David tidak langsung menjawab. Dia hanya menatapku sejenak, lalu menghela napas panjang sebelum melirik ke arah pelayan. Pekerja restaurant ini masuk dengan membawa nampan berisi berbagai hidangan mewah. Aroma sedap mulai memenuhi ruangan, menggelitik hidung dan perutku yang sejak tadi belum terisi. Namun, aku menepis keinginan untuk duduk dan tetap berdiri dengan kaku, menatapnya penuh selidik. “Duduklah dulu,” katanya, gestur tangannya mengarah ke kursi di seberang tempatnya duduk. Aku menggeleng. “Tidak sebelum kamu menjawab pertanyaanku, David. Aku tidak punya waktu untuk permainanmu.” Dia mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangannya seolah tengah mengumpulkan kata-kata, lalu kembali menatapku dengan ekspresi lebih tenang. “Makan dulu, Maya. Aku janji, kita bicara setelah ini.” Aku mendengus pelan, ingin sekali membantah. Tapi saat menoleh ke samping, aku melihat Bimo yang sibuk memainkan mobil kecilnya dengan jemari mungilnya yang cekatan. Perutnya yang kecil sudah te
"Tapi... apa kamu pernah melihat dokumen soal kerjasama Panthelis dengan Aurum?" tanya mantan suamiku tanpa berkedip. Kami berdua dalam posisi yang tegang. Alisku sedikit mengerut saat ia mendadak mempertanyakan itu. Apa hubungannya fakta hasil lab Tristan yang positif Narkoba dengan kerja sama Aurum Global Inc? Namun, sebelum berpikir lebih jauh aku memilih untuk menggelengkan kepala. Rasanya aku familiar dengan nama perusahaan tersebut. Tapi di mana?David mengamati setiap gerak-gerikku dengan tajam, seolah menanti reaksiku. Aku mencoba mengingat-ingat, mengulang di kepala apakah aku pernah mendengar nama "Aurum Global Inc." sebelumnya. Lalu, samar-samar aku ingat. Sebuah artikel berita yang kubaca beberapa hari lalu. Nama perusahaan itu juga ada di dalam map proyek Panthelis Corp dengan Garnett Holdings, dimana ada skandal pencucian yang dilakukan Bu Ratna. Dan semua itu baru terbongkar hari ini.Saat mencari info di internet, Aurum Global Inc. disebut-sebut sebagai perusahaan
Keesokan paginya, aku dihadang Kenzo saat di parkiran kantor. Setelah memakai blazer dan merapikan kerudung, ku ambil tas dan menutup pintu mobil sepelan mungkin agar tidak mengejutkan putraku."May!" panggilnya lirih. Aku hanya melirik sekilas tanpa menghentikan gerakanku. Tanganku sigap mengulurkan tangan ke Bimo yang masih sibuk memainkan tali ranselnya. Kenzo melangkah lebih dekat, suaranya semakin merendah."Kudengar, Bu Ratna sedang ditahan. Iya kah?" dia berbicara dengan suara yang sangat lirih.Aku menoleh sekilas, menimbang apakah aku harus menjawabnya atau tidak. Tapi melihat ekspresi serius di wajahnya, aku akhirnya mengangguk. "Ya.""Astaga. Masalah apa ay? Penggelapan dana?"Alisku sontak mengerut memandangnya penuh selidik. "Kamu kok tau? Kamu sekongkol ya-""Astaghfirullahaladzim! Enggak, ya! Jangan asal ngomong kamu." Kenzo mengelus dadanya sembari menggeleng tipis.Aku menyipitkan mataku sedikit. "Terus, kamu kok bisa bilang penggelapan dana?"Mata pria itu melotot ke
