Home / Rumah Tangga / Janda Tanpa Malam Pertama / 03. Duka dan Wanita Misterius

Share

03. Duka dan Wanita Misterius

Author: Nongnanna
last update Last Updated: 2025-09-16 20:53:29

Saat Arkana tertidur lelap, Gavya duduk di tepi ranjang, matanya terus menatap tas hitam di kursi. Dengan napas tertahan, ia bangkit dan mendekat.

Perlahan, ia membuka bagian atas tas yang sedikit terbuka. Di antara dompet dan ponsel, matanya menangkap sebuah kotak kecil, lalu di saku depan sebotol parfum wanita. Bentuknya ramping, elegan, dan asing. Itu bukan miliknya dan jelas bukan milik Arkana. Tapi, aroma ini mirip seperti yang Gavya cium saat malam pertama pernikahan mereka waktu itu.

Hati Gavya mencelos. “Jadi benar dugaanku? Dia pergi ke wanita lain semalam?” batinnya.

Belum sempat menarik napas, matanya menangkap sesuatu di dasar tas, ada bungkus pengaman belum terbuka. Tangannya melemas. Air mata mulai menggenang. Ia cepat menutup tas itu dan kembali duduk di tepi ranjang, menunduk, dan menggigit bibir agar tak menangis keras.

Keesokan paginya, Arkana terbangun dan langsung menatap tas hitamnya. Ia mendekat, membuka tas, dan langsung tahu beberapa barang berpindah posisi.

Wajahnya menegang. Ia menghampiri Gavya yang baru saja keluar dari kamar mandi. Tanpa bicara, Arkana menarik lengan Gavya yang masih berbalut bathrobe lalu menyeret dan menghempaskannya ke atas ranjang.

“Kamu buka tas aku?” tanya Arkana, suaranya pelan tapi mengandung bara.

Gavya terkejut. Ia langsung membenarkan bathrobe nya yang sedikit terbuka dan mendudukkan tubuh tak berdaya itu dengan susah payah, Gavya menatap wajah Arkana yang begitu dekat, dengan rahang mengeras dan mata yang menyala. “Aku cuma bantu rapihin,” jawabnya mencoba tenang.

“Jangan ngarang!” Arkana membentak, menahan diri agar tidak terlalu keras karena tahu orang tuanya masih di bawah.

“Aku enggak ngapa-ngapain. Aku cuma lihat tasnya terbuka sedikit, terus aku—”

Arkana mencengkeram lengan Gavya lebih erat. “Kamu pikir kamu siapa sampai berani buka barang-barang aku, hah?!”

Gavya menahan napas. “Aku istrimu, Mas.”

“Dan itu bukan alasan buat nyentuh hidup aku seenaknya! Kamu enggak punya hak buat tahu isi tas aku, apalagi sampai buka-buka!” Bentaknya.

Gavya menunduk, menahan air mata. “Aku cuma pengen jadi istri yang baik.”

“Dengan jadi mata-mata?” Arkana tertawa sinis. “Kamu pikir aku sebodoh itu enggak tahu niatmu? Kamu manis di luar, tapi diam-diam mulai cari tahu semuanya tentang aku? Kamu mau apa Gavya? Mau bongkar aibku?”

Gavya menatap Arkana, pelan-pelan mulai menangis. “Kamu Suamiku Mas, dan aku juga berhak tahu apapun hal tentang suamiku, aku cuma pengen kamu terbuka sama aku. Aku juga butuh peran mu sebagai suami.”

Plak!

Satu tamparan mendarat di pipi Gavya. Udara seketika hening. Gavya membeku, napasnya tertahan. Bukan hanya pipinya yang sakit hatinya pun ikut remuk.

Arkana menatap Gavya dingin, lalu berkata, “Jangan pernah lawan aku, Gavya. Kamu memang istriku, tapi itu cuma status di atas kertas. Jangan berharap lebih, ingat itu!”

Mata Gavya perlahan basah. Ia menoleh dengan tatapan terluka. “Kamu bukan laki-laki, Arkana. Kamu pengecut yang takut menghadapi kenyataan kalau kamu sebenarnya yang penuh luka.”

Arkana mendekat, tapi Gavya refleks menangkis tangan Suaminya yang hendak kembali melayang. “Kalau kamu mau pukul aku lagi, silakan! Tapi aku enggak bakal diam aja mulai sekarang.”

