Share

Bab 2

Nindya baru saja menikmati waktunya bersama dengan Wina dan Bella. Setelah selesai melahap makan siang, ia berinisiatif untuk mampir ke sekolah di mana Andy mengajar.

"Ahh ... sepertinya sekali-sekali, tidak apa-apa jika aku membawakan makan siang untuk Andy," gumam Nindya dalam hati.

"Nak, kita ke sekolah papa dulu ya?" Nindya berjongkok, menyetarakan dirinya dengan Alya lalu menatap mata gadis kecil itu.

"Kita bawakan papa makan siang. Ok?" sambungnya.

"Ok, Ma." Alya mengangguk.

Nindya membantu gadis kecilnya masuk ke dalam mobil, lalu diriya bergegas melangkah ke kursi kemudi dan segera menelusuri jalanan yang padat menuju sekolah Andy.

Nindya sudah membeli makan siang untuk suami tersayangnya tadi di Cafe Lanila. Kebetulan Cafe Lanila saat ini sudah memiliki menu yang lengkap. Selain menyediakan beberapa camilan, beraneka ragam minuman, mereka juga menyediakan rice bowl istimewa yang bisa langsung dibawa pulang dengan harga yang tidak menguras kantong.

Nindya memarkirkan mobilnya di parkir kursus tamu di sekolah Andy. Wanita muda itu lalu bergegas turun dengan menenteng tas juga makan siang untuk suaminya. Sementara tangan kirinya menggandeng tangan mungil Alya.

"Mudah-mudahan Andy belum makan siang," gumam Nindya dalam hati seraya melajukan langkah kakinya.

Ruang guru berada tak jauh dari tempat parkir. Namun, arah menuju ruang guru melewati ruang tamu di mana Andy dan Raya berada.

Nindya mendengar jelas suara dari ruang tamu, membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara. Ia terkejut mendapati Raya yang tengah berada dalam dekapan Andy, sang suami.

"Andy, Raya! Apa yang kalian lakukan?" tanya Nindya dengan ucapan yang sedikit terbata-bata.

"Papa kok sama Tante Raya?" kali ini Alya yang bicara.

Dengan cepat Andy mendorong tubuh Raya. Hampir saja wanita itu terjungkal, andai saja ia tak mampu menyeimbangkan dirinya.

"Nindya, Sayang, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelasin semua." Andy berusaha menghampiri Nindya.

"Sebenarnya aku ke sini membawakan kamu makan siang, tapi aku perhatikan ada kotak makan siang di sana. Apakah Kak Raya membawa kamu makan siang dan kamu hendak menikmati makan siang darinya? Padahal, selama ini kamu selalu menolak makan siang dariku."

"Dengarkan penjelasanku dulu, Nin. Aku bisa jelasin, ini tidak seperti yang kamu duga."

"Maaf ... aku tidak ingin bertengkar. Ada Alya di sini, aku tidak ingin dia menyaksikan pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi."

"Nindya, maaf ya, aku tiba-tiba datang ke sini. Bukan maksud apa-apa, tapi kebetulan tadi suamimu telepon aku. Dia bertanya apakah aku sudah sampai di Indonesia, karena sebenarnya semalam aku sudah memberinya kabar tentang kepulanganku. Saat aku bilang kalau aku sudah di rumah, Andy memintaku untuk membawakannya makan siang. Katanya dia tidak sempat ke luar untuk membeli," ucap Raya berbohong.

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Raya? Tolong jangan berbohong!" Andy berusaha berbicara dengan tenang.

"Silakan lanjutkan aktivitas makan siang kalian berdua. Sepertinya kedatanganku cukup mengganggu. Aku akan pulang."

"Nin, aku—"

"Maaf, An. Kita selesaikan semuanya di rumah. Aku harus segera pulang." Nindya memotong ucapan Andy, suaminya.

Ninja bergegas melangkahkan kakinya setelah ia berhasil menggendong Alya. Ada perasaan sakit yang menusuk begitu dalam di hati wanita muda itu. Ini baru pertama kali ia rasakan selama pernikahannya dengan Andy.

Bulir-bulir bening di sudut matanya mulai penuh. Mungkin jika tak segera ia hapuskan, bulir-bulir itu sudah tumpah membasahi kedua pipinya. Nindya berusaha tenang, ia ingat ada Alya yang harus ia jaga perasaannya.