"Selama menyelidiki kerja sama dengan Garnett Holdings, aku menemukan fotomu sedang berjabat tangan dengan Leonard Garnett.""What?!" pekik Kenzo sampai rokok nya terjatuh. Aku langsung menunjuk jari telunjuk ke depan bibir, mengintruksinya agar diam."Ada tanda tangan basah di salah satu dokumen. Jadi, Pak Kenzo sempat mencurigaimu."Mulut Kenzo terbuka, tetapi langsung kusela,"Biarkan aku menjelaskannya sampai selesai."Pria itu pun menghela napasnya. " Fotonya terlalu banyak, aku sampai tak percaya. Dan Pak Tristan minta aku buat mata-matai kamu. Semua kecurigaan itu mengarah ke kamu, Zo. Jadi aku pun tak bisa menyangkal dan menuruti perintahnya. Terus ada beberapa transaksi yang ditemukan auditor mengarah ke rekening seseorang dengan inisial sama seperti namamu."Kenzo menegang. "Dan lo mikir itu gue?"Aku menatapnya dalam diam, menilai ekspresinya. "Gue nggak tahu. Tapi gue tahu satu hal, Zo. Nama lo keseret, dan kalau aku nggak g
Namun, saat mataku menangkap sosok pria jangkung dengan setelan navy blue yang berdiri di dekat bar, aku tahu ini akan menjadi malam yang panjang. Tristan sedang menatap lurus ke arahku!Astaga, kenapa dadaku berdebar seperti ini!"Akhirnya datang juga. Ke ruang makan sekarang," ajak Pak Tristan dengan dingin. Aku mengangguk sejenak kemudian mengokirnya dari belakang. Saat memasuki rumah ini, aku tak melihat ada tamu lain. Hanya beberapa pelayan yang lalu lalang. "Pak, di mana tamu lain?" tanyaku pelan."Tidak ada. Hanya kamu dan Bimo yang diundang Mama untuk makan malam."Aku cukup terkejut mendengar ucapan CEO-ku tersebut. Setelah seharian membebaniku dengan pekerjaan, sebagai sekretarisnya batinku jadi bertanya, apakah lumrah seorang sekretaris diajak makan malam bersama keluarga atasan?Aku menelan ludah, mencoba memahami situasi ini. Jadi, ini bukan sekadar makan malam perusahaan, melainkan undangan pribadi dari ibunya Tristan? Tapi kenapa? Ketika kami tiba di ruang makan, su
"Tidak," jawab Pak Kusuma datar.Salah satu alis Tristan terangkat. "Yakin? Kenapa dari tadi mencuri pandang ke arah sekretarisku?"Pertanyaan Trsitan membuatku keringat dingin. Aku menjadi topik pembicaraan di antara anak dan ayahnya. Ini membuatku tidak nyaman.Pak Kusuma tidak langsung menjawab. Ia hanya menatapku sejenak sebelum mengalihkan pandangannya ke Tristan. Ekspresinya tetap sama, dingin, penuh perhitungan, seolah sedang menimbang alasan di dalam pikirannya. Aku menggigit bibir, mencoba tetap tenang. Tapi tangan yang kugenggam di pangkuan mulai terasa dingin. "Jadi?" Tristan mengulang pertanyaannya, entah kenapa pertanyaannya mengandung tantangan halus. Pak Kusuma akhirnya bersuara. "Aku hanya penasaran." "Penasaran soal apa?" Tristan bertanya lagi, kali ini sembari melipat tangannya di atas meja. Pak Kusuma menyesap sedikit minuman jahenya yang baru saja dihidangkan oleh pelayan, kemudian meletakkan gelas itu kembali dengan gerakan perlahan. Itu adalah gelas ke
Aku menelan ludah. Kata-kata Bu Ayu barusan membuat dadaku terasa sesak. “Maksud Ibu mengenal lebih dekat?” tanyaku hati-hati. Bu Ayu menatapku sejenak sebelum menghela napas kecil. "Aku melihat sesuatu di Bimo, Maya. Sesuatu yang mengingatkanku pada seseorang." Tubuhku menegang. Sementara itu, pelayan datang menyajikan teh dan jus jeruk di meja. Bimo diam saja, hanya menggenggam sendok kecilnya dan memandangi gelas jus di depannya. Aku tahu dia belum nyaman berada di tempat asing seperti ini. Aku merapikan letak duduknya dan membisikkan, “Minum dulu ya, Sayang.” Bimo menoleh sekilas, lalu menurut. Aku kembali fokus pada Bu Ayu, yang masih mengaduk tehnya dengan gerakan pelan. “Bu Ayu mengingat seseorang?” tanyaku mencoba menggali lebih dalam. Beliau tersenyum samar. “Iya. Dulu aku juga punya seorang anak yang—” Bu Ayu terhenti sejenak, menatap Bimo. “…spesial.” Hatiku mencelos. "Putriku juga autis, seperti Bimo," lanjut Bu Ayu. Kali ini matanya sedikit berair. Sep
