Tubuh manusia itu terlihat sangat pucat, dadaku berdesir hebat. Bulu kudukku meremang melihatnya. Aku ingin berteriak dengan keras, tapi tenggorokanku tercekat kuat. Dengan tangan bergetar, kucoba untuk berdiri.
“Emh!” desah manusia itu.
“Apakah kamu masih hidup?” tanyaku, mencoba memastikan keadaan orang itu. Dengan pelan kaki ini melangkah mendekatinya. Lelaki berbibir tipis itu enggan menyahut pertanyaanku. Keadaannya sangat mengenaskan.
“Are you okay?” kali ini aku benar-benar khawatir melihatnya. Dia terlihat ingin menjawab pertanyaanku, tapi mulutnya sulit digerakkan. Kupindai keadaan sekitar, tak ada seorangpun di sini.
“Okay. Permisi, aku akan membawamu ke rumah sakit. Kau terlihat sangat mengkhawatirkan, sebelum ajal menjemput tak ada salahnya jika aku berusaha membawamu ke tempat berobat. Setidaknya jika nanti benar-benar meninggal, aku tidak memiliki penyesalan telah menelantarkanmu di sini,” cerocosku padanya.
Entah lelaki itu mendengar perkataanku atau tidak, setidaknya aku sudah memberitahunya kan kubawa kemana tubuh lemas itu. Badan itu sangat berat hingga aku kesulitan memasukkannya ke dalam mobil. Namun, karena tekat dan semangatku yang besar pada akhirnya lelaki itu sudah bisa tergeletak di kursi penumpang.
Kulajukan kendaraan roda empat ini ke rumah sakit terdekat. Sesekali kulirik keadaan orang itu lewat spion dalam. Ketika sampai aku langsung meminta seseorang untuk membantuku mengeluarkan pasien itu. Perawat dan dokter di sana dengan cekatan merawat lelaki yang baru saja kutemui itu.
“Apakah ibu keluarganya?” tanya seorang dokter padaku.
“Oh, bukan Dok. Saya hanya temannya.”
“Apa tidak ada keluarga dari pasien?”
Aku hanya menggelengkan kepala sembari memamerkan senyum lebar pada Pak Dokter.
“Kalau begitu mari ikut ke ruangan saya,” ucapnya. Dokter itu memberitahukan riwayat penyakit yang diderita lelaki itu.
“Jadi pasien harus melakukan operasi secepatnya agar segera sembuh.”
Aku termenung mendengar penuturan dokter. Biayanya cukup besar. Rasanya sangat bimbang, mengingat tak ada keluarga dari lelaki itu, otomatis aku yang bertanggung jawab padanya.
“Emm... lakukan saja Dok. Saya segera mengurus administrasinya sekarang.”
“Baik Bu.”
“Kalau begitu saya izin undur diri Dok. Terima kasih.”
Kakiku langsung berjalan ke administrai untuk menebus biaya operasi lelaki antah berantah itu. Karena tak ada satupun data yang kuketahui mengenainya, aku pun kembali ke ruangannya. Terlihat dia yang belum sadarkan diri.
Tiba-tiba ponselku berdering cukup hebat di saku blazer. Ternyata ada sebuah video call.
“Hallo...”
“Hallo May, ini sudah larut kenapa belum pulang?” tanya Santi sahabatku.
“Aduh maaf San. Aku lupa mengabarimu, tiba-tiba kejadian tak terduga. Aku titip Bimo dulu ya, boleh kan?” tanyaku risau.
“Huh, dasar! Iya, lain kali kabarin dong! Bikin khawatir saja kamu ini.” Wajah wanita itu terlihat kesal. Aku hanya bisa nyengir kuda. Dia adalah salah satu orang terbaik yang ada di sisiku ketika berada di keadaan menyedihkan.
“Liat Bimo sebentar dong,” pintaku padanya, rasa kangenku tiba-tiba menyeruak begitu saja. Sinta segera memperlihatkan putra tercintaku.
“Hallo Mama... Hari ini Bimo bisa menggambar garis loh,” ucap Sinta. Terlihat Bimo yang beringsak ingin lepas dari pelukan sahabatku.
“Wahhh... anak Mama pintar banget.” Senyum merekah tiba-tiba tercetak di wajahku, mata ini pun terasa sangat panas melihatnya. Sebagai orangtua dari anak yang menyandang autisme, ada kebanggaan tersendiri mendengar Bimo mengalami kemajuan. Mungkin ini terdengar seperti kemampuan kecil, tapi untuk buah hatiku itu terasa menakjubkan.
“Iya dong Ma... Bimo kan anak yang cerdas,” jawab Sinta membalas ucapanku. Aku hanya menganggukkan kepala, menyetujui perkataan Sinta.
“May... Are you okay?”
