Share

Bab 4

Kecelakaan terjadi begitu tiba-tiba. Nindya yang berada dalam posisi bingung, patah hati dan ragu kurang fokus dengan kemudinya. Bahkan, ia lupa mengenakan sabuk pengaman yang seharusnya menjadi prioritas. Benturan hebat membuatnya tiba-tiba lupa.

Ingatannya sebatas ia masih bersama Dion. Bahkan ia lupa, jika pria itu sudah meninggal. Nindya melupakan moment manis saat bersama Andy, melupakan pernikahan mereka, juga melupakan Alya, gadis mungil yang sudah lahir dari rahimnya.

Andy frustasi. Ia merenas rambut dengan kedua tangannya. Menyesal sudah tak ada guna. Perasaan bersalah pun mulai datang menghantui.

Andai saja, ia dengan tegas menyuruh Raya pergi darinya. Mungkin kejadian buruk tak akan pernah terjadi pada Nindya. Nasi sudah menjadi bubur. Saat ini Andy hanya perlu berjuang lebih keras untuk memulihkan ingatan Nindya.

"Aku bertanya sekali lagi. Dio di mana?" lirih Nindya menatap suaminya.

"Sayang ... aku suamimu, bukan Dio."

"Suami? Kapan kita menikah? Dio pacarku, bagaimana mungkin kita menikah."

"Sa—"

"Cukup, Om! Kasihan kak Raya. Jangan sakiti dia." Nindya memotong ucapan Andy.

Andy menghela napas berat. Pikirannya kacau. Ia bingung harus berbuat apa untuk memulihkan Ingatan Nindya. Pintu kamar ruang rawat Nindya diketuk. Kedua orang tua Nindya juga orang tua Andy datang. Ada Alya juga yang berada dalam gendongan neneknya, mama Andy. Paling belakang, Raya turut mengekor.

Raut wajah Andy yang tampak begitu menyedihkan, membuat dua pasang suami istri itu bingung. Mereka mendekat, menatap Nindya sekilas.

"Ada apa, An?" tanya Mama Nindya.

"Nindya amnesia," ucap Andy lirih.

Jawaban Andy membuat seketika semua mata tertuju pada Nindya yang kini sudah tertidur lagi. Dokter baru saja memberinya obat melalui injeksi yang membuatnya tak mampu menahan rasa kantuk.

Perlahan Andy menjelaskan apa yang sudah terjadi pada Nindya, menerangkan segala yang disampaikan oleh dokter mengenai kondisi istrinya. Semua yang ada di sana menghela napas berat. Semua terlihat begitu terpukul dengan apa yang sudah menimpa Nindya, kecuali Raya. Janda tanpa anak itu tiba-tiba menyeringai setelah mendengar penjelasan Andy mengenai kondisi adik tirinya.

"Kita berusaha bersama. Seperti yang sudah kamu katakan tadi. Bukankah dokter bilang kalau kita perlahan mengenalkan dan membntunya mengingat masa-masa yang telah lewat, maka kondisi Nindya akan membaik."

"Iya, benar kata Mama, Nindya hanya membutuhkan kita untuk segera memulihkan ingatannya."

"Demi Tuhan, semoga dia tidak pernah sadar dan pulih dari ingatannya," gumam Raya dalam hati.

"Dio ... Dio, kamu di mana?" Kembali terdengar suara Nindya lirih memanggil nama Dio.

Gadis itu sungguh lupa, ia tak mengingat jika Dio sudah tak ada lagi di sisinya. Bahkan ia tak menyadari, ada hati suaminya yang terluka mendengarnya menyebut nama pria lain.

Mama Nindya bergegas menghampiri putrinya. Dengan lembut ia menggenggam tangan anak yang dilahirkan dari rahimnya itu. "Sayang, ini mama. Dio sudah tidak ada, ia sudah tenang di sana."

"Maksud Mama? Mama jangan aneh-aneh deh. Jelas-jelas Dio masih ada. Kita sudah berencana akan menikah. Tolong, Mama jangan membuatku resah."

Dokter yang beberapa menit sebelumnya sempat dipanggil oleh Andy, turut memperhatikan cara Nindya berbicara. "Sepertinya pasien mengalami amnesia ringan, ia kehilangan sebagian memorinya. Kalian bisa membantu untuk memulihkan itu semua. Kami juga akan memberikannya beberapa obat yang bisa menunjang kesembuhannya," ucap Dokter.

"Apa benar ini bisa disembuhkan, Dokter?" tanya Andy yang sedikit ragu.

"Tentu saja! Yang penting keluarga memberinya support, memberinya dukungan, juga membantunya mengingat segala kenangan yang ia lupakan."

