Makanan yang tersaji di hadapan mereka berdua terlihat sangat menggiurkan. Tidak di sangka bahwa semua ini akan terjadi. Berawal dari sebuah ketidak sengajaan menjadikan dirinya pembicaraan orang sungguh luar biasa. Selama ini dirinya memang tidak mempedulikan hal yang tidak penting dan karena itulah hanya berfokus kepada diri sendiri. Alice tumbuh dalam lingkungan yang terbilang memiliki keanehan sehingga membuat dirinya hanya terfokus akan apa yang menjadi tujuannya. Walau banyak sekali persoalan yang membuat dirinya tertekan namun semua itu tidak membuat dirinya goyah dalam sekali serangan bahkan beribu kali pun. Semakin lama dirinya itu hidup maka akan semakin besar hambatan yang ada dihadapannya. Sekarang waktu senggang untuk menikmati istirahat sebelum akhirnya kembali menikmati belajar di kampus. Alice dan juga Theresia berada di cafetaria sambil menikmati makanan yang mereka pesan sebelumnya. Tidak perlu menunggu waktu lama akhinya pesanan yang mereka pesan datang dihadapan mereka berdua. Seorang pelayan mengantarkannya kepada mereka.
“Permisi, ini makanannya silahkan untuk dinikmati,” ucap pelayan itu dengan ramah kepada mereka berdua.
“Wow ini kelihatan enak sekali. kau pesan apa?” tanya Alice kepada Theresia.
“Pasta daging. Aku sudah lama ingin sekali makan ini.”
“Sekarang sudah kesampaian.”
“Benar. hahaha. Eh kau pesan apa?”
“Hanya salad sayur.”
“Apa kau vegetarian?”
“Tidak juga. Kebetulan hanya sedang ingin makan ini.”
“Kukira kau vegetarian.”
“Itu mustahil.”
“Oh iya, akhir pekan ini bagaimana kalau mengerjakan tugasnya di tempat lain?”
“Boleh. Memangnya dimana?”
“Nanti akan ku carikan. Jangan khawatir.”
“Okay.”
Mereka berdua menghabiskan makanannya dalam waktu singkat dan sekarang sedang bersiap untuk pergi ke kelas lagi. tidak tersa waktu semakin berjalan dengan cepat. mereka berdua datang ke kelas untuk menghadiri mata kuliah terakhir hari ini dan begitu mereka berdua datang ternyata professor juga datang. Rasanya keberuntungan untuk pulang cepat semakin terasa. Alice dan Theresia mengikuti pelajaran dengan baik dan itu berjalan sampai waktu menunjukan untuk pulang dari kampus. Ketika Alice hendak pulang dari kampus tiba-tiba saja dirinya harus pergi ke suatu tempat karena baru saja seseorang mengirimkan pesan teks kepadanya dan dengan cepat dirinya berpisah dengan Theresia dan menuju ke tempat itu seorang diri. Sesampainya di tempat yang dimaksud ternyata adalah sebuah restoran yang bergaya klasi vintage. Seseorang duduk di kursi meja yang sudah di pesan sebelumya. Dengan perlahan Alice mendatangi orang itu. awalnya dirinya merasakan tekanan yang luar biasa namun dia mencoba untuk terlihat baik-baik saja. Begitu Alice datang orang itu melihatnya dan kemudian tersenyum kepada dirinya seakan dia orang yang baik.
“Duduk lah. kau tidak perlu berdiri seperti itu.”
“Kenapa kau memanggiku kemari? Apa yang kau inginkan?”
“Wah kejam sekali. seharusnya kau tidak berkata seperti itu Alice Cooper.”
“Jika kau tidak ada yang harus dibicarakan lebih baik aku pergi. Selamat tinggal.”
“Dia akan pergi ke luar negeri.”
“Apa maksudmu?”
“Kau tidak dengar? Ku bilang dia akan pergi ke luar negeri dan meninggalkanmu selamanya.”
“Lalu? Untuk apa kau memberitahuku?”
“Karena dia tidak akan mungkin memberithumu loh. Terlebih lagi sekarang kau sudah bukan orang yang penting. Kau tahu kenapa? Silahkan bercermin.”
“Sialan. Kau.”
“Kau akan menghajarku di tempat umum? Berani juga yak bocah ini.”
“Kalau kau selesai bicara aku akan pergi.”
“Hanya itu saja yang ingin ku katakan. Lagi pula tidak akan seru jika ku katakan di dalam telepon.”
“Menjijikan.”
“Selamat tinggal Alice. Ku katakan untuk mewakilinya.”
Setelah selesai berbicara dengan orang itu tidak lama kemudian Alice meninggalkan restoran. Wajahnya yang diliputi amarah membuat dirinya menedang kaleng yang ada di jalan itu dengan penuh amarah. Selama ini dirinya sudah menahan diri untuk ini dan ternyata terulang lagi hari ini tepat di hari dirinya berulang tahun. Kehidupannya yang penuh dengan kesedihan membuat dirinya merasa sesak untuk waktu yang lama dan kali ini luka itu mulai terbuka lagi perlahan menggerogoti tubuhnya. Alice berjalan menyusuri jalanan yang ramai. Dirinya kemudian harus bertabrakan dengan orang lain yang dia lewati.
