Home / Romansa / Jangan Pegang, Coach / Bab 46 : London Trip

Share

Bab 46 : London Trip

Author: Mey_Lee
last update Last Updated: 2025-08-30 14:46:49

Jumat Malam – Bandara Heathrow

"I forgot how grey London is in winter," gumam David waktu pesawat menembus awan tebal sebelum mendarat. Dari atas, kota itu kayak foto hitam-putih, kontras banget sama Singapura yang selalu penuh warna.

"It's not grey, it's... atmospheric," jawab Mey, pipinya nempel ke jendela pesawat, matanya nggak berhenti menatap pemandangan.

David ketawa kecil, "You've never been to London in February before."

"I've never been to London ever before."

"Really? I thought you traveled for work."

"Regional travel. Hong Kong, Bangkok, KL. Never Europe."

"Then this will be complete cultural immersion."

"Are you worried I'll hate it?"

"I'm worried you'll love Singapore too much to appreciate anything else."

"Or I'll love adventure enough to appreciate somewhere new."

Pesawat akhirnya mendarat di Heathrow. Perasaan Mey campur aduk: excited, deg-degan, kayak mau mulai ba
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 61 : Tekanan

    Senin Pagi – Setelah Weekend PriyaMey masuk kantor dengan hati nggak karuan. Sepanjang weekend kepalanya masih penuh sama percakapan dengan Priya, dan sekarang harus ketemu Rafael lagi… pura-pura semuanya biasa aja.Rafael sudah ada di mejanya. Kemeja putih, kopi masih mengepul, rambut agak berantakan kayak habis begadang.“Pagi,” ucapnya tanpa angkat kepala.“Pagi,” jawab Mey pelan.Ada jarak. Lebih dingin dari biasanya. Mey duduk, buka laptop, tapi matanya nggak bisa berhenti melirik Rafael.“Weekend gimana?” tanya Mey, mencoba basa-basi.“Bagus. Priya seneng jalan-jalan di London.”“Dia udah balik?”“Subuh tadi.”Hening. Mey pengen nanya, ‘Apa Priya cerita soal pertemuan kita?’, tapi nggak berani.“Proyek Garuda,” Rafael akhirnya buka mulut, “klien minta presentasi dimajuin. Kamis ini.”“Kamis?” Mey refleks menoleh. “Itu cuma tiga hari lagi.”“Aku tahu.

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 60 : Batas Profesional

    Jumat Pagi – Dua Minggu Masa Percobaan – Ruang Kantor BersamaMey sampai di kantor bersama mereka dengan setumpuk hasil riset dan segelas kopi yang udah keburu dingin. Baru dua minggu masa percobaan, tapi dia udah mulai sadar kalau perjanjian mereka tentang “profesional banget, nggak lebih” itu ternyata agak polos.Kerja bareng Rafael tiap hari bikin dia ngeh sama hal-hal kecil. Kayak gimana dia selalu pesan espresso ganda tanpa gula. Cara dia ngetuk-ngetuk pulpen waktu mikir strategi ribet. Sampai nada suaranya yang berubah kalau lagi semangat ngomongin ide—lebih berat, lebih hidup… dan nyebelin karena bikin susah fokus.Fokus. Kerjaan aja. Nggak usah mikir yang lain.“Pagi,” Rafael ngangkat kepala dari laptop pas Mey masuk. Senyumnya sopan, jarak aman, tatapan seperlunya. Pas banget buat suasana masa percobaan.“Pagi. Analisis kompetitor Garuda udah kelar,” jawab Mey sambil naro map tebal di meja. “Ada beberapa insight menarik soal posi

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 59 : Antara Karier dan Hasrat.

