Inggit merenung di dalam kamar mencoba memikirkan jalan keluar dari rumah Dirga. Sepertinya laki-laki itu membeli rumah baru, buktinya beberapa furnitur masih tertutup plastik pembungkus.Inggit belum tahu seluk belum rumah ini. Sepertinya ia harus menuruti Dirga untuk beberapa waktu. Sekaligus mencari tahu bagaimana cara keluar dari rumah itu.Inggit mengelus perutnya yang masih rata. Apakah janin di saja selamat? Ia berdoa, semoga anaknya sehat dan kuat di dalam sana.Inggit segera mengenakan baju yang baru saja diantar pelayan. Baju itu sangat pas melekat di tubuhnya, rupanya Dirga masih ingat berapa ukuran bajunya.Inggit menghela napas. Ingin kembali mengeluh, rasanya tidak pantas. Percuma! Tuhan tidak akan mengubah hidup jika dia tidak berusaha sendiri.Selesai memakai baju, datang lagi pelayan yang datang membawa makanan. Inggit hanya melirik sekilas makanan yang diletakkan di atas nakas.Berusaha tidak menyentuh, nyatanya perutnya berkata lain. Lapar melanda. Ia tidak sempat s
Plak! Plak! “Kurang ajar kamu!” Dirga kembali menampar pipi Inggit untuk ke sekian kali. Ia marah melihat Aleta yang kembali kambuh. “Seharusnya kamu tidak mengusik siapa pun di sini, Nggit!” hardik Dirga. Inggit tidak bisa berbuat apa pun. Ingin membalas pun rasanya percuma. Kekuatannya tidak sebanding. “Jangan pernah ganggu dia lagi!” teriak Dirga. Napasnya terengah-engah, keringat membasahi wajah, dan mata melotot menatap Inggit yang duduk di atas ranjang sambil memegangi kedua pipi. Dirga mendekati Inggit, saat berada di dekat telinga, ia berbisik, “Inggit! Kamu tawananku. Jangan pernah berbuat ulah yang membuatku harus berbuat kasar padamu. Mengerti?” Inggit memilih diam lalu membuang wajah. Napas Dirga seolah bau beracun yang harus dihindari. Ia sangat membenci laki-laki yang tidak mempunyai perasaan. “Di mana Aleta sekarang?” tanya Inggit. “Cih, kamu tak perlu tahu. Bukan urusanmu!” “Lantas ucapan Aleta, apakah semua itu benar?” tanya Inggit lirih. Ia melirik Dirga yang
“Bagaimana? Kamu puas?” tanya Om Dirga padaku yang berada dalam dekapannya. Dialah tambang uang dan pemuas nafsuku, pria dewasa berumur 45 tahun.“Hmmm... “ Semakin kusurukkan kepala ke dalam dada Om Dirga yang bidang. Aroma maskulin tercium oleh indra penciumanku.Om Dirga bergerak membenarkan posisinya yang lebih nyaman. Lalu mengelus rambut hitam yang tergerai menutupi wajahku sedikit.Kulihat senyum om Dirga sangat menawan, kumis tipis, bibirnya yang merah bebas nikotin, dan yang paling membuatku suka adalah brewok om Dirga.“Tidurlah kalau kau mengantuk, aku akan terus menemanimu sampai tertidur.”Mendengar itu, seketika kupejamkan mata, lalu tidur. Membiarkan om Dirga terus membelai rambut, dan sesekali mengelus punggung polosku.Pertempuran yang baru saja terjadi, bukanlah yang pertama bagiku. Sejak SMA, aku sudah kehilangan keperawanan karena ulah seseorang yang kurang ajar memaksaku memuaskan nafsunya. Pak Wendi, kepala sekolahku sendiri yang sudah menodai dan merusak masa de
“Kapan, Nggit?” tanya Om Dirga putus asa.“Kalau Om ingin kenikmatan, Inggit bisa berikan. Namun, kalau pernikahan, jangan nikahi Inggit, Om!”Mata Om Dirga membelalak mendengar ucapanku, ia menautkan alisnya lalu menggeleng.“Ada apa, Nggit?” tanya Om Dirga pelan. Ia melepas pelukannya dengan kasar, seolah tidak Terima dengan ucapanku.“Om tidak perlu tahu apa alasannya!”“Om harus tahu, karena kamu menjadi tanggung jawab Om sekarang.”“Kita hanya sebatas saling menguntungkan, Om. Aku dapat uang, dan om dapat kenikmatan, itu saja!” Sakit, sungguh sakit saat aku mengatakan kalimat itu, bukan hanya uang, aku mendapatkan apa yang aku inginkan, sesuatu yang selama ini aku harapkan, yaitu kasih sayang. Namun, aku tidak mau Om Dirga tahu bagaimana perasaanku.“Jadi, kamu memandang Om hanya sebatas itu, Nggit?” tanya Om Dirga tak percaya.“Iya, lebih baik kita putus saja, Om!” Setelah mengucapkan itu, aku segera berbalik pergi meninggalkan ruangan Om Dirga. Aku tak peduli dengan teriakan Om
