Share

Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)
Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)
Author: Christina

Bab 1

"Aku iri! Padahal jelas-jelas dia yang dulu merebut Andy dariku, kenapa dia yang harus bahagia? Sementara aku? Hidupku berantakan, pernikahanku gagal, aku diusir dan Gio memaksaku untuk kembali ke tanah air."

Raya menghela napas pelan, bulir-bulir bening mulai memenuhi sudut matanya. Ia hampir saja menangis. Namun, sebisa mungkin ditahannya.

Pemandangan yang tampak di depan mata membuatnya terluka. Hatinya teriris perih melihat sosok laki-laki yang dulu pernah mengisi hatinya tertawa bahagia bersama dengan seorang wanita cantik yang berstatus sebagai istrinya. Candaan gadis kecil yang berusia kurang lebih 5 tahun juga seakan-akan menambah kelengkapan kebahagiaan keluarga kecil itu.

"Papa berangkat dulu ya, Alya? Nindya ... Sayang, aku pamit dulu." Andy Melambaikan tangannya kepada Nindya juga Alya, tentu saja setelah ia berhasil meluncurkan kecupan hangat di kening keduanya.

"Jangan lupa nanti belikan es krim ya, Pa?" pinta Alya sedikit berteriak.

"Siap, Bos Kecil!" Andy menaikkan tangannya sebatas pelipis, seakan-akan sedang memberi hormat pada Alya, kemudian ia berlalu meninggalkan keduanya.

Dada Raya semakin sesak. Sepertinya keluarga yang tengah ia saksikan keakrabannya itu tak pernah merasakan duka seperti apa yang dialaminya.

Baru saja, Nindya dan Alya hendak masuk ke dalam rumah. Tanpa sengaja ia menoleh ke teras di mana Raya sedang duduk menatap mereka.

"Lo, Kak Raya? Kapan dia pulang?" ucap Nindya lirih. Tentu saja itu tidak didengar oleh Raya karena jarak mereka.

Nindya menggendong Alya, lalu melangkah mendekat ke arah Raya. Menghampiri wanita yang sejak lama berstatus sebagai kakak tirinya itu.

"Kak Raya, kapan datang? Kok ga ngasi kabar? Kan aku dan Andy bisa jemput Kakak di Bandara."

"Takut merepotkanmu dan Andy, Nin."

"Astaga, Kak. Tidak ada yang direpotkan. Toh juga aku jemput Kakak, bukan orang lain."

"Ini anakmu ya, Nin? Lucu sekali."

"Iya, Kak. Ini Alya, yang sering aku ceritain."

Ah, hampir saja Nindya lupa. Ia memang sering bercerita soal Alya pada Raya, tapi itu dulu. Terakhir kali mungkin dua tahun lalu. Setelahnya Raya menghilang bak ditelan bumi. Bahkan nomor ponselnya tidak bisa dihubungi lagi.

"Halo, Alya. Keponakan tante Raya yang cantik. Apa kabar, Sayang?"

"Baik, Tante." Alya menciun punggung tangan Raya setelah mendapat anggukan dari Nindya.

Raya mulai bercerita kepada Nindya, tentang kisah pilu pernikahannya dengan Gio yang berakhir tragis. Tak ada yang Raya lewatkan. Semua ia ceritakan secara rinci. Bagaimana Gio sebenarnya menikahinya hanya untuk balas dendam karena tidak bisa mendapatkan Nindya dulu.

Di LN, Raya disiksa, disakiti, bahkan Gio juga berselingkuh dengan gadis di sana, Singapore tepatnya.

Raya terisak menceritakan kisah pernikahannya yang sama sekali tak ada kebahagiaan itu. Bagaimana Gio mencampakkannya, dan memilih gadis lain yang ternyata sudah ada sejak awal pernikahan mereka.

"Sabar ya, Kak. Tenangin diri dulu. Sebentar, aku ambilkan air buat Kakak. Papa sama mama?"

"Mereka pergi, tadi pagi."

Nindya masuk, ke rumah kedua orang tuanya lalu menuju dapur, mengambil air minum untuk Raya, sementara Alya tengah asik bermain. Gadis kecil itu memang sengaja disediakan ruang bermain oleh kakek dan neneknya di rumah mereka. Tujuannya agar Alya betah berada di sana.

Raya menyeringai, ia menghapus air matanya dengan kasar seraya tersenyum licik. "Aku tidak akan pernah membiarkan kamu bahagia, Nindya. Seharusnya Andy adalah milikku. Kamu sudah menghancurkan segalanya, merebutnya dariku. Sekarang aku datang! Aku akan mengambilnya kembali darimu," gumam Raya dalam hati.

