Begitu Widya dan Cinthya menampakkan diri di ujung escalator naik dan kebetulan pandangan Aditya tepat sedang menoleh ke arah kedatangan. Melihat kehadiran Widya dan Cinthya dada Aditya langsung bergemuruh, gembira. Ada suatu pengharapan muncul di dalam hatinya, bersamaan dengan munculnya Cinthya dan Widya. Ada keyakinan dirinya, bahwa diriku pasti datang bersama sobat karibku. Dia sangat berharap diriku cepat muncul di belakang Widya atau Cinthya. Tapi dilihatnya bayanganku tidak muncul-muncul juga, membuat perasaan cemas pun mulai mengglayuti hatinya kembali. Aditya menjadi gelisah. Widya dan Cinthya seolah-olah tidak mengetahui kehadiran Aditya, mereka berpura-pura bercanda, sembari berjalan menuju arah Aditya. Cinthya pura-pura tidak sengaja menoleh dan beradu pandangan dengan Aditya.
“Hai Aditya, sedang ngapain kamu sendiri di sini?”
Entah kenapa saat aku sedang duduk berhadapan dengan Aditya, tiba-tiba terlintas wajah Andrew yang membuatku kesal tadi padi, sehingga menimbulkan pertanyaan dalam hatiku, jangan-jangan Aditya mengalami masalah yang serupa denganku. Apalagi kalau aku ingat dengan Dea, Anggi dan Donna. Alhasil, tak urung meluncur dari bibirku pertanyaan yang sempat mengganjal dalam hatiku tersebut. “Adit, dengan kehadiranmu di sini bersamaku apa tidak ada yang merasa kehilangan dirimu?” Aditya mengernyitkan keningnya, sembari memandangku. Lalu diapun tersenyum. “Tidak tu Ana. Aku tidak merasa ada orang yang kehilangan dengan hadirnya aku disini. Ketika aku menuju kemari, tidak ada masalah tuh.”
Ketika Andrew sadar, dia segera melihat jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 9 lewat. Diapun langsung teringat akan diriku. Lalu dia bergegas menuju ke kamar pemondokanku untuk mencariku dan ingin menumpahkan kekesalan hatinya yang tertunda selama sehari.Sesampainya Andrew di depan pintu kamar pemondokanku dengan kasar dia menggedor pintu kamar pemondokanku, berulang kali. Bahkan, dia berusaha melongok ke dalam melalui daun jendela kamar pemondokanku. Kemarahannya semakin memuncak karena sudah beberapa lama pintu kamar pemondokanku tidak kunjung dibuka. Saking kesalnya, Andrew menendang daun pintu kamar pemondokanku. Sudah barang tentu tindakan Andrew ini, mengusik seluruh isi rumah pemondokan. Mereka masing-masing melongok dari balik pintu kamar pemondokannya. Tapi begitu mereka mengetahui Andrew yang membuat keonaran di rumah pemondokan tersebut, maka merekapun langsung kembali masuk. Mereka tidak ingin terlibat masalah antara Andrew dengan diriku.Bahka
“Kamu kenal dengan mereka Ana?” tanya pamanku.“Paman, mereka orang-orang sinting tidak perlu dilayani,” ujarku ringan.“Emangnya siapa mereka Ana?” timpal bibiku.“Ih Bibi, mereka itu tidak layak untuk diperhatikan. Mereka itu satu pemondokan denganku. Biarkan saja mereka membusuk di depan, emangnya aku pikiri.”“Tapi, lihat gelagatnya mereka itu punya maksud tidak baik padamu Ana,” sambung bibiku.“Bibi, tidak usah kuatir. Aku dapat mengatasi si Andrew itu kok.”“Tidak Ana, kalau dia itu dapat membahayakan dirimu, maka biarkan Paman yang mengurusnya. Paman tidak ingin melihat kamu diganggu oleh mereka.”“Sudahlah paman, tak usah repot-repot ngurusin mereka. Ana sendiri sudah cukup untuk mengatasi Andrew dan kawan-kawannya itu. Mereka itu tidak level Paman.”“Andrew itu siapa Ana?” tanya bibiku.“Dia itu, cu
Sementara itu, di Café Shop Medan Fair Plaza terlihat Dea, Anggi dan Donna terlibat perbincangan serius, di sela-sela menikmati juice buah dan makanan ringannya.“Dea, kelihatan hubungan Ana dengan Aditya sudah semakin dekat saja tuh. Kemarin ketika aku sedang jalan sore-sore dengan doi, aku memergoki mereka sedang kencan di Café Deli Plaza,” cetus Anggi.“Wah, bisa celaka kamu Dea. Peluangmu sudah semakin tipis untuk mendapatkan Aditya,” sambung Donna.“Sialan tuh anak. Berani benar dia mengabaikan peringatanku,” umpat Dea dengan emosinya. ”Kita tidak boleh membiarkan Ana merebut hati Aditya. Aku harus buat perhitungan dengan Ana.”“Tapi Dea, kalau kamu langsung melabrak Ana, maka tindakanmu itu berarti akan sia-sia saja. Kamu sendiri yang akan rugi. Toh, tindakanmu malah membuat Aditya semakin simpati pada Ana,” tukas Donna.“Benar pendapat Donna, Dea. Sudah pasti Adi
Ketika Dea, Donna dan Anggi sibuk meributi kabar yang disampaikan Anton, Anton menyempatkan diri menoleh memandang Andrew, sembari memainkan matanya, memberi tanda misinya sudah termakan oleh Dea, Donna dan Anggi.“Oke, Dea, Anggi, Donna aku sudah menyampaikan apa yang aku tau pada kalian. Maksudku menyampaikan ini, memang demi kepentingan temanku, Andrew. Dia tidak ingin kehilangan Ana, maka dengan terpaksa dia mengutarakan hal ini pada kalian. Padahal masalah ini sangat sensitif dan pribadi sekali serta tidak layak untuk dikonsumsi publik. Tapi Andrew itu sudah banyak berkorban untuk menyenangkan Ana. Wajar kalau diapun tidak ingin dicampakkan begitu saja oleh Ana. Sebagai temannya, maka kamipun tidak rela kalau Andrew itu dipermainkan begitu oleh Ana.”“Oke Anton, terima kasih atas cerita kamu ini. Tapi awas kalau kamu dengan sengaja menyebar cerita bohong, maka jangan panggil namaku Dea kalau tidak dapat membuat perhitungan denganmu!!!
