Inicio / Rumah Tangga / Janda Tanpa Malam Pertama / 02. Dia Tak Kunjung Kembali

Compartir

02. Dia Tak Kunjung Kembali

Autor: Nongnanna
last update Última actualización: 2025-09-16 20:51:11

Langit masih gelap, waktu menunjukkan pukul dua pagi. Gavya baru saja selesai Shalat tahajud, berusaha menenangkan hatinya yang masih terasa perih. Matanya sembab karena menangis hampir semalaman, memikirkan ke mana suaminya pergi di malam pertama mereka.

Ketika Gavya baru saja meletakkan mukenanya, suara pintu terbuka pelan. Gavya menoleh cepat, Arkana pulang, ia masih mengenakan kemeja putih pengantinnya semalam, hanya saja jasnya kini ditenteng di lengan. Rambutnya agak berantakan, wajahnya tampak sedikit lelah, tapi sorot matanya tetap dingin seperti biasa.

Gavya berdiri, mencoba bicara. Suaranya serak, “Mas, kamu habis ke mana semalaman?”

Arkana tidak menjawab. Ia hanya meletakkan jasnya di kursi dan mulai membuka kancing kemejanya satu per satu, seolah Gavya tak ada di sana.

Gavya melangkah lebih dekat. Hidungnya menangkap samar aroma parfum wanita yang asing. “Mas, kenapa bajumu ada aroma parfum perempuan lain?” tanyanya.

Arkana berhenti melepas kancing, menoleh perlahan ke arah Gavya. Sorot matanya semakin tajam. “Jangan sok tahu, kamu enggak berhak nuduh suami kamu sendiri,” balasnya dingin.

“Aku cuma tanya. Aku ini istrimu, aku berhak tahu.” Gavya berkata dengan penuh penekanan.

Mendengar itu, wajah Arkana berubah marah. “Otak kamu ini emang penuh prasangka ya?” suaranya meninggi.

“Aku cuma nanya Mas, ini hari pertama kita menikah. Tidak pantas kamu pergi apalagi meninggalkan istrimu.” Gavya memberanikan diri menatap matanya, meski air mata sudah berkumpul di pelupuk.

Arkana mendengus, melangkah cepat dan meraih tangan Gavya kasar. “Kamu mau aku jawab? Tapi, biarkan aku bikin otak kamu yang penuh curiga itu segar dulu!”

Lelaki itu menarik tangan Gavya dengan keras menuju kamar mandi tanpa mau memberikan Gavya kesempatan untuk berbicara lagi.

“Mas! Lepasin! Sakit,” mohon Gavya.

Sayangnya, Arkana tak peduli. Ia membuka pintu kamar mandi dan nyaris menyeret Gavya masuk. Satu tangan Arkana memutar keran air, tangan lainnya masih mencengkeram bahu Gavya.

“Mas! Kamu ngapain?” tanya Gavya yang masih mencoba melepaskan cengkeraman Arkana.

“Aku cuma bantu kamu biar otakmu yang kotor itu jadi dingin!” Bentak Arkana.

Arkana mendorong Gavya di bawah pancuran air dingin. Guyuran air membasahi kebaya tidur Gavya dalam hitungan detik membuat tubuhnya menggigil kedinginan. Rambutnya basah, air menetes ke wajah dan matanya.

“Mas sudah, dingin,” bisik Gavya terisak dan menggigil, tangannya memegang bahu Arkana berusaha menahan dorongan itu.

Arkana hanya menatapnya dengan sorot penuh amarah dan jijik. “Lain kali, pikir dulu sebelum kamu nuduh suami sendiri!”

Gavya terduduk lemas di lantai kamar mandi, rambutnya basah menempel di wajah setelah akhirnya Arkana melepaskannya.

“Bersihkan pikiranmu. Aku nggak mau istri yang bisanya cuma mengatur dan curiga,” desis Arkana seraya keluar dari kamar mandi, ia membiarkan pintu setengah terbuka.

