Share

Bab 4

Penulis: Christina
last update Terakhir Diperbarui: 2022-12-17 13:50:06

Kecelakaan terjadi begitu tiba-tiba. Nindya yang berada dalam posisi bingung, patah hati dan ragu kurang fokus dengan kemudinya. Bahkan, ia lupa mengenakan sabuk pengaman yang seharusnya menjadi prioritas. Benturan hebat membuatnya tiba-tiba lupa.

Ingatannya sebatas ia masih bersama Dion. Bahkan ia lupa, jika pria itu sudah meninggal. Nindya melupakan moment manis saat bersama Andy, melupakan pernikahan mereka, juga melupakan Alya, gadis mungil yang sudah lahir dari rahimnya.

Andy frustasi. Ia merenas rambut dengan kedua tangannya. Menyesal sudah tak ada guna. Perasaan bersalah pun mulai datang menghantui.

Andai saja, ia dengan tegas menyuruh Raya pergi darinya. Mungkin kejadian buruk tak akan pernah terjadi pada Nindya. Nasi sudah menjadi bubur. Saat ini Andy hanya perlu berjuang lebih keras untuk memulihkan ingatan Nindya.

"Aku bertanya sekali lagi. Dio di mana?" lirih Nindya menatap suaminya.

"Sayang ... aku suamimu, bukan Dio."

"Suami? Kapan kita menikah? Dio pacarku, bagaimana mungkin kita menikah."

"Sa—"

"Cukup, Om! Kasihan kak Raya. Jangan sakiti dia." Nindya memotong ucapan Andy.

Andy menghela napas berat. Pikirannya kacau. Ia bingung harus berbuat apa untuk memulihkan Ingatan Nindya. Pintu kamar ruang rawat Nindya diketuk. Kedua orang tua Nindya juga orang tua Andy datang. Ada Alya juga yang berada dalam gendongan neneknya, mama Andy. Paling belakang, Raya turut mengekor.

Raut wajah Andy yang tampak begitu menyedihkan, membuat dua pasang suami istri itu bingung. Mereka mendekat, menatap Nindya sekilas.

"Ada apa, An?" tanya Mama Nindya.

"Nindya amnesia," ucap Andy lirih.

Jawaban Andy membuat seketika semua mata tertuju pada Nindya yang kini sudah tertidur lagi. Dokter baru saja memberinya obat melalui injeksi yang membuatnya tak mampu menahan rasa kantuk.

Perlahan Andy menjelaskan apa yang sudah terjadi pada Nindya, menerangkan segala yang disampaikan oleh dokter mengenai kondisi istrinya. Semua yang ada di sana menghela napas berat. Semua terlihat begitu terpukul dengan apa yang sudah menimpa Nindya, kecuali Raya. Janda tanpa anak itu tiba-tiba menyeringai setelah mendengar penjelasan Andy mengenai kondisi adik tirinya.

"Kita berusaha bersama. Seperti yang sudah kamu katakan tadi. Bukankah dokter bilang kalau kita perlahan mengenalkan dan membntunya mengingat masa-masa yang telah lewat, maka kondisi Nindya akan membaik."

"Iya, benar kata Mama, Nindya hanya membutuhkan kita untuk segera memulihkan ingatannya."

"Demi Tuhan, semoga dia tidak pernah sadar dan pulih dari ingatannya," gumam Raya dalam hati.

"Dio ... Dio, kamu di mana?" Kembali terdengar suara Nindya lirih memanggil nama Dio.

Gadis itu sungguh lupa, ia tak mengingat jika Dio sudah tak ada lagi di sisinya. Bahkan ia tak menyadari, ada hati suaminya yang terluka mendengarnya menyebut nama pria lain.

Mama Nindya bergegas menghampiri putrinya. Dengan lembut ia menggenggam tangan anak yang dilahirkan dari rahimnya itu. "Sayang, ini mama. Dio sudah tidak ada, ia sudah tenang di sana."

"Maksud Mama? Mama jangan aneh-aneh deh. Jelas-jelas Dio masih ada. Kita sudah berencana akan menikah. Tolong, Mama jangan membuatku resah."

Dokter yang beberapa menit sebelumnya sempat dipanggil oleh Andy, turut memperhatikan cara Nindya berbicara. "Sepertinya pasien mengalami amnesia ringan, ia kehilangan sebagian memorinya. Kalian bisa membantu untuk memulihkan itu semua. Kami juga akan memberikannya beberapa obat yang bisa menunjang kesembuhannya," ucap Dokter.

