“Apa kamu berkeliaran dalam keadaan mabuk dan membuat malu keluarga Elton?”
Tanya dari Erick kembali mencecar Samantha. “Jawab!” “T-tidak,” jawab Samantha lirih. “A-aku ketiduran di kamar, dan langsung menghubungi kamu saat bangun.” “Benarkah?” Samantha mengangguk, meremas jemarinya, berharap Erick akan percaya dengan kebohongannya. “Kamu tidak melihatku pergi dengan siapa tadi malam?” tanya Erick lagi. “Ya?” Samantha memandang suaminya yang segera berpaling saat tatapan mereka bertemu, entah kenapa ia merasa Erick sedang memastikan sesuatu, seolah ada yang tengah disembunyikannya. “Lupakan!” katanya singkat sembari berjalan melewatinya sehingga Samantha meraih tangannya dengan cepat. “Erick, ayo kita—” “Pergilah ke rumah Mama nanti malam,” potong pria itu. “Mama memintamu menyiapkan makan malam untuk tamu penting. Aku tidak mau mendengar Mama mengeluh tentang kebodohanmu, jadi sebaiknya kamu tidak melakukan kesalahan!” Erick menepisnya hingga tangan Samantha terlempar menjauh dari tubuhnya. Seakan tak sudi jika Samantha menyentuhnya. “Tapi, Erick, anak kita—” “Aku sibuk!” Pria itu kembali menyela. Singkat, dan terdengar tak peduli. Langkahnya menjauh, meninggalkan Samantha. “Erick,” panggilnya, berharap suaminya itu berhenti dan meralat jawaban. “Erick?” Tapi pria itu tak menoleh, mengabaikan Samantha yang berdiri menggenggam udara kosong dan menggigit bibirnya hingga perih. ‘Suamiku, sudah berapa lama aku memanggilmu dan tak pernah benar-benar kamu dengar lagi?’ Samantha menarik napas dalam-dalam, matanya sejenak terpejam untuk menenangkan diri sebelum ia beranjak dari sana. Ia bersiap pergi ke rumah sakit untuk menjenguk anaknya. Gabriella Elton, gadis kecil itu dijumpai Samantha ada di dalam ruangan dengan seorang pembantu rumah tangga yang ia minta untuk menemaninya selama ia pergi semalam. Ia bertemu dengan seorang dokter yang mengatakan mereka harus bicara. “Bagaimana … keadaan Gabriella, Dokter?” tanya Samantha saat ia berhadapan dengan pria berkacamata itu di luar ruangan. “Kondisi anak Ibu membaik,” jawab beliau. “Tapi meski demikian, kami tidak bisa menjamin sampai kapan kondisi seperti ini akan bertahan. Kemoterapi memang cukup membantu, tetapi tidak memberikan hasil yang optimal. Seperti yang sudah pernah saya katakan, Bu Samantha. Transplantasi sumsum tulang belakang akan mempercepat proses penyembuhan Gabriella, itu adalah peluang terakhirnya.” Samantha menunduk, bukan hanya sekali dokter mengatakan tentang hal itu, dan ia sudah mengusahakannya. Sel induk miliknya telah diperiksa untuk melihat kecocokan antara ia dan putrinya. Tapi mereka tidak cocok, Gabriella memiliki golongan darah langka. Erick lah yang memiliki golongan darah yang sama dengan Gabriella, yang kemungkinan besar HLA—protein di dalam tubuh—mereka pun akan cocok. “Apakah ayahnya Gabriella tidak bersedia?” tanya dokter. Samantha ingin menyangkal, tetapi tidak bisa. Karena Erick memang belum bersedia untuk diperiksa—atau mungkin memang tidak. “Maaf, Dokter,” ucap Samantha sembari mengangkat wajahnya. “Tapi bisakah Dokter memaksimalkan kemoterapinya untuk sementara ini? Saya akan meminta keluarga saya yang lain untuk mau dites, barangkali ada yang cocok.” Dokter tersebut mengangguk, “Baiklah.” Samantha berterima kasih saat beliau pergi dengan beberapa perawat yang mengikutinya. Setelahnya, barulah ia masuk ke ruang rawat Gabriella. Putri empat tahunnya itu menyambut