    Selasa Pagi - Kantor Sementara Rafael.Mey datang dengan mata sembab dan kopi extra strong dalam genggaman. Semalam tidurnya berantakan—mimpi campur aduk antara bayangan suami lama, Rafael, dan Priya yang tersenyum tapi mata kosong."Morning meeting as scheduled," kata Rafael begitu Mey masuk, suaranya formal banget, kayak kemarin malem di bar nggak pernah kejadian."Morning."Meja meeting udah disiapkan rapi. Laptop, dokumen, proposal client—semua tertata profesional. Rafael duduk di ujung meja, kemeja biru navy, rambut rapi, parfum samar yang familiar. Seolah nggak ada drama kemarin, seolah telepon dari Priya cuma interupsi biasa."Kita mulai dari client pertama," Rafael buka laptop. "PT Garuda International. Mereka butuh repositioning brand buat market Eropa."Mey duduk berseberangan, jaga jarak. "Timeframe?""Tiga bulan. Budget cukup besar—bisa jadi foundation kuat buat quarter pertama kita.""Scope kerja?"

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 58 : Lingkaran yang Terulang

    Kepercayaan baru saja disepakati, tapi di balik meja perundingan, ada tatapan-tatapan yang terasa terlalu akrab. Bagi Mey, semua ini bukan sekadar proyek—ini adalah pengulangan dari sebuah pola lama. Dan kali ini, ia sadar: lingkaran itu bisa jadi lebih berbahaya daripada sebelumnya.Tiga jam kemudian – bar hotel Rafael“Kamu beneran udah tanda tangan,” Rafael senyum puas sambil ngangkat lembar perjanjian itu, satu tangan lain pegang gelas wiski seakan lagi ngerayain kemenangan kecil.“Iya, aku udah tanda tangan.” jelas Mey“Terus David?”“Dia terima tawaran Amsterdam.”“Berarti… kita resmi partner bisnis.”“Kita resmi partner bisnis.”Rafael ngangkat gelasnya. “Untuk kesuksesan kerja sama kita.”“Untuk kesuksesan kerja sama.”Gelas beradu, wiski ngeluncur di tenggorokan, panas, tapi nggak sebanding sama sensasi familiar tiap kali Rafael ada di dekat Mey. Sensasi yang sebenarnya lebih berperan

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 57 : Ruang untuk Memilih

    Jumat Malam – Apartemen LondonDavid sudah di rumah ketika Mey masuk. Laptopnya terbuka di meja dapur kecil, layar penuh catatan riset logistik Amsterdam."How was your meeting?" katanya tanpa mengangkat kepala."Informative.""Good informative or complicated informative?""Both."David menutup laptop. Untuk pertama kalinya sejak pertengkaran mereka semalam, tatapannya benar-benar fokus ke Mey."Want to discuss it?""Want to discuss it together, yes.""Together as in shared decisionmaking or together as in seeking approval for decision you've already made?"Kalimatnya menusuk, tepat di inti kebingungan Mey."Together as in processing information so we can make shared decision about Amsterdam timeline."David menarik nafas. "What information did Rafael share?""Business partnership proposal.""Partnership doing what?""European expansion of consulting

  • Jangan Pegang, Coach   Bab 56 : Partnership Atau Relationship

    Jumat Pagi – Kafe Dekat Hotel Rafael Mey datang sepuluh menit lebih awal. Seperti biasa, dia pilih meja yang “aman”—posisi strategis dengan view luas, gampang akses keluar, dan nggak terlalu mencolok. Kebiasaan yang kebentuk dari hubungan profesionalnya yang… well, complicated. Rafael muncul tepat waktu. Rapi banget dengan gaya business casual khas Eropa. Cara jalannya percaya diri, effortless, bikin ruangan seolah otomatis ngasih ruang buat dia. Masih sama seperti dulu, alasan kenapa kerja bareng di Singapura "Mey." senyumnya familiar, hangat, tapi juga ter kontrol. Dia duduk santai di depannya. “Kamu kelihatan oke. London cocok banget buat kamu.” “Thanks. Kamu juga,” jawab Mey, suaranya datar. “Trip bisnis ke Eropa lumayan sih buat nambah koneksi.” Small talk itu rasanya agak canggung, apalagi setelah berbulan-bulan jarang komunikasi. Keduanya jelas tahu mereka ketemu bukan cuma buat basa-bas

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status