"Apa benar ini bisa disembuhkan, Dokter?" tanya Andy yang sedikit ragu.

"Tentu saja! Yang penting keluarga memberinya support, memberinya dukungan, juga membantunya mengingat segala kenangan yang ia lupakan."

Dokter meninggalkan ruang rawat Nindya. Sementara pihak keluarga berusaha perlahan mengajak Nindya berbicara. Mencoba mengingatkan beberapa hal yang mungkin sudah ia lupakan.

Namun, Nindya tak peduli. Ia mempercayai apa yang ia yakini. Ia percaya jika Dio masih ada. Bahkan, ia yakin rencana pernikahan yang sudah disusun sebelumnya itu akan benar-benar terjadi. Nindya histeris. Ia menyalahkan kedua orang tuanya, menyalahkan Andy. Mengatakan jika semua ini adalah rencana Andy untuk merusak hubungannya dengan Dio.

Kondisi Nindya yang kurang baik karena dipenuhi amarah dan emosi, membuatnya terpaksa diberikan obat penenang oleh dokter.

Hari sudah larut. Alya, si gadis kecil sudah tertidur di pelukan neneknya. Kedua orang tua Andy, juga orang tua Nindya memutuskan untuk pulang. Sementara Raya bersedia menemani Andy untuk menjaga Nindya.

"Tidak perlu! Kamu bisa pulang. Aku bisa menjaga istriku sendiri di sini. Tolong, jangan mengusikku!"

"Jangan salah paham, An. Aku serius ingin menemanimu menjaga Nindya di sini. Aku janji, aku tidak akan membuatmu marah."

"Apakah ucapanmu bisa dipercaya?"

"Tentu saja! Kamu tidak usah khawatir!"

***

Matahari mulai mengintip dari celah tirai jendela, menyilaukan mata, membuat nindya perlahan mengedipkan kedua bola matanya. Wanita itu terbangun, menghela napas sejenak, memperhatikan sekitar dan ia terhenyak kaget saat melihat Andy tertidur di sisi ranjang seraya menggenggam tangannya.

"Aku sakit apa sebenarnya? Kenapa harus Om Andy yang jaga aku? Kenapa bukan Dio? Ke mana Dio?" batin Nindya.

"Kamu sudah bangun ternyata."

"Kak Raya ... Kakak jangan salah paham ya? Mungkin Om Andy kelelahan, makanya dia pegang tanganku. Mungkin dia kira itu tangan Kakak."

"Tidak apa-apa, yang penting kamu jangan berusaha merebut Andy dariku ya!"

"Tentu saja tidak, Kak. Aku sudah punya Dio."

Sepertinya Andy begitu lelah. Ia sama sekali tak mendengar percakapan istrinya dan Raya. Diam-diam Raya sudah mulai menjalankan rencananya, mencoba mencari akal untuk membuat Nindya semakin melupakan Andy.

"Maaf ya, Sayang. Aku bangunnya kesiangan," ucap Andy yang baru saja membuka matanya.

"Om Andy ngomong apa sih? Jangan aneh-aneh deh, Om. Kasihan Kak Raya."

"Nin, kamu istriku, bukan Raya."

"Om Andy nggak usah aneh-aneh deh. Kasihan Kak Raya. Sudah, jangan membuat hubungan persaudaraan kami rusak."

Di belakang sana Raya mulai tersenyum. Ia yakin segala rencana yang disusunnya akan berjalan dengan mulus. Ia percaya, ia akan mampu menyingkirkan Nindya dari sisi Andy, lalu merebut pria itu kembali ke sisinya.

Andy menghela napas sesaat. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya kepada Nindya. Ia tak mungkin memaksa istrinya itu untuk mengingat semua yang sudah terjadi dengan waktu yang singkat.

"Ya sudah, kalau gitu aku pulang mandi dulu ya."

"Raya ... aku titip Nindya dan ingat, kamu jangan berbuat yang aneh-aneh!"

"Aman kok, An, sama aku. Kamu tenang saja," ucap Raya yang mulai bertutur lembut.

Andy melangkah pergi meninggalkan istrinya bersama Raya. Ingin rasanya ia mengecup kening wanita itu. Namun, ia yakin Nindya pasti menolaknya.