Hari ini aku mempersiapkan diri untuk berangkat ke bandara. Namun, saat akan memanaskan mobil, mendadak Alphard berwarna putih terparkir di depan rumahku. Aku terpaku menatapnya, itu seperti mobil para artis! Saat aku termenung, seorang wanita turun dengan anggun."Pagi, Maya. Hari ini biar aku yang mengantarmu ke bandara. Sekalian menjemput Bimo dan babysitternya. Dia akan menginap di rumahku satu bulan penuh, kan?" Suara yang lembut dari ibu atasanku itu bagai malaikat yang turun dari surga. Aku hanya mengangguk pelan, aura pejabat Bu Ayu sangat menyilaukan!Bu Ayu berjalan mendekat, senyumnya ramah tapi tetap memancarkan wibawa yang sulit diabaikan. “Ayo, kita berangkat,” katanya, membuka pintu mobil untukku.Aku segera mengangguk dan berbalik ke dalam rumah. “Bu Yati, sudah siap?” panggilku.Dari dalam, terdengar suara langkah tergesa-gesa sebelum sosok wanita paruh baya muncul dari ambang pintu. Bu Yati, asisten rumah tanggaku, tampak sedikit gugup saat melihat sosok Bu Ayu.“Iy
Aku terkekeh kecil melihat ekspresi cemberut Mama di layar ponsel. Sementara di sampingku, Tristan memasang wajah tak bersalah, seolah dia bukan biang kerok dari semua perjalanan panjang ini.“Kami rindu, Ma… tapi kan sekalian kerja. Lagian tiap malam video call, kan?” sahutku, mencoba menenangkan.“Iya, iya, tapi kalian harus pulang. Mama kangen. Bimo juga udah mulai rewel nyariin kalian, padahal kemarin dia bilang mau tinggal seminggu lagi. Tapi sekarang tiap malam nanya kapan Mama pulang,” suara Mama melembut, kali ini tidak menyindir lagi, hanya kerinduan tulus seorang nenek dan ibu.Tristan menoleh padaku. Matanya menyiratkan pertanyaan yang tidak ia ucapkan. Tapi aku tahu, aku pun merindukan Bimo. Dua bulan ternyata cukup untuk memulihkan luka, menata hati, dan kini… waktunya kembali.Aku mengusap perutku perlahan, refleks. Gerakan kecil itu belum tampak jelas, tapi kehadirannya sudah nyata. Aku tahu waktunya memberi kabar.“Ma…” aku menggigit bibir, sedikit gugup. “Kami akan pu
Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Tristan. Entah kenapa dadak mendadak sesak. Kurasa akan ada berita buruk sebagai kelanjutan kata 'tapi'."Keep calm, darling," bisik Tristan menangkanku. Suamiku sangat menyadari bagaimana keresahanku. Kuanggukkan kepala. "T-tapi apa, Ma?" tanyaku memberanikan diri.Helaan napas keluar dari kedua mertuaku. Bu Ayu menatapku sembari menggigit tipis bibirnya. Kedua tangannya di taruh ke atas meja. "Biarkan Bimo tinggal di sini."Tubuhku menegang. Kali ini aku tidak bisa mengontrol emosi yang akan meluap."Tenang, Maya. Aku tidak bermaksud memisahkan kamu dengan Bimo." Bu Ayu berusaha memberikan penjelasan. Namun, hatiku sangat takut."Kami tidak akan mengambil putramu. Niat kami hanya memberikan kalian ruang dan waktu sebagai pengantin baru. Tolong tenang..."Air mataku jatuh ke pelupuk begitu saja.Aku tidak bisa mengontrol diri."Tenang, darling." Suamiku berusaha menenangkanku, tetapi saat ini aku benar-benar tidak bisa dikontrol. Bu Yati dan Pa