Dokter meninggalkan ruang rawat Nindya. Sementara pihak keluarga berusaha perlahan mengajak Nindya berbicara. Mencoba mengingatkan beberapa hal yang mungkin sudah ia lupakan.

Namun, Nindya tak peduli. Ia mempercayai apa yang ia yakini. Ia percaya jika Dio masih ada. Bahkan, ia yakin rencana pernikahan yang sudah disusun sebelumnya itu akan benar-benar terjadi. Nindya histeris. Ia menyalahkan kedua orang tuanya, menyalahkan Andy. Mengatakan jika semua ini adalah rencana Andy untuk merusak hubungannya dengan Dio.

Kondisi Nindya yang kurang baik karena dipenuhi amarah dan emosi, membuatnya terpaksa diberikan obat penenang oleh dokter.

Hari sudah larut. Alya, si gadis kecil sudah tertidur di pelukan neneknya. Kedua orang tua Andy, juga orang tua Nindya memutuskan untuk pulang. Sementara Raya bersedia menemani Andy untuk menjaga Nindya.

"Tidak perlu! Kamu bisa pulang. Aku bisa menjaga istriku sendiri di sini. Tolong, jangan mengusikku!"

"Jangan salah paham, An. Aku serius ingin menemanimu menjaga Nindya di sini. Aku janji, aku tidak akan membuatmu marah."

"Apakah ucapanmu bisa dipercaya?"

"Tentu saja! Kamu tidak usah khawatir!"

***

Matahari mulai mengintip dari celah tirai jendela, menyilaukan mata, membuat nindya perlahan mengedipkan kedua bola matanya. Wanita itu terbangun, menghela napas sejenak, memperhatikan sekitar dan ia terhenyak kaget saat melihat Andy tertidur di sisi ranjang seraya menggenggam tangannya.

"Aku sakit apa sebenarnya? Kenapa harus Om Andy yang jaga aku? Kenapa bukan Dio? Ke mana Dio?" batin Nindya.

"Kamu sudah bangun ternyata."

"Kak Raya ... Kakak jangan salah paham ya? Mungkin Om Andy kelelahan, makanya dia pegang tanganku. Mungkin dia kira itu tangan Kakak."

"Tidak apa-apa, yang penting kamu jangan berusaha merebut Andy dariku ya!"

"Tentu saja tidak, Kak. Aku sudah punya Dio."

Sepertinya Andy begitu lelah. Ia sama sekali tak mendengar percakapan istrinya dan Raya. Diam-diam Raya sudah mulai menjalankan rencananya, mencoba mencari akal untuk membuat Nindya semakin melupakan Andy.

"Maaf ya, Sayang. Aku bangunnya kesiangan," ucap Andy yang baru saja membuka matanya.

"Om Andy ngomong apa sih? Jangan aneh-aneh deh, Om. Kasihan Kak Raya."

"Nin, kamu istriku, bukan Raya."

"Om Andy nggak usah aneh-aneh deh. Kasihan Kak Raya. Sudah, jangan membuat hubungan persaudaraan kami rusak."

Di belakang sana Raya mulai tersenyum. Ia yakin segala rencana yang disusunnya akan berjalan dengan mulus. Ia percaya, ia akan mampu menyingkirkan Nindya dari sisi Andy, lalu merebut pria itu kembali ke sisinya.

Andy menghela napas sesaat. Ia tak mungkin memaksakan kehendaknya kepada Nindya. Ia tak mungkin memaksa istrinya itu untuk mengingat semua yang sudah terjadi dengan waktu yang singkat.

"Ya sudah, kalau gitu aku pulang mandi dulu ya."

"Raya ... aku titip Nindya dan ingat, kamu jangan berbuat yang aneh-aneh!"

"Aman kok, An, sama aku. Kamu tenang saja," ucap Raya yang mulai bertutur lembut.

Andy melangkah pergi meninggalkan istrinya bersama Raya. Ingin rasanya ia mengecup kening wanita itu. Namun, ia yakin Nindya pasti menolaknya.

Andy berat meninggalkan Nindya bersama Raya. Ia takut jika Raya mulai meracuni pikiran Nindya. Namun, tak ada pilihan lain selain mencoba percaya.

Raya mendekat, duduk di sisi Nindya. Bersikap manis seolah-olah ia kakak tiri yang baik. Ia mencoba menyuapi Nindya sarapan yang baru saja diantar petugas. Sebenarnya ia muak, tapi demi tercapainya keinginannya merebut Andy, ia rela melakukan segala yang dibencinya.

"Kak, sebenarnya, Dio ke mana?"

"Dio ada, dia sayang banget sama kamu, Nin. Hanya saja, sekarang dia harus ke luar negeri untuk mengurus bisnisnya."

"Rencana pernikahan ku dengannya?"

"Dio akan segera menjadikanmu istrinya."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status