dengan senyum yang merekah meski Samantha tahu ia sedang menahan sakit. “Mama,” sebutnya dengan suara yang manis. “Iya, Sayang.” “Papa di mana, Mama?” Samantha menelan kenyataan yang perih saat menjawab, “Maaf ya ... Papa sedang sibuk.” “Tapi apakah Papa tidak memiliki sedikit waktu untuk Briel?” Bocah kecil itu mengiba, sorot matanya terlihat sangat merindukan ayahnya. “Papa sedang bekerja, Sayang,” jawab Samantha sekali lagi, ia duduk di tepi ranjang, meraih tangan kecil Gabriella yang sedang diinfus. “Uangnya untuk berobat Briel, jadi selagi Papa berjuang di sana, Briel juga harus berjuang untuk cepat sembuh di sini.” Bola matanya yang cantik mengerjap beberapa kali, “Selama Briel sakit, Papa belum pernah menjenguk. Padahal Briel ingin digendong Papa, Ma. Sekali … saja.” Jari telunjuknya yang kecil dan tampak rapuh membentuk angka satu yang terarah pada Samantha. Melihatnya mengiba seperti itu membuat Samantha mati-matian menahan air matanya agar tak jatuh. “Tidak apa-apa, biar Mama saja yang menggendong Briel sekarang.” Samantha bangun dari tepi ranjang, mengarahkan kedua tangannya ke depan dan mengangkat Gabriella ke gendongannya. Di pelukannya, dagu kecil Gabriella jatuh di bahunya. Hati Samantha remuk saat mendengar gadis kecil itu meracau tentang keinginannya seandainya sang ayah datang ke sini. Suaranya lalu terdengar jauh, terdistorsi, lambat laun menghilang dan tak lagi terdengar. Gabriella terlelap dengan keadaan memendam kerinduannya pada Erick, ayahnya sendiri. Menunggu beberapa saat, Samantha dengan pelan membaringkan gadis kecil itu di atas ranjang rawatnya. Rambut hitam yang ia usap itu mengalami kerontokan akibat kemoterapi berkepanjangan. Gadis kecilnya hampir mengalami kebotakan. Tangis Samantha pecah tanpa suara meratapi bahwa anaknya telah kehilangan banyak hal, masa anak-anak yang menyenangkan, dan kasih sayang seorang ayah. Seperti tak diberi napas, Samantha mendapatkan panggilan dari ibu mertuanya. Dari seberang ponsel, suara wanita paruh baya itu terdengar kasar saat mengatakan, “Cepat datang!” Cukup dua kata bernada hardikan, lalu mati tanpa mau mendengarnya. Samantha menyeka air matanya kemudian berjalan menjauh dari Gabriella. Menitipkan gadis kecil itu sekali lagi pada pembantu yang menemaninya lalu pergi meninggalkan rumah sakit. Di rumah orang tua Erick, Samantha bergegas menyiapkan makan malam. “Semakin ke sini aku melihat kalau Erick sangat tidak beruntung menikah denganmu, Samantha,” ucap Ibu mertuanya—Nyonya Linda—yang berjalan memasuki dapur. “Di saat semua orang memiliki cucu laki-laki yang bisa dibanggakan, keluarga Elton hanya mendapatkan cucu perempuan yang sakit-sakitan.” Wanita itu tiba di dekat Samantha yang sibuk dengan adonan yang ia olah hingga pergelangan tangannya nyeri. “Rasanya uang keluarga ini habis untuk mengurusi anakmu itu!” Bibir pucat Samantha gemetar. Ia berhenti sejenak, mengangkat wajahnya. “Maaf, Ma ….” “Apa yang sebenarnya dulu dilihat oleh Erick darimu?” Nyonya Linda masih belum puas. “Melihatmu sekarang ini membuatku sangat frustrasi. Semalam di pesta, caramu berdiri seperti pembantu yang salah alamat, menyedihkan!” Kedua tangannya bersedekap penuh penghakiman. “Apa kamu tidak pernah berpikir kalau Erick mungkin saja tidak bahagia denganmu? Seandainya bisa terulang, aku akan memilih menantu yang lebih baik daripada kamu!” pungkasnya kemudian pergi. Meninggalkan Samantha yang