“I’m okay. Hanya terharu saja, hehe...” kekehku. Mengingat hari yang sangat berat, kini menghilang begitu saja mendengar kabar baik mengenai anakku.
“Kalau ada apa-apa cerita ya May. Kamu tidak usah khawatir tentang Bimo. Dia aman sama aku, ditambah hari ini suamiku juga tidak bisa pulang. Jadi aku bisa menjaga Bimo, dan kamu jangan sungkan ya,” tutur Sinta dengan lembut. Aku hanya mampu menganggukan kepala.
“Okay, kalau begitu aku tutup dulu video call nya ya. Sudah waktunya Bimo tidur, jangan lupa makan May.”
“Iya. Makasih Sin,” jawabku. Sambungan telepon pun terputus. Kini keheningan menyelimuti ruang inap ini. Air mataku enggan berhenti menetes, rasa terharu sekaligus sedih bercampur aduk menjadi satu.
Menjadi ibu dari seorang anak autis tidak semudah itu. Apalagi keluarga menolak atas kehadiran Bimo. Siapa yang tak sakit hati menerima buah hatinya dipandang sebagai aib. Rasanya memang sangat berat, tapi seiring berjalannya waktu aku bisa melaluinya. Berkat bantuan beberapa orang hingga kini aku bisa bertahan hidup.
“Emh...” erangan lelaki itu membuyarkan lamunanku. Aku segera menghampirinya.
“Ini dimana?” tanyanya lemas.
“Di rumah sakit.”
“Siapa kamu?” tanyanya kaget.
“Malaikat maut!”
Mata lelaki itu melebar. Aku terkekeh melihatnya, sangat lucu.
“Apa kau percaya dengan perkataanku barusan? Konyol sekali.”
Dia mendengkus kesal.
“Kenapa kamu membawaku ke rumah sakit?” Alis lelaki itu berkerut. Kurapatkan mataku, pertanyaan itu terdengar seperti lelucon.
“Tidak usah banyak tanya. Isi formulir ini sekarang.” Kusodorkan formulir padanya. Dia terlihat kebingungan.
“Kamu terkena usus buntu atau apendektomi sedang. Jadi dokter menyarankan untuk segera dioperasi. Aku akan membayarnya, kamu tinggal mengisi formulir itu.”
“Biayanya cukup banyak, apa kamu punya uang sebanyak itu?” tanyanya tanpa berkedip.
“Kalau aku bilang akan membayarnya berarti aku memiliki uang sebanyak itu. Cepat isi! Jangan banyak bicara.”
Dengan hati-hati pria itu langsung menorehkan sederet huruf memenuhi ruang kosong dalam kertas.
“Tristan Bolgamara, bagus juga namamu.” Tristan hanya melirikku sekilas tanpa menyahuti apapun. Sangat dingin! Lelaki itu mengisi semua data yang diperlukan. Dan ketika selesai, ia segera memberikannya padaku.
“Aku langsung pulang ya. Semua biaya bakal aku bayar kok. Tenang aja,” ucapku sembari mengambil tas yang tegeletak di sofa.
“Boleh aku pinjam ponselmu?”
“Buat apa?” Aku sangat curiga pada lelaki itu.
“Aku harus menelpon keluargaku terlebih dahulu,” jawabnya. Dengan penuh pertimbangan akhirnya kuberikan ponsel itu padanya. Terlihat Tristan yang sibuk menekan sederet nomor di sana.
“Ini nomorku, aku akan mengganti biaya operasiku. Kamu kirim nomor rekeningmu lewat nomor ini,” ucapnya.
“Tidak usah, anggap saja ini rejekimu yang hampir bertemu ajal.”
“Kamu sangat sombong Nona,” cetusnya. Aku tersenyum tipis menanggapi perkataan itu.
“Aku hanya membantumu, bukannya berterimakasih kamu justru menyindirku seperti ini. Tidak sopan!” Tanpa pikir panjang langsung melangkahkan kakiku keluar dari ruangan pria antah berantah tersebut. Dia benar-benar orang yang tidak tau diri.
“Kalau tidak mau diganti uang, biarkan aku membalas budi dengan hal lain. Hubungi aku jika kamu memiliki masalah,” lanjut Tristan. Aku tak menjawab apapun. Ingin segera menyelesaikan administrasi dan pulang bertemu dengan Bimo. Kugenggam tiga amplop coklat yang sebelumnya berisi lembaran uang, kini telah kosong tak tersisa. Rp9 juta melayang begitu saja.
“Hahh... Ya Allah jika ini hanya rejeki lewat, engkau pasti menggantinya secepat mungkin bukan?” kutengadahkan pandangan menatap langit yang bertabur bintang.
Ketika sampai di depan rumah, aku terkejut dengan kehadiran David, mantan suamiku.
“Maya,” panggilnya yang baru saja keluar dari mobil.
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
"Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.
Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k
Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d