DUKK
“Ah maaf,” ucap Alice dengan sopan.
Wajahnya memperlihatkan kemarahan sekaligus kesedihan yang mendalam. Sesaat kemudian dirinya datang ke sebuah tempat karoke dan menyanyikan lagu balad selama tiga jam seorang diri di sana. Terlihat raut wajahnya seakan dirinya baru saja dicampakan membuat suasana kelabu menyelimuti dirinya. Begitu selesai menyanikan beberpa album dia kemudian pergi ke suatu tempat yang tidak lain adalah cafe bar. Di sana Alice memesan alkohol dan kemudian meminumnya. Bartender yang berada di hadapannya merasa kasihan dengan kondisinya itu dan kemudian menyuruhnya untuk berhenti minum.
“Hey nak, hentikan. Kau bisa saja muntah,” ucap bartender itu.
“Biarkan saja. Ku muntahkan seluruhnya di hadapanmu.”
Pembicaraannya semkin lama semakin kacau karena pengaruh alkohol dan tidak hanya itu dirinya mulai mengigau dengan suara keras hingga membuat orang lain yang berada di sana melihat ke arahnya. Mereka yang ada di sana saat itu hanya menatapnya saja dan kemudian membiarkan dirinya terus seperti itu sampai tertidur untuk sementara. Alice sekatrang berada di kehidupan masa kecilnya dimana dirinya selalu menangis dan lagi banyak orang yang mengganggunya karena hubungan keluarga mereka. Dengan wajah sedih dirinya terus menangis begitu anak-anak yang bermain dengan dirinya mencemoohnya sampai mengucilkannya. Jauh di lubuk hatinya dia sangat terluka dan itu rasanya pedih bagaikan tersiram air asam. Semakin lama ingatan itu melekat dalam kepalanya dan semakin jelas terlihat. Saat ini Alice yang sednag tertidur itu pun kemudian menitikan air matanya tanpa disadari dan tidak lama kemudian dia bangun dengan keadaan sakit kepala yang masih berada di cafe bar itu tepatnya di hadapan bartender yang sedang meracik alkohol.
“Bagaimana tidurmu nak? Sepertinya kau mengalami kejadian buruk. apa sekarang sudah mulai membaik?”
“Ah iya. Aku lupa kalau diriku sedang mabuk. Jam berapa sekarang?”
“Sekarang sudah jam 6 sore.”
“Oh begitu.”
“Kau tertidur selama tiga jam.”
“Apa? selama itu?”
Cafe bar yang berada di ruang bawah tanah ini memang merupakan tempat favorit untuk minum-minum bagimana pun kondisinya karena buka 24 jam. Biasanya di sini banyak sekali orang yang datang. Namun sekarang rasanya sepi. Alice yang sudah bangun itu kemudian dia mengumpulkan nyawanya dan tidak hanya itu saja dia juga pergi ke toilet. Sesampainya di dalam toilet dirinya memuntahkan semua isi perutnya hingga suaranya terdengar sampai ke luar toilet. Begitu dirinya merasa lebih baik dia kemudian bercermin dan melihat wajanya yang sudah kacau itu lalu membasuh wajahnya dengan air di wastafle dengan perlahan sampai dirinya sudah tidak berantakan lagi.
Alice yang melihat pemandangan itu semakin membuatnya teringat dengan masa-masa itu. namun dia mencoba untuk melupakannya dan sekarang ini adalah kehidupannya yang baru. Selama beberapa bulan lamanya dia tinggal di sini. Alice juga pindah sekolah dan sekarang dia berada di sekolah paling terkenal di kota ini. Dan yang paling parahnya lagi dia satu kelas dengan Benedict. Meski dia sangat baik, namun beberapa temannya terlihat memandang Alice dengan pandangan yang berbeda. Mereka seakan mendiskriminasi dirinya. Untungnya, salah satu orang yang merupakan ketua kelasnya itu berada di pihak Alice karena mereka sama-sama anak yang rajin dan pintar. Awal masuk memang terlihat mengerikan dan itulah yang di alaminya. Namun, seiring berjalannya waktu ternyata tidak seburuk yang di bayangkannya itu. Setelah dirinya melewati hari-hari baru dalam hidupnya sampailah di mana dia berada di titik mengerikan yang sebelumnya sempat di takutinya. Hari di mana dia mendengarkan secara tidak sengaja menge
“Dengar Alice, mungkin perkataanku ini memang keterlaluan. Tapi, bagaimana pun juga aku mengatakannya sesuatu dengan apa yang sudah ku jalani. Jika boleh jujur, aku juga memiliki masalah yang sama denganmu. Kedua orang tuaku bercerai bahkan mereka berpisaha sejak aku masih di taman kanak-kanak. Meski begitu aku yang tinggal bersama dengan nenek rasanya memang menyedihkan dan ingin sekali pergi dari dunia ini. Namun, nenekku menasihatiku agar tetap menerima takdir. Soal jalan hidup apakah akan bahagia atau tidak itu tergantung kepada diri sendiri.”“Marry.”“Iya?”“Maaf, aku tidak tahu soal itu. kupikir kau...”“Sudahlah, tidak perlu meminta maaf. Lagi pula aku memang tidak punya teman untuk bercerita. Karena itulah ku katakan semua ini kepadamu.”“Terimakasih karena sudah menyadarkanku. Aku sungguh berterimakasih.”“Sama-sama, terimakasih juga karena mau mendengark