terdiam sangat lama dengan keadaan kebas sekujur badan dihantam kebencian bertubi-tubi dari ibu mertuanya. Dulu beliau tidak seperti ini. Waktu menggerus semua kebahagiaan dan hanya menyisakan rasa sakit untuknya. Sekitar pukul tujuh malam saat ia mendengar suara Erick memasuki ruang makan. Suaminya itu tak datang sendirian, melainkan terdengar bersama dengan ‘tamu istimewa’ itu. “Keluarkan makanannya, Samantha!” pinta Nyonya Linda saat beliau memasuki ruang makan dengan sudah berganti pakaian. “Hati-hati! Jangan membuat kesalahan yang memalukan!” Tak ubahnya seorang pembantu, Samantha membawa nampan berisikan makanan hasil jerih payahnya itu meninggalkan dapur. Menuju ke ruang makan, langkah Samantha mendadak berat. Darahnya membeku dalam sesaat, ia berdiri terpancang kala melihat siapa tamu yang menginjakkan kakinya di rumah ini. ‘Damien?!’Pagi ini, Samantha duduk di dalam ruang rawat Gabriella. Harusnya, ia menyuapi anak gadisnya itu.Tetapi yang terjadi ia justru sibuk melamun mempertanyakan apakah semalam Erick pulang atau tidur di luar. Mengingat ia tidak di rumah dan langsung menuju ke rumah sakit untuk mendampingi Gabriella.Samantha menggeleng, mencoba menenangkan dirinya.‘Berhentilah mengkhawatirkan sesuatu yang tidak pasti, Samantha,’ gumamnya dalam hati, menepis pikiran buruk yang mengganggunya.Erick mengatakan bahwa kepergiannya itu soal pekerjaan. Maka harusnya benar seperti itu.“Mama,” panggil Gabriella dengan suara manisnya yang membuat Samantha segera menoleh pada anak gadisnya.“Iya, Sayang?”“Kemarin Briel jalan-jalan keluar dengan Sus Delia,” katanya. “Briel melihat anak perempuan yang dirawat di ruangan sebelah ditemani oleh Papanya. Dia dipeluk, dan ... mendapat hadiah yang bagus.”“Jadi Briel ingin hadiah yang bagus juga?” tanya Samantha sembari mengusap sudut bibir Gabriella.“Tidak, Ma. Hanya i
Samantha menyeka air matanya yang baru saja jatuh tanpa suara saat Damien bertanya, “Apa Nona terbiasa diam saja saat diperlakukan seperti itu?”“Saya tidak mengerti apa yang Anda bicarakan,” jawab Samantha.Suaranya serak, tak bisa menyembunyikan kenyataan bahwa ia baru saja menangis.Samantha hanya tak ingin mengatakan hal buruk soal ibu mertuanya.Damien selangkah maju teriring tawa lirih yang seolah sengaja ia perdengarkan pada Samantha. “Masih berusaha menyembunyikannya?”“Jika tidak ada yang ingin Anda katakan lagi, saya akan pergi.”“Pergi untuk menangis?”“Jangan bersikap seolah Anda tahu semuanya,” sahut Samantha, menyangkalnya. “Anda tidak tahu apa-apa tentang hidup saya, Tuan Damien. Tadi Mama hanya sedang … sedikit kesal saja.”Samantha berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin padahal ia sedang gugup.Ketenangan dan cara bertutur pria itu, seolah Damien tahu semua hal tentangnya.Ia beranjak pergi dari sana, menjauhkan dirinya dari Damien. Satu langkah menjauh, sua
‘Tamu yang dibawa oleh Erick adalah Damien?!’Sejenak Samantha berdiri linglung di tempatnya, tak bergerak, hingga teguran Nyonya Linda terdengar.“Bawa ke sini, Samantha!”“B-baik,” jawab Samantha setelah kesadarannya kembali.Meski kakinya terasa berat, ia tetap mengayunkannya menuju ke ruang makan.Perbincangan terjadi di antara mereka, kedua orang tua Erick menyambut Damien dan melontarkan pujian yang tak putus.Sedang di sebelah Damien, Samantha merasakan tangannya yang gemetar sewaktu ia meletakkan makanan itu di atas meja.Beberapa menit yang membuat napasnya habis, ia lega saat akhirnya bisa pergi dari sana. Namun, suara Damien membuat Samantha menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.“Kenapa Nona Samantha tidak bergabung dengan kita di sini?”Tanya itu membuat Erick saling pandang dengan kedua orang tuanya. Samantha tahu betul bahwa ia tadinya tak akan dilibatkan dalam perjamuan tersebut.Tetapi karena Damien bertanya demikian, akhirnya Erick meminta agar Samantha dud