Pagi ini aku terbangun dengan perasaan bahagia. Ada hal berbeda dari rutinitasku sebelumnya. Kini, saat membuka mata, kudapati suamiku menatapku penuh cinta."Morning, Darling," sapanya dengan suara serak basah.Kuberikan senyum terbaikku. "Morning."Tangan Tristan membelai rambutku dengan lembut. Matanya tak lekat menatapku.Kami berbaring sebentar, hanya saling menatap. Aku bisa mendengar detak jantungnya, tenang, stabil—seolah memberitahuku bahwa kini aku aman. Benar-benar aman.Lalu Tristan mencium keningku, turun ke hidung, dan berhenti tepat di bibirku. Sentuhannya ringan, seperti pagi itu sendiri."Ayo kita mandi bareng," ucapnya pelan.Aku mengerutkan dahi sambil menahan senyum malu. "Kamu serius?"Ia mengangguk, lalu bangkit dan menarik tanganku lembut. “Aku pengen mulai hari ini dengan kamu. Dari hal paling sederhana.”Kamar mandi kami dipenuhi aroma lavender dari diffuser yang menyala sejak semalam. Air hangat mengalir dari pancuran seperti hujan lembut. Tristan menggulung
Hari ini.Hari yang dulu kupikir hanya akan jadi angan-angan. Hari di mana aku, seorang janda dengan anak autis, berdiri di depan cermin dengan kebaya putih gading yang dijahit rapi mengikuti lekuk tubuhku. Makeup tipis, veil menjuntai, dan senyum gugup yang tak bisa kusembunyikan.“Maya sayang... kamu cantik banget. Kayak kalau bulan purnama minum kolagen terus ikutan audisi Putri Indonesia,” Paulo berseru dari balik pintu dengan suara cemprengnya. “Aku nggak nangis kok, ini cuma... eyeliner aku meleleh karena... ya, aku terlalu flawless.”Aku tertawa pelan, menatap pantulan wajahku di cermin.“Hari ini kamu resmi jadi istri, May,” gumamku pada diri sendiri. “Dan kamu nggak sendiri lagi.”**Di pelaminan mini tempat akad digelar, suasana begitu syahdu. Dekorasi nuansa putih dan hijau pastel menghiasi seluruh ruangan. Bunga melati menjuntai, cahaya matahari masuk dari jendela besar, menciptakan nuansa sakral yang hangat.Tristan duduk di depan penghulu. Wajahnya tegang tapi penuh teka
Beberapa minggu berlalu, kami mempersiapkan pernikahan. Karena ini adalah acara pernikahan pertama untuk keluarga Kusuma, jadi Mama dan Papa mertua menyiapkannya begitu mewah. Hari ini pun, aku berada di butik bersama keluarga calon suamiku, putraku Bimo, Bu Yati, dan Paulo si cowo feminim. “Sayang, kamu harus pasrahkan tubuhmu pada karya Tuhan bernama siluet couture, oke?” Paulo berseru sambil memutar scarf warna-warni di lehernya. “Jangan ngaku pengantin kalau belum ngerasain dijahit sambil setengah pingsan karena korset!”Aku tertawa pelan. “Jangan nakut-nakutin dong, Poo.”Salah satu asisten butik membantu memakaikanku gaun pertama. Kainnya menjuntai sempurna, detail bordir kristal Swarovski menyebar dari bahu hingga ekor panjang seperti ombak.Ketika tirai fitting room dibuka, semua mata tertuju padaku.Bu Ayu memandang diam-diam, matanya berkaca-kaca tapi penuh kekaguman. Pak Kusuma tersenyum lebar. Bu Yati langsung bertepuk tangan.Tapi, tentu saja… yang paling heboh, Paulo.“
Kulepaskan pelukan Tristan, kembali menatap Bu Ayu. Menunggu jawaban yang dilontarkan Pak Kusuma."Jawab, Ma.""A-aku..." Bu Ayu tampak ragu. Namun aku tau jika beliau memang berat memberikan restu kepada kami."Bisakah kamu merestui mereka? Apa kamu mau nasib kita turun ke putra kita?"Bu Ayu menatap Pak Kusuma dengan mata yang nanar. "Aku menikahimu karena terpaksa, Ayu.""Tapi aku tulus, Mas!" Tampak air muka wanita itu tersakiti. "Maaf. Aku benar-benar minta maaf sama kamu." Kini Pak Kusuma berlutut di depan Bu Ayu. "Sekarang aku menyadari kesalahanku. Waktu itu aku menerima perjodohan karena dipaksa orangtuaku. Tapi, sekarang aku tidak mau Tristan melalui hal sama. Bagaimana kalau pernikahan dia seperti kita?" Pak Kusuma memengang kedua tangan istrinya. "Kalau kamu memisahkan putra kita dengan wanita yang dicintainya, kisah antara aku, kamu, dan Ratna bisa terulang."Air mata Bu Ayu luruh. "Kamu jahat, bagaimana bisa kamu main belakang dengan dia, Mas. Kenapa-""Maaf. Aku sanga
