Kamar menjadi satu-satunya tempat Alia bersembunyi. Dunia luar terlalu menekannya, seolah hanya dia pendosa yang ada di dunia ini.
Sang ibu sedang mengamuk di luar kamarnya. Terdengar beberapa barang yang jatuh ke lantai dengan keras.
Alia hanya bisa menangis di balik pintu sembari menutupi mulutnya. Jangan sampai ada suara yang keluar dari mulutnya. Ini hukuman yang pantas ia dapat. Dan, Alia sadar akan hal itu.
Setelah hampir dua jam, Alia tidak lagi mendengar suara ribut dari luar. Dia memberanikan diri untuk membuka pintu.
Mungkin dia harus segera keluar dari rumah kalau tidak mau membuat masalah semakin panjang. Baru saja Alia hendak ke dapur ibu keluar dari kamar membawa gelas di tangannya.
“Masih di sini kamu?” tanya ibu, nadanya sangat ketus sampai melukai Alia.
Alia menoleh takut “Bu, Alia mau ambil..” belum juga dia selesai bicara, ibu sudah melemparkan gelas itu tepat di depan Alia. Gelas itu terpecah, hingga pecahannya mengenai kakinya hingga berdarah.
Raut wajah Alia meringis karena sakit, tapi dia tidak mengeluh.
“Keluar kamu!!” teriak ibu mendorong tubuh Alia “Kamu bawa aib Alia. Dasar nggak tahu malu.”
Aila mencoba menenangkan ibunya, tangannya mengapai lemari yang hampir hancur karena amukan ibunya. Gadis itu mentap sang ibu, meminta ampun atas apa yang sudah ia lakukan.
“Bu, maaf. Alia salah, maaf bu.” Alia menggosok tangannya sampai memerah.
Ibunya terdiam ketika melihat anaknya yang berlutut di hadapannya. Air mata yang mendera tak bisa ia tahan membuat seluruh tubuhnya seperti bergemuruh. Alia tidak tahu harus berbuat apa.
Dia bahkan tidak berhadap untuk di terima lagi oleh ibunya.
“Bu, Alia salah, tapi tolong maafin Alia, Bu. Alia nggak akan repotin ibu soal anak ini. Maafin Alia, bu.”
Dia tidak marah dengan sang ibu. Alia hanya kebingungan.
Wajah ibu berubah kecut, dia mendengus “Terserah saja kamu saja. Mau kamu lahirkan atau kamu aborsi, ibu nggak peduli.”
Ibu melewati Alia begitu saja dengan tak acuh.
***
Benar saja. Itu adalah percakapan terkahir Alia dan ibunya. Bahkan, sang ibu lebih suka menginap di rumah kerabat mereka.
Sudah sebulan ibu dan anak itu saling diam. Bahkan ketika perut Alia mulai memiliki gundukan kecil di bagian bawahnya.
Pagi ini dia sedang berkuliah, tinggal satu semester lagi dan tentu saja Alia harus kuat dengan cemoohan temannya.
Hanya satu orang yang sudah tahu tentang kondisinya. Mira, sahabat satu-satunya yang Alia miliki.
Dan Mira berharap Alia tidak menyerah soal anak yang sedang ia kandung. Kalau soal Dimas, Alia masih belum mendapat pencerahan tentang bagaimana cara menghubunginya.
Alia sudah menghubungi lewat media sosial Dimas, tampaknya cowok itu sudah lama tidak update di sana.
Kelas Alia masih sepi, hanya ada dia dan dua orang yang tidak Alia kenal. Gadis itu menunggu Mira sebab ada yang ingin mereka bicarakan.
Mira yang baru masuk langsung menghambur ke pelukan Alia. Gadis berambut pendek itu menatap temannya dengan sedih.
“Ibu masih diemin kamu, Al?” tanya Mira.
Alia mengangguk, tersenyum untuk menghibur diri sendiri. Hampir setiap hari dia berusaha mendekati ibunya. Tapi apa pun usahanya selalu gagal.
“Kalau Dimas gimana?”