Tatapan keduanya terkunci dengan napas yang memburu, Arkana memilih menghempaskan tangannya dan meninggalkan Gavya tanpa mengatakan apapun lagi.

 

Sudah dua hari berlalu sejak pertengkaran itu. Sejak tamparan dari Suaminya, dan sejak kepergian pria itu yang tak meninggalkan sepatah kata pun.

Gavya duduk diam di tepi ranjang, menatap layar ponselnya yang sepi tanpa notifikasi. Tidak ada pesan. Tidak ada telepon. Tidak ada kabar, bahkan tidak ada tanda bahwa lelaki itu akan kembali.

Pagi itu, Gavya turun lebih awal untuk membantu mertuanya memasak dan menyiapkan sarapan. Gavya memberanikan diri bertanya pada Bu Lia.

“Bu, Arkana ke mana, ya?” suaranya pelan, nyaris tak terdengar.

Bu Lia hanya tersenyum tipis, menyeduh teh tanpa menoleh. “Mungkin sibuk kerja, Gavya. Anak itu sama kayak Ayahnya, kalau sudah urusan pekerjaan, dunia bisa dia lupakan.”

Gavya menelan ludah, berusaha tersenyum. Tapi dadanya terasa makin sesak. Ia tahu, ini lebih dari sekadar sibuk.

Setelah sarapan hening bersama mertua dan adik iparnya yang masih duduk di bangku SMA, Gavya duduk lama di meja makan, menatap cangkir tehnya yang sudah dingin. Rumah ini terlalu luas, terlalu sepi. Tak ada suara langkah kecil, tak ada tawa anak-anak yang biasa mengisi paginya.

Dulu, ia adalah guru TK. Setiap pagi disambut pelukan kecil, senyum polos, dan celoteh tanpa henti. Ia biasa mengepang rambut siswinya, membacakan dongeng sambil tersenyum, dan bernyanyi bersama anak-anak yang memanggilnya Bu Guru dengan mata berbinar. Tapi kini, dunianya terasa kosong.

***

Satu minggu telah berlalu sejak Arkana terakhir kali terlihat. Rumah itu berubah menjadi ruang hampa. Tak ada pesan, tak ada telepon. Seolah pria itu benar-benar menghilang bagai di telan Bumi. Bu Lia pun hanya bisa berkata, “Mungkin Arkana sedang sibuk,” namun nada suaranya tak seyakin biasanya. Pak Wijaya pun lebih sering pulang larut dan terlihat semakin penat, membuat Gavya tak punya keberanian bertanya lebih jauh.

Malam itu, langit mendung, hujan turun perlahan seakan membawa firasat buruk. Gavya sudah berbaring, tapi gelisah menyelimuti dadanya. Pukul setengah dua dini hari, telepon rumah berdering nyaring. Gavya terduduk kaget, mendengar suara langkah Pak Wijaya yang segera mengangkatnya.

Tak lama, pintu kamarnya dibuka. Bu Lia masuk dengan wajah pucat dan wajah yang penuh dengan air mata.

“Bu?” Gavya bersuara pelan.

Bu Lia duduk di tepi ranjang, menarik napas berat. “Nak, kamu yang sabar ya?”

Kening Gavya berkerut, tak mengerti dengan maksud Bu Lia. “Memangnya kenapa Bu?” tanyanya penasaran.

“Barusan ada kabar dari kantor cabang—“

Jantung Gavya seakan berhenti berdetak. Netranya menatap Bu Lia penuh dengan rasa penasaran.

“Arkana mengalami kecelakaan mobil di luar pulau,” Bu Lia menarik napas panjang, suaranya mulai parau. “Mobilnya keluar dari jalur dan terguling ke jurang. Dia meninggal di tempat.”

Gavya terpaku. Tubuhnya membeku, mulutnya terbuka, tapi tak ada suara yang keluar.

Namun belum selesai, Bu Lia menambahkan, “Dan dia tidak sendirian.” Pandangannya menurun ke lantai. “Di dalam mobil juga ditemukan seorang wanita yang belum teridentifikasi. Mereka bilang bukan pegawai kantor, bukan pula penduduk setempat.”