Ternyata Dea, Anggi dan Donna benar-benar mulai melaksanakan rencana kejinya untuk menyebarkan gosip samen love diriku dengan Andrew di pemondokan. Mula-mula mereka mengembangkan cerita di antara teman satu jurusannya, di kalangan anak-anak sastra. Pada awalnya cerita samen love diriku di sanggah oleh beberapa orang, terutama mereka yang sudah mengenal diriku. Akan tetapi dengan kepiawaian Dea, Donna dan Anggi meyakinkan mereka, bahwa mereka punya saksi yang mengetahui secara detail soal hubunganku dengan Andrew di pemondokan. Dibeberkan juga bagaimana Andrew mau mencuci pakaianku dan CD diriku. Itu dilakukan Andrew karena saking sayangnya Andrew padaku. Makan saja kami sudah sepiring berdua, bahkan tidak jarang kami dipergoki telah sekamar. Ditambah lagi berita syurku tersebut dibumbu-bumbui dengan hebatnya, sehingga mau tidak mau mereka setengah tidak percaya menjadi termakan juga oleh gosip tersebut. Tega-teganya mereka mengarang cerita keji seperti itu… Masya Allah!!!
Aku merasa lega melihat Andrew mau meninggalkan kamar pemondokanku. Tapi rasanya aku semakin tidak nyaman berada di pemondokanku ini. Aku malah teringat rumahku di kampung, sehingga ada keinginan kuat untuk segera pulang kampung. Aku ingin menjauhkan diri dari lingkungan yang membuatku merasa tertekan. Termasuk terhadap Adityapun pupus harapanku. Aku seperti tidak punya muka lagi berhadapan dengan Aditya. Aku tak yakin Aditya mampu menepis gosip murahan yang sangat mendeskreditkan diriku tersebut.Sepeninggal Andrew dan tanpa sepengetahuannya aku berkemas dan segera meninggalkan pemondokanku tersebut pulang kampung. Kebetulan Ratna sangat pengertian padaku, atas bantuannya aku dapat meninggalkan pemondokan tanpa diganggu oleh Andrew lagi.Andrew marah besar begitu dia tau diriku sudah meninggalkan pemondokan. Dia langsung menjumpai Ratna.“Ratna, mengapa kamu tidak memberitahukanku Ana pulang kampung?”Begitu Ratna lihat Andrew marah pad
Perasaan Aditya langsung tersentuh, begitu dengar Safira menyinggung kondisi diriku sekarang ini, maka dia langsung berusaha memencet tombol Hpnya, menghubungi Hpku. Berulang kali dia memencet tombol Hpnya, tapi berulang kali nada tidak aktif terdengar dari Hpku. Aditya menjadi bingung setengah mati. Dia tidak tau bagaimana cara menjumpai atau menghubungi diriku kini. Untuk menjumpai diriku dipemondokannya dia tidak berani, mengingat pesanku melarangnya dengan keras untuk datang kepemondokannya. Mengingat hal ini, terlintas di benak Aditya pikiran buruk tentang hubungan antara laranganku dengan gosip itu, sehingga menimbulkan keragu-raguan Aditya. Tapi Aditya berusaha menepis pikiran buruk tersebut.“Hp Ana tidak aktif Fir,” ucap Aditya lemah.“Sudahlah, nanti aku bantu kamu cari tau tentang Ana. Aku akan menjumpai Ana dan akan bicara dari hati ke hati untukmu Dit.”“Terima kasih Fir, kamu sungguh baik padaku.”&l