Alia menggerucutkan bibir, menggeleng pasrah “Aku mau bilang sama ibunya, Mir. Aku lewat depan rumahnya berapa kali selalu sepi.” Jelas Alia singkat.
Baru saja Alia mencoba bicara lagi, Mira langsung mengangkat jari telunjuknya “Jangan-jangan mereka semua pindah, Al. Kabur gitu.”
Alia menggerutkan kening “Kenapa harus kabur? Aku belum kasih tahu mereka soal anak ini, Mir.”
“Aneh ya, tapi aku seneng kamu nggak sesedih dulu.”
Bukannya tidak sedih, Alia hanya sangat lihai menutupinya.
Alia menunduk menatap jari tangannya yang lentik “Aku nggak yakin bisa jadi ibu yang baik. Aku bahkan gagal jaga harga diriku. Kalau nanti anak ini cari bapaknya gimana?” keraguan benar-benar terdengar dari Alia.
Mira meremas pundak Alia.
Biasanya Alia terlihat ceria, namun sudah lama dia tidak menunjukan sisi itu lagi. Alia lebih suka menyendiri dan kerap menanggis.
Tidak ada alasan Alia untuk tersenyum lagi.
***
Alia baru pulang dari kampus, dia melepaskan sepatu lusuh yang ia pakai dari 3 tahun lalu. Dia tidak melihat sendal ibunya, bisa dipastikan kalau ibu tidak ada di rumah.
Ponsel Alia berdering, membuat gadis itu tersentak kaget. Awalnya Alia tidak peduli, tapi setelah melihat itu adalah nomor internasional Alia menjadi penasaran dan coba mengangkatnya.
“Halo?” tanya Alia hati-hati.
Suara Dimas berdehem “Hai, Al.”
“Dimas?”
Dimas mengangguk di balik ponselnya “Aku nggak bisa bicara lama, Al. Yang jelas, hubungan kita udah nggak bisa di terusin. Aku mau menikah.”
Bahkan Alia tidak bisa mencerna ucapan Dimas. Dia di campakan dan mendapat kabar pernikahan dari ayah sang jabang bayi.
“Dim, kamu mau apa?”
“Nikah, namanya Emily, dia hamil Al, aku harus tanggung jawab.” Celetuk Dimas, dia mengusap wajahnya kasar “Jadi mungkin aku akan tinggal di Jerman.”
“Dimas, aku juga...” panggilan itu tiba-tiba terputus. Bahkan saat Alia mencoba menghubunginya lagi, nomor itu sudah tidka aktif lagi.
Lagi dan lagi, Alia kembali menangis. Bahkan kali ini lebih heboh dari sebelumnya. Dia sampai sesenggukan. Haruskan dia mengalami semua ini. Pacar pertamanya, cinta pertamanya, sekaligus ayah dari anaknya malah memberikan kabar kalau dia menikah dan akan memiliki anak dari orang lain.
Hati wanita mana yang tidak sedih dan tercabik.