Gavya terduduk di lantai kamar mandi, air matanya bercampur air dingin yang masih menetes. Perlahan, ia memutuskan langsung mandi, mencoba meredakan gemetar di tubuh dan luka di hatinya. Usai berganti daster, Gavya kembali ke kamar. Di sana, Arkana sudah terbaring pulas di sisi ranjang tanpa berganti pakaian. Napasnya teratur, seolah tak terjadi apa-apa.

Gavya berdiri sejenak, memandang suaminya yang tidur tenang. Dadanya sesak. ‘Bagaimana dia bisa setenang itu?’ pikirnya.

Gavya naik ke ranjang tanpa mengatakan apapun lagi, ia membelakangi Arkana. Air matanya kembali jatuh diam-diam, menambah panjang daftar luka di hari pertama pernikahan mereka.

 

Pagi itu, Gavya bangun lebih dulu. Matanya masih sembab, tapi ia memaksakan diri tersenyum. Ia melihat Arkana masih setengah duduk di ranjang, tampak sibuk mengecek ponsel. Gavya segera berdiri untuk menyiapkan teh hangat di cangkir putih yang ada di sudut mini bar. Uap tipis mulai mengepul, memenuhi kamar dengan aroma teh segar.

“Mas, minum teh dulu,” ucap Gavya sambil membawakan secangkir teh ke hadapan Arkana.

Arkana menoleh sekilas, sorot matanya dingin. “Aku nggak suka teh.”

 “Oh maaf, kalau begitu aku akan ganti buatkan kopi,” katanya cepat-cepat, berusaha menebus kesalahan kecil itu.

Wanita itu kembali ke sudut mini bar, mengganti teh dengan bubuk kopi, lalu menuang air panas perlahan. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tetap menyiapkannya dengan hati-hati.

“Ini kopinya mas, kata ibu kamu gak suka manis. Semoga cocok,” ucap Gavya pelan, suaranya penuh harap.

Arkana hanya melirik sebentar, bibirnya menipis. “Hari ini aku nggak mood minum kopi,” jawab Arkana yang membuat hati Gavya kembali teriris.

Tak lama kemudian, Gavya mencoba membantu Arkana yang sedang melipat jas dan kemejanya ke koper. Gavya menunduk, tangannya bergerak hati-hati merapikan dasi Arkana yang tergeletak di atas kursi.

“Jangan sentuh barang-barangku!” Peringat Arkana saat tahu barang-barangnya di sentuh oleh Gavya.

Gavya kaget, tangannya berhenti di udara. “Aku cuma, mau bantu,” bisiknya.

“Aku bilang jangan!” Tegas Arkana, suaranya datar tapi tajam seperti silet. Ia menarik sendiri dasinya dan memasukkannya ke koper, tanpa memberi Gavya kesempatan untuk menawar.

Setelah selesai berkemas, mereka turun ke restoran Hotel untuk sarapan. Ruangannya mewah, penuh pasangan pengantin baru lain yang tampak bahagia. Gavya duduk di meja, menunggu Arkana mengambil makanan. Tapi, Arkana memilih duduk di kursi paling pinggir dan agak jauh darinya.

Mereka makan dalam diam. Beberapa kali ia mencuri pandang, mengharap agar Arkana sedikit melunak, tapi yang ia dapat hanyalah punggung tangan Arkana yang terus menggenggam ponsel.

***

Mobil berhenti perlahan di halaman rumah besar milik orang tua Arkana. Rumah itu megah, penuh sentuhan modern, dengan taman rapi di samping teras. Gavya turun lebih dulu, ia menahan napas. Kepalanya masih sedikit pusing karena semalaman menangis, matanya sembab dan ada kantong hitam di bawahnya. Tangannya juga masih kemerahan, bekas Arkana menggenggam terlalu keras saat menariknya ke kamar mandi.

Di depan pintu, Bu Lia sudah berdiri menunggu bersama Pak Wijaya. Wajah Bu Lia langsung merekah dengan senyum lebar saat melihat mereka.

“Selamat datang di rumah keluarga Wijaya Nak,” sambut Bu Lia, memegang kedua tangan Gavya erat.