“Apa kamu berkeliaran dalam keadaan mabuk dan membuat malu keluarga Elton?” Tanya dari Erick kembali mencecar Samantha.“Jawab!”“T-tidak,” jawab Samantha lirih. “A-aku ketiduran di kamar, dan langsung menghubungi kamu saat bangun.”“Benarkah?”Samantha mengangguk, meremas jemarinya, berharap Erick akan percaya dengan kebohongannya.“Kamu tidak melihatku pergi dengan siapa tadi malam?” tanya Erick lagi.“Ya?”Samantha memandang suaminya yang segera berpaling saat tatapan mereka bertemu, entah kenapa ia merasa Erick sedang memastikan sesuatu, seolah ada yang tengah disembunyikannya.“Lupakan!” katanya singkat sembari berjalan melewatinya sehingga Samantha meraih tangannya dengan cepat.“Erick, ayo kita—”“Pergilah ke rumah Mama nanti malam,” potong pria itu. “Mama memintamu menyiapkan makan malam untuk tamu penting. Aku tidak mau mendengar Mama mengeluh tentang kebodohanmu, jadi sebaiknya kamu tidak melakukan kesalahan!”Erick menepisnya hingga tangan Samantha terlempar menjauh dari t
Samantha bingung mencerna situasi. Saat pandangannya mengedar sekali lagi, ia gemetar menyadari bahwa ini bukan kamar resort tempat ia meninggalkan barangnya kemarin.Napasnya tertahan, wajahnya pias kala potongan ingatan semalam datang seperti kilatan cahaya.Pintu yang terbuka, pelukan yang hangat dan cumbuan yang membuatnya tersesat dalam kenikmatan yang tak pernah didapatkannya itu bukan datang dari suaminya, melainkan diberikan oleh pria lain.“Aku pikir kamu adalah wanita yang sengaja disiapkan oleh Erick agar aku tidak bosan di pesta semalam,” ucap Damien dari sofa tempat ia duduk. “Dia mengatakan hal seperti itu saat aku menolak untuk datang.”Samantha menoleh pada tuan muda keluarga Frost itu, tubuhnya menggigil penuh rasa bersalah. Ia telah mengkhianati Erick dengan tidur bersama pria lain.“I-ini kesalahan, Tuan Damien,” jawab Samantha terbata. “Maaf karena saya sembarangan masuk ke dalam kamar Anda.”Damien tak begitu saja menjawab, pria itu lebih dulu bangun dari duduknya
“Sebelum membuat malu, sebaiknya kamu pergi dari sini!” Suara hardikan itu membuat Samantha menoleh pada asal suara dengan kepala yang pening. Maniknya menatap seorang pria dalam balutan jas yang berdiri di sebelahnya. Erick Elton, suaminya. Alis lebat pria itu hampir tertaut saat menebah lengan jasnya yang basah karena Samantha tak sengaja menumpahkan minuman dari gelas berkaki yang dibawanya. Samantha hanya lelah setelah tak beristirahat sama sekali karena menjaga anaknya yang kritis di rumah sakit, tapi ia malah dipaksa datang ke pesta anniversary mertuanya. Ia hampir limbung jika bahunya tak dirangkul dengan cepat oleh seorang gadis dari samping kanannya, yang memastikan ia tetap berdiri tegak. “Kamu baik-baik saja?” tanya suara manis perempuan itu, Eliza. Sahabat sekaligus teman dekatnya dan Erick sejak lama. “Iya,” jawab Samantha, menunjukkan senyum palsunya sembari mengangguk. “Jangan bicara seperti itu pada Samantha, Erick. Dia lelah, tolong mengertilah sedikit!”