“Leon, mau sampai kapan kamu meratapi kepergian Inggit?” hardik Dirga pada Leon yang tiduran di ranjang.“Papa berisik!” balas Leon. Ia menggeliat malas, dan kembali menenggelamkan kepalanya ke dalam selimut.“Heh, kamu jangan lemah gara-gara perempuan! Gara-gara Inggit pergi kamu jadi melalaikan pekerjaan, perusahaan kacau tidak ada yang handle. Mau seperti ini terus? Kamu pikir tidur setiap hari memikirkan perempuan itu, dia bakal kembali? Enggak, Leon! Bangkit! Cari dia! Jangan lalai dengan perusahaan yang susah payah kamu rintis!” bentak Dirga panjang lebar.“Emang papa tahu dia di mana? Enggak kan?” sergah Leon kasar, ia menyembulkan kepala di balik lipatan selimut tebal.“Papa sudah tidak memikirkan Inggit. Carilah dia!”Bohong! Dirga hanya berbohong pada Leon, ia tidak mau susah mencari Inggit.“Kenapa papa berubah pikiran? Bukankah papa menyukai Inggit?” tanya Leon heran. Tidak biasanya Dirga seperti itu. Mungkinkah karena akan menikah dengan Aluna? Entah!“Mana bisa papa lega
Bom yang Darren lempar, hari ini meledak! Berita Aluna bertebaran di mana-mana, bahkan di semua sosial media. Berita yang beredar, memiliki judul yang hampir sama, Aluna mantan pelacur. Fredi melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya.Sraakkk!Aluna membuang semua barang yang terlihat di depan matanya. Berkas, tas, babakan ponsel miliknya.Napasnya memburu, wajahnya merah, semerah magma. Marah, itu yang dirasakan Aluna. Ia tak menyangka, jika Darren serius dengan ucapannya. Dari mana Darren tahu rencana pernikahannya yang terus berjalan? Seingat Aluna hanya dirinya, pihak WO, dan Dirga yang tahu rencana Aluna.Aluna menyibakkan rambut panjangnya yang menutupi wajah. Lalu kedua tangan berada di pinggang.“Siapa? Siapa yang membocorkan rencana itu? Sialan! Pasti semua orang akan menghujatku habis-habisan.”Tubuh Aluna lemas, seolah tidak mampu berdiri, saat mengingat ia akan dibully dan dihujat jika keluar dari ruangan. Ia mendaratkan bokong ke atas kursi miliknya.Perlahan ia meraih te
Leon memacu mobil menuju kantor miliknya. Usaha yang ia rintis mati-matian sedang mengalami penurunan, akibat dirinya terlalu lama meratapi kepergian Inggit.Sebenarnya belum bisa dikatakan kantor, Leon membuka usaha dibidang makanan beku. Masih menggunakan produksi manual, baru ada beberapa puluh karyawan yang bekerja.Leon menyewa sebuah ruko yang lumayan luas sebagai tempat produksi barang, bahkan ia mulai mencicil beberapa alat produksi untuk memudahkan pekerja, lebih efektif dan efisien.Leon sadar, jika dirinya terus memikirkan Inggit, hidupnya tidak akan maju. Leon memikirkan kata-kata yang diucapkan papanya. Dirinya memang mencintai Inggit, tetapi bukan alasan untuk berdiam diri. Leon berjanji pada dirinya sendiri, akan mencari Inggit di sela-sela mengembangkan usahanya.Mobil Leon sudah terparkir di depan kantor, ia menatap sekeliling begitu keluar dari mobil. Beberapa motor karyawan sudah berjejer rapi.Leon melihat jam di tangan, masih pukul 7 pagi. Sengaja Leon datang 1 ja
“Kamu baik-baik saja?” tanya Darren pada Inggit khawatir.Darren meraba wajah dan tubuh Inggit, memeriksa apakah ada yang terluka, karena sejak kedatangan Dirga, Inggit menjadi pendiam.“Nggit, kamu baik-baik saja?” tanya Darren sekali lagi.Inggit mendongakkan kepala, terlihat mata Inggit bengkak karena terlalu lama menangis, rambut acak-acakan, dan air mata masih membasahi wajah.Darren segera memeluk Inggit yang terlihat sedang tidak baik-baik saja. Ia mengelus punggung gadis yang akan ia nikahi besok.“Katakan, ada apa?” tanya Darren pelan.“Om Dirga, kenapa Om Dirga bisa menemukan aku di sini? Aku benci dia, aku benci dia!” teriak Inggit histeris, air mata kembali mengalir deras.“Tenang, Nggit. Dia sudah pergi, dia gak akan ganggu kamu.” Darren mencoba menenangkan Inggit.Darren teringat cerita masa lalu Inggit, mungkinkah pamannya itu yang dimaksud? Bisa jadi, melihat reaksi Inggit, Darren yakin Dirga-lah yang membuat Inggit trauma seperti sekarang.“Aku benci dia!” Inggit sedi