"Ma, kami di sini untuk memberitahu kalau akan menikah. Tidak peduli mama merestui hubungan kami atau tidak, aku tetap menikahi Maya." Tristan menjadi garda terdepat sebelum Bu Ayu menyerangku.Napas wanita paruh baya itu tampak memburu. "Lebih baik kamu menikah dengan Rosa, Tristan. Dia lebih baik dari wanita itu!" seru Bu Ayu sembari menunjuk ke arahku."Tidak, Ma. Tidak ada yang lebih baik dari Maya.""Jangan cela pilihan Mama, Tristan. Mama mencegah penyesalanmu di kemudian hari." Bu Ayu menoleh ke arah mantan rekan kerjaku. "Benarkan, Rosa?""Benar, Ma." Rosa menjawabnya penuh percaya diri.Tristan menghela napas. "Ternyata kamu munafik banget, Ros." Kulontarkan sarkasme untuk menembak kemunafikan wanita itu.Mata Rosa melotot ke arahku. "Justru kamu yang munafik, May!" Napasnya memburu bak banteng. "Benar! Kamu menggoda anakku, kan?! Menjijikkan!" Bu Ayu meludah ke lantai. "Maya tidak menggodaku, justru aku yang mengejar-ngejar Maya, Ma!" Tristan meledak."Mama tidak percaya.
Rentangan tangan pria itu perlahan mengendur. Sorot matanya seakan kehilangan cahayanya. Bibirnya yang semula melengkung ke atas, kini berangsung datar. Aku tak tahan melihat ekspresinya yang seperti itu. Apa yang dipikirkannya saat ini?Kulangkahkan kakiku mendekat ke arahnya. Aku semakin sedih karena membuat Tristan sedih."Pulanglah. Besok malam jemput aku," ujarku merengkuh tubuh kekasihku yang sangat kucintai. Tristan membeku dalam pelukanku. Napasnya tertahan sejenak, seolah-olah ia ingin memastikan bahwa semua ini nyata, bukan hanya imajinasinya yang kesepian.Perlahan-lahan, aku merasakan kedua lengannya melingkari tubuhku. Ragu-ragu di awal, tapi kemudian semakin erat, seolah takut aku akan menghilang lagi."May..." bisiknya parau di dekat telingaku. "Kamu serius?"Aku mengangguk di dadanya, membiarkannya merasakan jawaban itu lewat detak jantungku yang berdebar cepat. "Pulanglah dengan Papamu, besok jemput aku. Kita meminta restu ke mamamu."Pak Kusuma terlihat mendekat k
Sebelum pria itu benar-benar bersimpuh, aku segera menghadangnya. Ekspresinya yang tak berdaya membuatku iba. "Silakan masuk, Pak." Putusku sebelum mempertimbangkan lebih jauh. Aku tak bisa membiarkan Pak Kusuma bersimpuh di hadapanku. Pria paruh baya itu mengikutiku dengan langkah lunglai. Dia seperti mayat berjalan, entah apa yang terjadi. Aku tak tahan melihat pemandangan yang menyedihkan ini.Bu Yati yang masih berdiri di depan kamarnya, sontak mematung saat aku mempersilakan Pak Kusuma bertamu."Tolong, teh," kodeku padanya. Aku kemudian berbalik dan menatap tamuku seramah mungkin. "Silakan duduk, Pak."Dia segera duduk dan menunduk. Aku menunggu untuknya bicara, tetapi keadaannya terlihat belum siap untuk mengobrol. Sampai-sampai Bu Yati menyeduhkan minuman dan snack, pria itu masih saja tertunduk dengan tangan mengepal. Bu Yati melihatku seakan bertanya, 'Kenapa?'Aku hanya mengendikkan bahu, karena tak tau apa yang membuat Pak Kusuma seperti itu. Bu Yati segera undur diri d