Share

Bab 2

Author: Christina
last update Last Updated: 2022-11-15 20:06:27

Nindya baru saja menikmati waktunya bersama dengan Wina dan Bella. Setelah selesai melahap makan siang, ia berinisiatif untuk mampir ke sekolah di mana Andy mengajar.

"Ahh ... sepertinya sekali-sekali, tidak apa-apa jika aku membawakan makan siang untuk Andy," gumam Nindya dalam hati.

"Nak, kita ke sekolah papa dulu ya?" Nindya berjongkok, menyetarakan dirinya dengan Alya lalu menatap mata gadis kecil itu.

"Kita bawakan papa makan siang. Ok?" sambungnya.

"Ok, Ma." Alya mengangguk.

Nindya membantu gadis kecilnya masuk ke dalam mobil, lalu diriya bergegas melangkah ke kursi kemudi dan segera menelusuri jalanan yang padat menuju sekolah Andy.

Nindya sudah membeli makan siang untuk suami tersayangnya tadi di Cafe Lanila. Kebetulan Cafe Lanila saat ini sudah memiliki menu yang lengkap. Selain menyediakan beberapa camilan, beraneka ragam minuman, mereka juga menyediakan rice bowl istimewa yang bisa langsung dibawa pulang dengan harga yang tidak menguras kantong.

Nindya memarkirkan mobilnya di parkir kursus tamu di sekolah Andy. Wanita muda itu lalu bergegas turun dengan menenteng tas juga makan siang untuk suaminya. Sementara tangan kirinya menggandeng tangan mungil Alya.

"Mudah-mudahan Andy belum makan siang," gumam Nindya dalam hati seraya melajukan langkah kakinya.

Ruang guru berada tak jauh dari tempat parkir. Namun, arah menuju ruang guru melewati ruang tamu di mana Andy dan Raya berada.

Nindya mendengar jelas suara dari ruang tamu, membuat wanita itu menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah suara. Ia terkejut mendapati Raya yang tengah berada dalam dekapan Andy, sang suami.

"Andy, Raya! Apa yang kalian lakukan?" tanya Nindya dengan ucapan yang sedikit terbata-bata.

"Papa kok sama Tante Raya?" kali ini Alya yang bicara.

Dengan cepat Andy mendorong tubuh Raya. Hampir saja wanita itu terjungkal, andai saja ia tak mampu menyeimbangkan dirinya.

"Nindya, Sayang, ini tidak seperti yang kamu lihat. Aku bisa jelasin semua." Andy berusaha menghampiri Nindya.

"Sebenarnya aku ke sini membawakan kamu makan siang, tapi aku perhatikan ada kotak makan siang di sana. Apakah Kak Raya membawa kamu makan siang dan kamu hendak menikmati makan siang darinya? Padahal, selama ini kamu selalu menolak makan siang dariku."

"Dengarkan penjelasanku dulu, Nin. Aku bisa jelasin, ini tidak seperti yang kamu duga."

"Maaf ... aku tidak ingin bertengkar. Ada Alya di sini, aku tidak ingin dia menyaksikan pertengkaran yang seharusnya tidak terjadi."

"Nindya, maaf ya, aku tiba-tiba datang ke sini. Bukan maksud apa-apa, tapi kebetulan tadi suamimu telepon aku. Dia bertanya apakah aku sudah sampai di Indonesia, karena sebenarnya semalam aku sudah memberinya kabar tentang kepulanganku. Saat aku bilang kalau aku sudah di rumah, Andy memintaku untuk membawakannya makan siang. Katanya dia tidak sempat ke luar untuk membeli," ucap Raya berbohong.

"Apa maksudmu berkata seperti itu, Raya? Tolong jangan berbohong!" Andy berusaha berbicara dengan tenang.

"Silakan lanjutkan aktivitas makan siang kalian berdua. Sepertinya kedatanganku cukup mengganggu. Aku akan pulang."

"Nin, aku—"

"Maaf, An. Kita selesaikan semuanya di rumah. Aku harus segera pulang." Nindya memotong ucapan Andy, suaminya.

