Share

3

Author: Dentik
last update Last Updated: 2025-01-22 21:33:44

Lelaki yang membuangku demi kehormatan keluarganya kini berani menunjukkan batang hidungnya. Dua tahun lalu dimana aku yang menyandang sebagai istri direktur di salah satu perusahaan pangan terbesar negara ini, tapi semua runtuh ketika aku bercerai dengan suamiku. Dari awal memang aku tak direstui menikah dengan David, mantan suamiku. Namun, karena kegigihan lelaki itu membuat keluarganya tunduk dan menerimaku dengan terpaksa. Sangat disayangkan, saat pernikahan berjalan di tahun ketiga tiba-tiba aku dipermalukan dengan keji. Bukan tanpa alasan, mereka melakukan hal itu karena kehadiran Bimo. Buah hati hasil hubungan cintaku dengan David mengidap autism, dan keluarganya menganggap itu sebagai aib. Masih teringat dengan jelas bagaimana mereka mencaciku dengan kasar bahkan David tak berkutik dan memilih keluarganya.

“Maya, detik ini juga aku menceraikanmu!” seru David menggelegar di ruangan pertemuan keluarga. Aku hanya terpaku mendengar perkataan itu.

“Astaghfirullahaladzim! Ada apa Nak David? Kenapa kamu menceraikan Maya, salah dia apa?” tanya mamaku yang terkejut mendapati anaknya tiba-tiba diceraikan.

“Dia melahirkan anak cacat! Keluarga kami tidak bisa menerima anak idiot itu!” caci ibu mertua sembari menunjuk Bimo yang berada di dekapanku.

“Apa maksudnya?” waktu itu aku masih kebingungan dengan konflik yang kami hadapi.

“Bimo autis May,” jelas David dingin.

“A-apa!?”

“Kami tidak bisa menerima kehadiran anak cacat itu! Makanya kami meminta kamu dan orangtuamu untuk menyetujui perceraian ini.” Ibu mertua melirikku dengan tajam. Semua anggota keluarga memandang rendah aku.

“Dia bukan anak cacat Ma! Dia anak istimewa yang diberikan tuhan untuk aku dan Mas David!”

Suami yang aku andalkan ketika dirundung kini tak berpihak sedikitpun,  justru memilih meninggalkan ruang pertemuan dan sejak itu aku tak pernah bertemu dengannya. Dan pada hari itu juga aku langsung diusir dari kediaman kami.

“Pergi dari sini sekarang! Keluargaku sudah tak sudi menerima kalian di sini.” Ibu mertua melemparkan tas besar yang berisikan uang dan emas. “Bawa ini dan jangan pernah mengusik kami!” lanjutnya. Masih kuingat mendiang ibuku yang menangis tersedu-sedu mendapat perlakuan keji dari mertuaku.

“Kamu yang kuat ya Sayang, Mama akan membantumu merawat Bimo. Maafkan Mama...” Kata maaf berkali-kali diucapkan wanita itu. Dia merasa gagal menjadi ibu yang baik untukku karena tak bisa membawa ayah kembali ke pelukan kami hingga ia dijemput ajal setahun yang lalu. Dengan dasar inilah keluarga David tak menyukaiku. Karena aku adalah anak broken home yang tak memiliki ayah.

Kehadiran lelaki itu secara tiba-tiba membuatku ingin muntah. Dadaku bergemuruh hebat menatapnya. Tak hanya itu, kepalaku terasa pening ketika mencium aroma tubuhnya. Wangi parfum yang selalu kurindukan siapa sangka sekarang bagaikan racun.

“Maya... sudah lama tidak bertemu,” ucapnya dengan senyum semringah. Tanpa menjawab, segera kulangkahkan kakiku menuju pintu masuk.

“May, aku ingin bicara sebentar,” pintanya sembari mencengkram tanganku yang akan membuka daun pintu.

“Lepaskan.”

“Aku mohon.”

“Satu menit,” jawabku tanpa menatap David.

“Terima ini.” Lelaki itu menyondorkan paper bag yang berukuran cukup besar. “Gunakan ini untuk memenuhi kebutuhanmu dengan Bimo. Maafkan aku yang tak pernah menghubungi kalian.”

Kulihat isi tas itu, sekumpulan uang berwarna merah tertata rapi di sana. Kutelan saliva yang memenuhi mulut dengan paksa. Sangat menggiurkan! Mengingat dompetku dalam kondisi kosong melompong membuat paper bag itu seperti harta karun.

Aku cukup lama berpikir ketika akan mengambil benda itu. Namun, David dengan cekatan memberikannya padaku. Dengan terpaksa aku menyampingkan rasa gengsi demi uang itu. Aku pun menerimanya, David tampak senang melihat responku.

“Em... lalu ini.” Ia nampak ragu ketika menyondorkan selembar kertas. Tidak, itu bukan kertas biasa melainkan undangan pernikahan.