Seolah ditampar berkali-kali, Gavya merasa kepalanya berputar. Hatinya mencelos. Bukan hanya tentang kematian Arkana. Tapi misteri yang ia bawa saat pergi misteri yang kini terkubur bersama tubuhnya.

 

Bu Lia hanya bisa memeluk menantunya yang kini mulai terisak, menggigit bibirnya untuk menahan suara tangis. Duka dan hancur bercampur jadi satu, tak sempat menyelesaikan luka lama, kini Gavya harus menerima kepergian suaminya dengan cara yang paling menyakitkan bersama wanita lain, dalam misteri yang bahkan tak memberinya kesempatan untuk marah ataupun bertanya.

Lantas, siapa wanita itu? Mengapa Arkana bisa bersamanya?

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Janda Tanpa Malam Pertama    17. Mungkin Harus Berakhir

    Zeen melangkah masuk ke ruang forensik, jas hujan hitamnya masih meneteskan hujan. Suara tetes air dari atap terdengar seperti irama yang menekan jantungnya. Ia menunduk, tangannya mengepal di saku, napasnya berat. Di depannya, dokter forensik dan dua petugas polisi menunggu.“Pak Zeen,” kata seorang polisi dengan nada formal, namun menandakan empati. “Kami menghargai kedatangan Anda. Kami ingin memberi penjelasan sejelas mungkin.”Zeen menatap tajam, tapi tidak bisa menahan suara yang bergetar ketika berkata, “Aku perlu tahu, apakah benar hasil pemeriksaannya?”Dokter forensik mengangguk perlahan, menyesap napas panjang. “Ya. Hasil otopsi dan tes DNA menunjukkan bahwa korban tewas dalam keadaan mabuk dan dalam tubuh korban juga terdapat obat terlarang.”Tubuh Zeen serasa runtuh. Dunia di sekelilingnya mendadak hening, kecuali suara hujan yang masih menetes dari jendela. "Ta-tapi... Dia tidak pernah—"Polisi lain memotong dengan suara tegas, “Kami menemukan beberapa hal, Pak Zeen. Tu

  • Janda Tanpa Malam Pertama    16. Di Balik Bayanganmu

    Langit sore menurunkan gerimis tipis di depan Kafe Kenangan. Aroma kopi dan karamel bercampur dengan hawa basah dari udara yang menetes lewat ventilasi kecil di sudut jendela. Suara denting lonceng di pintu masuk terdengar hampir tanpa henti sejak pagi. Pelanggan datang dan pergi silih berganti, membawa tawa, percakapan, dan pujian yang seharusnya membuat Gavya bahagia jika saja hatinya tak sesunyi itu.Sudah hampir satu bulan sejak terakhir kali ia berbicara dengan Zeen. Kini mereka benar-benar tak lagi saling menyapa apalagi bertemu.Gavya menurunkan nampan berisi gelas-gelas kotor ke meja bar. Tangannya sedikit gemetar karena kelelahan. Ia hanya memiliki satu pelayan paruh waktu. Setiap hari kafe itu semakin ramai, dan ia tentu semakin kewalahan.“Kak, meja tujuh pesan dua cappuccino dan croissant!” seru Mela, salah satu pegawai remaja yang membantu menjadi pelayan pengantar minuman dan makanan sekaligus kasir. Sedangkan Gavya fokus di belakang karena ia belum sama sekali menurunka

  • Janda Tanpa Malam Pertama    15. Hujan yang Tertinggal

    Langit siang itu mendung. Hujan turun pelan-pelan, sedangkan kini Gavya yang duduk di ruang tengah, menatap pintu yang separuh terbuka, sambil menunggu air matanya berhenti. Ia tidak tahu kenapa masih memikirkan Zeen. Orang asing yang beberapa waktu lalu masuk ke dalam kehidupannya sudah terlalu banyak mengisi pikirannya.Padahal, ia berjanji pada dirinya sendiri, tidak akan berharap pada siapa pun lagi. Tapi janji itu seperti kertas basah di tengah hujan mudah robek dan mudah hancur.Ketika suara ketukan pelan terdengar dari depan, tubuh Gavya langsung menegang.Ia tak perlu menebak. Ia tahu siapa yang datang. Ia menatap ke arah pintu lama-lama, menimbang, lalu berdiri dengan langkah berat.Begitu pintu dibuka, benar saja sosok Zeen berdiri di sana, masih mengenakan mantel hitam, bahunya basah oleh rintik hujan yang belum reda.“Boleh aku masuk?” tanyanya pelan.Gavya tidak menjawab, hanya memberi jalan. Zeen melangkah masuk perlahan, menatap sekeliling seolah mencari kata yang tepat