Ninja bergegas melangkahkan kakinya setelah ia berhasil menggendong Alya. Ada perasaan sakit yang menusuk begitu dalam di hati wanita muda itu. Ini baru pertama kali ia rasakan selama pernikahannya dengan Andy.

Bulir-bulir bening di sudut matanya mulai penuh. Mungkin jika tak segera ia hapuskan, bulir-bulir itu sudah tumpah membasahi kedua pipinya. Nindya berusaha tenang, ia ingat ada Alya yang harus ia jaga perasaannya.

Konsentrasi Nindya terganggu. Ia tak fokus mengendarai mobilnya. Entah sudah beberapa kali hampir saja wanita itu melanggar rambu-rambu lalu lintas. Untung saja ia segera sadar.

Namun tiba-tiba, sebuah truk terlihat oleng dari arah berlawanan. Melaju dengan kencangnya. Nindya panik, ia bingung harus mengarahkan laju kendaraannya ke arah mana. Celaka tak bisa di tolak, dengan keras truk menghantam mobil Nindya. Dalam keadaan setengah sadar ia mendekap tubuh Alya lalu mobil terjungkal.

***

Sirine ambulance dan mobil patroli polisi terdengar riuh saling bersahutan. Jalanan sudah dipenuhi oleh lalu lalang orang-orang yang penasaran dengan peristiwa naas yang baru saja terjadi.

Tubuh kecil Alya terlihat baik-baik saja. Gadis mungil itu masih berad dalam dekapan sang mama. Beberpa orang berusaha mengeluarkannya. Seorang gadis berusia 23 tahun berhasil meraihnya lalu mendekap erat Alya penuh haru.

"Tante, Mamaku," ucap Alya. Tangan kecilnya menunjuk ke arah dalam mobil.

"Sabar ya, Sayang. Mamamu sedang berusaha di selamatkan."

Darah segar mengalir dari pelipis Alya, luka lecet memenuhi beberapa bagian tubuhnya. Ambulance segera melarikannya juga Nindya yang telah berhasil dikeluarlam menuju rumah sakit terdekat.

Gadis yang bernama Luna turut mengantar Alya dengan sang mama menuju fasilitas kesehatan. Sepanjang jalan Alya tak henti-hentinya memanggil Nindya.

"Mama, mama, mama." Aly mulai menyadari sesuatu yang tidak wajar telah terjadi pada dirinnya dan sang mama. Alya mulai menangis. Ia menangis tersedu-sedu seraya menyebut mamanya.

Nindya masih bernapas. Namun, ia tak sadarkan diri. Petugas ambulance bergegas memasukkannya ke ruang UGD begitu pula dengan Alya, gadis kecil itu masih ditemani Luna.

"Mbak, apakah Mbak keluarga dari korban?" tanya seorang petugas medis.

"Ah ... bukan. Kebetulan tadi saya berada di lokasi dan berusaha menolong mereka bersama dengan masyarakat yang lain," jawab Luna.

"Kami membutuhkan keluarganya untuk persetujuan tindakan terhadap pasien. Apakah anda bisa berusaha menghubungi salah satunya?"

"Sebentar, Suster. Saya coba cari ponsel mama korban."

Luna mencoba meraih tas Nindya yang sempt diambilnya. Ia merogoh saku bagian dalam. Ada ponsel Nindya di sana. Luna mencoba membukanya. Namun, ponsel Nindya menggunakan pasword.

"Aduh ... telepon dong, siapa kek," Luna menggerutu, menatap layar ponsel Nindya.

"Tante, mamaku mana?" tanya Alya yang masih sesegukan. Gadis kecil itu berada di pangkuan Luna.

"Sabar ya. Mama lagi diperiksa sama dokter."

Beberapa menit kemudian, ponsel Nindya berdering. Terlihat nama papa Andy di layar. Luna segera menggeser tombol hijaunya.

"Halo,"

"Halo, ini siapa? Istri saya mana?" Dari seberang telepon, Andy menyadari, penerima telepon bukanlah Nindya.

"Halo, Pak. Maaf, istri bapak sedang di rumah sakit dengan putri bapak. Bisakah segera datang ke Rumah Sakit Mandala? Dokter membutuhkan persetujuan bapak untuk tindakan medis yang akan dilakukan kepada istri Bapak."