Andy berat meninggalkan Nindya bersama Raya. Ia takut jika Raya mulai meracuni pikiran Nindya. Namun, tak ada pilihan lain selain mencoba percaya.

Raya mendekat, duduk di sisi Nindya. Bersikap manis seolah-olah ia kakak tiri yang baik. Ia mencoba menyuapi Nindya sarapan yang baru saja diantar petugas. Sebenarnya ia muak, tapi demi tercapainya keinginannya merebut Andy, ia rela melakukan segala yang dibencinya.

"Kak, sebenarnya, Dio ke mana?"

"Dio ada, dia sayang banget sama kamu, Nin. Hanya saja, sekarang dia harus ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya."

"Rencana pernikahan ku dengannya?"

"Dio akan segera menjadikanmu istrinya."

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 15

    Rendy, Kiara, Andy dan juga Nindya sepakat untuk mengajak Raya ke rumah sakit memeriksakan kondisinya. Semua sudah dibicarakan semalam tanpa sepengetahuan gadis itu. Ada rasa sakit di hati Kiara, sebagai sang ibu yang sudah membesarkannya ia merasa terluka. Ia merasa perlakuan Rendy terhadap putrinya sungguh tidak adil. Meski sikap dan sifat Raya yang selama ini sedikit meresahkan, Kiara tetap menyayanginya."Raya, bersiaplah, Nak. Mandi dan segera bergabung ke meja makan." Kiara menghampiri putrinya yang masih berbaring di balik selimut. Padahal, hari sudah sangat pagi. Jam di dinding kamar pun sudah menunjuk angka 08.45 pagi. Tak bisa dipungkiri, gadis itu memang jauh berbeda dengan Nindya.“Hmmm … ini masih pagi, Ma. Memangnya kita mau ke mana?” tanya Raya setelah membuka mata. Beberapa kali gadis itu menggeliat lalu menguap.Kiara menggenggam tangan putri kesayangannya. Ada perasaan menyesal yang terbesit tiba-tiba. Kiara menyesal pernah menyakiti hati putrinya itu. “Kita mau jala

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 14

    "Apa yang sebenarnya terjadi, An? Ada apa ini?""Tadi siang, Raya mengancam bunuh diri. Ia hampir sja menoreh lengannya dengan pisau kecil. Aku replek, terpaksa mengatakan bersedia mendampinginya.""Astaga! Kenapa kamu seceroboh itu? Sekarang bagaimana? Nindya juga sangat membutuhkan kamu! Apalagi Alya, coba pikirkan, apa yang ada dibenaknya melihat ulah papanya?""Pa ... Kenapa yang ada di pikiran Papa hanya Nindya? Aku tahu dia putrimu. Salahkah aku jik aku pun ingin membahagiakan putriku? Putriku yang entah hidupnya berapa lama lagi. Tolong berilah waktu untuknya mengecap kebahagiaan walau tak selamanya. Ia hanya ingin menghabiskan sisa waktunya sebentar saja." Kiara mulai membela putrinya."Tidak seperti ini juga caranya, Ma. Papa tidak setuju. Ini cara yang salah. Sebaiknya Raya kita bawa ke rumah sakit terlebih dahulu.""Apakah Papa menuduh Raya berbohong? Bukankan sudah jelas surat keterangan dari dokter yang tempo hari ditunjukkan Raya pada kita?""Apa salahnya kita memeriksak

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 13

    "Mama sehat? Mama sadar dengan apa yang barusan mama katakan?""Please, Nin. Tolong lah.""Ma ... jangan mentang-mentang aku anak tiri Mama, Mama malah seenaknya mengajukan permintaan yang menurutku tidak masuk akal. Mama lupa? Aku sedang sakit juga. Aku sedang butuh perhatian dan dukungan untuk memulihkan kembali ingatanku. Mama lupa?""Raya lebih butuh Andy daripada kamu. Raya bisa dipanggil Tuhan kapan aja. Salahkah mama mengabulkan permintaannya? Sementara kamu, kamu punya waktu untuk sembuh dan kamu akan memiliki Andy sepenuhnya. Nin, mama tidak meminta Andy menikahi Raya, tidak sama sekali! Tapi, berikan kesempatan dia bahagia dengan lebih dekat dengan Andy. Please ...."Nindya terdiam. Meski ia melupakan perasaannya pada Andy, tapi itu tak membuat dia bisa melepas Andy begitu saja. Ini benar-benar tidak masuk akal baginya. Bagaimana mungkin ia harus merelakan Andy membagi kasih sayang dengan Raya. Tiba-tiba Kiara berlutut, ia memohon pada Nindya seraya memegang kedua kaki Nindy