Konsentrasi Nindya terganggu. Ia tak fokus mengendarai mobilnya. Entah sudah beberapa kali hampir saja wanita itu melanggar rambu-rambu lalu lintas. Untung saja ia segera sadar.

Namun tiba-tiba, sebuah truk terlihat oleng dari arah berlawanan. Melaju dengan kencangnya. Nindya panik, ia bingung harus mengarahkan laju kendaraannya ke arah mana. Celaka tak bisa di tolak, dengan keras truk menghantam mobil Nindya. Dalam keadaan setengah sadar ia mendekap tubuh Alya lalu mobil terjungkal.

***

Sirine ambulance dan mobil patroli polisi terdengar riuh saling bersahutan. Jalanan sudah dipenuhi oleh lalu lalang orang-orang yang penasaran dengan peristiwa naas yang baru saja terjadi.

Tubuh kecil Alya terlihat baik-baik saja. Gadis mungil itu masih berad dalam dekapan sang mama. Beberpa orang berusaha mengeluarkannya. Seorang gadis berusia 23 tahun berhasil meraihnya lalu mendekap erat Alya penuh haru.

"Tante, Mamaku," ucap Alya. Tangan kecilnya menunjuk ke arah dalam mobil.

"Sabar ya, Sayang. Mamamu sedang berusaha di selamatkan."

Darah segar mengalir dari pelipis Alya, luka lecet memenuhi beberapa bagian tubuhnya. Ambulance segera melarikannya juga Nindya yang telah berhasil dikeluarlam menuju rumah sakit terdekat.

Gadis yang bernama Luna turut mengantar Alya dengan sang mama menuju fasilitas kesehatan. Sepanjang jalan Alya tak henti-hentinya memanggil Nindya.

"Mama, mama, mama." Aly mulai menyadari sesuatu yang tidak wajar telah terjadi pada dirinnya dan sang mama. Alya mulai menangis. Ia menangis tersedu-sedu seraya menyebut mamanya.

Nindya masih bernapas. Namun, ia tak sadarkan diri. Petugas ambulance bergegas memasukkannya ke ruang UGD begitu pula dengan Alya, gadis kecil itu masih ditemani Luna.

"Mbak, apakah Mbak keluarga dari korban?" tanya seorang petugas medis.

"Ah ... bukan. Kebetulan tadi saya berada di lokasi dan berusaha menolong mereka bersama dengan masyarakat yang lain," jawab Luna.

"Kami membutuhkan keluarganya untuk persetujuan tindakan terhadap pasien. Apakah anda bisa berusaha menghubungi salah satunya?"

"Sebentar, Suster. Saya coba cari ponsel mama korban."

Luna mencoba meraih tas Nindya yang sempt diambilnya. Ia merogoh saku bagian dalam. Ada ponsel Nindya di sana. Luna mencoba membukanya. Namun, ponsel Nindya menggunakan pasword.

"Aduh ... telepon dong, siapa kek," Luna menggerutu, menatap layar ponsel Nindya.

"Tante, mamaku mana?" tanya Alya yang masih sesegukan. Gadis kecil itu berada di pangkuan Luna.

"Sabar ya. Mama lagi diperiksa sama dokter."

Beberapa menit kemudian, ponsel Nindya berdering. Terlihat nama papa Andy di layar. Luna segera menggeser tombol hijaunya.

"Halo,"

"Halo, ini siapa? Istri saya mana?" Dari seberang telepon, Andy menyadari, penerima telepon bukanlah Nindya.

"Halo, Pak. Maaf, istri bapak sedang di rumah sakit dengan putri bapak. Bisakah segera datang ke Rumah Sakit Mandala? Dokter membutuhkan persetujuan bapak untuk tindakan medis yang akan dilakukan kepada istri Bapak."

Dada Andy berdebar hebat. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Nindya dan Alya di rumah sakit? Rasanya mustahil. Baru aja Andy melihatnya baik-baik saja. Bagaimana mungkin kini ia mendengar dua orang yang ia sayang berada di rumah sakit.

Dengan perasaan kalut ia segera meninggalkan sekolah menuju rumah sakit dimaksud. Tak peduli dengan keberadaan Raya yang turut mengikutinya. Yang terpenting baginya kini melihat keadaan istri dan anaknya.

UGD terlihat begitu sesak. Kecelakaan yang menimpa Nindya dan putri kecilnya mengakibatkan beberapa orang lainnya turut menjadi korban.

"Papa ...." lirih Alya saat melihat sosok yang ia kenal melangkah ke arahnya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status