Dada Andy berdebar hebat. Ia tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar. Nindya dan Alya di rumah sakit? Rasanya mustahil. Baru aja Andy melihatnya baik-baik saja. Bagaimana mungkin kini ia mendengar dua orang yang ia sayang berada di rumah sakit.

Dengan perasaan kalut ia segera meninggalkan sekolah menuju rumah sakit dimaksud. Tak peduli dengan keberadaan Raya yang turut mengikutinya. Yang terpenting baginya kini melihat keadaan istri dan anaknya.

UGD terlihat begitu sesak. Kecelakaan yang menimpa Nindya dan putri kecilnya mengakibatkan beberapa orang lainnya turut menjadi korban.

"Papa ...." lirih Alya saat melihat sosok yang ia kenal melangkah ke arahnya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 15

    Rendy, Kiara, Andy dan juga Nindya sepakat untuk mengajak Raya ke rumah sakit memeriksakan kondisinya. Semua sudah dibicarakan semalam tanpa sepengetahuan gadis itu. Ada rasa sakit di hati Kiara, sebagai sang ibu yang sudah membesarkannya ia merasa terluka. Ia merasa perlakuan Rendy terhadap putrinya sungguh tidak adil. Meski sikap dan sifat Raya yang selama ini sedikit meresahkan, Kiara tetap menyayanginya."Raya, bersiaplah, Nak. Mandi dan segera bergabung ke meja makan." Kiara menghampiri putrinya yang masih berbaring di balik selimut. Padahal, hari sudah sangat pagi. Jam di dinding kamar pun sudah menunjuk angka 08.45 pagi. Tak bisa dipungkiri, gadis itu memang jauh berbeda dengan Nindya.“Hmmm … ini masih pagi, Ma. Memangnya kita mau ke mana?” tanya Raya setelah membuka mata. Beberapa kali gadis itu menggeliat lalu menguap.Kiara menggenggam tangan putri kesayangannya. Ada perasaan menyesal yang terbesit tiba-tiba. Kiara menyesal pernah menyakiti hati putrinya itu. “Kita mau jala

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 14

    "Apa yang sebenarnya terjadi, An? Ada apa ini?""Tadi siang, Raya mengancam bunuh diri. Ia hampir sja menoreh lengannya dengan pisau kecil. Aku replek, terpaksa mengatakan bersedia mendampinginya.""Astaga! Kenapa kamu seceroboh itu? Sekarang bagaimana? Nindya juga sangat membutuhkan kamu! Apalagi Alya, coba pikirkan, apa yang ada dibenaknya melihat ulah papanya?""Pa ... Kenapa yang ada di pikiran Papa hanya Nindya? Aku tahu dia putrimu. Salahkah aku jik aku pun ingin membahagiakan putriku? Putriku yang entah hidupnya berapa lama lagi. Tolong berilah waktu untuknya mengecap kebahagiaan walau tak selamanya. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya sebentar saja." Kiara mulai membela putrinya."Tidak seperti ini juga caranya, Ma. Papa tidak setuju. Ini cara yang salah. Sebaiknya Raya kita bawa ke rumah sakit terlebih dahulu.""Apakah Papa menuduh Raya berbohong? Bukankan sudah jelas surat keterangan dari dokter yang tempo hari ditunjukkan Raya pada kita?""Apa salahnya kita memeriksak

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 13

    "Mama sehat? Mama sadar dengan apa yang barusan mama katakan?""Please, Nin. Tolong lah.""Ma ... jangan mentang-mentang aku anak tiri Mama, Mama malah seenaknya mengajukan permintaan yang menurutku tidak masuk akal. Mama lupa? Aku sedang sakit juga. Aku sedang butuh perhatian dan dukungan untuk memulihkan kembali ingatanku. Mama lupa?""Raya lebih butuh Andy daripada kamu. Raya bisa dipanggil Tuhan kapan aja. Salahkah mama mengabulkan permintaannya? Sementara kamu, kamu punya waktu untuk sembuh dan kamu akan memiliki Andy sepenuhnya. Nin, mama tidak meminta Andy menikahi Raya, tidak sama sekali! Tapi, berikan kesempatan dia bahagia dengan lebih dekat dengan Andy. Please ...."Nindya terdiam. Meski ia melupakan perasaannya pada Andy, tapi itu tak membuat dia bisa melepas Andy begitu saja. Ini benar-benar tidak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin ia harus merelakan Andy membagi kasih sayang dengan Raya. Tiba-tiba Kiara berlutut, ia memohon pada Nindya seraya memegang kedua kaki Nindy