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 12

    Nindya sudah diperbolehkan pulang setelah beberapa lama berada di rumah sakit. Tak ada masalah yang berarti pada kesehatannya. Dokter hanya menyarankan agar Nindya tidak terlalu berusaha keras mengingat semua hal yang ia lupakan. Dengan dukungan beberapa obat, diharapkan ingatan Nindya bisa kembali pulih.Andy mengantarkan Nindya masuk ke dalam kamar, berharap wanita yang begitu sangat ia cintai bisa bertahan istirahat lebih banyak lagi. "Tidurlah, Sayang. Nanti kalau butuh apa-apa panggil aku ya?""Iya, Sayang. Oh ya, boleh nggak aku minta supaya Alya tinggal di sini saja? Tidak usah khawatir tentang aku, aku juga ingin agar lebih cepat mengingat semua tentang kita juga Alya. Mungkin dengan seringnya aku berinteraksi dengan Alya, aku akan mengingat banyak hal yang sudah terlupakan lebih cepat.""Kalau memang itu keinginan kamu, tidak masalah. Aku akan menjemput Alya besok. Kamu beristirahatlah, ini sudah malam.""Terima kasih, Sayang. Kamu mau ke mana? Kamu tidak lelah? istirahat saj

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 11

    Gio dan Raya kembali bertemu, mereka mulai memikirkan cara untuk memisahkan Andy dan Nindya. Keduanya masih tak mau mengalah, keduanya masih tak mau menerima keadaan dan takdir yang sudah seharusnya. Rasa cinta yang terlalu dalam membuat Gio dan Raya bersikeras untuk mencari segala cara agar bisa meraih keinginan mereka.Tiba-tiba Gio memiliki ide yang brilliant. Ia merasa ide cemerlangnya akan berhasil dan membuatnya bisa bersatu dengan Nindya. Gio membisikkan ide yang datang tiba-tiba itu pada Raya. Tentu saja Raya sangat menyetujui itu. Raya merasa itulah cara terbaik dan yakin akan berhasil."Kita mulai dari mana?""Kamu nanya? Kamu bertanya-tanya?""Astaga! Gio! Aku serius, kenapa malah ngajak bercanda sih?""Hahahha ... enggak. Aku hanya ngerasa lega akhirnya menemukan ide yang luar biasa ini.""Jadi keputusannya gimana?""Kita harus menemui seseorang. Tidak mungkin kan, tanpa bukti kamu tiba-tiba ngomong ke orang tuamu? Mereka tidak akan percaya.""Jadi?""Ikut aku!"Gio dan Ra

  • Jangan Rebut Papaku, Tante! (Sequel Jadi Suamiku Ya, Om?)   Bab 10

    Di tempat yang berbeda. Gio baru saja membuka mata. Seulas senyuman tersirat di bibirnya. "Ah ... akhirnya sebentar lagi aku akan memiliki Nindya," gumamnya.Gio beranjak, ia kemudian mengambil handuk lalu bergegas menuju kamar mand, membersihkan dirinya perlahan, sesekali ia bersiul. Sudah sejak lama hatinya tak sebahagia ini, bahkan saat bersama Raya dulu, tak sekali pun ia bisa melemparkan senyuman semanis ini.Pria tampan itu bergegas menuju kamar di mana Nindya tidur. "Inilah saatnya aku benar-benar memilikimu," ucapnya lirih setelah sampai di depan pintu.Gio menghela napas pelan. Ia lalu mengetuk pintu, tapi sayang, tak ada seorang pun yang merespon dari dalam sana. Gio mulai curiga, lalu segera membuka pintu, ia panik saat menyadari Nindya sudah tak ada lagi di sana.Gio berbekas meraih ponselnya lalu mencoba menghubungi nomor Nindya, tapi yang memberikan jawaban hanyalah operator telepon."Sial! Kenapa aku bisa kecolongan!" umpatnya penuh emosi.Gio bergegas menghubungi Raya.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status