Pov AuthorSepeninggal Inggit, Dirga mengusap wajahnya kasar, ia tidak habis pikir dengan Inggit, selalu mengancam putus saat ia mengungkapkan keinginannya, yaitu pernikahan.“Apa yang sebenarnya terjadi pada Inggit? Kenapa dia begitu takut menikah?” gumam Dirga.Salahnya sendiri tadi tidak bisa menjaga nafsunya, begitu Weni menggoda ia mau-maunya mengikuti permainan Weni.“Sialan!” Umpat Dirga kesal.Dirga meletakkan bokongnya di atas kursi, salah satu tangannya memijit pelipisnya yang terasa sakit. Memikirkan Inggit membuatnya sakit, andaikan gadis muda itu mau diajak menikah, mungkin Dirga tidak akan seperti ini. Melepaskan Inggit-pun Dirga tidak rela, belum pernah ia bertemu gadis muda seperti Inggit sebelumnya.“Ah, sebaiknya aku mengajaknya dinner seperti biasa, agar ia mau memaafkanku.”Segera Dirga meraih ponselnya, lalu menelepon Inggit.Gagal! Inggit tidak mengangkatnya.Dirga mencoba menelepon kembali, sayangnya sampai panggilan ke tujuh, Inggit tidak mengangkat telepon dar
Inggit berdandan secantik mungkin, mini dress model rok A-line berwarna nude yang pas di tubuhnya membuat keseluruhan pada diri Inggit sangat menarik. Tak lupa ia poleskan sedikit lipmatte warna senada.Untuk acara diner malam ini, sengaja sebelumnya ia pergi ke salon untuk menata dan mengecat rambutnya, agar lebih fresh dilihat.“Cantik!”Setelah memastikan semua oke, segera inggit keluar dari rumah dan masuk ke dalam ojek mobil online yang sudah menunggu di depan pagar.“Sesuai aplikasi ya, Mbak!”“Hmm... “ Inggit fokus menatap jalanan, ia malas ramah pada orang yang baru saja bertemu.Suasana malam ini lumayan ramai, sabtu malam menjadi hari yang paling di tunggu. Inggit melihat sebuah motor menyalip mobil yang ia naiki dengan kecepatan sedang, sepertinya mengejar waktu, karena beberapa kali pengendara itu melihat jam di tangannya. Tiba-tiba saja ia teringat saat masih SMA, di mana ia sering jalan kaki, karena jarang memiliki uang hanya untuk sekedar naik angkot ke sekolah.Ibu Ais
Brugh!Aluna menabrak seseorang hingga dirinya terjatuh, isi tasnya berhamburan ke lantai. Sebelumnya ia tidak melihat jalan, karena sibuk mencari kunci mobil.“Kalau jalan hati-hati dong!” tegur Aluna dengan kesal pada seseorang yang ia tabrak.“Harusnya kamu yang hati-hati, siapa yang duluan menabrak?” balas seseorang yang ditabrak Aluna.Aluna mendongak menatap seseorang yang ia tabrak, seketika ia membelalak, tidak percaya dengan penglihatannya. Setelah isi tasnya kembali masuk ke dalam tas, ia berdiri.Entah ini musibah atau keberuntungan untuk dirinya. Dirga! Seseorang yang Aluna tabrak adalah Dirga. Di saat ia bingung mencari cara berdekatan dengan Dirga, kini Tuhan menakdirkan mereka bertemu.Baru saja Aluna bertemu klien di privat room yang disediakan oleh pihak hotel, karena sudah selesai, Aluna berencana langsung kembali ke kantor, ada beberapa hal yang ingin ia pastikan.Dirga melotot melihat siapa yang ia tabrak, Aluna. Pesaing bisnisnya.“Senang bisa bertemu Anda di sini
Aluna berjalan anggun menuju ruangan Dirga, berbeda dengan kemarin, kali ini ia memiliki ide lain, yaitu menghasut Dirga.Aluna tahu perbuatannya salah, tapi rasa cemburu sudah membutakan hati dan pikirannya. Tujuannya kali ini menghancurkan Dirga, dan juga menyakiti hati Inggit.Perusahaan miliknya selama masih aman, ia biarkan berjalan seperti biasa, karena menurutnya, selama terus berada di dekat Dirga, tidak mungkin laki-laki itu tega menghancurkan bisnisnya.Beberapa pasang mata menatap Aluna dengan pandangan kagum, bahkan beberapa mata jelalatan melihat bagian tubuh tertentu miliknya yang sengaja ia pamerkan.Aluna melotot saat salah seorang karyawan yang sengaja menyenggol lengannya. Sedangkan karyawan itu hanya nyengir tidak merasa bersalah.Kini Aluna sudah di depan ruangan Dirga, dengan santai ia membuka tanpa mengetuk pintu. Pemandangan di dalam sana membuat kepala Alu