"Minum, Kak." Nindya menyodorkan segelas air putih.

Raya kembali bersandiwara, memasang wajah sedihnya yang sudah bersih dari air mata.

Setelah ngobrol beberapa saat, Nindya kembali pulang dengan mengajak Alya. Mereka berencana untuk pergi berbelanja ke mall lalu mampir ke cafe lanila untuk bertemu dengan Bella juga Wina. Persahabatan mereka cukup abadi, meski semua sudah menyandang status sebagai seorang istri dan ibu, ketiganya kompak. Selalu menyempatkan diri bertemu di waktu luang.

***

"Pak Andy, ada tamu." Seorang guru menghampiri Andy ketika ia masih mengajar di dalam kelas.

"Iya, Bu Rina. Siapa ya?"

"Saya kurang tahu, Pak, tapi sudah disuruh menunggu."

"Apakah itu istri saya?"

"Bukan, Pak. Kalau istri Bapak, semua orang juga pasti kenal."

"Baik, Bu Rina. Saya akhiri dulu jam mengajar saya. Sebentar lagi saya datang."

"Siap, Pak."

Andy melangkah, ke luar kelas setelah mengakhiri pelajaran dengan memberikan tugas kepada siswa-siswinya. Andy menuju ke ruang tamu sekolah. Sosok wanita sudah duduk di sana menunggunya.

"Maaf, siapa ya?" tanya Andy.

Wanita yang pandangannya tadi terfokus pada benda pipih yang dipegang, akhirnya menoleh setelah mendengar suara Andy.

"Raya? Kapan kamu datang?"

"Semalam."

"Lalu, untuk apa kami ke sini?"

"Aku bawakan kamu makan siang."

"Makan siang?"

Andy merasa ada yang janggal. Makan siang? Untuk apa Raya repot-repot membawakannya makan siang segala? Padahal Nindya pun dilarangnya saat hendak mengantar makan siang, alasannya ada kantin di sekolah. Jadi, Andy selalu meminta Nindya lebih fokus dengan Alya saja.

Andy tak mengambil pemberian Raya. Ia sedikit mendorong pelan tangan Raya yang tengah menyodorkan tas berisikan kotak makan siang itu.

"Kamu menolak? Makan siang ini aku buat spesial untukmu. Tidak bisakah kamu menghargainya?"

"Raya, kalau Nindya tahu, dia sebagai istriku pasti akan kecewa. Bahkan bekal makan siang darinya pun sering aku tolak, kan lucu kalau aku malah menerima bekal makan siang darimu?"

"An ...." Raya berdiri, mendekat ke arah Andy yang masih berdiri.

Mereka kini berhadapan. Raya mencoba menatap lekat kedua bola mata Andy. Mencari celah dan mencari keberadaan rasa cinta yang dulu pernah ada di sana.

"Ah ... suatu saat nanti, aku percaya, akan ada cinta untukku di sinar matamu sama seperti dulu," gumam Raya dalam hati.

"Pulanglah, Raya. Jangan bertingkah aneh seperti ini. Hargai Gio sebagai suamimu, hargai Nindya, adikmu."

"Aku sudah bercerai dengan Gio, dan Nindya? Siapa dia? Dia hanya adik tiriku saja. Dia yang sudah merebutmu dariku. Dia yang sudah menghancurkan hubungan kita."

"Kamu sendiri yang sudah menghancurkan hubungan kita dulu! Berhentilah menyalahkan orang lain. Pergilah, Raya. Kalau kamu sudah bercerai dengan Gio. Percayalah, akan ada laki-laki lain yang akan menerima kamu kelak, tapi bukan aku."

"Kita bisa mengulang semua dari awal, Andy. Kita bisa kembali seperti dulu. Ingatlah masa-mada indah kita, Sayang."

"Cukup, Raya! Hentikan omong kosongmu! Pergilah!"

Raya tak bergeming, ia masih pada posisi yang sama. Andy sedikit geram. Namun, ia coba menahannya, ia tak ingin membuat keributan yang berakibat fatal nantinya. Andy melangkah pelan, hendak meninggalkan Raya begitu saja, sayang, aksinya terlambat. Raya menarik lengannya, membuatnya kembali berbalik, dan Raya menjatuhkan tubuhnya di dada bidang Andy, tangannya menggenggam erat tangan Andy.

"Ayo, kita kembali! Ayo kita rajut lagi kisah cinta yang dulu hilang karena Nindya!"

"Andy? Raya? Apa yang kalian lakukan?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status