Begitu jarak semakin dekat, Bu Lia sempat menoleh. Wanita paruh baya itu memperhatikan wajah Gavya yang sedikit bengkak dan sembab, juga pergelangan tangannya yang merah.

“Kamu kelihatan capek sekali, ini pasti gara-gara Arkana ya?” bisik Bu Lia setengah bercanda, sambil tersenyum penuh arti.

Pipi Gavya langsung memanas, senyum kaku terpaksa terukir di wajahnya. “Iya Bu, nggak apa-apa, cuma sedikit lelah saja,” katanya pelan, meski di dalam hati ia hanya ingin menangis lebih keras.

“Anak muda, wajar, wajar saja. Tapi besok harus kerja lagi, Nak. Jangan lupa jaga istri juga ya?” sela Pak Wijaya menepuk bahu putranya.

“Iya,” jawab Arkana singkat tanpa menoleh pada Gavya.

Setelah menyambut sebentar, Bu Lia mengajak mereka masuk. “Kalian istirahat dulu di sini, ya, Nak. Rumah baru kalian memang sudah disiapkan, tapi Ibu pikir lebih baik kalian tinggal dulu di rumah ini beberapa hari. Biar lebih enak mengatur segala keperluan,” ujar Bu Lia sambil tersenyum.

“Iya Bu,” jawab Gavya pelan, matanya menunduk.

Bu Lia menatapnya lagi, kali ini lebih lembut. “Ibu sudah siapkan kamar kalian di lantai atas. Kalau kamu butuh apa pun, bilang sama Ibu ya, sayang.”

Gavya membalas hanya dengan anggukan dan senyum samarnya, ia mencoba menahan air mata yang hampir jatuh lagi.

Mereka naik ke lantai atas, menuju kamar yang sudah dihias sederhana dengan seprai baru berwarna krem dan hiasan bunga segar di meja samping ranjang. Gavya melangkah pelan, menahan sesak di dada.

Di belakangnya, Arkana hanya meletakkan tas di kursi dan langsung merebahkan diri di atas ranjang, memejamkan mata tanpa berkata apa-apa, seolah semua ini hanyalah rutinitas. Gavya berdiri beberapa saat di samping ranjang, memandangi punggung Arkana yang membelakanginya. Hatinya perih, ada begitu banyak kata yang ingin ia ucapkan, tapi lidahnya seolah terkunci.

Wanita itu berusaha menarik napas panjang, menahan air mata yang mulai lagi memenuhi pelupuk. Perlahan, ia berjalan ke arah kursi di sudut kamar, berniat duduk untuk menenangkan diri. Tapi pandangannya tiba-tiba tertuju pada sesuatu sebuah benda kecil berwarna hitam yang setengah tersembunyi di saku tas Arkana yang terbuka.

Jantung Gavya berdetak lebih cepat. Dengan ragu, ia mencondongkan tubuh, mencoba memastikan apa yang ia lihat. Tangannya nyaris terulur, tapi ia urung menyentuhnya.

Saat itu juga Arkana menggeliat kecil, berganti posisi dan setengah membuka mata. “Ngapain kamu berdiri di situ?” tanyanya sambil menatap Gavya penuh kecurigaan.

Gavya terkejut, langkahnya mundur spontan. “Enggak papa Mas,” jawabnya gugup.

Arkana hanya mendengus pelan, kembali memejamkan mata. Tapi sorot matanya yang sempat terbuka itu menyisakan rasa dingin yang menusuk.

Gavya duduk perlahan di tepi ranjang, punggungnya tegang. Matanya masih mengarah ke tas Arkana dan benda kecil hitam itu, yang entah kenapa membuat dadanya semakin sesak.

‘Apa sebenarnya yang dia sembunyikan?’ batin Gavya.