Ivan hampir tersedak saat mendengar ibunya memberitahu soal perjodohan dengan salah satu anak kenalannya. Malam itu, Ivan sedang mengajak ibunya makan malam. Awalnya dia menyetujui karena sang ibu yangg memintanya. Tapi sekarang dia menjadi ngeri karena mendengar kata ‘dijodohkan’.Karena sebenarnya jarang sekali Alia mengajak Ivan keluar berdua saja. Biasanya semua adiknya akan ikut, bahkan kalaupun sang Ayah sedang keluar kota.Baru saja dia ingin mencoba mendekati Anya. Tapi sekarang dia harus mendapat ide yang Alia anggap sangat cemerlang ini.“Bu, Ivan boleh menolak saran ibu tadi?” tanya Ivan dengan lembut.Alia menatap anaknya penuh kesedihan “Kenapa, nak? Kamu belum mau pacaran, ya.”Ivan menggeleng dan tersenyum kecut “Ada yang Ivan suka. Dan sekarang Ivan sedang mencoba mendekatinya.”Alia mengedipkan matanya untuk menutupi keterkejutannya “Kalau ibu boleh tahu, siapa cewek itu?”Lelah menutupi, Ivan akhirnya mendengus sambil menjawabnya “Anya.”Alia terdiam sejenak “Lah, An
Hari itu, perasaan senang yang lama dirindukan oleh Ivan akhirnya tiba juga. Dia menghabiskan sisa harinya dengan bercengkrama dengan keluarga dan juga Anya.Semua terasa begitu lengkap, ada ibunya, ayahnya juga wanita yang ia kagumi.Mungkin terdengar berlebihan, namun inilah yang Ivan rasakan. Seperti kembang api meletus dalam dadanya secara serentak. Indah dan mendebarkan.Dia melihat banyak sisi Anya yang tak pernah ia ketahui. Ternyata gadis itu masih berusia 20 tahun. Anya juga tidak memiliki Ibu, maka dari itu, dia senang sekali ketika Alia memperlakukannya dengan baik.Ada hal yang lebih membuat Ivan kaget. Rupanya Anya sangat dewasa. Dia tidak sedang berlibur, melainkan mendapat kesempatan untuk magang. Padahal, papanya adalah pemilik dari perusahaan yang besar.Hidup Anya terjamin, tapi dia malah memilih untuk mencoba berdiri sendiri.Sayangnya, waktu berjalan terlalu cepat. Ivan harus pulang, enggan rasanya berpisah dengan Anya.Ivan berharap momen seperti ini bisa terulang
Anya meminta nomor telepon Ivan karena dia merasa memiliki hutang pada Ivan.Entah kenapa Ivan dengan ikhlas memberikan data pribadinya pada Anya. Bahkan dia tidak merasa terganggu saat Anya melanjutkan kembali mengerjakan tugasnya.Bahkan ketika Anya menanyakan saran pada Ivan, pria itu dengan sadar membantunya.“Aku pulang dulu. Kamu pulang sama siapa?” tanya Ivan yang sedang mengemasi barangnya.“Rumahku di sebelah, deket banget.” Anya yang masih fokus pada laptopnya.Ivan menagangguk “Aku duluan.”*** Keesokan harinya.Ivan terdiam ketika ternyata pekerjaanya bisa selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan. Seharusnya dia bahagia, rupanya dia masih ingin berada di kota yang jaraknya sekitar 4 jam dari kotanya.Sayangnya, Ivan tidak memiliki nomor Anya.Ivan pamit kepada Pak Kusuma. Bahkan saat sampai di luar kantor, dia celingukan mencari seseorang yang menggangu hati dan pikirannya.Baru pertama kali ada yang begitu mengusiknya.Namun, dia juga menjadi takut kalau rasa penasaran
Setahun setelah Ivan lulus kuliah, dia yang hampir berusia 23 tahun menjadi sangat mudah emosi ketika berada di kantor. Ivan tidak langsung diangkat menjadi Direktur , melainkan menjadi manager di bawah pengawasan sang ayah langsung.Ivan sangat percaya dengan kalimat ‘percaya pada proses’, maka dari itu Ivan selalu menggerutu tiap bawahnya melakukan kesalahan yang sepele.Meski masih terbilang muda, Ivan sudah sangat diperhitungkan oleh para rekannya.Hari ini, Ivan harus menghadiri rapat di luar kota sendirian. Ivan sangat anti disupuri oleh orang lain. Maka dari itu dia selalu sendiri setiap rapat di luar kota.Kalau naik pesawatpun dia selalu menolak di jemput. Pokoknya Ivan selalu merasa bisa melakukan semuanya sendiri.“Selamat siang, saya Anya senang berkenalan dengan anda.” Ucap wanita yang mengenakan baju super rapi, wanita itu mengulurkan tangannya menunggu Ivan menyambutnya.Ivan menjabat tangan wanita itu “Saya Ivan, senang berkenalan dengan anda.”Anya terkikik melihat be
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.Ada Arka, Saika, dan Raida.2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.Sosok Ivan yang suka bicara