Home / Rumah Tangga / Janda Tanpa Malam Pertama / 10. Langkah Pertama Menuju Rasa

Share

10. Langkah Pertama Menuju Rasa

Author: Nongnanna
last update Last Updated: 2025-09-28 18:48:24

Pagi itu, Kafe Kenangan tampak hidup untuk pertama kalinya. Aroma kopi baru diseduh memenuhi udara, bercampur dengan suara riuh rendah tetangga yang datang, anak-anak berlari kecil, dan para ibu yang tersenyum ramah. Gavya sibuk menyambut satu per satu pengunjung, meski tangannya dingin karena gugup.

Ketika suasana mulai tenang, semua kepala otomatis menoleh ke arah halaman depan. Seorang pria tinggi dengan langkah tegap muncul Zeen. Namun kali ini ia datang tidak hanya dengan satu hal.

Di tangan kirinya, ia membawa buket mawar merah raksasa begitu besar sampai hampir menutupi tubuh bagian depannya. Di sisi lain, beberapa orang mengangkat sebuah karangan bunga besar dengan pita putih elegan. Tulisannya jelas terbaca:

“Selamat Menyambut Hidup Baru Yang Bahagia, Sukses Selalu– From Zeen.”

Gavya terpaku, wajahnya memanas seketika. Ia mendekat setengah berlari, hampir kehilangan kata-kata. “Z-Zeen, ini apa maksudnya?”

Zeen menyerahkan buket bunga itu ke tangannya, lalu menoleh sejenak pad
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Janda Tanpa Malam Pertama    13. Kehangatan mu

    "Karena hanya kamu yang bisa membuatku merasa hatiku menghangat lagi."Hampir dua hari Gavya menetap di apartemen milik Zeen. Pria itu benar-benar merawatnya meskipun terkadang ia sibuk pergi bekerja tapi orang-orang yang bekerja untuk pria itu juga terlalu ramah denganya.Malam itu, apartemen Zeen terasa sunyi. Gavya menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian. Kata-kata yang ingin ia ungkapkan terasa berat di lidah, seperti setiap hurufnya dipenuhi rasa takut dan keraguan.“Zeen,” suaranya lirih, nyaris tidak terdengar. Zeen menoleh, fokus padanya. “Ada sesuatu yang harus aku ceritakan.”Zeen mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan. “Kau tidak harus memaksakan diri,” ucapnya lembut. “Tapi aku akan mendengarkan, jika kau mau.”Gavya menunduk, jari-jarinya meremas selimut. “Aku takut kau akan menilai aku. Atau mungkin kau akan merasa berbeda setelah mendengar ini.”Zeen menggeleng pelan. “Tidak, Gavya. Tidak peduli apapun itu, aku tetap di sini.”Rasa hangat dan tenang it

  • Janda Tanpa Malam Pertama    12. Tersandung Bayangan Lama

    Tak seperti biasanya, hari ini Kafe Kenangan tampak sepi. Papan kecil bertuliskan “Tutup untuk sementara” menggantung di pintu kaca. Biasanya, setiap pagi, aroma kopi sudah tercium hingga jalanan depan, tapi kali ini hanya ada keheningan.Di dalam rumah sekaligus kafe itu, Gavya terbaring lemah di sofa. Demam membuat tubuhnya terasa berat. Ia memejamkan mata, berharap istirahat cukup bisa memulihkannya. Namun tubuhnya menolak bekerja sama.Suara ketukan terdengar dari luar. Perlahan pintu terbuka, dan sosok yang sudah akrab muncul, pria yang selalu ada untuknya.“Gavya?” suaranya terdengar khawatir. “Kau kenapa? Aku lihat kafe tutup, jadi aku coba datang ke rumah, aku khawatir.”Gavya berusaha bangkit, tapi tubuhnya terlalu lemah. “Aku hanya kelelahan. Belum ada karyawan, semua kukerjakan sendiri. Mungkin tubuhku akhirnya menyerah.”Zeen segera menghampiri, meletakkan punggung tangannya di dahi Gavya. “Panas. Kau butuh istirahat yang benar, bukan sekadar tidur terbaring."“Aku baik-ba

