Lebih mudah mencari kambing hitam dibanding mencari solusi. Itu yang ingin Alia lakukan tapi dia tidak memiliki kuasa atas apa yang sedang terjadi.
Kebodohan adalah masalahnya, Alia mengutuk kebodohannya sendiri karena sudah terbuai dengan janji manis Dimas waktu itu. Kalau bisa mengulang waktu, Alia akan berharap agar tidak mengenal Dimas.
Saat perutnya terasa begah karena sudah amat besar. Alia menngelus perutnya pelan saat calon anaknya memberikan tendangan munggil “Bukan nak, ibu nggak salahin kamu.” Ucapnya pada diri sendiri, Alia sudah berdamai dengan kehamilannya.
Dia bahkan hanya tinggal menghitung hari sampai waktunya melahirkan.
Membayangkan itu membuat Alia tiba-tiba merasa mual sekaligus bersemangat.
Tidak ada yang berubah, kecuali sang ibu yang menghilang setelah kandungan Alia tepat berusia 5 bulan.
Tanpa pamit, ibu juga ikut menghilang bak pergi ke dimensi lain yang berbeda dengan Alia.
Alia tidak mencoba mencarinya, dia lelah mencari. Kini dia hanya bisa menunggu, menunggu anaknya lahir dan menunggu kelulusannya bulan depan.
Seluruh pikirannya terkuras ke hal yang lebih serius. Seperti persiapan bayi dan persiapan lainnya.
Hidup Alia kini ditopang oleh pekerjaan yang ia dapatkan secara daring. Lebih tepatnya kini Alia menjadi penerjemah online. Sudah cukup banyak orang yang mempercayakan karyanya untuk di terjemahkan oleh Alia.
Dia sangat handal dalam hal itu. Bayarannya juga lumayan.
Kalau bertanya soal cukup atau tidak, Alia tidak pernah merasa kekurangan. Sedari dulu dia tidak boros. Kalau kata Alia, dia terlatih jadi orang miskin.
Sebuah motor menepi di depan rumahnya. Mira turun dengan tergesa-gesa sembari membari plastik bening di tangan kanannya.
“Bumil, aku bawa mie ayam nih, mau nggak?”
Alia tersenyum puas “Mau dong, kita makan di dalam ya.”
***
“Mir, kamu beneran nggak masalah tinggal di sini? Aku nggak apa-apa kok kalau sendirian.” Alia tidak tega meminta temannya menemani sampai kelahirannya nanti.
Mira menggerutkan kening “Dih, kamu kira aku seneng pulang. Tahu sendiri kondisi rumahku gimana. Sebenernya kurang lebih nasib kita sama, cuma aku nggak hamil aja.” Candanya.
Kini Alia tidak sedih saat kehamilannya yang menyedihkan ini menjadi candaan bagi orang lain. Apalagi Mira, sahabatnya itu boleh mencelanya sampai puas. Karena bagi Alia, Mira adalah satu-satunya keluarga yang ia punya.
“Maaf ya, Mir. Aku nggak bisa nemenin kamu wisuda.” Alia meringis, dia memutuskan untuk tidak menghadiri acara wisudanya sendiri.
Keduanya tertawa, tahu kalau apa yang baru saja Alia ucapkan adalah sindirian bagi dirinya sendiri.
Mangkuk keduanya sudah kosong, Alia membereskan meja dengan cepat. Dia sudah menjadi ibu-ibu yang tidak tahan dengan ruangan yang berantakan.
“Al, kamu beneran nggak mau cari ibu kamu?”
Alia menggeleng “Aku senang kalau ibu juga senang, Mir. Kasihan ibu kalau selalu lihat aku, dia nggak akan tahan.”
Mira bersedekap, bersandar di pintu kamar Alia “Iya juga sih.”
Aisa Alia menukik sebelah “Jangan lupa kamu ada interview besok.”
Mira menepuk keningnya pelan “Astaga, untung kamu ingetin. Aku belum siapin bajunya.”