“Maafkan aku, kuharap kalian mau datang ke acara ini.”

Aku hanya menerimanya tanpa berniat membaca isi undangan itu.

Tak menggubrisnya lagi, aku pun masuk ke dalam rumah. Meninggalkan pria yang kucintai sendirian di sana. Hatiku terasa di cabik-cabik mendapatkan undangan pernikahan ini. Ditambah, orang yang mengantarkannya adalah David, lelaki yang hingga sekarang masih aku cintai dan belum tergantikan oleh siapapun. Tubuhku tersimpuh di lantai yang dingin, sedingin hatiku yang sedang tersakiti oleh realita.

“Secepat itu kamu mengganti namaku di hatimu Mas.”

Buliran air mata menetes seiring dengan isakan tangis. Hari ini benar-benar terasa melelahkan. Badan dan hatiku terasa remuk. Untungnya putraku sedang berada di rumah Sinta. Jika tidak, entah bagaimana nasibku. Emosi yang tak stabil akan menghadirkan amarah yang besar apabila aku mengasuh Bimo malam ini.

Pancuran shower enggan meredakan eranganku yang kesakitan saat menerima kenyataan. Rasanya seperti dihantam meteor bertubi-tubi. Dunia terasa runtuh kembali, sempat terbesit lelaki itu akan membawaku kembali ke kehidupannya. Siapa sangka dia justru menggantinya dengan perempuan lain.

“AAaarrrrggghhhh!!!!”

***

Keesokan paginya, kepalaku terasa pening. Sepertinya aku demam karena terlalu lama berada di kamar mandi.

“Kenzo, hari ini aku absen. Tiba-tiba badanku demam.” voice note itu kukirimkan pada lelaki biadab. Tak menunggu waktu lama, tiba-tiba telepon dengan nama kontak Kenzo muncul di sana.

“Hallo.”

“Hallo May, sakit apa kamu?”

“Demam.”

“Bodoh! Bagaimana bisa kamu terkena demam? Dasar lemah!” makinya. Benar-benar lelaki jahanam.

“Diamlah berengsek! Aku ingin istirahat sekarang!?” sentakku padanya. Kekesalan ini sangat sulit dikendalikan.

“Okay. Aku kirimkan sarapan untukmu. Makan itu dan minum obatnya. Sinta akan ku kabari untuk membawamu ke rumah sakit,” cerocosnya seperti rel kereta api.

“Tidak usah. Aku akan ke rumah sakit dengan Bu Yati. Dia sudah ada di rumahku sekarang,” ucapku yang mendapati Bu Yati sedang mengambil baju kotor di kamar mandi. Wanita itu hanya memberikan jempol kepadaku.

“Jangan bohong.”

“Aku serius Zo. Ya kan Bu?”

“Iya Mbak,” sahut Bu Yati ketika akan keluar dari kamarku.

“Kamu dengar kan?”

“Oke-oke. Kalau begitu sarapannya jangan lupa dimakan.” Tanpa menunggu jawabanku, Kenzo sudah memutuskan sambungan telepon tersebut.

Ketika waktu sudah menunjukkan pukul 10.00 WIB. Segera ku pinta Bu Yati untuk memesan Gocar.

“Mbak, mobilnya sudah ada di depan.”

“Oh iya.”

Kami pun menuju rumah sakit, tempat di mana Tristan menginap. Tujuanku ke sini juga ingin menengok keadaan orang itu. Meskipun dia sangat menyebalkan, tapi aku tetap saja kepikiran padanya. Bisa saja pagi ini dia sudah dijemput malaikat maut tanpa sepengetahuanku.

Di lobi saat aku menunggu nomor antrian bersama Bu Yati, tanpa sengaja melihat Rosa yang baru saja keluar dari ruang dokter obgyn. Sayangnya dia tak melihatku karena penampilanku yang tertutup rapat memakai hoodie dan masker.

“Kenapa dia?” gumamku penasaran.

“Kenapa Mbak?” tanya Bu Yati yang ikut penasaran karena aku berbicara sendiri.

“Eh tidak Bu. Aku hanya penasaran dengan wanita itu,” aku menunjuk Rosa yang sedang berdiri di depan.

“Nomor antrian 55!” panggil suster.

“Mbak giliran kita.”

“Eh Bu, aku masuk sendiri saja. Ibu pantau perempuan itu ya,” pintaku.

“Iya Mbak.”

Aku langsung menghampiri suster yang menungguku di sana. Aku sempat menoleh melihat Rosa, dia masih berdiri di depan rumah sakit sembari sibuk memainkan ponselnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   94

    Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   93

    Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   92

    Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   91

    Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   90

    Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   89

    Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   88

    "Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   87

    Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k

  • Jangan Ambil Putraku, Pak CEO!   86

    Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d

Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status