Kali ini, untuk pertama kalinya muncul rasa takut yang tak hanya soal perlakuan kasar suaminya, tapi juga tentang rahasia yang mungkin jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Continúa leyendo este libro gratis
Escanea el código para descargar la App

Último capítulo

  • Janda Tanpa Malam Pertama    08. Pelukan Hangat Menenangkan

    Sudah sebulan berlalu, sejak pertemuan Gavya dan Zeen di toko buku mereka tak lagi bertemu bahkan berinteraksi di sosial media. Suasana kota terpencil tempat Gavya tinggal tetap tenang, namun tidak memberi kemudahan bagi siapa pun yang mencari pekerjaan. Jalanan yang sepi, toko-toko kecil yang tutup lebih awal, dan peluang kerja yang terbatas membuat hari-hari Gavya terasa berat.Ia duduk di meja kecil ruang tamunya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan hasil positif. Setiap lamaran kerja yang ia kirim hanya berakhir dengan jawaban singkat atau bahkan tanpa balasan sama sekali. Ia menunduk, menatap sisa tabungan yang mulai menipis di rekening. Hatinya berdesir khawatir.“Kalau aku terus begini, berapa lama aku bisa bertahan?” gumamnya pelan. Ia menutup layar ponsel, lalu menatap langit senja dari jendela, melihat cahaya oranye yang lembut tapi tak menenangkan sepenuhnya.Gavya tahu, ia harus berpikir lebih kreatif. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga agar bisa men

  • Janda Tanpa Malam Pertama    07. Diam yang Paling Mengerti

    Setelah beberapa saat, suasana kafe mulai sepi. Gavya meneguk kopi terakhirnya, matanya masih menatap Zeen yang tampak tak tennag setelah insiden ponsel tadi. “Aku, sebaiknya pulang dulu,” ucap Gavya pelan. Zeen menoleh, senyum tipis muncul di wajahnya meski masih ada ketegangan di mata. “Aku antar, aku takut pencuri itu akan datang lagi untuk mengganggu,” katanya. Sampai detik ini, Gavya tidak pernah melihat Zeen membawa kendaraan. Dia hanya berjalan kaki dan berpenampilan sederhana layaknya orang biasa. Tidak ada yang mencolok kecuali wajah tampannya dan tubuhnya yang wangi dan bersih. Mereka berjalan melewati jalanan sepi, sesekali langkah kaki mereka bergema di trotoar basah. Gavya melirik ke arah Zeen. “Sekali lagi terima kasih karena sudah menyelamatkan ku,” ucapnya pelan. Zeen menoleh sebentar, menatapnya tanpa banyak kata, lalu mengangguk. "Yang terpenting kamu aman.” Sampai di depan gang rumah Gavya, mereka berhenti. “Sampai di sini saja,” katanya. Zeen menganggu

  • Janda Tanpa Malam Pertama    06. Pria yang Tak Bertanya

    Hujan deras baru saja turun di kota kecil tempat Gavya kini tempati. Jalanan penuh dengan genangan air dan orang-orang yang tadinya terlihat sepi karena berteduh, kini mulai keluar untuk melanjutkan kegiatan masing-masing.Langkah Gavya sedikit tergesa ketika ia menyeberangi jalur sempit di dekat taman kota. Tujuannya kini adalah menuju mini market terdekat. Beberapa cemilan dan bahan pokok hampir habis. Kakinya melangkah pelan tapi jarinya bergerak cepat, membalas chat dari ibunya yang baru saja menanyakan kabar. Ia begitu tenggelam dalam layar, sampai tidak menyadari seseorang mendekat dengan langkah ringan.Sekejap kemudian, genggaman di tangannya kosong. Ponselnya dirampas begitu saja.“Eh!” serunya refleks.Tanpa pikir panjang, Gavya berlari mengejar. Adrenalinnya meledak, langkahnya menabrak dedaunan basah yang berserakan. Matanya hanya terfokus pada punggung pria yang berlari membawa ponselnya. Nafasnya terengah, tapi ia tidak menyerah.“Berhenti! Pencuri!” teriaknya, meski ia