“Cepeti siapin dulu.” Saran Alia tersenyum.
Hari sudah gelap, matahari sudah pergi beberapa jam lalu. Karena rumah Alia berada cukup jauh dari keramaian, maka yang terdengar hanya suara anggin dan jangkrik.
Alia suka suara itu, tenang sekali rasanya.
Malam itu, Alia sedang berbaring dengan gelisah. Perutnya seperti dipelintir, ini rasa sakit yang asing untuk Alia. Bibir Alia terkatub rapat, rasanya ingin teriak dan meremas sesuatu.
Mira yang hendak meminjam bedak langsung membuka kamar Alia, tepat ketika temannya menggeluarkan air dari tubuhnya.
Ketuban Alia pecah.
Alia menatap Mira, Mira menatap Alia. Keduanya tahu apa yang sedang terjadi, tapi tetap saja, mereka belum ada pengalaman.
“Kayaknya mau lahir.. Mir..” rintih Alia kesakitan.
Mira membeku tak bersuara “Terus gimana, Al. Ayo cepet.” Panik Mira mengambil tas yang sudah Alia siapakan kalau-kalau kejadian seperti ini terjadi.
Pukul 11 malam, Mira membawa Alia kerumah salah satu bidan terdekat.
Alia berkeringat deras, dia menatap bidan yang kini sudah bersiap dengan alat tempurnya.
“Saya cek dulu, ya.” Ucap bidan itu santai.
Alia mengangguk, tapi tepat ketika bidan itu kendak mengecek dalam. Perut Alia kembali sakit, lebih sakit dari sebelumnya. Dia meringis dan berteriak kecil.
“Loh, kok udah mau keluar.” Bu bidan mencoba mencairkan suasana.
Alia menggeleng “Sakit.” Hanya itu yang bisa ia ucapkan. Tidak ada yang lain.
***
5 tahun kemudian..
“Van, kamu jangan ganggu tante Mira.” Tegur Alia pada anaknya yang kini sudah besar.
Ivan tumbuh menjadi anak yang baik dan pengertian. Meski tanpa sosok seorang ayah yang menemaninya. Anak itu sama sekali tidak pernah menanyakan keberadaan ayahnya.
Rambut mangkok Ivan bergoyang ketika ia berlari menghampiri Alia yang duduk di sudut ruang tamu.
“Al, kamu beneran mau cari kerja? Bukannya sekarang aja udah cukup.” Tanya Mira menggosok rambut Ivan yang menggemaskan.
Alia menghela napas panjang “Ivan harus sekolah, Mir. Lagian aku masih bisa ngerjain kerjaan sekarang kok.”
Mira ikut duduk di kursi sebelah Alia “Gimana kalau kita cari rumah deket kota, Al. Rumah ini bisa kamu sewain.”
Bola mata Alia menatap Ivan tajam “Aku udah kepikiran kayak gitu, Mir. Tapi tahu sendirikan, biaya sewa rumah di kota itu mahal banget.”
“Aku bisa bantu, Al.” Sahut Mira cepat.
“Kamu mau nikah, Mir.”
Keduanya menatap Ivan yang bermain dengan pensil milik ibunya.
Posisinya memang tidak memungkinkan, Mira akan segera menikah dan tinggal di luar kota bersama calon suaminya. Dan Alia tidak mau merepotkan sahabatnya lagi.
Mira sudah cukup membantunya, bahkan Mira yang mengubur ari-ari Ivan ketika itu.
Dengan helaan napas kecewa, Alia tersenyum getir pada Mira “Aku coba cari yang lebih deket sama kota ya, Mir.”
“Aku pengen bawa kalian tahu nggak. Sayang si Gilang nggak ijinin.”
Alia menggaruk hidungnya yang gatal “Kalau aku jadi Gilang juga pasti nolak. Masa pengantin baru di ganggu sih.”
“Kalian nggak ganggu ya. Ivan ini anakku juga.” Tukas Mira sakit hati.
