Damien: 😍|| Erick: 🤡
Keesokan paginya, Samantha memastikan apa yang dikatakan oleh Nyonya Amy langsung kepada ayahnya. Tuan Harry membenarkan hal itu, bahwa Erick lah yang membawa semua berkasnya. ‘Papa membawanya pada Erick saat memintanya membantu melunasi utang pada bank, Samantha.’ Kalimat sang ayah yang didengarnya tadi kembali terngiang. Sama persis dengan yang dikatakan ibunya. Ia pikir, semua dokumen itu kemungkinan besar disimpan oleh Erick di ruang kerjanya yang ada di rumah. Karena seingatnya, pria itu banyak meletakkan file penting di sana. ‘Tapi bagaimana caraku kembali ke sana?’ tanya Samantha dalam hati. Ia sudah memutuskan untuk tidak pernah kembali pada Erick. Menginjakkan kakinya kembali ke rumah itu bukanlah sebuah ide yang bagus. Samantha terdiam cukup lama, duduk di kursi tunggu di kantor polisi. Ia menunduk dengan cepat saat ponselnya menerima pesan dari salah seorang staf restorannya yang terpaksa harus dirumahkan. Dari Vivian. [Apa Bu Samantha sudah melihat ini?] Begitu yan
Damien berjalan mendekat pada Samantha sehingga ia segera menurunkan ponselnya dari samping telinga. “Tuan Damien,” sapa Samatha seraya menundukkan kepalanya. “A-apa yang Anda lakukan di sini?” “Saya tadi datang ke restoran milik Nona dan berencana untuk membawa tim saya makan di sana nanti, tapi restorannya ….” Damien berhenti bicara, kepalanya miring beberapa derajat ke kiri sehingga Samantha menyahut dengan cepat. “Disegel,” ucapnya. “Saya pergi ke sini setelah mendapat kabar ayah saya dibawa polisi.” Damien mengangguk samar, “Ya. Salah seorang staf Nona yang ada di sana mengatakan Nona mungkin di sini, jadi saya menyusul.” Suaranya senantiasa tenang sehingga kekalutan di dalam hati Samantha berangsur reda. “Nona baik-baik saja?” “Iya,” jawab Samantha. Damien terlihat menggapai sesuatu dari balik saku jas yang ia kenakan. Sebuah ponsel, yang tampak ia periksa sebelum pandangannya terangkat dan mempertemukan iris biru gelap itu dengan manik Samantha. “Sepertinya Nona baru me
Usai mendapat panggilan dari ibunya, Samantha bergegas pulang. Tapi setibanya di rumah, hanya tangis Nyonya Amy yang menyambutnya. Ratapannya mengiris hati saat wanita itu berujar, “Papamu sudah dibawa, Nak ….” Samantha terlambat. Sang ayah telah digelandang ke kantor polisi. Untuk sesaat, ia tidak tahu harus melakukan apa karena kejadiannya begitu cepat. Penyegelan restoran hingga penangkapan Tuan Harry berlangsung hanya dalam sekejap mata. Tapi satu hal yang Samantha yakini, bahwa ini pasti dilakukan oleh Erick, mengingat ancaman yang pernah dikatakan oleh pria itu sebelumnya. Samantha berpamitan pada ibunya untuk menyusul Tuan Harry. Setibanya di sana, ia masih diizinkan untuk bertemu meski itu harus dipisahkan oleh sekat kaca tebal yang menjadi batas perjumpaan mereka. Pria paruh baya itu masih mengenakan pakaian yang tadi Samantha lihat saat ia berpamitan pergi ke restoran. “Maaf, Samantha,” ucap Tuan Harry dengan serak, mata tuanya tampak lelah. “Bagaimana bisa terjadi,
“Istriku, baru pulang?” sapa Erick sembari melambaikan sekilas tangannya. Samantha tak menjawab, ia meremas jemarinya yang mendadak mati rasa saat pria itu sekilas menoleh pada Tuan Harry dan berujar, “Aku sudah bicara dengan Papa untuk bisa bertemu denganmu.” “Aku lelah, Erick,” balas Samantha, menolaknya. Ia tahu bahwa Erick akan melampiaskan kekesalan padanya. “Kembalilah lain kali kalau mau.” “Kenapa kamu bersikap seperti ini padaku, Samantha?” tanya pria itu. “Kita bahkan belum resmi bercerai. Tidak bisakah, kita memperbaikinya? Bukankah seperti itu yang benar, Pa?” Erick menoleh pada Tuan Harry yang membenarkannya lewat sebuah anggukan. “Berilah Erick kesempatan, Samantha,” pinta sang ayah. “Erick ingin bicara denganmu untuk memperbaiki hubungan kalian. Pasang-surut dalam rumah tangga itu biasa. Kalian bisa membicarakannya baik-baik.” Menolak bagaimanapun, Erick tetap menang. Pria itu mendekat pada Samantha setelah Tuan Harry selesai bicara. “Ayo,” kata Erick seraya mera
Samantha memberontak, meski suaranya tersendat akibat tekanan yang diberikan oleh Erick, ia mencoba berteriak. “Le-lepas!” serunya sekeras yang ia bisa, berharap ada orang di parkiran yang mendengar dan melihat kegilaan Erick. Meski tidak ada seorang pun yang datang, setidaknya itu membantu Samantha. Sebab hal yang baru ia lakukan itu membuat Erick melepasnya. Sepasang mata pria itu memerah, amarahnya meluap-luap. Dan sebelum sesuatu yang lebih buruk terjadi, Samantha beringsut mundur, menjaga jarak. “Pengadilan mengirimkan surat panggilan untuk sidang cerai,” ucap pria itu. “Kamu melakukannya lagi? Kamu pikir siapa dirimu, Samantha?!” Samantha tak menjawab, tapi membenarkan dalam hati. Bahwa ia memang sudah memasukkan kembali gugatan cerai terhadap Erick setelah mengantongi bukti yang cukup. Hasil visum serta foto-foto perselingkuhan Erick dan Eliza yang ia dapatkan dari Damien. Surat pemanggilan sidangnya telah diterima oleh Erick, dan pria itu tidak terima. Harga dirinya terlu
“S-saya tidak lapar,” jawab Samantha, menolak permintaan Damien. Ia datang ke sini hanya untuk mengetahui apa yang ingin diberikan oleh pria itu, kemudian pulang. Damien bergeming, ia hanya menatap Samantha dengan iris birunya yang terlihat berkilauan di bawah pencahayaan lampu gantung di atas mereka. Anehnya … Samantha perlahan berubah pikiran. Dari penolakan, sebuah rasa bersalah timbul di dalam hatinya. Ia baru saja merasa tidak tahu diri jika menolak Damien saat pria itu sudah berbaik hati membantunya. “Baiklah,” ucap Samantha akhirnya. Damien mempersilakannya untuk duduk. Mereka berseberangan dengan dipisahkan oleh sebuah meja yang letaknya tidak jauh dari jendela hotel dan menunjukkan gemerlapnya lampu kendaraan yang terlihat sangat kecil di bawah sana. Makan malam berlangsung tanpa banyak percakapan yang terlewati. Hanya sesekali pandangan mereka bertemu dan Samantha buru-buru menghindarinya. Lagi pula, Samantha tidak tahu apa yang harus ia bicarakan, atau memulainya dar