  • Janda Tanpa Malam Pertama    05. Bertemu Pria Aneh

    Suara roda koper kecil menyeret di jalan berbatu menemani langkah Gavya. Rumah peninggalan neneknya berdiri sederhana di ujung gang, dindingnya kusam tapi taman kecilnya masih dipenuhi bunga liar.Pak Wisnu menurunkan koper ke teras, sementara Bu Mina merapikan anak rambut di pelipis Gavya. “Jaga dirimu baik-baik, Nak. Jangan khawatir, rumah bibimu tidak jauh dari sini. Kalau butuh apa-apa, datang saja padanya.”Pak Wisnu menambahkan dengan suara lembut, “Rumah ini sudah kami perbaiki dan bersihkan. Jadi kamu tidak usah capek-capek membenahi banyak hal. Beberapa barang keperluan juga sudah kami siapkan di dalam, jadi tinggal dipakai saja.”Gavya menunduk, menahan haru, lalu berbisik, “Terima kasih, Ayah, Ibu.”Setelah memastikan semuanya, kedua orang tuanya pamit. Gavya berdiri di depan pintu, melihat mobil mereka menjauh, lalu masuk ke rumah barunya, tempat ia harus belajar menata hidup lagi.Sore itu hujan rintik turun. Lemari dapur kosong membuat Gavya akhirnya keluar mencari tempa

  • Janda Tanpa Malam Pertama    04. Janda yang Di Perbincangkan

    Setelah berhari-hari di rumah mertuanya, Gavya akhirnya pulang. Mobil berhenti di depan pagar putih rumah masa kecilnya, dan ia turun dengan satu koper kecil. Begitu pintu terbuka, Bu Mina langsung merengkuhnya, membuat tangis yang ia tahan berhari-hari pecah seketika.“Kamu nggak sendirian. Ada Ibu di sini,” ucap Bu Mina, mengusap punggung Gavya dengan sabar.Malam di rumah sederhana itu kembali terisi tiga jiwa, tapi Gavya merasa asing. Kamar masa kecilnya yang dulu penuh tawa kini terasa sempit dan dingin. Setiap kali mencoba tidur, bisik-bisik dari rumah mertuanya kembali terngiang, dan kini bahkan sampai ke telinga tetangga.Hari-hari ia jalani dengan mengurung diri, hanya sesekali keluar membantu ibunya. Namun bahkan saat menyapu halaman, telinganya menangkap suara samar dari luar pagar tawa atau bisikan yang seolah ditujukan untuknya. Setiap kata, meski tak jelas, terasa menusuk lebih dalam daripada seribu pisau.Ketukan lembut terdengar di pintu. “Gavya, boleh Ibu masuk?” suar

  • Janda Tanpa Malam Pertama    03. Duka dan Wanita Misterius

    Saat Arkana tertidur lelap, Gavya duduk di tepi ranjang, matanya terus menatap tas hitam di kursi. Dengan napas tertahan, ia bangkit dan mendekat.Perlahan, ia membuka bagian atas tas yang sedikit terbuka. Di antara dompet dan ponsel, matanya menangkap sebuah kotak kecil, lalu di saku depan sebotol parfum wanita. Bentuknya ramping, elegan, dan asing. Itu bukan miliknya dan jelas bukan milik Arkana. Tapi, aroma ini mirip seperti yang Gavya cium saat malam pertama pernikahan mereka waktu itu.Hati Gavya mencelos. “Jadi benar dugaanku? Dia pergi ke wanita lain semalam?” batinnya.Belum sempat menarik napas, matanya menangkap sesuatu di dasar tas, ada bungkus pengaman belum terbuka. Tangannya melemas. Air mata mulai menggenang. Ia cepat menutup tas itu dan kembali duduk di tepi ranjang, menunduk, dan menggigit bibir agar tak menangis keras.Keesokan paginya, Arkana terbangun dan langsung menatap tas hitamnya. Ia mendekat, membuka tas, dan langsung tahu beberapa barang berpindah posisi.Wa

Más capítulos
Explora y lee buenas novelas gratis
Acceso gratuito a una gran cantidad de buenas novelas en la app GoodNovel. Descarga los libros que te gusten y léelos donde y cuando quieras.
Lee libros gratis en la app
ESCANEA EL CÓDIGO PARA LEER EN LA APP
DMCA.com Protection Status