Pernikahan Darren dan Inggit berlangsung meriah di salah satu hotel bintang lima. Tidak banyak undangan yang disebar, hanya untuk keluarga dan beberapa kolega Darren, Inggit yang meminta. Dirinya tidak mau lebih mempermalukan Darren, berita tentangnya kemarin sudah cukup membuat tertekan.“Apakah kamu gugup, Sayang?” bisik Darren pada Inggit yang berdiri di sampingnya. Mereka berdiri di atas panggung penuh dekorasi yang cantik. Pihak WO benar-benar menyulap panggung menjadi sangat cantik, Inggit seperti berada di negeri dongeng.“Eh, enggak. Aku hanya lelah.” Inggit sedikit mengangkat kakinya yang tertutup gaun, untuk meredakan linu kakinya. Belum pernah dirinya memakai high heels tinggi dalam waktu yang lama.“ Bersabarlah sebentar lagi, Sayang.” Darren mengelus punggung Inggit dengan lembut. Tatapan mata Darren lembut dan memancarkan cinta pada Inggit.Inggit tersenyum menanggapi ucapan Darren. Dirinya tidak menyangka akan secepat ini menikah, tidak ada keraguan dalam dirinya meneri
Blup!Leon melemparkan kerikil ke arah sungai. Saat ini ia sedang berada di taman kota, yang bersebelahan dengan sungai besar. Sengaja ia datang kemari setelah menghadiri pernikahan Inggit, untuk menenangkan hatinya yang patah.Leon mengutuk dirinya yang tidak mau berusaha mendapatkan Inggit, mengutuk kelemahannya yang terlalu menjaga Inggit, sampai akhirnya membuat dirinya sendiri terluka.Beberapa tahun menjaga jodoh orang, itulah kata yang pantas Leon dapatkan. Tidak ada keberanian dalam diri Leon untuk menyatakan cinta, ia lemah dalam hal itu.Jika saja Inggit bisa membuka mata dan mengerti setiap perhatian yang selalu diberikan Leon, mungkin saat ini mereka masih bersama, bahkan menikah. Sayang, Inggit bukanlah perempuan tegas dalam perasaan.Leon menyayangkan sikap Inggit yang murahan, urusan bersama Dirga belum selesai, urusan hati dengannya masih menggantung, kenapa memilih Darren?“Kenapa lu harus nikah sama dia, Nggit? Apakah tidak ada lagi orang lain yang kamu kenal? Kenapa
“Jadi, Nak Leon sudah menikah atau belum?” tanya Umi lagi, sepertinya beliau tidak mudah putus asa sebelum mendengar jawaban dari Leon langsung.“Belum,” jawab Leon singkat.“Wah, kebetulan sekali. Elsa juga belum punya pacar, bagaimana kalau kalian menikah saja?”Elsa dan Leon saling berpandangan dengan pikiran masing-masing.“Ma!” tegur Elsa, ia merasa tidak enak pada Leon. Diliriknya Leon yang membuang muka.Bagi Leon pernikahan adalah hal yang sakral, tidak semudah itu mengatakan ‘Iya, saya mau menikah.’ Bukan seperti itu! Harus ada proses yang panjang dilalui, yaitu pengenalan satu sama lain.“Ah, maaf nak Leon. Kebiasaan mulut saya suka tidak ada rem.” Umi, mama Elsa merasa tidak enak pada Leon yang mulai berubah, bahkan sepertinya tidak nyaman.“Tidak ada, Bu. Kalau begitu saya mohon pamit, maaf sudah membuat Elsa terluka. Permisi.” Leon berdiri lalu menyalami Umi, tak lupa ia mencium tangan wanita yang telah melahirkan Elsa itu.“Maafkan, Nak. Jika ada kata-kata yang salah. To
“Sayang, aku ke kantor dulu. Ada yang harus aku urus.” Darren berpamitan pada Inggit, ia meraih tubuh istrinya itu, lalu mencium pucuk kepala.“Kamu jaga diri di rumah, aku kayaknya bakal lembur.” Darren mengacak rambut Inggit pelan.“Hmm,” jawab Inggit singkat. Moodnya sedang tidak bagus, ingin sekali ia protes pada Darren. Jika tidak malu, ia ingin mengatakan di rumah saja menemani dirinya sepanjang hari. Sejak awal berkenalan, Darren sering meninggalkan Inggit di rumah. Pekerjaan kantor membuat Darren lebih banyak menghabiskan waktu untuk pekerjaan.Semenjak ada Inggit, Darren sudah mengurangi sedikit, hanya sedikit. Yang awalnya pulang jam 11 malam, sekarang jam 9 malam sudah di rumah.Inggit tidak mengerti dengan perasaannya, saat tertentu, ia ingin Darren menemani ke mana pun ia pergi, tetapi di satu sisi saat berdekatan, mencium bau keringat Darren saja ia tidak suka.“Ingat, cepat pulang!” Inggit kembali mengingatkan Darren, sebelum laki-laki itu masuk mobil.“Apakah kamu aka