  • Janda Tanpa Malam Pertama    14. Luka yang Belum Selesai

    Sore itu hujan turun deras di sertai badai, menutup langkah para pengunjung Kafe Kenangan lebih cepat dari biasanya. Gavya menutup pintu, lalu kembali ke dalam untuk merapikan kursi dan gelas. Zeen, seperti biasa, masih berada di sana, membantu tanpa diminta.“Biar aku saja yang angkat kursinya,” katanya sambil menggulung lengan bajunya.Gavya melirik kesal, walau hatinya geli. “Kau ini, Zeen. Aku sudah bilang, kau ini bukan karyawanku dan kau hanya tamu. Tidak perlu ikut-ikutan repot.”Zeen mengangkat bahu. “Kalau aku tidak membantu, kau pasti akan kecapekan.”Gavya menghela napas, memilih membiarkan. Hujan deras di luar membuat ruangan terasa sunyi, hanya ada suara deras air jatuh di atap dan detak jantungnya sendiri.Saat ia berjalan menuju dapur sambil membawa baki berisi gelas basah, kakinya terpeleset di lantai licin. Gavya hampir jatuh, tetapi dalam sepersekian detik sebuah tangan kuat menangkapnya.Tubuhnya mendarat di d*da Zeen.Mereka membeku. Nafas Gavya tercekat. Mata Zeen

  • Janda Tanpa Malam Pertama    13. Kehangatan mu

    "Karena hanya kamu yang bisa membuatku merasa hatiku menghangat lagi."Hampir dua hari Gavya menetap di apartemen milik Zeen. Pria itu benar-benar merawatnya meskipun terkadang ia sibuk pergi bekerja tapi orang-orang yang bekerja untuk pria itu juga terlalu ramah denganya.Malam itu, apartemen Zeen terasa sunyi. Gavya menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Kata-kata yang ingin ia ungkapkan terasa berat di lidah, seperti setiap hurufnya dipenuhi rasa takut dan keraguan.“Zeen,” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar. Zeen menoleh, fokus padanya. “Ada sesuatu yang harus aku ceritakan.”Zeen mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau tidak harus memaksakan diri,” ucapnya lembut. “Tapi aku akan mendengarkan, jika kau mau.”Gavya menunduk, jari-jarinya meremas selimut. “Aku takut kau akan menilai aku. Atau mungkin kau akan merasa berbeda setelah mendengar ini.”Zeen menggeleng pelan. “Tidak, Gavya. Tidak peduli apapun itu, aku tetap di sini.”Rasa hangat dan tenang it

  • Janda Tanpa Malam Pertama    12. Tersandung Bayangan Lama

    Tak seperti biasanya, hari ini Kafe Kenangan tampak sepi. Papan kecil bertuliskan “Tutup untuk sementara” menggantung di pintu kaca. Biasanya, setiap pagi, aroma kopi sudah tercium hingga jalanan depan, tapi kali ini hanya ada keheningan.Di dalam rumah sekaligus kafe itu, Gavya terbaring lemah di sofa. Demam membuat tubuhnya terasa berat. Ia memejamkan mata, berharap istirahat cukup bisa memulihkannya. Namun tubuhnya menolak bekerja sama.Suara ketukan terdengar dari luar. Perlahan pintu terbuka, dan sosok yang sudah akrab muncul, pria yang selalu ada untuknya.“Gavya?” suaranya terdengar khawatir. “Kau kenapa? Aku lihat kafe tutup, jadi aku coba datang ke rumah, aku khawatir.”Gavya berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku hanya kelelahan. Belum ada karyawan, semua kukerjakan sendiri. Mungkin tubuhku akhirnya menyerah.”Zeen segera menghampiri, meletakkan punggung tangannya di dahi Gavya. “Panas. Kau butuh istirahat yang benar, bukan sekadar tidur terbaring."“Aku baik-ba

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status