Alia bangkit dari kursinya dan memeluk sahabatnya dengan erat “Mir, kamu harus bahagia ya. Aku bakalan sedih kalau kamu kepikiran kita terus di hari bahagiamu nanti. Aku sama Ivan bakal usahain pindah ke kotamu.”
Mata Mira membelalak “Beneran, Al?!”
Alia mengangguk “Aku usahain ya.”
Ivan hampir tersedak saat mendengar ibunya memberitahu soal perjodohan dengan salah satu anak kenalannya. Malam itu, Ivan sedang mengajak ibunya makan malam. Awalnya dia menyetujui karena sang ibu yangg memintanya. Tapi sekarang dia menjadi ngeri karena mendengar kata ‘dijodohkan’.Karena sebenarnya jarang sekali Alia mengajak Ivan keluar berdua saja. Biasanya semua adiknya akan ikut, bahkan kalaupun sang Ayah sedang keluar kota.Baru saja dia ingin mencoba mendekati Anya. Tapi sekarang dia harus mendapat ide yang Alia anggap sangat cemerlang ini.“Bu, Ivan boleh menolak saran ibu tadi?” tanya Ivan dengan lembut.Alia menatap anaknya penuh kesedihan “Kenapa, nak? Kamu belum mau pacaran, ya.”Ivan menggeleng dan tersenyum kecut “Ada yang Ivan suka. Dan sekarang Ivan sedang mencoba mendekatinya.”Alia mengedipkan matanya untuk menutupi keterkejutannya “Kalau ibu boleh tahu, siapa cewek itu?”Lelah menutupi, Ivan akhirnya mendengus sambil menjawabnya “Anya.”Alia terdiam sejenak “Lah, An
Hari itu, perasaan senang yang lama dirindukan oleh Ivan akhirnya tiba juga. Dia menghabiskan sisa harinya dengan bercengkrama dengan keluarga dan juga Anya.Semua terasa begitu lengkap, ada ibunya, ayahnya juga wanita yang ia kagumi.Mungkin terdengar berlebihan, namun inilah yang Ivan rasakan. Seperti kembang api meletus dalam dadanya secara serentak. Indah dan mendebarkan.Dia melihat banyak sisi Anya yang tak pernah ia ketahui. Ternyata gadis itu masih berusia 20 tahun. Anya juga tidak memiliki Ibu, maka dari itu, dia senang sekali ketika Alia memperlakukannya dengan baik.Ada hal yang lebih membuat Ivan kaget. Rupanya Anya sangat dewasa. Dia tidak sedang berlibur, melainkan mendapat kesempatan untuk magang. Padahal, papanya adalah pemilik dari perusahaan yang besar.Hidup Anya terjamin, tapi dia malah memilih untuk mencoba berdiri sendiri.Sayangnya, waktu berjalan terlalu cepat. Ivan harus pulang, enggan rasanya berpisah dengan Anya.Ivan berharap momen seperti ini bisa terulang
Anya meminta nomor telepon Ivan karena dia merasa memiliki hutang pada Ivan.Entah kenapa Ivan dengan ikhlas memberikan data pribadinya pada Anya. Bahkan dia tidak merasa terganggu saat Anya melanjutkan kembali mengerjakan tugasnya.Bahkan ketika Anya menanyakan saran pada Ivan, pria itu dengan sadar membantunya.“Aku pulang dulu. Kamu pulang sama siapa?” tanya Ivan yang sedang mengemasi barangnya.“Rumahku di sebelah, deket banget.” Anya yang masih fokus pada laptopnya.Ivan menagangguk “Aku duluan.”*** Keesokan harinya.Ivan terdiam ketika ternyata pekerjaanya bisa selesai lebih cepat dari yang dijadwalkan. Seharusnya dia bahagia, rupanya dia masih ingin berada di kota yang jaraknya sekitar 4 jam dari kotanya.Sayangnya, Ivan tidak memiliki nomor Anya.Ivan pamit kepada Pak Kusuma. Bahkan saat sampai di luar kantor, dia celingukan mencari seseorang yang menggangu hati dan pikirannya.Baru pertama kali ada yang begitu mengusiknya.Namun, dia juga menjadi takut kalau rasa penasaran
