Share

Bab 5

Andy datang kembali ke rumah sakit. Namun, kali ini ia tak sendiri, ia bersama dengan Alya, putri satu-satunya bersama dengan Nindya. Andy ingin mencoba mengingatkan Nindya tentang Alya, meskipun sulit. Ia berharap ada setitik harapan agar Nindya segera pulih.

Raya mendelik tak suka. Ia sedikit kesal lalu menyingkir dari tempat duduknya semula, dan memutuskan untuk pergi meninggalkan ruang rawat Nindya.

"Nindya ... aku datang. Kamu lihat nggak aku ngajak siapa ke sini?" Andy mulai mendekatkan putrinya kepada Nindya.

Nindya terdiam, menatap lekat Alya. Entah apa yang ada di dalam pikirannya. "Anak ini siapa?" tanyanya.

"Mama ...." panggil Alya lirih.

"Mama? Kenapa dia panggil aku mama?"

"Karena dia memang putrimu. Jadi, wajar dia memanggilmu mama. Dia putri kita satu-satunya, anak yang kamu lahirkan dari rahimmu setelah pernikahan kita."

"Om ... Om Andy jangan mengada-ngada deh. Itu tidak mungkin. Aku belum menikah dan aku akan segera menikah, tentunya bukan dengan Om, tapi dengan Dio."

"Sayang ... Dio sudah nggak ada. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu, coba ingat-ingat lagi."

"Jangan mengada-ngada, Om. Berhentilah membuatku melupakan Dio, karena aku tidak mungkin melupakan dia. Aku dan dia sudah sepakat akan menikah dan tolong jangan usik aku lagi. Om perhatikan saja kak Raya. Kasihan dia, pasti dia pun tertekan melihat Om yang terus-terusan menggangguku."

"Mama kenapa panggil papa, Om? Kan Papa." Bibir mungil Alya tiba-tiba berbicara. Gadis kecil itu ternyata diam-diam memperhatikan percakapan kedua orang tuanya."

"Nak, tante bukan mama kamu, jangan panggil tante mama lagi ya!"

"Pa, mama kenapa?"

Andy memutuskan untuk menjauhkan Alya dari Nindya, ia tak ingin gadis kecil itu terluka oleh ucapan istrinya yang masih dalam keadaan amnesia. Beruntung, kedua orang tua Nindya datang. Mereka menggantikan Andy menjaga Nindya.

"Andy kalau kamu harus pergi bekerja, pergilah! Tidak apa-apa. Biar mama dan Papa yang menjaga Nindya di sini."

"Sebenarnya aku ada rapat penting di sekolah, Ma, tapi aku bingung. Rasanya tidak tega meninggalkan Nindya."

"Tidak apa-apa, An. Biar papa dan Mama yang di sini."

"Baiklah, Pa. Aku pergi ke sekolah dulu. Titip Nindya dan Alya. Aku tidak lama. Setelah rapat selesai, aku akan segera kembali ke rumah sakit."

Setelah Andi benar-benar pergi meninggalkan rumah sakit Nindya mulai mempertanyakan keberadaan Dio. Ia bingung, kenapa sampai saat ini Dio belum juga muncul untuk menemuinya. Padahal, jika Dio berada di luar negeri, setidaknya bisa memberinya kabar melalui telepon. Nyatanya tak ada kabar sedikit pun dari pria yang diharapkannya.

Kedua orang tua Nindya perlahan menjelaskan, memberikan pengertian kepada Nindya jika Dio benar-benar sudah tidak ada. Memberikan pengertian kepada Nindya jika dirinya sungguh sudah menikah dengan Andy dan mereka sudah memiliki Alya.

"Papa sama Mama bohong kan? Aku merasa semua itu tidak mungkin. Kalau pun iya benar, aneh saja kalau aku tidak mengingat itu semua. Apalagi sampai punya anak yang bahkan sudah besar seperti ini. Aku belum percaya."

Kiara kemudian teringat akan ponsel milik Nindya. Wanita paruh baya itu kemudian mengambil benda pipih milik putri tirinya itu dari dalam tas. Kiara membuka galeri foto lalu menunjukkan semuanya kepada Nindya.

"Ini foto pernikahanku? Aku benar-benar sudah menikah dengan Om Andy?" Nindya masih sama sekali tak percaya dengan apa yang ia lihat.