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 12

    Nindya sudah diperbolehkan pulang setelah beberapa lama berada di rumah sakit. Tak ada masalah yang berarti pada kesehatannya. Dokter hanya menyarankan agar Nindya tidak terlalu berusaha keras mengingat semua hal yang ia lupakan. Dengan dukungan beberapa obat, diharapkan ingatan Nindya bisa kembali pulih.Andy mengantarkan Nindya masuk ke dalam kamar, berharap wanita yang begitu sangat ia cintai bisa bertahan istirahat lebih banyak lagi. "Tidurlah, Sayang. Nanti kalau butuh apa-apa panggil aku ya?""Iya, Sayang. Oh ya, boleh nggak aku minta supaya Alya tinggal di sini saja? Tidak usah khawatir tentang aku, aku juga ingin agar lebih cepat mengingat semua tentang kita juga Alya. Mungkin dengan seringnya aku berinteraksi dengan Alya, aku akan mengingat banyak hal yang sudah terlupakan lebih cepat.""Kalau memang itu keinginan kamu, tidak masalah. Aku akan menjemput Alya besok. Kamu beristirahatlah, ini sudah malam.""Terima kasih, Sayang. Kamu mau ke mana? Kamu tidak lelah? istirahat saj

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 11

    Gio dan Raya kembali bertemu, mereka mulai memikirkan cara untuk memisahkan Andy dan Nindya. Keduanya masih tak mau mengalah, keduanya masih tak mau menerima keadaan dan takdir yang sudah seharusnya. Rasa cinta yang terlalu dalam membuat Gio dan Raya bersikeras untuk mencari segala cara agar bisa meraih keinginan mereka.Tiba-tiba Gio memiliki ide yang brilliant. Ia merasa ide cemerlangnya akan berhasil dan membuatnya bisa bersatu dengan Nindya. Gio membisikkan ide yang datang tiba-tiba itu pada Raya. Tentu saja Raya sangat menyetujui itu. Raya merasa itulah cara terbaik dan yakin akan berhasil."Kita mulai dari mana?""Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?""Astaga! Gio! Aku serius, kenapa malah ngajak bercanda sih?""Hahahha ... enggak. Aku hanya ngerasa lega akhirnya menemukan ide yang luar biasa ini.""Jadi keputusannya gimana?""Kita harus menemui seseorang. Tidak mungkin kan, tanpa bukti kamu tiba-tiba ngomong ke orang tuamu? Mereka tidak akan percaya.""Jadi?""Ikut aku!"Gio dan Ra

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 10

    Di tempat yang berbeda. Gio baru saja membuka mata. Seulas senyuman tersirat di bibirnya. "Ah ... akhirnya sebentar lagi aku akan memiliki Nindya," gumamnya.Gio beranjak, ia kemudian mengambil handuk lalu bergegas menuju kamar mand, membersihkan dirinya perlahan, sesekali ia bersiul. Sudah sejak lama hatinya tak sebahagia ini, bahkan saat bersama Raya dulu, tak sekali pun ia bisa melemparkan senyuman semanis ini.Pria tampan itu bergegas menuju kamar di mana Nindya tidur. "Inilah saatnya aku benar-benar memilikimu," ucapnya lirih setelah sampai di depan pintu.Gio menghela napas pelan. Ia lalu mengetuk pintu, tapi sayang, tak ada seorang pun yang merespon dari dalam sana. Gio mulai curiga, lalu segera membuka pintu, ia panik saat menyadari Nindya sudah tak ada lagi di sana.Gio berbekas meraih ponselnya lalu mencoba menghubungi nomor Nindya, tapi yang memberikan jawaban hanyalah operator telepon."Sial! Kenapa aku bisa kecolongan!" umpatnya penuh emosi.Gio bergegas menghubungi Raya.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status