di depan gang rumah Gavya, mereka berhenti. “Sampai di sini saja,” katanya. Zeen menganggu
Hujan deras baru saja turun di kota kecil tempat Gavya kini tempati. Jalanan penuh dengan genangan air dan orang-orang yang tadinya terlihat sepi karena berteduh, kini mulai keluar untuk melanjutkan kegiatan masing-masing.Langkah Gavya sedikit tergesa ketika ia menyeberangi jalur sempit di dekat taman kota. Tujuannya kini adalah menuju mini market terdekat. Beberapa cemilan dan bahan pokok hampir habis. Kakinya melangkah pelan tapi jarinya bergerak cepat, membalas chat dari ibunya yang baru saja menanyakan kabar. Ia begitu tenggelam dalam layar, sampai tidak menyadari seseorang mendekat dengan langkah ringan.Sekejap kemudian, genggaman di tangannya kosong. Ponselnya dirampas begitu saja.“Eh!” serunya refleks.Tanpa pikir panjang, Gavya berlari mengejar. Adrenalinnya meledak, langkahnya menabrak dedaunan basah yang berserakan. Matanya hanya terfokus pada punggung pria yang berlari membawa ponselnya. Nafasnya terengah, tapi ia tidak menyerah.“Berhenti! Pencuri!” teriaknya, meski ia
Suara roda koper kecil menyeret di jalan berbatu menemani langkah Gavya. Rumah peninggalan neneknya berdiri sederhana di ujung gang, dindingnya kusam tapi taman kecilnya masih dipenuhi bunga liar.Pak Wisnu menurunkan koper ke teras, sementara Bu Mina merapikan anak rambut di pelipis Gavya. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan khawatir, rumah bibimu tidak jauh dari sini. Kalau butuh apa-apa, datang saja padanya.”Pak Wisnu menambahkan dengan suara lembut, “Rumah ini sudah kami perbaiki dan bersihkan. Jadi kamu tidak usah capek-capek membenahi banyak hal. Beberapa barang keperluan juga sudah kami siapkan di dalam, jadi tinggal dipakai saja.”Gavya menunduk, menahan haru, lalu berbisik, “Terima kasih, Ayah, Ibu.”Setelah memastikan semuanya, kedua orang tuanya pamit. Gavya berdiri di depan pintu, melihat mobil mereka menjauh, lalu masuk ke rumah barunya, tempat ia harus belajar menata hidup lagi.Sore itu hujan rintik turun. Lemari dapur kosong membuat Gavya akhirnya keluar mencari tempa
Setelah berhari-hari di rumah mertuanya, Gavya akhirnya pulang. Mobil berhenti di depan pagar putih rumah masa kecilnya, dan ia turun dengan satu koper kecil. Begitu pintu terbuka, Bu Mina langsung merengkuhnya, membuat tangis yang ia tahan berhari-hari pecah seketika.“Kamu nggak sendirian. Ada Ibu di sini,” ucap Bu Mina, mengusap punggung Gavya dengan sabar.Malam di rumah sederhana itu kembali terisi tiga jiwa, tapi Gavya merasa asing. Kamar masa kecilnya yang dulu penuh tawa kini terasa sempit dan dingin. Setiap kali mencoba tidur, bisik-bisik dari rumah mertuanya kembali terngiang, dan kini bahkan sampai ke telinga tetangga.Hari-hari ia jalani dengan mengurung diri, hanya sesekali keluar membantu ibunya. Namun bahkan saat menyapu halaman, telinganya menangkap suara samar dari luar pagar tawa atau bisikan yang seolah ditujukan untuknya. Setiap kata, meski tak jelas, terasa menusuk lebih dalam daripada seribu pisau.Ketukan lembut terdengar di pintu. “Gavya, boleh Ibu masuk?” suar
Saat Arkana tertidur lelap, Gavya duduk di tepi ranjang, matanya terus menatap tas hitam di kursi. Dengan napas tertahan, ia bangkit dan mendekat.Perlahan, ia membuka bagian atas tas yang sedikit terbuka. Di antara dompet dan ponsel, matanya menangkap sebuah kotak kecil, lalu di saku depan sebotol parfum wanita. Bentuknya ramping, elegan, dan asing. Itu bukan miliknya dan jelas bukan milik Arkana. Tapi, aroma ini mirip seperti yang Gavya cium saat malam pertama pernikahan mereka waktu itu.Hati Gavya mencelos. “Jadi benar dugaanku? Dia pergi ke wanita lain semalam?” batinnya.Belum sempat menarik napas, matanya menangkap sesuatu di dasar tas, ada bungkus pengaman belum terbuka. Tangannya melemas. Air mata mulai menggenang. Ia cepat menutup tas itu dan kembali duduk di tepi ranjang, menunduk, dan menggigit bibir agar tak menangis keras.Keesokan paginya, Arkana terbangun dan langsung menatap tas hitamnya. Ia mendekat, membuka tas, dan langsung tahu beberapa barang berpindah posisi.Wa