Setahun setelah Ivan lulus kuliah, dia yang hampir berusia 23 tahun menjadi sangat mudah emosi ketika berada di kantor. Ivan tidak langsung diangkat menjadi Direktur , melainkan menjadi manager di bawah pengawasan sang ayah langsung.Ivan sangat percaya dengan kalimat ‘percaya pada proses’, maka dari itu Ivan selalu menggerutu tiap bawahnya melakukan kesalahan yang sepele.Meski masih terbilang muda, Ivan sudah sangat diperhitungkan oleh para rekannya.Hari ini, Ivan harus menghadiri rapat di luar kota sendirian. Ivan sangat anti disupuri oleh orang lain. Maka dari itu dia selalu sendiri setiap rapat di luar kota.Kalau naik pesawatpun dia selalu menolak di jemput. Pokoknya Ivan selalu merasa bisa melakukan semuanya sendiri.“Selamat siang, saya Anya senang berkenalan dengan anda.” Ucap wanita yang mengenakan baju super rapi, wanita itu mengulurkan tangannya menunggu Ivan menyambutnya.Ivan menjabat tangan wanita itu “Saya Ivan, senang berkenalan dengan anda.”Anya terkikik melihat be
Ivan tetap diberi ijin kepada Opanya untuuk mengambil kesempatan magang yang Saka berikan. Bagi Opanya, lebih baik Ivan menyelesaikan kuliahnya terlebih dahulu.Toh beberapa bulan lagi dia sudah resmi lulus.Ivan duduk di kamarnya dengan perasaan gusar karena dia terus terusik oleh Diana. Tadi siang gadis itu menelepon Ivan dan mengajak ketemuan besok siang di dekat parkiran. Ada yang ingin dia bicarakan.Tentu saja Ivan tidak langsung menyetujui hal itu. Sambil menatap ponsel, Ivan menggetuk-ngetuk kakinya ke lantai.“Sebenarnya dia mau apa?” gumam pria itu kesal, dia mendongakan kepala menatap langit-langit kamarnya yang remang-remang.Ivan beranjak dari kursinya ketika Omanya mengetuk pintu.“Van, ada yang cariin kamu.” Teriak Oma dari balik pintu.“Ya, Ma.”***Seorang wanita berdiri tidak jauh dari pajangan foto yang menunjukan semua anggota keluarga dari rumah tersebut.Wanita itu menatap Alia dengan hati-hati. Dengan parasnya yang cantik, Diana terhenti ketika melihat Ivan yang
Ivan tidak pernah keberatan menjadi anak dari ayah sambungnya meski kini dia tahu kalau dia bukanlah anak kandungnya.Ayahnya bukan orang sembarangan, Saka Salendra, adalah seorang CEO yang sukses setelah berhenti dari pekerjaan lamanya yang merupakan seorang dokter.Setelah itu, dia menikah dengan ibunya, Alia. Melahirkan tiga adik yang usianya tidak berjarak jauh dari Ivan.Ada Arka, Saika, dan Raida.2 anak laki-laki dan dua lagi perempuan.Sekarang Ivan berusia 20 tahun, dia masih berkuliah di sebuah universitas swasta di kota. Sebenarnya Ivan lebih banyak menghabiskan waktu dengan Oma dan Opanya. Karena mereka mulai kurang sehat, Ivan dengan sukarela menawarkan diri untuk menjaga mereka.Tapi pada dasarnya, Ivan memang lebih akrab dengan mereka ketimbang dengan orang tuanya sendiri.Bukan karena dibedakan, tapi, dia hanya malas dengan kondisi yang ramai. Ivan lebih pendiam dari yang dibayangkan.Sosok Ivan yang suka bicara