"Iya ... itu foto pernikahan kalian lima tahun lalu dan sekarang kalian sudah memiliki Alya yang sebentar lagi akan sekolah."

"Papa sama Mama nggak bohong kan?"

"Apa kurang bukti foto itu dan juga kehadiran Alya di sini, Nin? Kamu masih belum percaya juga?"

Nindya terdiam. Ia masih sibuk memandang beberapa foto yang ada di galeri ponselnya. Ia mencoba memastikan kebenaran ucapan dari kedua orang tuanya. Nindya mencoba mencari album dirinya bersama Dio, namun sama sekali tak ditemukannya. Galeri ponsel hanya dipenuhi dengan foto dirinya bersama dengan Andy juga sang putri, Alya.

"Tadi, kak Raya sempat bilang, kalau Dio masih sibuk di luar negeri dan dia akan benar-benar menikahiku. Bahkan, dia memberitahuku agar aku tidak merebut Andy darinya."

Rendy dan Tiara saling bertatap. mereka terkejut dengan apa yang diucapkan oleh Nindya. Sama sekali tak pernah terpikirkan jika Raya akan berkata seperti itu. Seakan-akan meyakinkan Nindya jika Dio benar-benar masih ada dan akan segera menikahinya.

"Urus putri kamu, Ma. Papa tidak sanggup lagi. Kenapa dia tidak pernah berubah? Masih saja ingin menyakiti Nindya."

"Maafkan mama, Pa. Sepertinya didikan mama yang salah kepadanya dulu, sampai membuatnya bertingkah seperti ini."

"Papa tidak tahu harus melakukan apa. Yang pasti, papa minta Mama berusaha untuk menyadarkan Raya kalau apa yang ia lakukan itu salah. Kalau perlu carikan saja dia jodoh agar tidak mengusik Nindya dan Andy lagi. Papa benar-benar tidak sanggup."

Kiara memutuskan untuk pulang terlebih dahulu. Wanita paruh baya itu terpancing emosinya, hatinya panas. Setelah sekian tahun merasa jika Raya benar-benar berubah ternyata tidak sama sekali. Putri satu-satunya itu masih saja bertingkah egois dan mau menang sendiri.

Kiara masuk ke dalam rumah perlahan. Ia melangkah segera menuju ke kamar putrinya, mengetuk pintu beberapa kali agar si penghuni kamar segera membukakan pintu.

"Mama kenapa sih? Kok kayak orang kesurupan ketuk pintunya kasar banget," tanya Raya setelah ia membuka pintu kamarnya.

"Kamu yang kenapa? Keluar! Bicara sama mama sekarang!" Kiara langsung menarik tangan Raya dengan sedikit kasar, mengajaknya ke ruang keluarga di lantai bawah.

"Ada apa sih, Ma?"

"Mulai detik ini jangan pernah lagi kamu datang ke rumah sakit untuk menemui Nindya. Tak ada alasan apa pun! Kamu tidak usah ke sana!"

"Mama kenapa sih?"

"Apa yang sudah kamu lakukan kepada Nindya? Mama tahu, kamu berusaha meracuni otaknya bukan? Kamu mengatakan Dio masih ada dan mencoba merebut hati Andy darinya! Mama tahu akal busuk kamu!"

"Astaga, Ma. Tidak ada maksudku seperti itu. Aku hanya ingin menyenangkan hati Nindya saja. Jadi, aku bilang saja kalau Dio masih ada."

"Jangan banyak alasan! Kamu pikir mama tidak tahu maksud dan tujuan kamu? Kamu itu anak mama, mama tahu karaktermu seperti apa. Pokoknya jangan datang lagi ke rumah sakit, jangan pernah temui Nindya lagi."

"Dari zaman dulu sampai sekarang Mama masih saja belain dia. Yang sebenarnya anak Mama itu siapa sih? Aku atau dia? Yang Mama bela setiap hari itu selalu saja dia. Seharusnya Mama sadar, kalau itu yang bikin aku jadi keras kepala."

"Kamu anak mama, tapi apa iya mama harus membela kamu saat tahu kalau kamu itu salah? Tidak mungkin kan?"

"Mama tega sekali, seharusnya Mama membantuku merebut kembali kebahahiaanku, merebut kembali Andy. Sepertinya aku ini bukan anak kandung mama! Jujur saja, Ma!"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status