  • Janda Tanpa Malam Pertama    11. Saat Tepat, Waktu yang Salah

    Sejak grand opening Kafe Kenangan, nama Gavya mulai sering disebut orang-orang di kota kecil itu. Setiap kali ia lewat pasar atau menenteng belanjaan, tatapan orang-orang mengikutinya. Ada yang tersenyum ramah, ada juga yang berbisik pelan dengan nada penuh rasa ingin tahu.“Dia itu siapa sebenarnya?” bisik seorang ibu-ibu yang sedang berbelanja sayur keliling di depan rumahnya.“Katanya dulu rumah itu kosong bertahun-tahun. Sekarang tiba-tiba ditempati lagi sama cucunya yang punya rumah,” sahut yang lain.Gavya berpura-pura tidak mendengar, meski dalam hati ia gelisah. Rumah peninggalan neneknya memang lama tak berpenghuni. Ia sendiri jarang menceritakan alasannya kembali ke kota kecil ini. Baginya, diam adalah cara paling aman. Namun diam juga bisa memancing rasa penasaran.Gavya tengah menyeduh kopi berusaha menutup telinganya dari bisik-bisik yang semakin menjadi saja, tapi jauh dalam hati kecilnya menegang. Tangannya hampir gemetar saat menuang air panas.Di saat seperti itu, sua

  • Janda Tanpa Malam Pertama    10. Langkah Pertama Menuju Rasa

    Pagi itu, Kafe Kenangan tampak hidup untuk pertama kalinya. Aroma kopi baru diseduh memenuhi udara, bercampur dengan suara riuh rendah tetangga yang datang, anak-anak berlari kecil, dan para ibu yang tersenyum ramah. Gavya sibuk menyambut satu per satu pengunjung, meski tangannya dingin karena gugup.Ketika suasana mulai tenang, semua kepala otomatis menoleh ke arah halaman depan. Seorang pria tinggi dengan langkah tegap muncul Zeen. Namun kali ini ia datang tidak hanya dengan satu hal.Di tangan kirinya, ia membawa buket mawar merah raksasa begitu besar sampai hampir menutupi tubuh bagian depannya. Di sisi lain, beberapa orang mengangkat sebuah karangan bunga besar dengan pita putih elegan. Tulisannya jelas terbaca:“Selamat Menyambut Hidup Baru Yang Bahagia, Sukses Selalu– From Zeen.”Gavya terpaku, wajahnya memanas seketika. Ia mendekat setengah berlari, hampir kehilangan kata-kata. “Z-Zeen, ini apa maksudnya?”Zeen menyerahkan buket bunga itu ke tangannya, lalu menoleh sejenak pad

  • Janda Tanpa Malam Pertama    09. Perasaan Aman

    Di depan rumah bergaya tradisional peninggalan neneknya, Gavya berdiri memandang papan kayu yang nantinya akan dipasang sebagai penanda kafe mungilnya. Hatinya masih sedikit berat mengingat kejadian semalam yang hampir meruntuhkan semangatnya. Namun, pelukan singkat Zeen malam itu, dan kata-kata misterius pria itu, entah mengapa meninggalkan bekas yang menenangkan.Hari-hari berikutnya, tanpa diminta, Zeen mulai sering muncul. Entah membawa sesuatu, atau sekadar berdiri di samping Gavya sambil menanyakan apa yang bisa ia bantu.“Kayu ini mau dipindah ke mana?” tanya Zeen suatu siang, saat melihat Gavya berusaha menyeret papan panjang sendirian.Gavya mendongak, keringat di pelipisnya menetes. “Di belakang, mau kupakai untuk sekat ruang kecil. Tapi berat sekali.”Tanpa banyak bicara, Zeen mengambil alih, mengangkat papan kayu itu dengan mudah seolah bukan beban. Gavya hanya bisa menatap, kagum sekaligus heran dengan pria yang ia kira hanya bisa duduk menatap tablet ternyata mau bekerja

  • Janda Tanpa Malam Pertama    08. Pelukan Hangat Menenangkan

    Sudah sebulan berlalu, sejak pertemuan Gavya dan Zeen di toko buku mereka tak lagi bertemu bahkan berinteraksi di sosial media. Suasana kota terpencil tempat Gavya tinggal tetap tenang, namun tidak memberi kemudahan bagi siapa pun yang mencari pekerjaan. Jalanan yang sepi, toko-toko kecil yang tutup lebih awal, dan peluang kerja yang terbatas membuat hari-hari Gavya terasa berat.Ia duduk di meja kecil ruang tamunya, menatap layar ponsel yang tak kunjung menampilkan hasil positif. Setiap lamaran kerja yang ia kirim hanya berakhir dengan jawaban singkat atau bahkan tanpa balasan sama sekali. Ia menunduk, menatap sisa tabungan yang mulai menipis di rekening. Hatinya berdesir khawatir.“Kalau aku terus begini, berapa lama aku bisa bertahan?” gumamnya pelan. Ia menutup layar ponsel, lalu menatap langit senja dari jendela, melihat cahaya oranye yang lembut tapi tak menenangkan sepenuhnya.Gavya tahu, ia harus berpikir lebih kreatif. Bukan hanya untuk bertahan hidup, tapi juga agar bisa men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status