Alice langsung pergi dan kemudian dia menghubungi Marry untuk makan bersamanya. Dengan cepat dia langsung menuju ke sana dan saat ini dirinya yang masih merasa kesal karena sikap mereka semua yang memuakan. Alice akhirnya sampai di sebuah restoran khusu makanan pedas dan dia langsung memasuki tempat tersebut. Dirinya menunggu Marry di dalam dan tidak lama setelahnya dia langsung datang. Mereka berdua berada di dalam dan mulai memilih menu yang akan mereka pesan. Kali ini Alice merasakan kemarahan yang luar biasa karena ulah dari kerabatnya itu sehingga membuatnya merasa muak apalagi melihat wajahnya. Selama beberapa pertemuan, mereka selalu menganggapnya remeh dan mempermalukannya. Saat ini, tepatnya di suatu tempat yang berbeda yang tidak lain adalah ruang pertemuan yang tadi. Di sana, Antoni sedang mengecek ponselnya dan ternyata ada banyak sekali panggilan tidak terjawab dari ibunya. Dia sengaja tidak mengangkatnya karena masih merasakan amarah yang terjadi di saat itu. Saat-saat
“Sampai kapan kalian akan membicarakannya?” ucap Marry kepada beberapa anak yang ada di sana sedang berkumpul sambil membicarakan Alice.“Oh, kenapa kau yang marah? Memangnya apa masalahmu?”“Dasar gila, hentikan omong kosong kalian. Jangan seenaknya membicarakan orang lain seperti itu!”“Dengar Marry, ini adalah hak kami mau membicarakan siapa pun. Kenapa kau yang marah dan mengatakan kami gila? Jangan bertingkah. Kau sama sekali tidak ada hubungannya kan? Lalu, apa yang kau khawatirkan? Dia akan depresi?”“Keparat ini.”“Sudah Marry, biarkan saja.”“Alice?”“Apa?” ucap temannya itu dan ternyata dia sangat terkejut.‘Gawat,’ batin merekaAlice menatap mereka dengan tatapan dingin dan kemudian duduk di kursinya. Mereka langsung memalingkan wajahnya yang terlihat memerah. Sementara anak lain yang melihatnya, hanya t
Sementara itu, di suatu tempat yang berbeda. Ibunya sedang menelpon seseorang dan ternyata dia terlihat senang sebelum akhirnya beranjak dari sofa dan mematikan lampunya. Ke esokan paginya, cahaya matahari memasuki kamar Alice dan sekarang dia sedang bangun dari tempat tidurnya. Setelah alarm membangunkan dirinya. Alice kemudian pergi untuk mulai bersiap mengawali paginya di musim ini. Setelah beberapa menit berlalu, dia sudah siap dan kemudian berangkat ke sekolah. Dalam perjalanannya ke sekolah, dia mulai memikirkan apa yang akan terjadi di hari ini. Pandangannya yang terlihat seakan dirinya sudah berada di ambang batas keputusasaan. Tidak lama kemudian, bus mulai datang dan mereka semua memasukinya. Anak-anak lain terlihat ceria dan bersemangat mengawali paginya. Sementara dirinya hanya termenung di bawah kelabu. Begitu dirinya duduk di kursi tengah dan memandangi jendela, dia melihat pemandangan kota yang cerah dan bersinar. Dirinya kemudian menghela nafas panjang sebelum akhirn
Semakin lama semakin terasa menyakitkan. Apa yang terjadi di dalam rumahnya dan sekarang ini dia sedang berusaha untuk menyembuhkan dirinya. Perlahan-lahan, rasa sakit yang memenuhi dadanya itu semakin menumpuk hingga akhirnya dia tidak tahan lagi dan secara tidak sadar dia menangis di hadapan Marry. Dia yang melihat Alice seperti itu seketika mencoba untuk membuatnya tetap tenang. Beberapa orang mungkin melihat ke arah mereka, namun ini bukan saatnya untuk memperdulikan orang lain. Alice terus meneteskan air matanya dan Marry terus menepuk punggungnya. Rasanya semuanya mengalir bagitu saja dan tidak terasa sesak lagi.“Menangislah. keluarkan semuanya,” ucap Marry kepada dirinya“Maafkan aku, kau jadi melihatku seperti ini.”“Tidak, jangan minta maaf. Sudah sepantasnya aku mendengarkanmu. Bukankah kita teman?”“Iya.”“Sekarang kau hanya perlu menangis sekeras mungkin dan keluarkan isi hatimu. Ti